Joya dan Agha berjalan berdampingan menuruni tangga jembatan, sesekali Agha mengangkat telapak tangannya mengusap keningnya yang banjir akan keringat. “Oi,” tukas Agha ketika Joya telah berjalan melewatinya, “bagaimana, kau akan menjelaskan tentang ponselku yang kau lempar itu?” Agha kembali bersuara sambil melirik ke arah sisa-sisa serpihan ponselnya yang telah hancur lebur di tengah jalan.
Joya yang menghentikan langkah kaki karena ucapan Agha, dia hanya dapat menggigit kuat bibirnya lalu berbalik menatap Agha sebelum berjalan mendekatinya, “aku tidak memiliki uang,” ungkapnya sambil meraih ponsel miliknya yang ada di saku, “aku tahu, jika ponselku ini … Tidak akan pernah sebanding dengan ponsel milikmu. Tapi, kau bisa memilikinya jika memang aku harus menggantinya. Dan juga-”
Joya menghentikan ucapannya sejenak, dia berjongkok sembari melepas sepatu sekolah yang ia kenakan, “ini sepatu replika murah yang aku beli di pasar tradisional seharga puluhan ribu rupiah. Hanya itu, harta yang aku miliki,” ungkap Joya kembali dengan meletakkan sepatu miliknya berserta ponsel yang ada di tangannya ke atas telapak tangan Agha.
Joya berbalik, melangkahkan kakinya yang hanya beralaskan kaos kaki putih miliknya. Langkah kaki Joya terhenti, telapak tangannya bergerak mengusap belakang kepalanya saat Agha melemparkan sebelah sepatu milik Joya ke belakang kepalanya. “Apa yang kau lakukan?!” bentak Joya, dia berbalik menatap Agha yang telah membuang sebelah sepatu lainnya milik Joya itu ke samping.
“Pakai sepatumu!” perintah Agha seraya berjalan mendekati Joya, “aku akan menunggumu di mobil,” sambungnya kembali sambil tetap berjalan maju melewati Joya yang terlihat bingung menatapnya.
Agha terus melangkah dengan ponsel Joya yang masih berada di genggamannya, langkah kakinya berhenti di samping pintu mobil, dibukanya pintu mobil tersebut seraya masuk ia ke dalamnya. Dia meletakkan ponsel Joya di atas desk mobil diikuti tubuhnya bersandar di jok, menunggu kedatangan Joya.
Agha melirik ke kiri saat pintu mobil miliknya terbuka. Ditutupnya kembali pintu mobil oleh Joya saat dia telah duduk di dalamnya. Mereka berdua lama terdiam tanpa suara sedikit pun yang keluar, “usiamu?” tanya Agha tanpa melirik ke arah Joya.
“Tujuh belas,” jawab Joya padanya. Agha meraih ponsel Joya lalu memberikan ponsel itu kepadanya, “buka password-nya,” tukas Joya saat Joya berbalik menatapnya.
Joya meraih ponsel tersebut, mengetik beberapa angka sebelum memberikan ponselnya itu kembali kepada Agha. Agha tertunduk, dia mengetik beberapa angka di kontak ponsel sebelum dia membuka aplikasi lalu menghubungi nomor yang ia ketik sebelumnya.
“Halo.” Agha bersandar duduk di jok mobilnya saat suara laki-laki terdengar di panggilan, “Dion,” ucap Agha melirik ke arah Joya yang masih terpaku menatapnya.
“Agha?”
“Berapa usia minimal perempuan untuk menikah?”
“Sembilan belas, mengikuti peraturan baru … Jangan katakan!”
“Aku akan menikah, tapi calon Isteriku masih berumur tujuh belas tahun. Apa kau bisa membantu kami untuk mengurusnya?”
“Me-menikah? Tujuh belas tahun? Tapi, bukannya Talita berusia sama sepertimu?”
“Aku, bukan menikah dengan Talita. Tapi aku, akan menikahi pacarku,” jawab Agha, dia menggerakkan jarinya memijat kepalanya sendiri.
