Oma menjelaskan jika Kami hanya hadir untuk menghormati undangannya. Tidak perlu berlama-lama langsung kembali ke rumah sakit. Alisha meminta pendapatku. "Kita tunggu dahulu. Jika Arjuna tidak protes saat kita memberitahunya, maka kita akan berangkat. Setelah magrib juga tidak apa, sebentar saja nanti," ujarku. "Iya mas." Arjuna masih terlelap. Opa datang membawa makanan yang tadi dibawa Mas Angga. Mereka belum sempat memakannya saat Arjuna masih di dalam ruang operasi tadi. “Kita makan dahulu. Walau sudah dingin tapi masih enak dimakan. Ayo Alisha, Angga.” Alisha mengikuti ku menuju sofa di sebelah kanan ranjang pasien. Ruangan VIP membuat mereka nyaman makan bersama di sana. Oma membuka kotak makan dan mulai memakannya. Alisha jadi ikut lapar, diberikan satu kotak lain untukku. Aku ucapkan terima kasih dan langsung membuka tutupnya. Rasa lapar membuat mereka menikmati makan siang yang tertunda tanpa berbincang. “Papa Angga...,” suara Arjuna lirih terdengar. “Ya sayang,
Aku tak berani membalikkan badan, merasakan nafasnya di pundakku saja aku seperti kaku dan tak bisa bernafas. Apakah aku mulai merasakan perasaan cinta pada Mas Angga?“Kok, malah bengong, ayo... kita masih mampir ke rumah sakit lagi kan,” ujarnya cepat.Mas Angga sudah berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman. Aku masuk setelah mas Angga masuk ke kursi sopir. Mobil langsung dijalankan menuju rumah sakit. Arjuna pasti sudah menunggu mereka.Sepanjang perjalanan aku tak berani menatap mata Mas Angga, hatiku tak karuan semenjak di rumah besar tadi. Apa yang harus aku lakukan jika memang itu semua terjadi?Setibanya di rumah sakit, aku mendahului berjalan menuju kamar rawat Arjuna. Aku ketuk pelan dan kubuka pintunya. Oma yang duduk di samping ranjang menoleh ke arahku, juga Arjuna yang tersenyum padaku.“Bunda..., Nah bunda sangat cantik sekarang sudah pas berpasangan dengan papa.”Arjuna berkata ambil memberikan dua jempolnya pada kami. Mas Angga juga sudah ada di belakangku kini
Mas Angga menjalankan mobilnya menuju rumah sakit. Mereka sudah berjanji tidak akan lama-lama di pesta resepsi Satria dan Shinta. Suasana sepi menyelimuti perjalanan ke rumah sakit.Ucapan maaf Mas Angga tak bisa aku pahami. Ciuman yang diberikannya jelas membuat perasaanku kacau. Aku masih ingin menata hati sebelum menerima Mas Angga. Tapi perlakuannya tadi membuat aku bergeming.Aku menyukai keberanian Mas Angga menciumku. Hal ini membuat aku yakin Mas Angga benar-benar mencintaiku sebagai seorang wanita. Ciumannya tadi membuat aku ingin merasakannya lagi.“Sha, masih marah?” tanya Mas Angga perlahan.Aku menggeleng. Mas Angga adalah laki-laki jadi wajar memiliki keinginan melihat wanitanya. Tapi aku yang malah takut untuk mencintaimu mas, karena aku mungkin bukan yang terbaik setelah perjalanan hidupku.“Sha, sepertinya mas harus memaksamu untuk menerima mas. Mas sudah hilang kesabaran.”“Oma dan Opa sudah setuju, bunda pasti senang mendapatkan kembali putrinya yang dulu. Arjuna tam
Oma dan Opa mengantar kami ke bandara. Aku mendorong Arjuna yang menggunakan kursi roda. Mas Angga masih memberikan tugas pada Hendra terkait beberapa pekerjaan yang ditinggalkan selama mereka di Singapura.Tak lama Mas Angga menghampiriku dan Arjuna untuk menuju pintu pemeriksaan dan langsung ke pintu keberangkatan setelahnya. Arjuna melambaikan tangan pada Oma dan Opa yang masih menunggu kami masuk ke pintu keberangkatan. Oma dan Opa membalas lambaian tangan Arjuna.Arjuna senang sekali akan bepergian dengan bunda dan papanya. Ini adalah pertama kalinya mereka akan pergi bersama ke luar negeri. Biasanya Arjuna akan naik pesawat hanya bersama bundanya.“Ayo, sayang kita mau masuk. Jangan lupa berdoa ya,” ucapku pada Arjuna.“Baik bunda.”Aku mengikuti Mas Angga yang berjalan di depan kami membawa tas yang berisi perlengkapan Arjuna. Koper kami sudah masuk dalam bagasi. Arjuna sangat senang sekali, sepanjang jalan tak hentinya membicarakan tempat-tempat yang akan dikunjunginya bersama
