"Deal, Mbak?" Tanya Vino memastikan lagi harganya."Ok, saya Terima, deal!" Rara menjawab dengan semangat.Vino memberikan harga terbaik untuk butik ini. Karena lokasi yang sangat strategis membuat harganya sedikit lebih fantastis. Tidak masalah bagi seorang vino, semua memang sesuai dengan apa yang akan di bayarkan. Rara cukup lega akhirnya butik ini laki juga dengan harga paling tinggi dari yang pernah menawarkan sebelumnya."Baik, Mas. Surat-suratnya ada di mobil saya, mana tau Mas vino mau lihat dulu,""Nggak usah Mbak Rara, nanti saja kalau sudah selesai membalikkan namanya atas nama saya." Tolak Vino halus."Ok, Mas, kalau begitu saya pamit dulu ya, Mas Vino. Terima kasih." Pamit Rara."Ok, siap! Mbak Rara, saya juga terima kasih sama Mbak Rara, karena belum menjual butik ini pada yang lain. Itu artinya emang ini menjadi rejekinya calon tunangan saya, Mbak. Saya mau kasih ini nanti untuk hadiah tunangan Saya." Ucap Vino."Oh, ini butik untuk calon tunangannya Mas Vino? Wah,
Rara mengenal Bimo sekitar empat tahun lalu, di mana waktu itu Rara mengubah jok mobil kesayangannya di sana. Bimo yang notabennya ramah pada semua pelanggannya membuat siapa saja yang datang ke sana akan cepat akrab pada Bimo dan seperti teman lama yang sudah lama kenal.[Ok, Ra, Siap! Kapan kamu antar mobilnya?] tanya Bimo lagi.[Kamu bisa jemput nggak Bim? Nanti aku setelah selesai aja baru jemput ke sananya, bisa ya, Bim?] bujuk Rara. Bimo diam sesaat, lalu berkata. [Ok, Ra, bisa diatur itu, ada uang bensinnya kan?] selorohnya di sebrang sana.[Ada kok, Bim. Tenang aja!] balas Rara.Tawa Bimo pun pecah di sebrang sana. Setelah melewati obrolan basa basi sebentar panggilan itupun berakhir.******Pagi sekali Bimo sudah datang ke rumah untuk menjemput mobil yang akan Rara memodifikasi."Ok, Ra. Aku bawa ya mobilnya," ucap Bimo saat menerima kunci mobil itu dari Rara."Siap, Bim. Terima kasih ya, Bim, maaf ngerepotin." Ujar Rara sungkan."Santai Ra, aku sengaja kesini pagi seka
Setelah jam istirahat makan siang, Rara segera ke tempat Bimo untuk mengambil HP itu. Rasa penasaran Rara sungguh menggebu-gebu, ingin segera tahu ada apa di HP itu. Kurang lebih satu jam perjalanan, Rara sampai juga ditempat Bimo. Bengkel Bimo lagi ramai-ramainya pelanggan yang datang servis dan memodifikasi mobil. Rara jadi sedikit sungkan datang dalam keadaan Bimo lagi sangat sibuk seperti ini, mana tadi Rara lupa ngabarin jika ia datang siang ini. Rara pikir datang di jam istirahat adalah waktu yang tepat, tapi ternyata Rara salah. Rara masih setia di dalam mobil dengan kaca yang sedikit di turunkan, lalu seorang karyawan Bimo datang menghampiri Rara. "Selamat siang, Mbak, ada yang bisa di bantu?" sapanya ramah. Dari tadi dia melihat Rara tak kunjung turun membuat karyawan itu berinisiatif menghampiri Rara."Siang,Mas, saya ke sini mau ketemu sama Bimo, tapi sepertinya dia sibuk makanya saya jadi nggak enakkan untuk turun." Ujar Rara. "Mau ketemu Bos Bimo? Nggak sibuk dia, tunggu
Setelah beberapa menit, dayanya terisi juga. Rara menunggu sepuluh menit lamanya agar dayanya ada yang masuk. Setelahnya Rara menyalakan HP itu . Dengan perasaan yang tak bisa di jelaskan Rara menanti itu aktif dengan sempurna. Beruntung, hpnya tak di kunci Rara segera berselancar di benda pipih itu. Aplikasi yang pertama kali yang Rara buka ialah aplikasi hijau yang berlogo telepon. Tak banyak chat tan di sana, hanya ada beberapa, itupun semua hanya keluarganya. Vina, Rista, Anton, dan Eca. Rara membuka pesan yang tertuliskan nama istriku di sana tidak lain, adalah Eca. Rara membuka isi pesan itu dari atas, dada Rara bergetar hebat saat membaca pesan dI mana Eca meminta sesuatu. [Pokonya nanti pas Dedeknya lahir di beliin ya, Pa][Iya, Sayang, nanti pas anak kita lahir, Papa akan belikan kalian rumah mewah dan juga mobil untuk istri Papa tercinta dan anak kesayangan Papa, ini. Nanti kamu bisa ajak Ibu tinggal bersama kita. Tapi kamu sabar, ya. Mas lagi ngumpulin dulu uangnya biar
