Satu minggu kemudian, Alvin memulai hari pertamanya bekerja di perusahaan Arsenio Group. Ia bekerja sebagai asisten pribadi Jack. Jack mengumpulkan para pegawainya di aula, sementara ia berdiri di panggung.
"Selamat pagi semuanya... hari ini kita kedatangan pegawai baru. Dia akan menjadi asisten pribadi saya mulai hari ini. Saya harap, kalian menghormatinya seperti menghormati saya. Meski sebagai asisten pribadi, dia memiliki tanggung jawab yang besar seperti saya." Jack menatap Alvin dari atas ke bawah. Alvin terlihat tampan dan gagah dengan kemeja putih ditutupi jas tersebut. "Tidak perlu berlama-lama lagi... perkenalkan, namanya Alvin Alexander."
Mendengar nama Alexander seluruh pegawai tertegun dan mulai bergosip satu sama lain. "Apakah dia anak Tuan Alexander? Bukankah Alexander Group bekerja sama dengan perusahaan ini?" tanya pegawai A.
Pegawai B menjawab, "Itu artinya, dia bukan orang sembarangan. Kita tidak b
Yey, update lagi. Jangan lupa baca dan tekan tombol likenya ya teman-teman. Jika tidak mau juga tidak apa-apa. Saya juga mengharapkan apresiasi dari teman-teman dengan membuka bab cerita saya yang telah terkunci. Jika tidak mau juga tidak apa-apa, saya tidak akan memaksa. Tapi, saya memerlukan penilaian dari teman-teman sekalian agar bisa membuat cerita lebih baik lagi kedepannya. Tanpa readers, saya bukanlah siapa-siapa dan mari kita semuanya berteman, ya. Bye....
"Katakan padaku, kenapa Tuan Jack ingin bertemu denganku? Bukankah dia ada urusan yang harus diselesaikan?" tanya Alvin yang kini berada di mobil. Ia tidak tahu menahu akan dibawa kemana oleh dua pria ini meski Jack memintanya untuk bertemu dengannya. "Kenapa kalian diam saja? Apa yang terjadi pada Tuan Jack?" "Kau akan tahu ketika sampai, Tuan Alvin. Dari pada banyak bertanya, lebih baik kutidurkan saja kau." Salah satu bodyguard itu mengeluarkan jarum suntik dan menancapkan jarum suntik itu ke leher Alvin. Alvin meringis sebentar dan matanya pun terpejam perlahan. Alvin mengerang pelan dan membuka matanya lalu, menggerakkan tubuhnya. Sangat disayangkan tubuhnya tak dapat digerakkan karena terikat di sebuah kursi. Ia meronta berusaha melepaskan diri namun, sebuah suara menghentikan kegiatannya. "Kau akan semakin sakit jika bergerak terus, nak...." "Siapa kau?!" Alvin bertanya dengan suara keras.
Awan-awan berkumpul dan rintik hujan mulai turun untuk mendukung suasana sedih di pemakaman. Alvin menatap sendu pemakaman sementara Risa menatap kosong kepergian sang ayah. Semua orang menyatukan tangan mereka dan mendoakan kepergian Jack ke alam setelah kehidupan. Di tengah-tengah doa, Risa menatap Alvin dan membuka suaranya, "Ayahku pasti mengatakan sesuatu sebelum pergi, kan?" Alvin membuka matanya dan menatap Risa. "Hn." Ia menanggapi pertanyaan Risa dengan bergumam. "Apa yang ayahku katakan?" tanya Risa. Alvin menghela napasnya. Ia bermaksud untuk melupakan ucapan Jack sementara waktu namun, ia kembali diingatkan mengenai itu. Ia tidak mungkin mengabaikan pertanyaan itu, terlebih pada putri Jack. "Tuan Jack memintaku untuk menggantikannya menjadi pemimpin perusahaan dan ketua mafia untuk menjagamu. Ayahmu juga memintaku untuk menikahimu sebelum beliau pergi." Risa tersenyum
Seminggu telah terlewati, Alvin telah menunjukkan kualitas dirinya sebagai ketua mafia. Dibekali dengan latihan keras oleh Bastian dan tidak sampai seminggu, ia sudah mampu menandingi Bastian. Ia juga telah mengalahkan beberapa musuh Jack yang mengincar nyawa Risa. Sebentar lagi, mereka akan menikah karena Alvin sudah mengurus semuanya. Namun sepertinya, sesuatu yang tidak diinginkan akan menggagalkan semua rencananya dalam seminggu. Seorang maid berteriak kencang hingga membuat Alvin dan Bastian terperanjat. "Tuan!!! Gawat, Nona Risa menghilang!!!" teriak maid dengan segala tingkah hebohnya. "Apa???" Alvin bangkit berdiri dan menggebrak meja makan. Beruntung, meja makan tersebut sangat kuat hingga mampu menahan pukulan keras Alvin. "Tenanglah Alvin, jangan membuat kehebohan yang tak perlu. Cukup maid ini saja yang heboh, ya," ujar Bastian santai. Alvin menatap horror Bastian. "Bagaimana aku bi
