Wah, makin rumit aja ya ceritanya. Aku pun merasa begitu, kapan cerita ini selesainya? Alur makin gak karuan, maafkan daku para pembaca. Inilah akibatnya menulis tanpa perencanaan yang matang. Tanpa outline atau plot yang tersusun rapi, hanya mengandalkan sinopsis yang ada di cover. So, I'm so sorry, bro and sis. But I will finish this story till the end. Terus doakan saya. Sejujurnya, saya tidak mengharapkan siapapun membaca ini karena saya sendiri merasakan alur yang tidak pada tempatnya. Sekali lagi, saya memohon maaf karena sudah mengganggu waktu readers. Tapi, suatu hari nanti saya akan merevisi atau meremake cerita ini supaya pengeluaran readers untuk cerita ini tidak sia-sia. So stay tune
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
“Ada apa kau kemari, Alvin?” tanya pria bernama David Alexander. “Aku kemari untuk mengambil kembali apa yang menjadi milikku, termasuk rumah ini.” David mengernyit. “Apa maksudmu—“ Sebelum menyelesaikan ucapannya, Alvin segera memotong ucapannya. “Aku akan merebut apa yang seharusnya menjadi milikku walau harus membunuhmu, David.” David membelalak saat Alvin mengarahkan pistol kepadanya. “Apa kau bercanda? Singkirkan senjata itu!” perintah David. “Tidak akan! Kau harus mati sekarang juga, David!” Dor ... Dor.... Suara tembakan itu bergema hingga sampai ke kamar yang ditempati Clara. Clara terbangun karena terkejut dan mengintip sekilas keluar. Ia membelalak saat mendapati sang ayah tergeletak tak berdaya. “Dengan ini, kami tidak akan jatuh miskin. Terima kasih saudaraku, istirahatlah dengan tenang bersama istrimu.” Alvin bangkit berdiri dan menatap kamar Clara. Ia memberi aba-aba
"Bisakah anda bangun sendiri, Nona?! Berhentilah bersikap seperti tuan putri, Nona! Cepat bangun!" Clara terbangun dari tidurnya dan menatap datar gadis dengan make up tebalnya itu. "Bangun juga kau akhirnya. Ikut aku sekarang jika tidak, aku akan dimarahi oleh Tuan Albert." Clara mengangguk dan menuju ke kamar mandi. "Mau kemana kau?!" tanya gadis itu ketus. "Ke kamar mandi," jawab Clara singkat. Clara bertanya-tanya, kenapa gadis ini berujar ketus padanya. "Cih, jangan membuang-buang waktumu, Nona. Kita disuruh berkumpul ke ruang latihan sekarang." Tangan Clara pun ditarik kasar oleh gadis itu membuat Clara harus menahan emosi. "Jangan menyentuh tangan saya sembarangan, Nona. Saya bisa saja mematahkan tangan anda sekarang juga." Gadis itu tidak menghiraukan ucapan Clara dan menarik tangan Clara hingga keluar kamar. Clara yang kehabisan kesabaran pun langsung melingkarkan tangan gadis itu ke lehernya sendiri dan menendang lutut gadis itu.&nbs
3 tahun terlewati, Clara dan Naomi duduk berhadapan. Keduanya saling menatap remeh seolah yakin, jika salah satu dari mereka pasti lulus ujian terakhir. "Hari ini adalah ujian tahap terakhir. Ujian ini menguji kecepatan kalian dalam merakit pistol yang ada di hadapan kalian. Siapa yang selesai duluan, dia harus menembak lawan di hadapannya." Para gadis mengangguk dan melaksanakan instruksi Albert. Mereka merakit pistol itu dengan cepat diiringi dengan jam yang terus berdetak. "Kalian harus menyelesaikan rakitan pistol itu dalam waktu tiga menit. Jika lewat dari tiga menit, kalian tamat. Jika berhasil menyelesaikan kurang dari tiga menit, kalian dinyatakan lulus." Mendengar itu para gadis mempercepat rakitan pistol mereka dan kepanikan mulai melanda. Tidak disangka, Clara telah selesai terlebih dahulu dengan waktu 30 detik. Ia mengarahkan pistolnya ke arah Naomi membuat Naomi membelalak. Ia bahkan baru setengah dalam merakit pistol. Nyawanya sudah teranc
