Pagi ini aku akan menghubungi Pak Yudha, menurut laporan Hendra sejak kemarin sudah di Jakarta. Kebetulan sekali, hingga aku tak perlu menyiapkan kedatangannya dari Singapura. Kucari nomor ponselnya dan melakukan panggilan. Tak lama suara di seberang terdengar mengucapkan salam. Aku membalas salamnya dan melanjutkan dengan menyampaikan permohonan bunda. “Pak Yudha sore ini apakah ada agenda penting? Bunda mengundang bapak ke rumah.” “Wah, kemarin saya baru membuat agenda untuk sore ini. Ada acara apa? Aku terdiam. Memang salahnya tidak memberitahukannya lebih dulu. Pak Yudha ke Jakarta pasti ada urusan bisnis yang mendesak. Bagaimana ini? Di seberang sana, Pak Yudha menahan senyumnya. Karena acara yang dimaksud Angga pastilah acara yang sama yang akan didatanginya. “Maaf pak, apakah bisa acara sore nanti dijadwalkan kembali dan bapak datang ke rumah?” “Saya tidak bisa mengingkari janji. Seandainya lebih dahulu menghubungi, mungkin saya masih bisa melakukan jadwal ulang.” Aku be
Waktu seakan cepat berlalu, tiga hari ini persiapan pernikahannya diurus. Mulai dari melakukan pertemuan dengan Event Organizer yang akan mewujudkan konsep pernikahan kami, sampai mengurus administrasi di Kantor Urusan Agama. Ayah menepati janjinya untuk membantu persiapan pernikahan. Bahkan urusan Persada mau tak mauTyo meminta bantuan ayah. Saat ini Shabra Desain juga sedang menangani kontrak dengan sebuah kantor baru. Waktunya sebagian besar tercurah untuk menyelesaikan kontrak tersebut dengan membuat sesuai permintaan. “Pak Bram, ada surat dari Pak Candra.” Sari menyerahkan surat yang ditujukan pada CEO Shabra Desain, kemudian kembali ke mejanya. Tyo membukanya dan membacanya. Pak Candra ingin mempercepat kerja sama ini. Waktu yang awalnya lima bulan, kini minta diselesaikan dalam waktu tiga bulan saja. Jika tidak menyanggupi maka mereka akan memutuskan kontrak dan akan membayar penalti pembatalan kontrak. Dia heran, mengapa pemberitahuannya terkesan mendadak. Sesuai kesepakata
Selepas salat subuh, Tyo memeriksa pesan pada ponselnya. Ayah memintanya menunggu kabar sebelum rapat nanti. Pagi ini rapat akan diadakan pukul sepuluh semoga ada kabar baik. -Ayah sudah bicara dengan Radinka, dia tidak mengenal Candra.- -Tapi ayah mendapat ide untuk proyek ini.- -Ayah akan ke kantormu nanti sebelum rapat.- Tyo tersenyum membaca pesan ayah. Puluhan tahun berkecimpung dalam bisnis tak salah jika dia harus belajar pada ayah. Dia akan berusaha maksimal dalam proyek ini. Tyo membalas pesan ayah jika dia akan menunggunya di kantor. Dipesannya sarapan melalui aplikasi di ponsel, sambil menunggu pesanan datang dipersiapkan semua keperluan rapat. *** “Bagaimana Tyo? Ayah rasa ini saling menguntungkan.” “Benar ayah, tapi sebelumnya aku harus tahu progres yang sudah kami lakukan. Aku tidak mau gegabah mengambil keputusan.” “Oke, ayah tunggu kabar ya. Oh ya siang ini jadi menemui EO? Ayah saja yang jemput Alisha dan bundanya,” ujar ayah meminta persetujuanku. Tyo menga
