Kekasih Lydia yang mendengar itu pun mengambil botol wine dan melayangkan botol wine tersebut ke kepala Alvin.
Happ....
Tak disangka, Alvin dengan sigap menangkap tangan kekasih Alvin dan merebut botol tersebut.
Crashhhh....
"AAAAHHHH!!!!" Lydia berteriak saat sang kekasih tergeletak bak ikan kehabisan napas. Alvin menebas leher kekasih Lydia dan membuatnya sekarat.
Alvin menyeringai menatap hasil karyanya. Kekasih Lydia tergeletak bersimbah darah.
"Ti-tidak hiks... kekasihku tidak mungkin mati hiks... bangun sayang hiks... jangan tinggalkan aku hiks...," isak Lydia sambil menggerakkan tubuh tak bernyawa kekasihnya.
Lydia menatap tajam pada Alvin. Tidak ia sangka, bencana melanda hidupnya setelah menggoda Alvin.
"Hiks... kupastikan kau di penjara, Tuan! Kau telah membuat kekasihku mati, keparat
Wah, gk nyangka banget bakalan panjang masa lalunya Alvin. Para pembaca harap bersabar sebelum ke konfliknya ya... karena, chapter selanjutnya mungkin akan menjadi part terakhir dari masa lalu Alvin. Terkadang, pikiran dan keinginan tidak bisa singkron. So, hope the best ajalah. See you next time
"Ayah!!!" David berteriak memanggil sang ayah tatkala ia melihat sang ayah tergeletak di lantai. Ia bergegas menghampiri sang ayah tanpa menyadari Alvin yang berdiri mematung di sana. "Ayah, apa yang terjadi denganmu?" tanya David khawatir sambil mengguncang tubuh sang ayah. Ia takut jika hal buruk terjadi pada sang ayah apalagi, penyakit jantung sang ayah sering kambuh akhir-akhir ini. Ia melirik ke berbagai arah dan mendapati Alvin yang masih mematung. "Alvin!" panggil David cukup keras, membuat Alvin tersadar. "A-Ayah! Apa yang terjadi denganmu, Ayah?! Ayah!!!" Alvin terduduk di sebelah David dan menggerakkan tubuh sang ayah. Sayangnya, hal itu sia-sia karena sang ayah telah kehilangan kesadarannya. "Alvin, kita harus membawa Ayah ke rumah sakit sekarang," ujar David dan dijawab anggukan oleh Alvin. Mereka membopong tubuh ayah ke mobil dan menuju ke rumah sakit. "Penyakit jantung aya
3 tahun sudah berlalu sejak kematian sang ayah. Alvin bekerja di kafe sebagai tukang cuci piring dan sungguh menikmatinya. Namun, tak bisa dipungkiri kehidupannya sekarang jauh dari kata mudah. Ia harus berhenti kuliah karena tidak mampu membayar uang semester. Bahkan, ia hanya memakan mie instan sehari sekali setiap harinya. "Nih, cucian tambah lagi! Jika kinerjamu lamban seperti ini, lebih baik tidak usah kerja lagi!" bentak pemilik kafe tersebut. Alvin membungkuk pada pemilik kafe tersebut. "Ma-maaf, Pak. Saya akan lebih cepat mencuci hari ini. Saya mohon... jangan pecat saya." Pemilik kafe tersebut mendengkus remeh. "Kau selalu bicara begitu tiap tahun! Tapi kenyataannya, kinerjamu tidak ada kemajuan sama sekali! Kau tahu tidak, pelangganku selalu marah karena pesanannya selalu telat dan kau tahu karena apa? Karena kelambananmu dalam mencuci piring, paham?!" Alvin kembali membungkuk dan meminta maaf la
1. Clara Alexander (20 tahun) Seorang gadis yang ingin membalas dendam atas kematian ayahnya. Dia ingin merebut kembali perusahaan sang ayah yang telah dikembangkan dengan susah payah. Jika bukan karena diselamatkan oleh seseorang yang bernama Albert, ia pasti akan bernasib sama seperti ayahnya. Selama tiga tahun, ia dilatih menjadi tangguh agar bisa mengalahkan pamannya. Pamannya adalah penyebab kematian sang ayah. Karakter Clara awalnya ceria namun sekarang, tidak karena kematian ayahnya. 2. Alvin Alexander (48 tahun) Alvin Alexander merupakan ketua mafia dan dia juga telah membunuh banyak orang termasuk David. Mereka berdua merupakan saudara angkat dan memiliki hubungan baik awalnya. Namun, ketika sang ayah memutuskan mewariskan harta warisan dan perusahaan pada David, ia marah dan melampiaskan semuanya dengan meminum alkohol. Ia telah membunuh sepasang kekasih karena mereka mengganggunya lalu, bertengkar dengan ayahny