Aku terbangun saat kurasakan sebuah tangan mengelus pipiku. Kukerjapkan mataku, Arjuna sudah bangun dan tersenyum padaku.“Bunda pulas sekali tidurnya. Angga haus,” ucapnya dengan raut wajah menyesal.Aku lihat jam di dinding. Pukul 3 pagi. Aku meminta Arjuna menunggu sebentar, bunda akan mengambilkan air minum di dapur. Angga mengangguk dan berjanji akan menunggu.Aku membuka pintu kamar dan berjalan menuju dapur. Di meja makan Mas Angga sedang memakan mi instan. Aku tersenyum melihatnya.“Mas...!”“Eh, Sha. Lapar juga?” tanyanya padaku.“Arjuna haus, aku mau ambil minum mas.”“Sekalian saja di teko. Jadi tidak bolak balik.”Aku mengangguk. Biasanya aku memang meletakkan air minum di nakas. Arjuna jika tidur kadang terbangun karena haus. Saat aku mengambil teko dan akan mengisinya dengan air, perutku berbunyi keroncongan.Wangi mi instan membuat rasa laparku menjadi semakin kuat. Mas Angga tersenyum mendengarnya. Ditariknya tanganku agar duduk di sampingnya. Mas Angga mengambil sesend
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku kembali mendengar rintihan Arjuna. Hanya bisa berdoa agar rasa sakit yang dialami Arjuna semakin berkurang. Untungnya jarak ke rumah sakit dari hotel tidak jauh. Arjuna langsung mendapatkan perawatan dan suntikan penghilang rasa sakit.Dokter menyarankan kakinya di rongten kembali. Selain karena jatuh juga memastikan jika kondisi kaki Arjuna baik-baik saja. Aku menyerahkan semua kepada pihak rumah sakit yang terpenting Arjuna bisa sehat kembali.“Baik pak kami usahakan yang terbaik. Kami perlu melakukan koordinasi dengan dokter yang melakukan operasi pada Arjuna,” ucapnya pada Mas Angga.“Baik saya akan memberikan nomor teleponnya agar nanti bisa melakukan koordinasi.”Setelah semua pengecekan awal selesai tak lama Arjuna tertidur karena pengaruh obat yang diberikan. Dokter langsung melakukan rongten pada Arjuna untuk memastikan kondisi kakinya baik. Setelah selesai, dokter memberikan beberapa arahan padaku dan Mas Angga.“Dari hasil rongt
Pesan yang dikirimkan Hendra membuat aku bertanya. Mengapa Adrian mau bekerja sama denganku mengatasnamakan perusahaan lain. Bukankan Adrian juga sedang bekerja sama dengan ShaBra.Dihembuskannya nafas dengan sedikit kesal. Setelah cukup tenang, dibopongnya Alisha menuju kasur yang disediakan untuk penunggu pasien. Diselimuti hingga terlihat nyaman di sana. Aku kembali ke sofa berniat membalas pesan Hendra.Diskusi malam ini dengan Hendra di Jakarta sedikit banyak membuat aku mengetahui kondisi saat ini di kantor. Aku juga menanyakan mengenai ShaBra. Sebelum berangkat aku juga berpesan pada Hendra untuk sesekali mengecek kantor Alisha.Setelah aku memberikan beberapa arahan untuk pekerjaan selanjutnya aku meminta Hendra mempersiapkan keperluan lamaranku pada Alisha. Aku juga akan mengabari bunda dan minta Dania membantu juga.Hendra mengirimkan pesan selamat untukku dan Alisha. Hendra juga mendoakan agar segera menuju pernikahan. Dipesanya juga jangan mendahuluinya. Harus antre jadi tu
Dokter sudah memeriksa kaki Arjuna dan kondisinya sudah lebih baik. Tak perlu melakukan tindakan karena proses penyembuhan anak seusia Arjuna sangat cepat. Hanya saja dokter berpesan agar tak memaksakan untuk menopang beban dengan kakinya yang sakit.“Apakah aman jika kami melakukan penerbangan kembali ke Jakarta?”“Dengan prosedur yang sama kami rasa aman. Saya sudah menghubungi dokter di Jakarta terkait hasil rongten terakhir, nanti akan ditindak lanjuti di Jakarta. Tak perlu khawatir.”“Terima kasih dokter,” ucapku sambil menoleh pada Arjuna.“Yeay... bisa ketemu oma... yeay...yeay.”Arjuna sangat senang karena dokter mengizinkannya pulang. Dia akan membantu oma menyiapkan pesta untuk bunda dan Papa Angga. Akan dipastikan pestanya meriah.Setelah dokter meninggalkan ruangan aku menghubungi Hendra untuk mengurus tiket kepulanganku. Namun sebelumnya aku minta melakukan pengecekan kontrak yang sudah aku tandatangani, apakah sudah ada feedback pada email perusahaan?Hendra memahaminya.
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k