"Setelah ditutupnya kasus kematian Tuan David Alexander, kini para polisi kembali bergerak setelah mendapat laporan dari Tuan Alvin Alexander, mengenai identitas pembunuh Tuan David Alexander." Alvin yang melihat itu menyeringai lantaran rencananya hampir berhasil untuk menangkap Clara. 'Kau akan menyaksikan penderitaan putrimu di penjara, David. Dengan begitu, tidak ada lagi orang yang akan merebut kekayaanku.' Seringaian Alvin semakin lebar saat foto Clara terpampang di layar televisi. "Pelaku bernama Clara Alexander diduga telah melakukan pembunuhan terhadap Tuan David demi mendapatkan harta warisan Tuan David. Pelaku juga melarikan diri saat dipergokki oleh Tuan Alvin yang menyaksikan pembunuhan di hadapannya. Untuk itu, Tuan Alvin memerlukan bantuan dari para masyarakat setempat. Selain untuk meringankan pekerjaan polisi, beliau akan memberikan hadiah bagi siapapun yang menemukannya. Bagi siapapun yang menemukannya, hubungi nomor yang
Clara beranjak dari kasurnya dan membuka pintu kamarnya. “Oh, Ayah. Ada apa, Ayah?” David tersenyum. “Ayah ingin bicara denganmu, Nak. Sekaligus, Ayah ingin melepas rindu karena sudah tiga tahun kita tidak bertemu.” Clara ber oh ria dan membuka jalan agar sang ayah bisa masuk ke kamarnya. Clara dan sang ayah duduk berhadapan di lantai dengan meja yang menjadi perantara mereka.“Bagaimana kabarmu, Clara? Apa kau baik-baik saja selama Ayah tidak ada?” tanya David.“Clara baik-baik saja, Ayah. Jujur, Clara sedikit kelelahan karena si bedebah itu. Clara harus berlatih dengan keras untuk menghancurkan bedebah itu dan harus mendekam di penjara selama seminggu. Tubuh Clara rasanya sakit karena tidur di tempat yang tidak nyaman. Tapi sekarang, Clara senang karena bisa bebas dan bertemu dengan Ayah lagi,” ujar Clara dengan senyuman manisnya.“Maaf, jika saja Ayah bisa melawan, kau pasti tidak akan kesulitan seperti ini, Nak.” David menunduk dengan rasa bersalahnya.Clara menggelengkan kepala
Having LunchPLAK!” Bunyi tamparan menggema di seluruh ruangan. Calista menatap takut karena baru pertama kali melihat ayahnya semarah ini. “Ma, Papa kenapa? Kok bisa semarah ini?” Nampaknya, suara Calista terdengar sampai telinga Alvin. “Cih, bawa dia ke Distrik Mawar. Akan kuberi dia pelajaran karena tidak berguna sebagai pengacaraku!” perintah Alvin pada anggotanya.Anggota Alvin manut dan membawa Angga pergi dari hadapan Alvin. Alvin berjalan mendekati Calista dan Risa tanpa menghiraukan teriakan . Alvin mengusap rambut Calista. “Maaf, Papa membuatmu ketakutan. Ma, aku harus pergi ke suatu tempat sekarang. Maaf, tidak bisa menemani kalian makan siang.” Risa mengangguk. “Tidak apa-apa. Lain kali, jangan sampai kelepasan.” “Sekali lagi maafkan aku,” ucap Alvin. “Hn, hati-hati. Ayo sayang, kita makan siang. Kau pasti lapar karena seharian berada di pengadilan,” ujar Risa mengalihkan perhatian Calista. Nampaknya, Calista masih shock melihat amarah ayahnya yang mengerikan. Calista