Satu minggu kemudian, Alvin memulai hari pertamanya bekerja di perusahaan Arsenio Group. Ia bekerja sebagai asisten pribadi Jack. Jack mengumpulkan para pegawainya di aula, sementara ia berdiri di panggung. "Selamat pagi semuanya... hari ini kita kedatangan pegawai baru. Dia akan menjadi asisten pribadi saya mulai hari ini. Saya harap, kalian menghormatinya seperti menghormati saya. Meski sebagai asisten pribadi, dia memiliki tanggung jawab yang besar seperti saya." Jack menatap Alvin dari atas ke bawah. Alvin terlihat tampan dan gagah dengan kemeja putih ditutupi jas tersebut. "Tidak perlu berlama-lama lagi... perkenalkan, namanya Alvin Alexander." Mendengar nama Alexander seluruh pegawai tertegun dan mulai bergosip satu sama lain. "Apakah dia anak Tuan Alexander? Bukankah Alexander Group bekerja sama dengan perusahaan ini?" tanya pegawai A. Pegawai B menjawab, "Itu artinya, dia bukan orang sembarangan. Kita tidak b
"Katakan padaku, kenapa Tuan Jack ingin bertemu denganku? Bukankah dia ada urusan yang harus diselesaikan?" tanya Alvin yang kini berada di mobil. Ia tidak tahu menahu akan dibawa kemana oleh dua pria ini meski Jack memintanya untuk bertemu dengannya. "Kenapa kalian diam saja? Apa yang terjadi pada Tuan Jack?" "Kau akan tahu ketika sampai, Tuan Alvin. Dari pada banyak bertanya, lebih baik kutidurkan saja kau." Salah satu bodyguard itu mengeluarkan jarum suntik dan menancapkan jarum suntik itu ke leher Alvin. Alvin meringis sebentar dan matanya pun terpejam perlahan. Alvin mengerang pelan dan membuka matanya lalu, menggerakkan tubuhnya. Sangat disayangkan tubuhnya tak dapat digerakkan karena terikat di sebuah kursi. Ia meronta berusaha melepaskan diri namun, sebuah suara menghentikan kegiatannya. "Kau akan semakin sakit jika bergerak terus, nak...." "Siapa kau?!" Alvin bertanya dengan suara keras.
Awan-awan berkumpul dan rintik hujan mulai turun untuk mendukung suasana sedih di pemakaman. Alvin menatap sendu pemakaman sementara Risa menatap kosong kepergian sang ayah. Semua orang menyatukan tangan mereka dan mendoakan kepergian Jack ke alam setelah kehidupan. Di tengah-tengah doa, Risa menatap Alvin dan membuka suaranya, "Ayahku pasti mengatakan sesuatu sebelum pergi, kan?" Alvin membuka matanya dan menatap Risa. "Hn." Ia menanggapi pertanyaan Risa dengan bergumam. "Apa yang ayahku katakan?" tanya Risa. Alvin menghela napasnya. Ia bermaksud untuk melupakan ucapan Jack sementara waktu namun, ia kembali diingatkan mengenai itu. Ia tidak mungkin mengabaikan pertanyaan itu, terlebih pada putri Jack. "Tuan Jack memintaku untuk menggantikannya menjadi pemimpin perusahaan dan ketua mafia untuk menjagamu. Ayahmu juga memintaku untuk menikahimu sebelum beliau pergi." Risa tersenyum
Seminggu telah terlewati, Alvin telah menunjukkan kualitas dirinya sebagai ketua mafia. Dibekali dengan latihan keras oleh Bastian dan tidak sampai seminggu, ia sudah mampu menandingi Bastian. Ia juga telah mengalahkan beberapa musuh Jack yang mengincar nyawa Risa. Sebentar lagi, mereka akan menikah karena Alvin sudah mengurus semuanya. Namun sepertinya, sesuatu yang tidak diinginkan akan menggagalkan semua rencananya dalam seminggu. Seorang maid berteriak kencang hingga membuat Alvin dan Bastian terperanjat. "Tuan!!! Gawat, Nona Risa menghilang!!!" teriak maid dengan segala tingkah hebohnya. "Apa???" Alvin bangkit berdiri dan menggebrak meja makan. Beruntung, meja makan tersebut sangat kuat hingga mampu menahan pukulan keras Alvin. "Tenanglah Alvin, jangan membuat kehebohan yang tak perlu. Cukup maid ini saja yang heboh, ya," ujar Bastian santai. Alvin menatap horror Bastian. "Bagaimana aku bi
