"Apa itu?" tanya Clara.
"Aku akan menghasut hakim agar tidak menjatuhkan hukuman padamu." Clara mendengkus.
"Dengan bukti yang sudah jelas, kau ingin membuat hakim tidak menjatuhkan hukuman padaku? Khe, yang benar saja," ujar Clara sarkas.
"Apa salahnya? Toh, aku punya bukti yang asli." Clara memiringkan wajahnya dan tersenyum miring.
"Bukti apa? Bukti jika pamankulah yang membunuh ayahku?" Vincent mengangguk.
"Sebelum CCTV dihapus, orang kepercayaanku menyalin rekamannya dan menyerahkannya padaku." Clara menyilangkan tangan dan kakinya.
"Menarik. Kuakui kau berani bertindak sejauh itu tanpa sepengetahuan pamanku." Vincent tersenyum.
"Jika bukan kepercayaan tinggi pamanmu itu, aku tidak akan bisa melakukannya." Clara ber oh ria.
"Pamanku percaya padamu? Itu artinya, kau bersekutu dengan pamanku. Aku tidak yakin kita bisa bekerja sama. Permisi." Clara hendak bangkit namun, tangannya ditahan oleh Vincent.
"Kita punya tujuan yang sama, Clara. Meski bersekutu dengannya, aku hanya ingin menghancurkannya Alvin beserta keluarganya dari dekat. Tapi, aku tidak bisa melakukannya tanpa bantuanmu. Mari kita bekerja sama untuk menghancurkan Alvin." Clara menyeringai.
"Baiklah, kita kerja sama mulai sekarang," ujar Clara. Ia dan Vincent bersalaman.
"Deal," jawab Vincent.
Skip Time
Clara meminta seorang sipir untuk meninggalkannya sendiri dan menggunakan telepon kantor sipir untuk menghubungi seseorang.
Albert mengangkat alisnya saat merasakan ponselnya berbunyi. Ia tidak melihat nama pemanggil namun, instingnya memaksa dirinya untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Halo," sapa Albert.
"Halo, Paman. Ini aku, Clara." Albert bangkit dari kursi saat sang pemanggil menyebut namanya.
"Clara ... bagaimana bisa?" tanya Albert dengan nada terkejut.
"Seseorang menawarkan bantuan padaku untuk membalas dendam, Paman," jawab Clara.
"Siapa orang itu? Kuharap, kau jangan cepat percaya padanya, Clara." Clara tersenyum tipis.
"Paman tenang saja. Aku tidak terlalu percaya padanya. Aku menghubungimu untuk meminta tolong, mencari tahu tentangnya. Namanya, Vincent." Albert mengernyitkan dahi.
"Vincent?" ujarnya.
"Yah, Vincent. Dia mengaku sebagai putra angkat ayahku, Paman. Karena aku tidak terlalu yakin, aku ingin Paman mencari tahu semua tentangnya."
"Baiklah, Paman akan mencari tahu. Tapi, jika memang dia bukan orang baik. Apa yang akan kau lakukan, Clara?" Clara menyeringai.
"Entah dia baik atau tidak, aku hanya ingin memanfaatkannya untuk semua rencanaku." Albert menghembuskan napas lega karena Clara tidak sebodoh dan senaif itu.
"Baguslah. Paman pikir, kau akan mudah percaya padanya." Clara mendengkus.
"Ayahku memiliki musuh, Paman. Otomatis, aku juga memiliki musuh. Aku tidak bisa percaya begitu saja terlebih pada orang yang baru kukenal." Albert tidak menjawab melainkan tersenyum bangga.
"Hm ... setelah kau bebas, Paman ingin kau dan Felix bekerja sama untuk menyergap bisnis ilegal milik Alvin. Apa kau sanggup?" Clara seketika terbingung mendengarnya.
"Bukankah seharusnya misi itu dilaksanakan oleh Felix dan Naomi?" Albert menggeleng.
"Tidak usah bahas soal Naomi. Dia akan menjadi beban dalam misi ini. Mungkin saja, dia akan memenjarakan Felix demi keuntungannya sendiri." Clara tertawa mendengarnya.
"Aku yakin, dia tidak akan memenjarakan Felix melainkan, dia akan membuat Felix merelakan nyawa untuknya." Albert mengangkat sebelah alisnya.
"Kenapa berkata seperti itu?" tanya Albert.