“Agha, jangan-jangan kau?”
“Kau benar, aku ingin membalas semua perbuatan mereka. Jadi, bantu aku,” ungkap Agha kepada sahabatnya itu.
Suara helaan napas terdengar dari balik ponsel, “aku mengerti, akan tetapi … Aku membutuhkan izin orangtua kalian berdua untuk mengurus semua berkas.”
“Aku mengerti, aku akan memberikannya kepadamu, secepatnya,” jawab Agha menjauhkan ponsel tersebut dari wajahnya ketika panggilan itu terputus.
Agha melirik kembali kepada Joya yang duduk bersandar dengan kepalanya yang masih menatap lurus ke depan, “karena usiamu belum cukup untuk menikah. Jadi kita memerlukan izin kedua orangtua kita untuk melakukannya,” ucap Agha mengarahkan ponsel yang ada di tangannya itu kepada Joya.
“Aku, tidak memiliki orangtua lagi. Mereka berdua telah meninggal,” jawab Joya, dia melirik ke arah Agha diikuti tangannya yang meraih ponsel miliknya.
“Berarti, hanya orangtuaku. Kapan, kau bisa bertemu mereka?”
Kedua mata Joya membelalak, “aku pikir, kau tidak terlalu serius untuk menanggapi ucapan omong kosong yang aku katakan sebelumnya,” sindir Joya kepada Agha, “bisakah, aku mendapatkan sedikit waktu untuk menyiapkan diri? Aku harus menyiapkan diri, jika saja wajahku nanti ditampar, atau rambutku akan dijambak karena aku telah menjadi wanita perebut tunangan seseorang.”
“Ke mana perginya kepercayaan dirimu yang berlebihan sebelumnya,” sindir Agha yang mulai kembali menyalakan mobilnya.
Joya menoleh, memasang sabuk pengaman di tubuhnya, “kepercayaan diriku, hanya akan muncul jika terdapat uang di sekitar,” ungkap Joya menoleh ke arah Agha yang menatap ke belakang saat mobil yang ia kendarai itu bergerak mundur.
“Seharusnya, aku yang bertanya … Bagaimana denganmu? Jika rencana ini gagal, kau mungkin akan kehilangan segalanya.”
“Memang awalnya, aku sudah kehilangan segalanya. Tapi, aku tidak ingin menyerah begitu saja. Walaupun akan gagal sekali pun.” Kedua mata Agha membelalak saat usapan pelan menyentuh kepalanya, “kau sudah melakukannya dengan sangat baik, calon suamiku,” Agha menoleh ke arah Joya saat telapak tangan Joya itu mengusapi kepalanya.
Joya menarik kembali tangannya diikuti kedua matanya yang kembali menatap ke arah jalanan, “aku sering melakukannya dengan tanganku sendiri untuk menghibur diri,” ungkap Joya kepadanya.
“Kenapa kau sangat membutuhkan uang?”
Joya tersenyum kecil ketika dia mendengar pertanyaan Agha, “pertanyaan yang sama seperti, kenapa kau membutuhkan oksigen untuk bernapas.”
Joya mengangkat ponselnya ke samping, “menolehlah sedikit ke arahku,” ungkap Joya sambil tersenyum ke layar ponselnya.
“Aku tidak suka berfoto,” gumam Agha tanpa melirik sedikit pun ke arah Joya.
“Lalu, bukti apa yang harus aku berikan pada perempuan itu nanti,” ungkap Joya dengan wajah pernuh mohon kepada Agha.
Mobil yang dikendarai Agha berhenti, “mendekatlah,” ungkap Joya, dia bergerak menyamping dengan jari telunjuk bergerak di samping pundaknya.
Agha bergerak sedikit maju mengikuti ucapannya, kedua mata mereka saling bertemu saat Joya menoleh ke samping menatapnya, “kau memang terlihat sedikit tampan jika dilihat dari dekat,” ungkap Joya tersenyum menatapnya.
Joya tertunduk menatap foto mereka berdua yang ada di layar ponsel, “apa yang kau lakukan?” Joya sedikit terhentak saat rangkulan di pinggangnya menahan dia untuk beranjak menjauh dari Agha.