Seminggu setelah kematian Bastian, Alvin dan Risa menikah tanpa acara yang mewah. Hanya mereka berdua beserta beberapa bodyguard yang hadir sebagai penjaga sekaligus saksi pernikahan mereka. Awalnya, mereka akan menikah sehari setelah kejadian Risa diculik. Namun, mereka mengundurkan pernikahan mereka karena kematian Bastian. Saat itu, mereka masih berada di situasi berkabung, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka menikah di esok harinya. "Saudara Alvin Alexander, anda siap menikahi saudari Risa baik suka maupun duka, sehat atau sakit, dan kaya atau miskin?" Seorang pendeta itu bertanya pada Alvin. Perlu diketahui, mereka menikah di gereja yang tidak terpakai dan menyewa pendeta dengan biaya yang tidak sedikit. Alasannya, mereka tidak ingin ada yang menyerang mereka secara tiba-tiba, mengingat profesi Alvin sekarang. Mereka pastinya masih memiliki musuh yang akan menjatuhkan mereka kapan saja, sehingga pernikahan ini sangatlah tertutup. Semua itu demi k
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&
Calista bersama kedua temannya berjalan menuju gerbang. Senyuman manis masih membingkai di antara mereka bertiga yang sedang berbincang. "Maaf ya, teman-teman, aku tidak bisa ikut kalian ke spa. Soalnya aku dijemput." Salah satu teman Calista yang bernama Rani tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cal, masih ada lain hari." "Cie yang mau kencan," goda teman Calista yang satu lagi. Dia bernama Annisa. "Apaan sih!" ujar Calista malu. Wajahnya menampakkan rona seperti blush on di kedua sisi wajahnya. Tin Tin.... Suara klakson mobil membuat Calista dan kedua temannya menoleh. "Tuh, sudah dijemput pacar." Kali ini, giliran Rani yang menggoda. "Hei, hentikan! Jangan menggodaku terus!" Calista berbalik dan masuk ke mobil tersebut, lalu dia melambaikan tangannya pada kedua temannya. "Sampai ketemu besok, teman-teman." "Bye, Calista. Selamat menikmati waktu indah dengan pacar." Kali ini, Rani dan A
"Vincent, kirimkan orang untuk mengawasi hakim itu!" perintah Alvin. Vincent pun menatap bingung. "Memangnya ada apa dengan hakim itu, Pa?" Panggilan Vincent terhadap Alvin berubah atas permintaan Alvin sendiri. Dia tidak ingin calon menantunya ini memakai panggilan formal padanya. Alvin menatap lurus ke depan. "Papa curiga kalau hakim itu tidak akan menuruti perintah Papa. Jika hakim itu memang tidak menuruti perintah Papa, dia harus mati saat itu juga." "Baiklah, aku akan mengirim orang kepercayaanku." Alvin mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak perlu waktu lama, Vincent telah mematikan panggilan tersebut. Kemudian, Alvin dan supir mengantar Alvin ke kantor, sementara dirinya harus menjemput Calista pulang dari kampus. Sementara di tempat Clara, David dan Felix telah sampai di lapas David turun dari mobil dan masuk ke lapas. Mereka menunggu penjaga lapas untuk mengeluarkan Clara agar bisa bertemu dengannya. Hampir saja mata Da
Keesokan paginya, David masih berkutat dengan penampilannya. Di usianya yang sudah paruh baya, David masih terlihat tampan dan pesonanya tidak dapat dikalahkan. Kali ini, dia harus menyamar agar sulit dikenali oleh Albert dan Clara. Pasalnya, David, Vincent dan Felix berencana ingin memberi kejutan pada Albert dan Clara. Dalam hati David berharap semoga Clara dan Albert tidak mengenalinya agar rencana ini lancar."Ayah, apa kau sudah siap?" tanya Vincent mendatangi kamar sang ayah. Dia terpaku menatap penampilan sang ayah yang berkarisma. "Kau benar-benar keren, Ayah. Kau sudah seperti pengacara sungguhan.""Benarkah? Apa mereka tidak akan mengenaliku?" tanya David ragu.Vincent tersenyum dan menepuk pundak tegap sang ayah. "Tenang, Ayah. Kupastikan mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku.""Baiklah kalau begitu. Apa kau akan ikut?" tanya David.Tiba-tiba, wajah Vincent tertekuk. "Maaf, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa. Aku harus kemb