"Naomi sangat menyukai Felix. Dia akan melakukan segala cara agar bisa bersama Felix, termasuk menyingkirkanku dari mansionmu." Albert terkejut mendengar perkataan Clara di akhir.
"Kau tahu jika Naomi melaporkanmu?" Clara tersenyum miring.
"Tidak susah untuk menebak gerak-geriknya, Paman. Sejak awal, dia tidak menyukai keberadaanku."
"Yah, Paman bisa melihat itu. Paman tidak bisa membiarkannya pergi bersama kalian berdua. Paman harap, kau bebas secepatnya."
"Paman tenang saja. Vincent akan membuatku bebas segera dari sini." Clara menyeringai setelah mengucapkan itu.
"Yah, semoga saja itu benar. Sudah dulu ya, Paman masih ada pekerjaan."
"Baiklah Paman, sampai berjumpa." Panggilan telepon telah berakhir, Clara kembali ke penjara.
Flashback....
"Baiklah, kita kerja sama mulai sekarang," ujar Clara. Ia dan Vincent bersalaman.
"Deal," jawab Vincent. Setelah itu, mereka terdiam sebentar sebelum Clara mengisi keheningan di antara mereka.
"Apa kau benar-benar akan membebaskanku dari penjara ini?" tanya Clara.
"Kau tidak percaya padaku?" tanya Vincent balik.
"Tentu saja. Kita baru kenal, bukan tidak mungkin kau akan menjebakku setelah ini." Vincent tertawa melihat ekspresi lucu Clara.
"Tenang saja. Aku tidak akan melakukannya. Jika aku melakukannya, kau boleh membunuhku." Clara mengangguk tak yakin.
"Karena kita akan bekerja sama, kau boleh meminta apapun padaku."
"Apapun?" Vincent mengangguk.
"Aku ingin tiga gadis itu dipindahkan ke penjara lain. Lalu, gadis yang bernama Naomi. Aku tahu, dia yang melaporkanku pada polisi." Vincent terkejut mendengarnya.
"Tahu dari mana?" tanya Vincent. Diam-diam, dia mengagumi Clara.
"Tidak sulit. Kebenciannya terhadapku membuatku bisa menebak apa yang direncanakannya, setelah menonton berita." Rasa kagum itu pun, akhirnya semakin besar.
"Menarik ... Kau mau aku apakan dia?" tanya Vincent sambil menangkup kedua tangan di dagunya.
"Simple. Ambil kembali uang yang ia dapatkan dan sumbangkan di panti asuhan." Vincent menjentikkan jarinya.
"Itu sangat mudah. Ada lagi?" Clara menggeleng.
"Itu sudah cukup." Vincent mengangguk.
"Hm ... senang bertemu denganmu, Clara. Aku pergi dulu...."
"Sampai bertemu lagi," ujar Clara.
End of Flashback....
"Maaf menunggu lama, Calista." Calista yang sedang memainkan ponsel pun tersentak dan menatap Vincent.
"Vincent, kemana saja kau? Aku dari tadi menunggumu di sini. Padahal, kau berjanji akan datang tepat waktu dan berkencan hari ini. Tapi, kau sendiri yang melanggar janjimu." Vincent terkekeh saat melihat Calista memajukan bibirnya.
"Maafkan aku, sayang. Aku tidak bermaksud melanggar janjiku tapi, aku terpaksa. Ayahmu memanggilku mendadak untuk menggantikannya sebentar di kantor karena beliau ada pertemuan dengan klien." Vincent tidak sepenuhnya berbohong. Ia memang pergi ke kantor untuk menggantikan Alvin sebelum pergi menjenguk Clara di penjara.
Calista tidak menghiraukan ucapan Vincent dan masih bertahan dengan mode cemberutnya itu.
"Hei, sayang. Jangan marah dong, nanti cantiknya hilang. Sekali lagi maafkan aku, ya. Aku melakukan ini juga untuk masa depan kita. Jika aku tidak bekerja, bagaimana dengan masa depan rumah tangga kita nanti?" Calista pun menghilangkan mode cemberutnya itu dan menatap sendu Vincent.
"Maafkan aku, Vincent. Aku sudah egois dan tidak pengertian. Aku janji, aku tidak akan marah lagi padamu meski kau datang terlambat." Vincent tersenyum dan mengusap wajah Calista yang putih itu.