Aku mencoba menepis semua perasaanku padanya. Langkahku berhenti tepat di hadapannya. Alisha langsung menubrukku dan memeluk dengan erat. Kudengar isak tangis yang ditahannya. Kupererat pelukanku. Mungkin ini adalah pelukan pertama dan terakhir semenjak rasa itu membayangi. Kucoba mengatur deru napasku agar degupan dadaku berkurang. Beberapa saat berpelukan, Alisha mulai mengendurkan pelukannya. Aku pun melepaskan pelukanku. Mundur selangkah agar memberi jarak di antara kami. “Sha, lebih baik kamu lanjutkan tidur. Biar cukup istirahatnya. Tidak ada agenda keperluan kantor kan?” “Tidak mas, paling antar mas saja ke bandara.” Alisha mencoba tersenyum. Walau aku tahu senyum itu dipaksakan. Kini Alisha sudah tak secengeng dulu. Tyo berhasil membuatnya dewasa. “Alisha kembali ke kamar ya mas. Mas juga istirahat.” Aku mengangguk. Setelah punggung Alisha menghilang masuk dalam kamarnya, aku beranjak menuju kamar. Saat kakiku hampir sampai di lantai atas, sepasang mata menatapku dengan l
Saat ini aku hanya bisa berdiskusi dengan Hendra, Angga sudah menentukan jalannya. Laporan dari David harus ditindak lanjuti. Apakah Sari memang pelakunya? Pada rekaman CCTV tak terlihat jelas pelakunya. Sepertinya mereka mengetahui letak CCTV, sehingga tidak banyak membantu penyelidikan. Kukirim pesan pada Hendra terkait keberangkatan ke Bandung. -Hendra coba samakan jadwal Alisha dengan jadwal saya pada Pak Adit, saya ikut ke Bandung.- Pesan yang kuketik sudah centang biru dan Hendra masih online. Aku menunggu balasnya untuk memastikanya. -Baik, Pak. Saya sedang mengatur pengamanan di Bandung. Pak Angga menghubungi saya terkait laporan Pak David.- -Pak apakah saya harus menyelidiki Sari.- Ternyata Angga juga sudah mengetahuinya. Ayah pasti tak ingin putri kesayangannya menjadi sasaran balas dendam dari masa lalunya. Sari, kenapa harus dia. Apakah aku harus memecatnya setelah mengetahui ini? Semua kegiatanku diatur olehnya selama ini. Tindakannya juga tak ada yang mencurigakan.
Perjalanan ke Bandung kali ini sangat singkat, dua hari dengan agenda yang padat. Sesampainya di sana, aku langsung menyelesaikan kontrak dengan Persada untuk kerja sama dengan Pusat Perbelanjaan. Mas Tyo sebagai komisaris mengambil kesempatan untuk mengadakan rapat dengan Dewan Direksi. David sudah mengurusnya agar semua anggota dewan dapat hadir. Mereka membahas kemungkinan untuk memberikan jabatan padaku karena sesuai dokumen, kepemilikan Persada adalah atas namaku. Jika nantinya akan tetap ada Mas Tyo, maka akan dikukuhkan setelah pernikahan. Alisha sendiri belum memutuskan apa pun. Persiapan pernikahan cukup membuatnya tak memiliki kesempatan beristirahat. Jabatan CEO di Anugerah sudah membuat jadwalnya cukup padat. “Bagaimana Bu Alisha?” Alisha memandangi Mas Tyo meminta bantuan untuk menjawabnya. David yang memahami kesulitanku, akhirnya memberikan jawaban. “Saat ini Bu Alisha sedang mempersiapkan pernikahannya, sekarang bukan waktu yang tepat. Kita akan agendakan pembahas
Alisha sangat kesal. Mas Angga benar-benar sudah tak menyayanginya lagi. Saat dicoba memejamkan matanya untuk beristirahat, namun tak berhasil memejamkan matanya. Kenangan mengenai masa lalu melintas. Dahulu Mas Angga sangat perhatian pada Alisha. Tak boleh satu orang pun yang menyakitinya. Namun kini, Mas Angga seakan tak peduli apalagi besok dia akan menikah.. Suara dering telepon membuyarkan lamunannya. Mas Tyo, pasti Mas Angga sudah memberitahu jika dia marah dan mengancamnya. “Iya mas, ada apa?” “Kok galak begitu sih sama calon suami. Sha, temenin mas ambil jas ya. Sepuluh menit lagi mas sampai. Ini sudah di jalan.” “Loh, mas. Alisha belum siap-siap.” “Sudah cantik, pastinya. Habis zuhur langsung berangkat. Kita makan di luar saja ya.” Telepon dimatikan oleh Mas Tyo, diletakkan ponsel di nakas. Duduk sejenak di pinggir tempat tidur, kemudian beranjak ke kamar mandi untuk berwudu. Saat azan berkumandang, diambil mukena dan mulai bersiap salat. Mas Tyo sampai setelah m