Agha mendekatkan bibirnya mendekati telinga Joya, “lihatlah mobil yang ada di sana. Itu mobil kakakku … Dia pasti memerintah supirnya untuk mengawasiku,” bisik Agha pelan terdengar.
Joya melirik ke arah yang Agha maksudkan, Joya menggigit bibirnya saat mobil berwarna hitam yang Agha katakan itu … Jauh terpakir di belakang kami, “jangan konyol,” tukas Joya mencubit kuat lengan Agha yang merangkul pinggangnya, “mobil sejauh itu, mana bisa melihat kita yang ada di sini,” sambung Joya lagi, dia bergerak menjauh dari Agha ketika rangkulan yang Agha lakukan merenggang.
Agha mengangkat wajahnya dengan senyum menyungging di sudut bibir, “tidak buruk,” ucap Agha kembali membenarkan posisi duduknya. “Apa kau, sedang mengujiku?” Joya melirik ke arah Agha yang enggan memalingkan wajahnya dari jalanan.
“Kenapa kau, senyum-senyum tidak jelas dari tadi,” kening Joya mengerut, menatap Agha yang sama sekali tidak menjawab kata-katanya.
“Aku mengembalikan ponselmu, aku juga akan membayar uang nasi kotak itu. Sebelum persiapan pernikahan kita rampung,” ucap Agha menoleh ke arahnya, “belajarlah menjadi istri yang baik. Karena jika kau menyusahkanku, aku tidak akan segan-segan menceraikanmu … Jika kita bercerai, jangan harap kau akan mendapatkan sepeser uang pun dariku. Kau mengerti apa yang aku maksudkan, bukan, calon isteriku,” lanjut Agha, dia tersenyum ke arah Joya sebelum mengalihkan pandangannya kembali ke arah jalanan.
“Berhenti di sana,” tukas Joya sembari menunjuk ke sebuah rumah kosan besar yang ada di sebelah kanan mereka.Agha melirik ke arah yang Joya tuju, dia menghentikan mobilnya di depan pagar rumah tersebut. “Terima kasih,” ucap Joya kembali ketika dia telah membuka pintu mobil.“Aku pikir, kau manusia yang tidak tahu berterima kasih,” sindir Agha, dia menoleh ke arah Joya sambil menyandarkan tubuhnya ke jok.Joya menoleh ke belakang, “apa kau pikir, aku manusia yang tidak tahu berterima kasih, Sultan? Jaga bicaramu, atau setelah kita menikah … Entah racun apa, yang akan aku berikan di makananmu,” ungkapnya seraya kembali menutup pintu mobil.
Sudah beberapa hari sejak Agha dan Joya bertemu. Tidak ada kelanjutan yang jelas tentang perjanjian mereka, bahkan mereka berdua pun melakukan aktivitas seperti tidak terjadi apa pun. “Apa ada yang ingin kalian tanyakan, anak-anak?” tanya Akbar, guru matematika sekaligus wali kelas Joya.Akbar melempar pandangan ke arah murid-muridnya yang terdiam, “baiklah, kerjakan hal. 45 untuk tugas di rumah,” seru Akbar, dia merapikan buku-buku miliknya yang ada di atas meja sebelum melenggang keluar.Joya beranjak setelah merapikan buku-bukunya ke dalam tas, “oi Joya!” Joya mengangkat pandangannya ke arah kumpulan anak perempuan yang berjalan mendekat.“Ada apa?” tanya Joya sembari mengenakan tas miliknya itu ke punggun
Joya berkali-kali mencuri pandang ke arah Agha yang masih memfokuskan matanya ke depan, “ada apa? Apa kau memerlukan sesuatu?” tanya Agha tanpa sedikit pun membuang pandangannya.“Aku selalu memikirkannya dari kemarin, berapa usiamu?” Joya balik bertanya kepadanya.“Dua puluh lima,” jawab Agha singkat, “apa itu mengganggumu?” Dia balas bertanya dengan melirik ke arah Joya yang duduk di sampingnya.Joya menggeleng pelan, “tidak. Aku hanya bertanya, karena akan terdengar aneh jika aku tidak mengetahui apa pun mengenai seseorang yang akan menjadi pasanganku,” tukas Joya yang kembali melempar pandangannya ke depan.“Apa masih jau