"Tidak apa-apa. Aku juga yang salah karena tidak menepati janji. Setahun lagi, kau lulus kuliah. Bagaimana dengan berlibur ke luar negeri? Ke Amerika, Australia, atau Singapura, mungkin?" Calista yang mendengarnya pun langsung berbinar.
"Aku mau. Selama ini, aku tidak pernah jalan-jalan kemanapun karena Papa tidak mengizinkanku," ujar Calista senang. Vincent pun ikut tersenyum tatkala Calista bahagia.
'Andai saja kau bukan putri Tuan Alvin, aku pasti akan mencintaimu dengan tulus tanpa adanya dendam." Tatapan Vincent semakin sendu meski bibirnya tersenyum.
'Maafkan aku, Calista.'
TBC
Kejadian sebelum Clara menghubungi Albert dari penjara.... Di kamar bak istana, Naomi terlihat senang dan heboh sendiri. Ia senang, karena Clara tidak ada lagi di hadapannya. "Akhirnya, tidak ada lagi pengganggu antara aku dan Felix. Selamat menikmati penderitaanmu di penjara, Clara. Bukan itu saja, aku juga mendapat banyak uang berkat itu. Ah, senangnya...." Naomi memeluk ponselnya dan berbaring di kasus queen sizenya. "Belanja apa ya hari ini? Hah, sudah sekian lama aku tidak kemana-mana dan tidak belanja keluar. Ow, kulitku yang malang ... berkat latihan itu kulitku menjadi kasar. Setidaknya, aku bisa belanja online." Naomi membuka aplikasi belanja pada ponselnya dan melihat benda menarik di sana. Tanpa disadari oleh Naomi, Felix mengintip dari celah pintu dengan tatapan bak elang. Tok, tok, tok.... "Masuk!" Pintu terbuka, Felix berjalan masuk ke ruangan Albert.
Kembali pada kejadian setelah Clara menghubungi Albert Clara kini tinggal sendirian di penjara. Berkat Vincent, Clara sedikit lebih leluasa untuk menghubungi Albert dan juga lebih leluasa untuk melakukan apapun di penjara. Bahkan, para sipir sangat ramah padanya meskipun tak ada ketulusan dibaliknya. Tiga orang gadis yang mencari masalah dengannya telah dipindahkan di penjara lain. Meski begitu, ia merasa kesal lantaran ia harus di penjara atas kesalahan orang lain. Terlebih, pembunuh ayahnya sendirilah yang menjebloskannya. "Tidak apa-apa, ini baru dimulai. Akan kuikuti permainanmu, Paman Alvin." Clara meremat koran yang ia baca sebelumnya. Koran tersebut menceritakan betapa hebatnya Alvin dalam mengelola perusahaan hingga mendapatkan penghargaan. Tak ada yang tahu, jika perusahaan itu milik ayahnya yang direnggut paksa oleh pamannya dengan cara yang tak semestinya. "Nona Clara, ada seseorang yang ingin bertemu dengan anda." Clara mend
Keesokan harinya, Albert kembali datang untuk membesuk Clara. Namun, ia urungkan niatnya sebentar tatkala melihat Vincent mendatangi kantor polisi. Ia mengalihkan langkahnya menuju kafe di seberang kantor polisi dan memesan kopi di sana. "Paman, bukankah Paman ingin ke kantor Polisi?" Albert mendongak dan menatap Felix yang menjulang tinggi di hadapannya karena berada dalam posisi berdiri. "Ada seseorang yang menemui Clara dan Paman tidak ingin mengganggunya." Felix mengernyit penasaran. Ia pun duduk di kursi dan ingin mendengar lebih lanjut mengenai seseorang yang menemui Clara. "Siapa dia, Paman?" tanya Felix. "Vincent Alexander. Dia anak angkat David, ayah kandung Clara." Felix membelalak. "Lalu, apa dia tahu jika Tuan David meninggal?" Albert mengangguk ragu. "Kurasa, ia mengetahuinya. Tidak mungkin pemuda itu mengajak Clara bekerja sama untuk menghancurkan Alvin tanpa mengetahuinya. Hanya saja, Paman belum bisa percaya sepenuhnya