Pukul dua pagi, aku sudah tak bisa lagi memejamkan mata. Tubuhku terasa masih lelah, namun pikiran ini sudah tak bisa kukendalikan. Aku bangun dan duduk di tepi tempat tidur. Setelah merasa lebih enak, kulangkahkan kaki menuju kamar mandi. Lebih baik aku salat untuk menenangkan diri dan meminta kelancaran untuk akad nanti. Selepas salat aku ambil ponsel dari nakas. Mengecek pesan yang masuk. Beberapa pesan dan foto dari EO yang mengabarkan kondisi terakhir lokasi ballroom Hotel Ambasador. Hendra juga mengirimkan pesan jika urusan penghulu akan aman bersamanya. John dan Hans akan bersiap di sekitar hotel mulai pagi ini. Rombongan Alisha juga sudah masuk hotel semalam. “Alhamdulillah,” batinku membaca pesan di ponsel. Aku ketik pesan untuk Alisha, menanyakan kabarnya pagi ini. Baru saja tanda terkirim muncul di layar, tulisan sedang mengetik langsung terbaca pada layar ponsel. -Mas tidak bisa tidur juga ya?- Kuputuskan melakukan panggilan telepon. “Sayang juga tidak bisa ti
Setelah dokter bisa menangani Aristya aku memutuskan kembali ke ruang rawat Alisha. Hendra berdiri di depan pintu kamar bersama John dan Hans. Saat melihatku, mereka mengangguk namun tak berbicara. “Hendra, jika ada kabar penting langsung hubungi aku,” pesanku sebelum kembali ke kamar Alisha. “Baik Pak.” “Bukannya tadi ada Adrian?” tanyaku melihat sekeliling. Hendra menatap John dan Hans bergantian. Tadi Adrian memang ada di sini. Mereka sempat mengobrol. Adrian datang bersama Dania. Aku menghubungi Alisha. Hanya nada sambung terdengar berbunyi, tapi Alisha tidak mengangkatnya. Kucoba hingga tiga kali, namun hasilnya sama saja. Aku langsung bergegas menuju lorong ruang rawat Alisha. Perasaanku tak enak. Hendra kuminta menghubungi Fathir. Jika ada di luar minta segera kembali ke ruang Alisha. John dan Hans mengikuti langkahku. Aku tak ingin kejadian buruk menimpa Alisha. Apalagi ada bayiku di sana. Sesampainya di depan ruangan tak kulihat Fathir dan Petra. Aku ingin
Saat Alisha membuka matanya, dirasakannya dia terbaring dalam kamar dengan aroma yang sangat dikenalnya. Dinding putihnya selalu bersih. Walau suka dengan warnanya tapi dia tak mau lama-lama di sini. Mas Angga…? Tadi Hendra bilang jika Mas Angga kecelakaan. Sari yang menabraknya. Jadi benar yang dikatakan Adrian jika kotak hadiah itu dari Sari. Nomor yang selalu menerornya mungkin juga Sari. Tapi mengapa? Alisha mencoba bangun dari tidurnya. Alisha harus mencari Mas Angga. Dia harus tahu kondisinya saat ini. Saat badannya mulai digeser untuk duduk, suara pintu dibuka menghentikan gerakkannya. Ditunggunya siapa yang akan masuk dengan terus menatap lurus ke arah pintu. “Mas Angga…!” Aku duduk di kursi roda yang didorong masuk oleh Fathir, menatap Alisha tajam. Kemudian tersenyum saat melihatnya diam. Setelah Alisha sadar siapa yang datang, Alisha ingin beranjak turun memeluknya. “Di sana saja Hanny. Mas tidak mau kamu lelah,” ucapku sambil memberikan tanda agar Alisha tetap di