Seminggu setelah kematian Bastian, Alvin dan Risa menikah tanpa acara yang mewah. Hanya mereka berdua beserta beberapa bodyguard yang hadir sebagai penjaga sekaligus saksi pernikahan mereka. Awalnya, mereka akan menikah sehari setelah kejadian Risa diculik. Namun, mereka mengundurkan pernikahan mereka karena kematian Bastian. Saat itu, mereka masih berada di situasi berkabung, sehingga tidak memungkinkan untuk mereka menikah di esok harinya. "Saudara Alvin Alexander, anda siap menikahi saudari Risa baik suka maupun duka, sehat atau sakit, dan kaya atau miskin?" Seorang pendeta itu bertanya pada Alvin. Perlu diketahui, mereka menikah di gereja yang tidak terpakai dan menyewa pendeta dengan biaya yang tidak sedikit. Alasannya, mereka tidak ingin ada yang menyerang mereka secara tiba-tiba, mengingat profesi Alvin sekarang. Mereka pastinya masih memiliki musuh yang akan menjatuhkan mereka kapan saja, sehingga pernikahan ini sangatlah tertutup. Semua itu demi k
Setibanya Alvin di ruangan, ia mendapati sekretarisnya menunduk ketakutan. Alvin hanya bisa mengernyitkan dahinya bingung. "Ada apa, Ardian?" tanyanya. Sekretaris Alvin yang bernama Ardian itu menatap Alvin penuh ketakutan. "Ma-maaf, Tuan Alvin. Ta-tadi, pihak bank datang untuk menagih hutang pada kita." Mendengar itu, dahi Alvin semakin mengernyit. "Memangnya, kita pernah berhutang pada mereka?" Ardian menggeleng. "Kepala keuangan meminjam uang di bank atas nama perusahaan kita, Tuan." Alvin yang mendengarnya pun terkejut. "Apa? Meminjam uang? Kenapa kau tidak bilang?!" Alvin mengeraskan suaranya di akhir hingga membuat Ardian terperanjat. "Sa-saya juga tidak tahu sebelumnya, Tuan. Saya bahkan baru mendengarnya saat pihak bank datang kemari. Mereka memberi ini kepada saya, Tuan." Ardian berucap terbata-bata dan menyerahkan kertas yang berisi bukti pengeluaran yang dilakukan oleh kep
Beberapa hari yang lalu, Alvin sudah membunuh para investor dan juga pegawainya yang berkhianat. Ia bahkan sempat merasakan puas setelah berpikir jika ia berhasil menuntaskan masalah yang ia hadapi. Namun sayangnya, perusahaannya diambang kehancuran karena kecerobohan yang dianggapnya keberhasilan berbalik menyerangnya. Ia telah membunuh investor yang telah mempercayainya hingga uang untuk pengerjaan proyek terhenti. Uang dari para investor terpaksa ia gunakan untuk membayar seluruh hutang yang dihasilkan pengkhianat. Sekarang, ia hanya bisa mengandalkan bisnis gelap untuk mempertahankan perusahaan milik ayah mertuanya supaya tetap maju. Sejujurnya, ia sudah berjanji pada istrinya agar tidak menggunakan uang yang dihasilkan bisnis gelap. Namun, ia harus mengingkari janjinya agar mereka tidak jatuh miskin. Ia tidak ingin perusahaannya hancur karena kecerobohannya dan berakhir mengecewakan ayah mertuanya di surga. 'Maafkan aku, Ayah, Pa. Aku
"Kenapa, Alvin? Terkejutkah?" Pria berambut oranye itu menyeringai. "Ronald?!" desis Alvin penuh amarah. "Ya, ini aku Ronald. Kau berhasil menyiksaku separah ini, Alvin. Kau membuatku harus memakai berbagai tubuh palsu agar bisa beraktivitas. Tapi tak apa, aku senang bisa membuatmu hancur sekarang." Ronald menyeringai. Bertahun-tahun yang lalu, ia dibuat pingsan oleh Risa, perempuan yang ia sukai. Ia bahkan sempat ditembak dibagian kakinya oleh Alvin. Luka sekecil itu memang tidak membuatnya mati, tetapi siksaan kejam yang diberikan Alvin membuatnya hampir kehilangan nyawa. Ia tidak akan lupa tragedi yang membuat tangan dan kakinya diamputasi. Entah beruntung atau apa, ia diselamatkan oleh orang baik dan orang itu membiayai kaki dan tangan palsu untuknya. Butuh waktu lama baginya untuk menyesuaikan diri dengan kaki dan tangan palsu itu. Setelah terbiasa, ia kembali berjuang untuk menemukan Alvin dan mencoba membunuhnya.