“David/Ayah???” Dengan wajah penuh keterkejutan, Clara dan Albert menyebut nama pria di hadapan mereka. Sementara yang ditatap hanya menatap kebingungan dengan reaksi dua orang di depannya. “Kenapa terkejut begitu?” tanya David heran.“K_kau masih hidup, David? B-bagaimana bisa?” tanya Albert terbata. Dia belum bisa mengendalikan keterkejutannya.“Iya, aku masih hidup. Karena aku masih hidup, seharusnya kalian menyambutku lebih baik lagi,” sindir David sarkas.Clara yang sudah mengendalikan keterkejutannya pun berdeham. “Ekhem, ceritakan semua pada kami bagaimana Ayah masih hidup tanpa terlewatkan!” perintah Clara dengan tegas, tanpa mempedulikan jika dia sedang berbicara dengan ayahnya.“Ayah tidak akan menceritakannya karena yang lebih tahu detailnya Vincent, kakak angkatmu.” David tersenyum pada putrinya. Akhirnya, dia bisa melihat putrinya lagi.“Loh, kenapa tidak Ayah sendiri yang cerita? Tanya Clara terheran.“Karena Vincent yang lebih tahu detailnya. Vincent yang telah menyela
Hakim yang tak mendapatkan jawaban pun kembali bertanya pertanyaan yang sama. "Saya tanya sekali lagi, Tuan Angga. Bisakah anda menunjukkan bukti lain selain sidik jari ini?" Angga yang sedari tadi diam pun bersuara. "S-saya tidak punya bukti lain, Yang Mulia." "Cih, dasar tidak berguna," rutuk Alvin pelan. "Tapi, saya bisa memberikan bukti yang lebih kuat dari Tuan Ryan asalkan anda memberikan saya waktu satu minggu, Yang Mulia," pinta Angga yang membuat sorakan amarah keluar dari mulut para audiens. Hakim itu mengetuk keras palu tersebut hingga membuat para audiens terdiam. "Maaf, Tuan Angga. Saya tidak bisa memberi tambahan waktu. Saya akui anda berani menuntut hukuman mati terhadap Nona Clara hanya dengan mengandalkan sidik jarinya saja. Padahal, sidik jari itu belum tentu benar adanya. Anda bisa saja dituntut atas pencemaran baik, anda mengerti, Tuan Angga?" Hakim itu menatap tegas pada Angga.Angga mengangguk pasrah, untuk pertama kalinya dia merasa dipermalukan di hadapan s
Pada pukul 8 malam, Vincent dan Calista baru saja pulang dari melakukan aktivitas. Menonton bioskop, ke pantai, dan ke mall untuk belanja. Banyak sekali barang belanjaan Calista di tangan Vincent, tapi Vincent tidak mengeluh sama sekali. Vincent sangat mencintai Calista, begitu juga sebaliknya. Setibanya mereka di mansion, Vincent mengecup kening Calista dan tanpa sadar kegiatan mereka dilihat oleh Risa, sang ibu. "Ekhem, cieee yang habis jalan-jalan. Bagaimana kegiatannya? Menyenangkan?" ujar risa hingga membuat sepasang kekasih itu tersentak. Mereka langsung berbalik menatap Risa dengan wajah memerah. "Eh Mama kok ada di sini?" tanya Calista. Risa tersenyum menggoda tatkala melihat wajah sang anak memerah. "Tentu saja Mama menunggumu pulang bersama kekasihmu ini. Bagaimana kencannya? Apa menyenangkan?" "Kencannya sangat menyenangkan. Vincent sangat romantis dan memperlakukanku seperti seorang putri," jawab Calista. Tak lama kemudian, Alvin keluar dari rumah dan mendapati Calista