Jadi hadiah itu dari Sari. Tiba-tiba rasa mual kurasakan, aku bangun menuju toilet. Dania mengikutiku dari belakang. Adrian hanya duduk diam dalam kebingungan memutuskan untuk menunggu mereka. Aku didampingi Dania Kembali duduk di hadapan Adrian. Masih banyak yang ingin aku ketahui. Tapi aku ingin tahu di mana Mas Angga saat ini. Pesan yang tadi kukirim masih belum dibacanya. Kucoba menghubungi, tapi hanya suara operator yang menjawab. Aku mencoba menghubungi Hendra, namun sama saja. Saat aku panik, dering telepon berbunyi. Mas Angga. Aku langsung menggeser layer dan berbicara padanya. “Mas di mana? Kenapa sulit dihubungi?” “Maaf Hanny, mas lagi rapat dan susah sinyal. Ini juga hanya sebentar bisa teleponnya. Mas mau mengingatkan jangan lupa makan siang ya.” “Iya mas. Mas Angga juga ya,” ucapku menginggatkannya. “Kalau di kantor, jangan terlalu lelah ya, kasihan dede nanti. Makan siangnya ditemenin Dania saja ya Hanny,” ucap Mas Angga. Belum sempat aku jawab, suara samb
Aku menoleh ke arah Mas Angga, mencoba tersenyum dan menatap wajahnya lekat. Aku Kembali mengusap lembut perutku. Aku harus kuat, Arjuna dan aku bisa melewatinya dulu. Kini aku juga harus bisa. “Tidak apa mas, sudah mulai terasa tidak enak perutnya,” jawabku pelan. “Sebentar lagi kita sampai dede, sabar ya.” Aku tersenyum mendengarnya. Mas Angga sangat memperhatikan kami, aku berharap ini bukan sementara. Pikiranku mengenai Aristya masih mengganjal. Apalagi nomor asing yang mengirim pesan dan foto, membuat aku bertanya-tanya siapa dia? Sesampainya di rumah besar, aku langsung masuk ke dalam kamar. Mas Angga menggendong Arjuna ke kamarnya. Oma dan Opa juga akan beristirahat, sebelum Oma menyiapkan makan siang. Suara pintu kamar yang dibuka membuat aku menoleh. Mas Angga sudah melangkah menuju ke arahku yang masih duduk di tepi tempat tidur. “Masih jail dedenya?” tanya Mas Angga padaku. “Tidak papa. Dede aman,” jawabku sambil tersenyum. Mas Angga mendekat dan berhenti di ha
Aku menatap wajah Alisha lekat, rasa bersalah menyelimuti. Aku sepertinya terlalu terburu-buru mengharapkan kehamilannya. Seharusnya aku membahagiakannya dahulu. Aku melangkah mendekatinya dan memeluknya erat. “Tidak apa Hanny, masih banyak waktu. Arjuna pasti mau menunggu,” ucapku pelan di telinganya. “Arjuna mau menunggu, apakah mas juga mau menunggu?” tanyanya pelan. Aku lepas pelukanku, menangkup kedua pipinya dan memintanya menatapku. Mata Alisha berkaca-kaca, aku tak ingin butiran air mata itu turun. Aku tersenyum menguatkannya. “Aku pasti akan menunggu Hanny, tidak perlu khawatir. Sampai nanti Allah memberikan kita kepercayaan untuk menjaga amanah,” ucapku pelan sambil tetap tersenyum. “Mas, ini hasilnya,” suara Alisha terdengar pelan sambil menyodorkan testpack yang tadi kuberikan. Aku mengambilnya dan meneliti bagian yang memiliki garis merah. Kesedihan Alisha sepertinya harus kuhilangkan, aku sudah merencanakan akan mengajaknya bersama Arjuna berlibur nanti. Aku
“Lebih baik diperiksa ke dokter kandungan, biar lebih yakin hasilnya,” ucap Oma sambil menatap pada Alisha. “Oma bilang apa? Aku tidak salah dengar kan?” tanyaku mendengar ucapan Oma pada Alisha. Oma hanya tersenyum. Mengajak Arjuna untuk kembali ke rumah. Arjuna yang masih duduk di samping Alisha mengangguk, meminta papa untuk menjaga bunda dan dia berjanji akan menuruti Oma dan Opa. Aku tersenyum mendengarnya kemudian menurunkan Arjuna setelah mencium pipi Alisha dan membuat janji kelingking agar Arjuna menepati janji. Alisha melambaikan tangannya hingga Arjuna menghilang di balik pintu. Kini hanya ada aku dan Alisha di kamar. “Mas mau keluar sebentar Hanny, berani sendiri atau mau dipanggilkan perawat?” tanyaku sesaat tiba di samping tempat tidur. “Berani mas, tapi jangan lama-lama ya,” jawab Alisha pelan sambil menatap matanya. Sebuah senyum terbit dari sudut bibirku, kemudian melangkah keluar kamar. Setelah aku menutup pintu Alisha merebahkan tubuhnya. Sebenarnya Alisha