Hubungan Ridwan dan Eca sudah mulai membaik, entah ada angin apa Ridwan pun masih merasa tak percaya jika Eca sudah mulai mau untuk mengurus kelvin. Mau bergadang untuk menemani kelvin, meskipun tetap Ridwan yang lebih banyak begadangnya, tidak masalah bagi Ridwan. Eca sudah mau membantu saja dan juga Eca mau mengASIhi Kelvin itu sebuah anugrah untuk Ridwan saat ini. Setidaknya, Ridwan merasa aman jika nanti Ridwan di saat berangkat kerja. Karena Kelvin sudah dirawat langsung oleh Mamanya."Sayang, Mas berangkat dulu ya. Doain semoga Mas dapat kerjaan ya, biar bisa nafkahi kamu kamu sama anak kita." Ucap Ridwan. Eca tersenyum, lalu berkata. "Iya, Mas aku do'ain, semoga lancar, ya." Tutur Eca lalu meminta tangan Ridwan utuk di cium. Ridwan pun membalas dengan mengecup kening Eca dan mencium pipi Kelvin penuh cinta. "Papa berangkat kerja dulu ya, Nak. Jangan rewel di rumah sama Mama ya, do'ain Papa sayang ya, Biar Papa di terima nanti dan dapat kerjaan." Ridwan berbicara dengan anak ba
Meskipun begitu Vina tetap tergila-gila padanya. Kemarin entah angin apa, Deon menawarinya untuk ikut ke puncak, dengan senang hati Vina menerima dan tak ingin menolak kesempatan itu. Kapan lagi bisa camping bersama laki-laki yang sudah sangat lama ia incar. "Siap, Ma. Makasih ya, Ma," Vina mencium pipi Rista dan mencium tangan Rista lalu pamit keluar untuk segera berangkat. Rista berjalan keluar mengikuti anak gadisnya, namum saat sampai di ruang tengah, ada sebuah mobil pick up masuk ke halaman rumah Rista dari balik kaca jendela. Ridwan yang tengah duduk di teras menunggu ojek onlinenya datang pun kaget, lalu berdiri. "Mobil siapa itu, Ma? Kok ke sini?" tanya Vina penasaran. "Nggak tau Mama juga, apa mobil teman Mas Mu kali, Vin." ujar Rista. Sampai di teras Rista lalu menanyakan pada Ridwan. "Siapa, Wan? Kok pagi-pagi ada yang kemari?" tanya Rista. "Nggak tau Ma, siapa? Teman mu bukan Vin? Kan mau ke puncak?" Tanya Ridwan balik. "Bukan ih, mana ada temenku pake mobil kaya g
Ridwan dengan sedikit ragu membuka amplop itu, perlahan demi perlahan amplop itu terbuka dan menampakkan isinya dari sisi dalam. Ridwan semakin merasa gundah gulana melihat kertas putih di dalam itu. "Apa ini sebenarnya?" lirih Ridwan. "Cepetan, Wan! Lama bangat bukanya." Desak Rista yang sudah tidak sabar ingin segera tahu isi surat itu. "Sebenarnya ini apa, Pak? Surat ini dari siapa?" tanya Ridwan pada Boneng dan Ucup sebelum mengeluarkan kertas di dalamnya. "Bapak silahkan baca sendiri, Pak. Nanti bapak akan tau isinya dan pengiriman surat itu." Ujar Ucup. "Sini, Wan! Lama bangat kamu buka kaya beginian. Tinggal dibuka, di baca, udah!" Rista merebut itu dari Ridwan lalu mengeluarkan surat itu. "Ya sabar dong, Ma. Kan juga mau di baca itu." Protes Ridwan. "Kelamaan." Sungut Rista. Rista membaca bait demi bait dari surat itu. Jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, tulang belulangnya terasa bergerak, persendiannya terasa lemah tak berfungsi. Rista menjatuhkan surat
"Eh, Mbak! Apa lagi yang ingin Mbak Ambil? Mas Ridwan bahkan tidak dapat apa-apa dari apa yang sudah dia perjuangkan bertahun-tahun. Sekarang Mbak datang-datang membawa masalah baru." Ketusnya berucap pada Rara. "Masalah itu kalian yang buat, bukan saya! Paham! Jadi jika ingin hidup aman, maka belajarnya untuk mendapati sesuatu itu dari cara yang baik dan halal. Bukan dari cara merampas uang orang diam-diam." Sindir Rara. Ridwan tak banyak bicara, dia hanya diam tertunduk di kursi. Sebab apa yang Rara katakan itu benar. "Apa maksud Mbak merampas uang orang lain? Nggak ada di sini yang seperti itu. Tidak usah merasa Mbak punya segalanya trus seenaknya menuduh keluargaku yang tidak-tidak." Sungut Vina lagi membela diri. "Anak kecil tapi tukang pembohong akut! Mencari pembelaan untuk melindungi keluarganya." Sindir Rara telak. "Mas! Angkut motornya!" perintah Rara pada Ucub dan Boneng. "E--eh! Apa-apaan ini, Mbak? Ngapain motornya di angkut?" Vina mencegah dua orang itu untuk tida
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,