Selesai sarapan kami bersiap kembali ke Jakarta. Semua koper sudah masuk dalam bagasi. Kami pamit pada bunda dan keluarga lainnya. “Hati-hati di jalan.” Bunda mengatakannya sambil memeluk Alisha erat. Tyo hanya tersenyum melihatnya. Mereka meninggalkan halaman rumah, menuju jalan bebas hambatan arah Jakarta. Perkiraannya, mereka akan sampai sekitar pukul sembilan. Aku memutuskan langsung ke kantor. Alisha dan Mas Tyo berencana mampir ke toko, terlebih dahulu. Menemui Tante Lisa, baru ke rumah. Alisha meminta izin untuk ke kantor besok. Aku menyetujui sekaligus memintanya beristirahat. “Mas, Alisha boleh bertanya,” tanyanya pada Mas Tyo saat dalam perjalanan menuju rumah. “Boleh.” Diliriknya sekilas ke arah Mas Tyo. Pandangannya lurus ke depan, seakan fokus ke arah jalan. Namun Alisha merasakan ada yang dipikirkannya. “Kenapa mas dijadikan komisaris di kantor Mas Fariz. Mas kan tidak ada hubungan apa-apa dengan mereka?” “Siapa yang bilang tidak ada hubungan?” jawabnya balik bert
Sesampainya di rumah, bunda sudah menunggu di teras. Alisha turun dari mobil, berlari dan memeluk bunda erat. Perjuangan bunda kini membuahkan hasil, dia sudah lulus. Bunda tersenyum, menggandeng tangannya masuk ke dalam. Dia teringat ucapan Mas Angga. dihembuskan napas dan melangkah pelan di samping bunda. Sesaat masuk ke ruang tamu, suara tepuk tangan mengagetkannya. Tante Lisa dan Mas Tyo sudah ada di ruang tamu dengan sebuah buket bunga. Alisha menoleh ke belakang. Aku tersenyum, berjalan melewatinya sambil meledek, “cemburu ya, tadi”. Alisha mencubit lenganku hingga meringis. Aku melanjutkan langkahku sambil mengelus bekas cubitannya. Alisha tersenyum dan melangkah ke arah mereka. Tante Lisa memeluk Alisha dan mengucapkan selamat. “Selamat Alisha, semoga semakin sukses,” ucap Mas Tyo sambil memberikan buket bunga padanya. Alisha tersenyum dan menguapkan terima kasih. Tante Lisa menyampaikan jika Papa Tyo sudah memesan meja untuk makan malam merayakan kelulusannya. Setelah be
Sejak siang tadi pikirannya tak tenang. Berbagai gambaran berkelebat di hadapannya. Kali ini Tyo tak bisa memprediksikan reaksi Alisha jika nanti mengetahui kebenarannya. Sebelum berangkat tadi, disempatkannya berbincang dengan mama dan papa. Tyo membutuhkan dukungan mereka. Semoga yang dilakukannya nanti tak membuat Alisha membenci siapa pun. “Mama mengerti Alisha pasti kecewa. Kalian mengetahui kebenaran dan dia adalah orang terakhir yang mengetahuinya,” ucap mama pelan.Mama juga akan memintanya agar tidak menghakimi mereka. Sebuah masa lalu bisa diperbaiki dengan saling menerima dan mengikhlaskannya. Papa hanya mengangguk menyetujui ucapan mama. “Pa, bagaimana kalau kita ke sana juga. Sekalian berkenalan dengan Papanya Alisha. Kalau perlu sekalian saja kita lamar pa.” “Mama... bikin aku tambah pusing deh,” sergah Tyo cepat.“Tapi mau kan?” ledek mama sambil melempar bantal kursi pada Tyo yang beranjak meninggalkan ruang makan. Dia akan bersiap. dihembuskannya napas kembali set
Tyo kembali tersenyum melihat Alisha menunduk malu. Diambilkan dua gelas air putih saat Mas Tyo membawa mie ke meja makan. Mereka makan seperti orang kelaparan, tak ada kata yang terucap hanya suara sendok dan garpu yang terkadang bersentuhan dengan mangkuk. Dalam sekejap tandas mie dalam mangkuk berpindah dalam perut yang tadi berbunyi. Alisha mengucapkan terima kasih sambil membawa mangkuk ke wastafel untuk dicuci. Mas Tyo menemani sampai Alisha selesai. “Sha, masih mengantuk? Jika tidak bisa temani mas kerja sebentar?” tanyanya sesaat Alisha merapihkan piring yang sudah dicucinya.Alisha mengangguk pelan, tak tega meninggalkannya bergadang sendirian di sini. Diperhatikannya wajah tenang Mas Tyo di hadapannya, menyelesaikan pekerjaannya. Alisha tahu beban pekerjaannya bertambah semenjak diangkat komisaris. Persada Agung perusahaan Pak Yudha, papa kandungnya. Pantas saja Mas Tyo yang diangkat menjadi komisaris bukan Mas Angga. Apakah ini ada hubungannya dengannya? “Mas, boleh Ali