Albert pulang ke mansionnya dan disambut oleh maidnya. "Tuan sudah pulang?" tanya Maid itu. Albert mengangguk. "Panggilkan Naomi dan suruh dia ke ruanganku!" perintah Albert. "Baik, Tuan," jawab Maid itu dan meninggalkan Albert. Sementara itu, Albert melangkah ke ruang kerjanya dan membuka komputer yang ada di meja kerjanya. Albert mengetikkan sesuatu di komputer itu dan sayangnya tidak menemukan apapun. Albert mendengkus. "Tidak ada hasil? Khe, yang benar saja! Albert pun mencoba untuk menelusuri lebih dalam dengan melakukan peretasan, tetapi nihil. "Pengacara tidak memiliki akun? Bisa jadi karena kesibukannya dalam menangani kasus klien. Maafkan Paman, Clara, Paman tidak bisa mencari tahu." Akhirnya, setelah tidak mendapatkan informasi apapun, Albert langsung mengirim pesan pada Felix dengan harapan jika Felix akan memberitahukan isi pesan itu pada Clara. Albert menyandarkan tubuhnya di kursi dan menengadahkan kepalanya ke atas.&
Calista bersama kedua temannya berjalan menuju gerbang. Senyuman manis masih membingkai di antara mereka bertiga yang sedang berbincang. "Maaf ya, teman-teman, aku tidak bisa ikut kalian ke spa. Soalnya aku dijemput." Salah satu teman Calista yang bernama Rani tersenyum maklum. "Tidak apa-apa, Cal, masih ada lain hari." "Cie yang mau kencan," goda teman Calista yang satu lagi. Dia bernama Annisa. "Apaan sih!" ujar Calista malu. Wajahnya menampakkan rona seperti blush on di kedua sisi wajahnya. Tin Tin.... Suara klakson mobil membuat Calista dan kedua temannya menoleh. "Tuh, sudah dijemput pacar." Kali ini, giliran Rani yang menggoda. "Hei, hentikan! Jangan menggodaku terus!" Calista berbalik dan masuk ke mobil tersebut, lalu dia melambaikan tangannya pada kedua temannya. "Sampai ketemu besok, teman-teman." "Bye, Calista. Selamat menikmati waktu indah dengan pacar." Kali ini, Rani dan A
"Vincent, kirimkan orang untuk mengawasi hakim itu!" perintah Alvin. Vincent pun menatap bingung. "Memangnya ada apa dengan hakim itu, Pa?" Panggilan Vincent terhadap Alvin berubah atas permintaan Alvin sendiri. Dia tidak ingin calon menantunya ini memakai panggilan formal padanya. Alvin menatap lurus ke depan. "Papa curiga kalau hakim itu tidak akan menuruti perintah Papa. Jika hakim itu memang tidak menuruti perintah Papa, dia harus mati saat itu juga." "Baiklah, aku akan mengirim orang kepercayaanku." Alvin mengetik nomor di ponselnya dan menghubungi seseorang. Tidak perlu waktu lama, Vincent telah mematikan panggilan tersebut. Kemudian, Alvin dan supir mengantar Alvin ke kantor, sementara dirinya harus menjemput Calista pulang dari kampus. Sementara di tempat Clara, David dan Felix telah sampai di lapas David turun dari mobil dan masuk ke lapas. Mereka menunggu penjaga lapas untuk mengeluarkan Clara agar bisa bertemu dengannya. Hampir saja mata Da
Keesokan paginya, David masih berkutat dengan penampilannya. Di usianya yang sudah paruh baya, David masih terlihat tampan dan pesonanya tidak dapat dikalahkan. Kali ini, dia harus menyamar agar sulit dikenali oleh Albert dan Clara. Pasalnya, David, Vincent dan Felix berencana ingin memberi kejutan pada Albert dan Clara. Dalam hati David berharap semoga Clara dan Albert tidak mengenalinya agar rencana ini lancar."Ayah, apa kau sudah siap?" tanya Vincent mendatangi kamar sang ayah. Dia terpaku menatap penampilan sang ayah yang berkarisma. "Kau benar-benar keren, Ayah. Kau sudah seperti pengacara sungguhan.""Benarkah? Apa mereka tidak akan mengenaliku?" tanya David ragu.Vincent tersenyum dan menepuk pundak tegap sang ayah. "Tenang, Ayah. Kupastikan mereka tidak akan mengenalimu. Percayalah padaku.""Baiklah kalau begitu. Apa kau akan ikut?" tanya David.Tiba-tiba, wajah Vincent tertekuk. "Maaf, Ayah. Sepertinya aku tidak bisa. Aku harus kemb