Agha melirik ke arah Joya, “kau tinggal hitung saja semuanya,” ucapnya ketika menghentikan langkah kaki di samping sebuah pintu.Joya yang ikut menghentikan langkahnya, masih terdiam menatap Agha yang tengah memencet bel yang ada di samping pintu. Joya menarik napas dengan mencengkeram lengan pakaian Agha saat pintu yang ada di hadapan mereka itu terbuka.Seorang laki-laki berdiri di depan pintu, “Agha?” ucapnya dengan melirik ke arah Joya yang masih terdiam, seakan tak melihat lirikan yang dilakukan laki-laki tersebut.“Apa kau akan membiarkan kami berdiri di sini?!”Joya melirik ke arah Agha yang menatap tajam ke arah laki-laki di hadapan mereka. “Masuklah,” ucap laki-laki tersebut saat dia berjalan mundur, menyingkirkan dirinya dari pintu.Lirikan Joya berpaling ke depan, tatkala Agha sadar kalau Joya sedari tadi tak berpaling darinya. Agha berjalan masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, disus
Joya melirik ke arah Agha yang meraih ponselnya, lama dia menatap Agha yang masih terfokus dengan ponsel di tangannya itu. “Ada apa?” tanya Joya, keningnya mengernyit saat Agha masih tidak menjawab pertanyaannya.Agha menoleh ke arah Joya, yang di mana semakin membuat Joya mengerutkan keningnya, “ada apa?” tanya Joya sekali lagi kepadanya.Agha menghela napas dengan menundukkan pandangannya, “ganti pakaianmu! Ikut aku pulang ke rumah!” perintahnya sambil beranjak berdiri dengan meraih jas yang sebelumnya ia lempar ke ranjang.“Ke- Ke mana?” tukas Joya gelagapan, mencoba untuk memastikan apa yang ia dengar.“Ikut aku pulang ke rumah! Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi Papaku meminta untuk pulang sekarang,” ucap Agha, dia kembali mengenakan jas miliknya seakan tak mengindahkan Joya.“Joya.”
Mobil yang Agha kendarai, berjalan masuk melewati sebuah pagar tinggi, setelah sebelumnya dia membunyikan klakson mobilnya itu beberapa kali hingga pagar tersebut terbuka. Joya sedikit memajukan tubuhnya, dengan lirikan matanya yang bergerak ke arah Taman yang ada di kanan dan kiri jalan yang dilalui mobil milik Agha.Jantungnya semakin berdegup kencang, saat mobil milik Agha itu berhenti. “Turunlah!” tukas Agha, Joya melirik ke arahnya yang tengah melepaskan sabuk pengaman di tubuhnya.Joya menarik napas sedalam mungkin, beberapa kali telapak tangannya bergerak mengusap dadanya sendiri, tatkala Agha sudah keluar dari mobil lalu membuka pintu belakang, meraih tas milik Joya yang tergeletak di jok belakang. “Apa kau tidak ingin turun?” ucap Agha, dia melirik ke arah Joya yang masih duduk dengan wajah tertunduk, sebelum ia menutup kembali pintu mobil.Embusan napas Joya, kuat keluar dari bibirnya, ketika ia sendiri menampar kedua pipi
Joya membuka kedua matanya, keningnya mengerut tatkala ia merasakan lengannya tengah merangkul sesuatu. Dengan sigap, ia beranjak duduk diikuti lirikan matanya yang menyebar ke sosok laki-laki yang berbaring lelap di ranjang yang sama dengannya. “A-apa kami?” tukas Joya gelagapan sambil menyingkap selimut yang menutupi kakinya.“Dia … Dia tidak melakukan apa pun padaku, bukan?” sambung Joya sekali lagi, dengan kedua tangannya yang meraba-raba tubuhnya sendiri.“Apa kau tahu, aku baru saja hendak tertidur.”Joya meneguk ludahnya, ia menarik napas sebelum menoleh ke arah Agha yang telah beranjak duduk di sampingnya. “Kenapa kau tidur di sampingku? Apa kau, mencoba untuk mencari keuntungan dengan tubuhku?” tukas Joya, yang membuat kedua mata Agha membesar menatapnya.“Aku sudah berulang kali membangunkanmu, tapi kau tidur seperti mayat … Lagi pula, ini ranjangku!” sahut Agha dengan memukul-mukul kasur.