"Maaf." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Alvin. "Alvin, aku tidak butuh kata maafmu, aku butuh penjelasanmu!" bentak Risa yang membuat Alvin mendongak. Biasanya, sang istri tidak pernah memanggilnya nama, melainkan kata sayang. Jika istrinya memanggil namanya, itu artinya sang istri sedang marah. "Arsenio Group bangkrut berkat salah satu pegawaiku yang meminjam uang ke bank dan memakai nama perusahaan. Mau tidak mau, aku harus menggantinya dengan uang perusahaan. Lalu, beberapa investor datang untuk mencabut kerja sama mereka setelah mendengar berita ini," jawab Alvin. Ia menundukkan kepalanya dan tidak berani menatap sang istri. "Ja-jadi, perusahaan yang ayahku bangun susah payah bangkrut?" tanya Risa sedikit terbata. Ia masih dengan berita yang dibawakan Alvin. "Itu artinya, kita akan jatuh miskin ya Ma, Pa?" tanya Calista. Alvin tidak mengangguk dan tidak menggeleng. Ia han
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&
Calista bersama kedua temannya berjalan menuju gerbang. Senyuman manis masih membingkai di antara mereka bertiga yang sedang berbincang. "Maaf ya, teman-teman, aku tidak bisa ikut kalian ke spa. Soalnya aku dijemput." Salah satu teman Calista yang bernama Rani tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cal, masih ada lain hari." "Cie yang mau kencan," goda teman Calista yang satu lagi. Dia bernama Annisa. "Apaan sih!" ujar Calista malu. Wajahnya menampakkan rona seperti blush on di kedua sisi wajahnya. Tin Tin.... Suara klakson mobil membuat Calista dan kedua temannya menoleh. "Tuh, sudah dijemput pacar." Kali ini, giliran Rani yang menggoda. "Hei, hentikan! Jangan menggodaku terus!" Calista berbalik dan masuk ke mobil tersebut, lalu dia melambaikan tangannya pada kedua temannya. "Sampai ketemu besok, teman-teman." "Bye, Calista. Selamat menikmati waktu indah dengan pacar." Kali ini, Rani dan A
"Vincent, kirimkan orang untuk mengawasi hakim itu!" perintah Alvin. Vincent pun menatap bingung. "Memangnya ada apa dengan hakim itu, Pa?" Panggilan Vincent terhadap Alvin berubah atas permintaan Alvin sendiri. Dia tidak ingin calon menantunya ini memakai panggilan formal padanya. Alvin menatap lurus ke depan. "Papa curiga kalau hakim itu tidak akan menuruti perintah Papa. Jika hakim itu memang tidak menuruti perintah Papa, dia harus mati saat itu juga." "Baiklah, aku akan mengirim orang kepercayaanku." Alvin mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak perlu waktu lama, Vincent telah mematikan panggilan tersebut. Kemudian, Alvin dan supir mengantar Alvin ke kantor, sementara dirinya harus menjemput Calista pulang dari kampus. Sementara di tempat Clara, David dan Felix telah sampai di lapas David turun dari mobil dan masuk ke lapas. Mereka menunggu penjaga lapas untuk mengeluarkan Clara agar bisa bertemu dengannya. Hampir saja mata Da
Keesokan paginya, David masih berkutat dengan penampilannya. Di usianya yang sudah paruh baya, David masih terlihat tampan dan pesonanya tidak dapat dikalahkan. Kali ini, dia harus menyamar agar sulit dikenali oleh Albert dan Clara. Pasalnya, David, Vincent dan Felix berencana ingin memberi kejutan pada Albert dan Clara. Dalam hati David berharap semoga Clara dan Albert tidak mengenalinya agar rencana ini lancar."Ayah, apa kau sudah siap?" tanya Vincent mendatangi kamar sang ayah. Dia terpaku menatap penampilan sang ayah yang berkarisma. "Kau benar-benar keren, Ayah. Kau sudah seperti pengacara sungguhan.""Benarkah? Apa mereka tidak akan mengenaliku?" tanya David ragu.Vincent tersenyum dan menepuk pundak tegap sang ayah. "Tenang, Ayah. Kupastikan mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku.""Baiklah kalau begitu. Apa kau akan ikut?" tanya David.Tiba-tiba, wajah Vincent tertekuk. "Maaf, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa. Aku harus kemb