Saat tersadar aku sudah berada di rumah sakit. Mencoba mengingat peristiwa sebelumnya. “Pak Angga sudah sadar?” Sopir sudah berada di samping ranjang. Luka benturan di dahinya sudah diobati. Menanyakan bagaimana kondisiku saat ini. Dia juga mengatakan belum menghubungi bunda atau yang lain. Karena hari ini Alisha sedang diwisuda, khawatir mengganggunya. “Hubungi Hendra, Pak. Segera minta ke sini.” “Baik.” Sambil menunggu Hendra, pikirannya melayang. Sebenarnya tujuan ke Bandung bukan urusan pekerjaan semata. Utamanya dia tak ingin melihat kedekatan Alisha dan Tyo saat wisuda. Perasaanku kacau semenjak mengetahui Alisha bukan adikku dan keluarga Tyo sudah terang-terangan akan melamarnya. Setelah makan siang Hendra sampai. Kutanyakan acara wisuda Alisha apakah berjalan lancar. “Lancar, Pak. Rektor dan beberapa Dekan menanyakan mengapa bapak tidak bisa hadir. Mereka menitip salam.” “Tyo datang?” “Datang sebelum acara prosesi, sekarang mereka mungkin sedang makan siang. Pak Rahard
Tante Lisa tersenyum menatapnya, kehangatan menjalar pada tangan Alisha yang tiba-tiba dingin. “Tyo, jika memang sudah siap. Bunda akan mendukung keputusan kalian. Bunda akan bicarakan dahulu dengan Angga dan Pak Yudha. Bagaimanapun ini harus melalui persetujuannya.” Mendengar nama ayahnya disebut ada rasa sakit di hati Alisha. Seorang ayah tega membiarkannya selama dua puluh dua tahun dan tak mengenalnya. Tak terasa sudut matanya meneteskan bulir bening. Kebahagiaan karena lamaran Mas Tyo beriringan dengan kesedihannya memendam kekecewaan. Walaupun dicoba untuk memahaminya, namun hingga saat ini Alisha belum bisa menerimanya. “Alisha... mama senang sekali mendengarnya sayang.” Tante Lisa memeluknya erat. Alisha membalas pelukannya, mencoba menekan isak tangisnya agar tak terdengar. Tante Lisa merasakan bahu Alisha berguncang sehingga memeluknya lebih erat dan berbisik. “Sayang, apa pun beban yang ada di hatimu, berbagilah dengan kami. Kami semua sayang padamu.” Alisha menganggu
Suara ketukan di pintu menghentikanku. Suara pintu dibuka dan bunda melangkah masuk ke dalam kamar. Aku tersenyum melihatnya. “Loh, sudah siap mau pulang, toh?” “Iya bunda, sudah bosan di sini.” Bunda tersenyum, memberikan sarapan yang sudah disiapkannya dalam kotak makan. Aku menerimanya dan membuka. Harum nasi goreng buatan bunda merasuk dalam hidungku, membuat rasa lapar tiba-tiba datang. Aku langsung menikmati sarapan yang dibawa bunda. Bunda duduk di samping ranjangku. Memperhatikanku menyantap nasi goreng. Bunda menanyakan apakah aku sudah menghubungi Pak Yudha. Aku berjanji akan menghubunginya secepatnya. Selesai sarapan dokter melakukan pemeriksaan dan memberikan resep obat. Menyarankan untuk melakukan terapi hingga amnesia yang dialaminya sembuh. Hendra datang sesaat sebelum dokter mereka meninggalkan kamar. Mengucapkan salam pada bunda dan dokter yang meninggalkan kamar. Dimatikan laptop yang masih terbuka dan menyala, dirapikan, dan dimasukkan dalam tasnya. “Hendra, c
Hari ini perasaan Alisha tak tenang. Besok sore papa dan mama Mas Tyo akan melamarnya pada bunda. Seharusnya Pak Yudha yang menerima lamarannya. Tapi Alisha masih merasa asing untuk mengakuinya. Siang nanti Mas Tyo akan mengajak Alisha ke luar. Alisha mencoba menyelesaikan pemeriksaan berkas-berkas yang ada di meja. Beberapa yang memerlukan tanda tangannya sudah lebih dahulu diselesaikan. Pak Hendra sudah datang untuk mengambil berkas yang sudah selesai. “Saya bawa berkas yang sudah selesai, Bu Alisha.” “Silakan Pak. Ada laporan lain yang harus saya cek?” “Bukan Bu, ini berkas pribadi Pak Angga. Minta diantarkan sekarang.” Alisha menanyakan apakah bisa dititipkan padanya saja. Nanti sepulang kantor baru disampaikan. Hendra menggelengkan kepalanya. Dia akan mengantarkan sendiri, karena minta secepatnya dibawakan. Alisha mengangguk. Pak Hendra tolong sampaikan pada Anita saya akan ke luar dengan Mas Tyo, jika ada yang ingin menemuinya minta ditunda besok. “Baik, Bu.” Beberapa pes
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k