Alisha mengeratkan genggamannya pada tangan Mas Angga. Menatapnya lembut dan mencoba tersenyum padanya. Bebannya sudah sangat berat. Sepertinya dia harus mengesampingkan perasaan cemburu pada Aristya, apalagi Oma tadi sudah berpesan agar dirinya tak egois. “Mas, jika mas ingin melihat Nenek Hanum pergilah. Alisha bisa sendiri di sini. Alisha juga tidak mau lama-lama di rawat Mas,” ucapnya pelan. “Iya Hanny, Mas juga ingin kamu sehat. Tidak sakit seperti ini. Mas minta maaf ya. Lain kali Mas akan hati-hati dengan orang-orang yang suka mengambil foto sembunyi-sembunyi," ucapku meyakinkan. Alisha mengangguk. Aku kembali mengecup tangan Alisha dan tersenyum padanya. Sedikit bebanku sudah terangkat. Aku bisa tersenyum sekarang. Alisha membalas senyumku hingga aku seakan diberikan sedikit kekuatan dengan adanya kabar mengenai Nenek Hanum. “Mas menunggu Hendra di IGD ya Hanny, jika ada apa-apa panggil perawat," ucapku saat menghitung waktu kemungkinan Hendra sudah sampai. “Iya mas, nan
Oma dan Opa mendekati tempat tidur perlahan. Mereka tak mau mengganggu tidur Arjuna. Oma mengusap pelan tangan Alisha yang memeluk Arjuna. Setelah memastikan keduanya pulas. Mereka menunggu di sofa. Aku memilih untuk tetap duduk di samping tempat tidur menunggu mereka berdua bangun. Setelah menunggu hampir setengah jam. Arjuna mulai membuka matanya. Digesernya tangan bunda yang memeluknya saat tertidur. Aku menutup laptop dan meletakkannya di meja. Arjuna yang kini sudah duduk di ranjang, mengucek matanya dan membuka perlahan. “Papa, kita di rumah sakit?” “Iya jagoan. Masih mengantuk?” tanyaku sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Arjuna menggeleng dan matanya berpindah ke arah bunda yang masih tertidur. Diciumnya pipi bunda dengan penuh rasa sayang kemudian diusapnya. “Bunda maaf ya. Oma bilang kalau Arjuna mau punya adik perempuan bunda akan sakit dan muntah-muntah juga. Arjuna mau adik tapi tidak mau bunda sakit,” ujarnya pelan. Aku yang mendengarnya tersenyum. Semoga
Aku terduduk dipinggir tempat tidur, butir air mata mulai mengalir di pipiku. Di saat aku baru saja merasakan kebahagiaan mengapa ada yang merusaknya? Apakah Mas Angga benar-benar menjalin hubungan dengan Aristya tanpa sepengetahuanku. Aristya memang masa lalu Mas Angga, namun Mas Angga juga mengatakan jika mereka tak pernah memiliki hubungan dekat. Tapi mengapa bukti-bukti yang kuterima tidak menunjukkannya, malah sebaliknya hubungan mereka terlihat sangat dekat. Apakah dalam lubuk hati terdalam, Mas Angga masih mencintainya? Kepalaku terasa semakin pusing, aku menarik napas panjang. Tak kubayangkan apa jadinya hari-hariku menghadapi hubungan yang aku tak tahu kapan dimulainya. Aku beranjak menuju kamar mandi, sepertinya berendam memang akan menyegarkanku. *** “Papa...!” Arjuna berlari menyambutku yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai Fathir. Setelah cukup lama menunggu bagasi akhirnya aku bisa meninggalkan bandara. Hampir dua jam menunggu, untungnya Alisha sudah k