"Hm ... sepertinya, aku mengenal tulisan ini," ujar Vincent. "Kau mengenali tulisan itu? Beritahu aku siapa orangnya!" perintah Alvin yang tak sabaran. "Aku memang mengenal tulisan ini tapi, bukan berarti aku tahu siapa yang menulisnya. Aku hanya merasa familiar saja, Ayah." Alvin menghela napas kesal. Calon menantunya ini suka sekali menjahilinya di situasi darurat. "Kalau begitu, cari tahu sesegera mungkin dan laporkan padaku jika kau menemukannya." Vincent mengangguk. "Beri aku waktu untuk mencari pelakunya, Paman," pinta Vincent. "Baiklah, kupercayakan semuanya padamu." Vincent membungkuk dan keluar dari ruangan Alvin. "Eh, ada Nak Vincent. Kau habis bertemu dengan suamiku, ya?" Vincent membungkuk hormat dan tersenyum manis pada calon ibu mertuanya ini. "Iya, Bu. Ayah bilang, ia baru saja diteror seseorang. Aku ditugaskan untuk mencari tahu, siapa peneror itu." Risa ber oh ria. "Berarti, kau akan sibuk ya?" tanya Risa. "Yah, begitulah. Aku akan sibuk beberapa hari ke depan
"Kurasa, dia menggunakan alat pelacak untuk mengikutimu. Kita harus membungkam mulutnya agar tidak ada yang tahu jika aku masih hidup." Vincent mengangguk. "Kita harus menunggunya selesai bertarung dan membuatnya pingsan untuk sementara waktu," sambung David. "Khe, akui saja jika tubuh kalian itu lemah. Tubuh penuh lemak kalian banggakan tapi, melawan tiang listrik saja tidak bisa." Felix tertawa bak psikopat setelah menghina kemampuan bertarung kedua bodyguard itu. "K-kurang ajar kau bocah!!!" Salah satu bodyguard itu menggeram menahan sakit dan amarah. Tidak mereka sangka, Felix memiliki tenaga yang besar dibalik tubuhnya yang tak sebanding dengan ukuran mereka. "Tidak usah mengamuk di saat tak berdaya, Tuan. Tubuh anda akan semakin sakit jika banyak bergerak. Tidurlah dengan nyaman dan beristirahatlah dengan tenang." Tanpa Felix sadari, ada dua orang yang menatapnya intens di belakang. "Cukup, anak muda!" Suara tegas di belakang
"Clara tidak akan marah jika mendengar langsung dari anda, Tuan David." David tersenyum tipis. "Semoga saja." David menyandarkan tubuhnya di sofa. Keheningan melanda ketiga pria di ruang tamu tersebut hingga suara ponsel Felix memecah keheningan. Felix mengambil ponsel di saku celananya dan menatap nama pemanggil. "Aku angkat dulu teleponnya, permisi." David dan Vincent mengangguk mempersilakan. "Halo, Paman," sapa Felix. "Halo, Felix. Kenapa lama sekali perginya? Bukankah tugasmu hanya mengikuti Vincent dan memberikan informasi padaku?" Felix menatap David dan Vincent lalu menjawab, "Maaf Paman, bodyguard Vincent menyerangku dan Vincent mengetahuinya. Vincent melerai pertarungan kami dan membuatku pingsan lalu, memaksaku untuk mengakui semuanya. Mau tidak mau, aku mengakui jika kau menyuruhku untuk mengikutinya." Setelah mengucapkan itu, Felix meringis mendengar umpatan Albert. "Sh*t, kenapa sampai ketahuan?! Buka
Flashback Kehidupan Alvin Di Masa Lalu.... Alvin saat itu baru pulang kuliah dan melewati kamar sang ayah yang sedikit terbuka. Ia menghentikan langkahnya dan mendapati sang ayah berbicara dengan David, saudara angkatnya. 'Apa yang mereka bicarakan? Kenapa aku penasaran sekali?' tanya batinnya. Biasanya, ketika sang ayah dan David berbicara berdua, Alvin tidak pernah mempedulikan itu. Namun, hatinya terdorong untuk mencari tahu. "David, uhuk... Ayah ingin kau mewarisi sebagian harta warisanku uhuk...," David langsung memberi minum pada sang ayah. "Minum dulu, Ayah." Sang ayah minum dengan perlahan dan melanjutkan, "Gunakanlah sebagian harta warisanmu untuk buka usaha dan sumbanglah beberapa untuk panti asuhan. Ayah ingin kau menggunakannya untuk kebaikan." "Tapi Ayah, kenapa harus aku? Kenapa tidak kau wariskan saja padanya?" tanya David bingung. Sejujur