Joya berdiri di belakang Agha yang membuka pintu kulkas dengan kedua tangannya, “apa ada bahan yang kau butuhkan?” tanya Agha, sambil melirik ke arah Joya yang sedikit menggerakkan wajahnya melewati lengan Agha.“Ini kulkas atau warung? Lengkap sekali,” gumam Joya, yang masih takjub menatap isi kulkas di hadapannya.Agha menurunkan lengannya hingga mengapit leher Joya. “Apa kau ingin membunuhku?” tukas Joya dengan memukul-mukul punggung Agha.“Jaga bicaramu! Rumah ini terlalu luas, hingga kau mungkin tak sadar sedang diperhatikan,” bisik Agha yang dengan sekejap membuat Joya mengatup bibirnya.Agha menghela napas dengan mengangkat kembali lengannya, “aku lapar. Aku, hanya memakan masakan rumah yang sehat,” ucapnya sambil berbalik meninggalkan Joya yang masih terdiam di depan kulkas.Joya terpaku, kepalanya penuh dengan m
Joya duduk di atas motor dengan masih menatap pundak Agha, pelukannya pada bungkusan plastik semakin erat saat Joya sendiri menunduk, untuk sekedar melihat isi dari bungkus plastik itu kembali. “Di komplek, ada masjid juga, kan? Mau coba ke sana nanti?” tukas Agha sambil mencoba untuk melihat Joya yang duduk di belakangnya.Joya mengangguk pelan dengan sebelah tangannya menggenggam pakaian Agha, “baiklah,” jawab Joya kepadanya, saat mereka sudah hampir mendekati rumah.Joya beranjak turun tatkala motor tersebut berhenti. Dia lanjut berjalan ke arah teras sambil berdiri menunggu Agha yang tengah mendorong motor tersebut ke teras rumah. Joya lanjut berjalan seraya membuka pintu rumah dengan kunci yang ia simpan di dalam tas sekolah, dia masuk lalu melepaskan sepatu sambil meletakan bungkusan di atas meja sebelum dia berjalan menuju dapur.“Joya, aku ingin memakan sesuatu yang berkuah hari ini.”Joya yang berdiri dengan membuka pintu kulkas, melirik ke arah Agha
Joya menyusuri lorong sekolah, langkahnya berhenti di depan ruang guru lalu mengetuk pintu dengan mengucapkan salam sebelum dia masuk ke dalam ruangan. Langkah Joya berlanjut, tatkala Akbar, Wali Kelasnya beranjak lalu berjalan sambil meminta Joya untuk mengikutinya. “Duduklah, Joya!” pinta Akbar dengan melirik ke arah Joya yang masih berdiri di depan pintu.“Duduklah!” saut seorang perempuan bertubuh gempal yang juga berada di dalam ruangan yang sama.Joya menarik napas, sebelum melangkah masuk ke dalam lalu duduk di salah satu sofa. “Kamu tahu kenapa Ibu memanggilmu?” tanya perempuan tersebut yang dibalas gelengan kepala Joya.“Ibu mendengar banyak sekali berita buruk tentangmu,” sambung perempuan paruh baya itu lagi kepada Joya.'Seperti yang sudah aku duga-'“Ibu mendengar, kalau kau tinggal satu rumah dengan laki-laki, Ibu juga mendengar kalau kau sering kali keluyuran dengan laki-laki. Kau tahu, apa yang kau lakukan ini akan membuat nama baik seko