Kekasih Lydia yang mendengar itu pun mengambil botol wine dan melayangkan botol wine tersebut ke kepala Alvin. Happ.... Tak disangka, Alvin dengan sigap menangkap tangan kekasih Alvin dan merebut botol tersebut. Crashhhh.... "AAAAHHHH!!!!" Lydia berteriak saat sang kekasih tergeletak bak ikan kehabisan napas. Alvin menebas leher kekasih Lydia dan membuatnya sekarat. Alvin menyeringai menatap hasil karyanya. Kekasih Lydia tergeletak bersimbah darah. "Ti-tidak hiks... kekasihku tidak mungkin mati hiks... bangun sayang hiks... jangan tinggalkan aku hiks...," isak Lydia sambil menggerakkan tubuh tak bernyawa kekasihnya. Lydia menatap tajam pada Alvin. Tidak ia sangka, bencana melanda hidupnya setelah menggoda Alvin. "Hiks... kupastikan kau di penjara, Tuan! Kau telah membuat kekasihku mati, keparat
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&
Calista bersama kedua temannya berjalan menuju gerbang. Senyuman manis masih membingkai di antara mereka bertiga yang sedang berbincang. "Maaf ya, teman-teman, aku tidak bisa ikut kalian ke spa. Soalnya aku dijemput." Salah satu teman Calista yang bernama Rani tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cal, masih ada lain hari." "Cie yang mau kencan," goda teman Calista yang satu lagi. Dia bernama Annisa. "Apaan sih!" ujar Calista malu. Wajahnya menampakkan rona seperti blush on di kedua sisi wajahnya. Tin Tin.... Suara klakson mobil membuat Calista dan kedua temannya menoleh. "Tuh, sudah dijemput pacar." Kali ini, giliran Rani yang menggoda. "Hei, hentikan! Jangan menggodaku terus!" Calista berbalik dan masuk ke mobil tersebut, lalu dia melambaikan tangannya pada kedua temannya. "Sampai ketemu besok, teman-teman." "Bye, Calista. Selamat menikmati waktu indah dengan pacar." Kali ini, Rani dan A
"Vincent, kirimkan orang untuk mengawasi hakim itu!" perintah Alvin. Vincent pun menatap bingung. "Memangnya ada apa dengan hakim itu, Pa?" Panggilan Vincent terhadap Alvin berubah atas permintaan Alvin sendiri. Dia tidak ingin calon menantunya ini memakai panggilan formal padanya. Alvin menatap lurus ke depan. "Papa curiga kalau hakim itu tidak akan menuruti perintah Papa. Jika hakim itu memang tidak menuruti perintah Papa, dia harus mati saat itu juga." "Baiklah, aku akan mengirim orang kepercayaanku." Alvin mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak perlu waktu lama, Vincent telah mematikan panggilan tersebut. Kemudian, Alvin dan supir mengantar Alvin ke kantor, sementara dirinya harus menjemput Calista pulang dari kampus. Sementara di tempat Clara, David dan Felix telah sampai di lapas David turun dari mobil dan masuk ke lapas. Mereka menunggu penjaga lapas untuk mengeluarkan Clara agar bisa bertemu dengannya. Hampir saja mata Da
Keesokan paginya, David masih berkutat dengan penampilannya. Di usianya yang sudah paruh baya, David masih terlihat tampan dan pesonanya tidak dapat dikalahkan. Kali ini, dia harus menyamar agar sulit dikenali oleh Albert dan Clara. Pasalnya, David, Vincent dan Felix berencana ingin memberi kejutan pada Albert dan Clara. Dalam hati David berharap semoga Clara dan Albert tidak mengenalinya agar rencana ini lancar."Ayah, apa kau sudah siap?" tanya Vincent mendatangi kamar sang ayah. Dia terpaku menatap penampilan sang ayah yang berkarisma. "Kau benar-benar keren, Ayah. Kau sudah seperti pengacara sungguhan.""Benarkah? Apa mereka tidak akan mengenaliku?" tanya David ragu.Vincent tersenyum dan menepuk pundak tegap sang ayah. "Tenang, Ayah. Kupastikan mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku.""Baiklah kalau begitu. Apa kau akan ikut?" tanya David.Tiba-tiba, wajah Vincent tertekuk. "Maaf, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa. Aku harus kemb