Joya duduk dengan memangku wajahnya sendiri, matanya masih menatap ke arah papan tulis dengan tangannya yang bergerak mengetuk ujung pulpen miliknya ke atas lembaran kertas di atas meja, ‘sebenarnya apa yang terjadi kepadaku? Kenapa, aku bertindak kekanakan seperti semalam?’ Joya membatin, dengan masih menyimak pelajaran yang sedang dijelaskan gurunya.“Jadi anak-anak, kerjakan halaman 68 dengan menggunakan jalan yang Bapak jelaskan, dan untuk Joya … Temui Bapak di ruang Kepala Sekolah selepas jam istirahat,” ucap laki-laki tersebut setelah dia merapikan barang-barang miliknya yang ada di atas meja lalu berjalan keluar meninggalkan kelas.Joya masih terdiam, walau lirikan mata dari teman sekelasnya … Serempak mengarah kepadanya. Bibir Joya semakin terkatup, ketika lirikan tersebut telah bergabung dengan bisikan-bisikan yang juga turut terdengar. “Joya, kabarnya kamu tinggal serumah dengan laki-laki?” suara laki-laki yang menyeletuk, membuat Joya mengalihkan pandangan kep
“Ujung-ujungnya, kita masih harus pergi menemui mereka,” Agha menggerutu sambil melirik ke arah Joya yang menyisir rambutnya.“Mood-ku sudah kembali baik, jadi aku pikir tidak ada salahnya kalau kita menemui mereka-”“Aku pikir, kita akan melakukannya satu hari penuh,” sahutnya memotong perkataan Joya.“Lagi pula, ini sudah malam. Kenapa kita harus merepotkan mereka di malam hari,” sambung Agha kembali padanya.Joya beranjak lalu berjalan mendekati Agha yang berdiri sambil mengenakan kaos berwarna putih, “ini baru jam 7 malam, kita cuma pergi ke rumah Pak RT saja untuk melapor. Setelahnya, kita pulang … Dan juga, kau benar-benar menakjubkan hingga membuatku tak berkutik hari ini,” bisik Joya di telinga Agha, dengan jarinya bergerak mengusap dada Agha yang bersembunyi di balik kaos yang ia pakai.“Joya, kau menggodaku lalu pergi begitu saja!” panggil Agha, sembari matanya
Joya berjalan masuk ke kamar, dengan sehelai handuk yang membalut tubuh sintalnya, “apa kau tidur? Apa kau lupa, kita berniat untuk melapor ke Pak RT?” tanya Joya, sambil duduk di samping Agha yang terlelap.“Agha!” Joya kembali untuk mencoba membangunkannya, beberapa kali telapak tangannya itu bergerak menepuk wajah Agha, “aku tidak tahu bagaimana orang kaya berhubungan satu sama lain. Namun, mulut tetangga itu sadis … Jadi, ayo cepatlah bangun! Aku tidak ingin, mencari masalah dengan mereka,” sambung Joya kembali padanya.‘Dia tidur seperti orang mati setiap sudah selesai melakukannya. Padahal sudah aku peringatkan untuk jangan tidur,’ batin Joya dengan kembali beranjak berdiri menatapi Agha.“Apa di komplek ini memiliki laki-laki tampan? Aku berharap menemukannya, saat pergi ke rumah Pak RT. Kenapa setelah menikah, aku jadi semakin tergila-gila pada laki-laki tampan dan juga mapan,” ucap Joya, dia melirik ke arah Agha sebelum kak
Joya menghela napas dengan menepuk-nepuk punggungnya, lama dia menatap kasur busa yang sudah ia selimuti menggunakan seprai berwarna kebiruan. Joya berjalan ke luar dari kamar, mendekati Agha yang tidur dengan posisi duduk di kursi, “Agha,” panggil Joya pelan dengan menepuk lembut pundaknya beberapa kali.“Agha, bangunlah!” panggil Joya sekali lagi kepadanya.Agha sedikit terperanjat, matanya beberapa kali berkedip pelan membalas tatapan Joya kepadanya, “tidurlah di kamar! Aku sudah membungkus kasurnya dengan seprai yang sudah aku cuci, semuanya sudah aku rapikan, jadi tidurlah di kamar! Pinggangmu akan sakit kalau tidur seperti itu,” ucap Joya kembali dengan mengusap punggung Agha yang beranjak berdiri sambil menundukkan kepalanya.“Kau akan tidur di kamar yang sama denganku, kan?”Helaan Joya keluarkan, diikuti kedua tangannya yang mendorong punggung Agha dari belakang, “menurutmu, ada berapa banyak kamar yang ada
"Kau ingin membawa kita ke mana?" tanya Agha dengan melirik ke arah Joya yang masih sibuk menatapi ponselnya."Ke sebuah komplek perumahan, aku sudah menghubungi mbak-mbak yang mengiklankan komplek perumahan itu ... Lagi pula, mau kita titip ke mana tas tersebut, tempat yang aku tahu hanya rumah bibi Mira dan mustahil aku mengajakmu ke sana dalam keadaan kita yang seperti ini," ungkap Joya sambil membalas tatapan Agha sebelum menjatuhkan kembali pandangan ke layar ponsel miliknya.Joya membuka pintu mobil saat mobil tersebut akhirnya berhenti. Dia membalas kembali pesan di ponselnya sambil melirik ke arah Agha yang mengeluarkan tas berserta koper sambil dibantu oleh supir Wo-Car yang mereka pesan. "Bu Joya, benar?" Joya sedikit terhentak saat suara perempuan tiba-tiba terdengar di telinganya.'Bu?' batin Joya sambil membalas tatapan perempuan itu."Ah, iya benar. Mbak Nindi, ya?" Joya balas bertanya yang dibalas sen
Joya masih terdiam, dengan melirik ke arah Agha yang juga turut menutup mulutnya di depan keluarganya. Pandangan Joya, enggan ia angkat ... Bahkan, roti tawar yang sebelumnya telah ia oleskan dengan selai, sulit rasanya untuk ia sentuh kembali. Hal itu, bukan tanpa alasan ... Hanya saja, suasana ruang makan memang terasa lebih mencekam dari sebelumnya."Tuan, saya sudah menyiapkan semua yang Tuan perintahkan."Tatapan Agha yang memandang malas makanan di meja makan, ikut terangkat ke arah seorang laki-laki dengan sebuah amplop besar kecokelatan di tangannya. "Berikan benda itu kepadanya!" perintah Bagaskara, hingga laki-laki yang menjadi asistennya itu melangkah mendekati Agha.Agha meraih amplop yang diberikan laki-laki tersebut kepadanya, "apa ini?" tanya Agha dengan kembali mengarahkan pandangannya ke arah Bagaskara."Semua hutang yang harus kau bayarkan.""Hutang?" Kening Agha mengernyit, berusa
Joya melirik ke samping saat wajah Agha bergerak menjauhinya, "apa yang kau lakukan? Bagaimana jika ada yang melihat apa yang kita lakukan?" bisik Joya dengan kembali menatap Agha.Agha menunduk dengan meraih sendok dan juga garpu di dekatnya, "biarkan saja. Kita sudah menikah, apa yang salah?" sahut Agha enteng dengan mengunyah makanan yang Joya buat untuknya."Inilah kenapa, Mamamu semakin tidak menyukaiku-""Kau, akan menyerah?" tanya Agha memotong perkataan Joya.Joya menghela napasnya sambil wajahnya bergerak mendekati pundak Agha, "Sayang, jangan menyisakan makanan yang aku buat. Aku, sudah bersusah-payah memasakkannya untukmu," ucap Joya dengan mencium pundak Agha.Agha terdiam dengan melirik ke arah Joya, ia terkejut dengan perlakuan Joya yang tiba-tiba kepadanya, "apa yang kau lakukan?" tukas Agha, saat tangan Joya bergerak merangkul lengannya."Dengarkan baik-baik! Ada ses