Rara menggeliat sembari membuka matanya perlahan dari tidur, Rara melirik jam yang ada di diding kamarnya, waktu sudah menunjukan pukul setengah lima subuh. Rara segera bangun untuk menunaikan kewajibannya sebagai umat muslim. Tidak lupa Rara untuk membangunkan Hanum terlebih dahulu untuk sholat berjamaah. Rutinitas yang selalu Rara biasakan dari dulu. Hanya saja sekarang bedanya imamnya bukan lagi Ridwan. Selepas menunaikan ibadah sholat subuh tak lupa Rara bertilawah, begitu juga dengan Hanum, mereka mengaji bersama. Setelah selesai, Rara kembali membereskan semua peralatan shalat dan menaruhnya di tempat semula. Hanum mendekati Rara, memulai pembicaraan menanyakan kepada bundanya, " Bun, libur sekolah nanti Apakah boleh Kakak ke rumah Papa? Kakak kangen, Papa, Bun." Ucap Hanum lirih. Hanum takut Rara tak mengijinkan dan akan marah. Rara menatap dalam mata Hanum lalu tersenyum dengan sangat Tulus. "Kakak Kangen Papa?" tanya Rara. Dengan semangat Hanum menganggukkan kepalanya
Hari ini Hanum collection mengeluarkan produk terbaru berupa dress kekinian. Bisa dipakai anak remaja, dewasa dan ibu-ibu tentunya. Sejak beberapa hari lalu, Rara dan Hanum sudah sibuk melakukan pemotretan. Setelah semua selesai, Rara memposting produk terbarunya di sosial media tempat sarana promosi Rara selama lima tahun belakangan ini. Tak butuh waktu lama, hanya bilangan menit setiap gambar yang Rara posting dibanjiri komentar dari pelanggan setia Hanum collection. Begitu juga dari agen-agen dan para reseller berebutan untuk memesan dalam jumlah banyak. Ada juga candaan dari pelanggan yang membuat Rara tersenyum geli. [Bunda, anaknya tolong jangan kasihkan ke orang ya, Bun. Boleh lah di jodohkan sama anak saya. Emot tertawa di ujungnya.][Saya mau beli untuk istri tapi belum punya istri. boleh lah saya beli tapi bajunya untuk bunda aja. Aduh, sanggupnya cuma beli baju doang ,Bun, beli Alphard celengan ayam saya belum penuh." Goda seseakun itu penuh dengan candaan. Rara hanya
Sebuah notifikasi pesan WA masuk ke HP Rara. Rara yang tengah sibuk di meja kerja menghentikan sejenak aktivitasnya. Lalu mengambil HP itu untuk melihat dari siapa gerangan. Dahi Rara berkerut, namum sesat kemudian wajahnya berubah bahagia. "Alhamdulillah, akhirnya laku juga. " Ucap Rara.Windi yang mendengar itu lalu menoleh, dan bertanya. "Kenapa, Bun? Butik bunda udah ada yang beli?" tanya Windi."Iya Win, butik Bunda yang di sana udah laku. Ini ada yang mau beli nanti sore dia ingin ketemu sama Bunda mau cek langsung." Ujar Rara"Syukurlah, Bun. Windi turut seneng dengernya." Tutur Windi tulus.Sorenya Rara langsung menuju lokasi di mana tempat Rara dan calon pembeli itu janjian. Waktu menunjukkan pukul 15.00, saat Rara sampai di tujuan. Rara melihat hpnya untuk memastikan apakah ada kabar dari calon pembeli butik tersebut. Ternyata belum, mungkin bisa masih di jalan, pikir Rara.Rara memarkirkan mobilnya di sisi jalan, saat hendak turun, tak sengaja mata Rara menangkap sebuah mo
"Waalaikumsalam, silakan, Buk, ada yang bisa di bantu?" Ucap pegawai itu ramah. Pegawai yang satunya lagi masih sibuk dengan Eca. Eca sendiri masih belum menyadari bahwa di dalam ada Rara. Eca masih mengira bahwa yang datang barusan itu adalah orang lain yang tak mengenalinya dan yang tak ia kenal juga. "Saya mau cari kalung untuk anak usia remaja, yang simpel sesuai umurnya, ada?" tanya Rara."Oh, ada buk, mari di sebelah sini, Buk." Titah karyawan toko itu menunjukkan etalase yang tepat di sebelah Eca. Rara melangkah mendekati kesana, Rasanya Rara ingin sekali menertawakan Eca saat ini.Karyawan itu lalu mengeluarkan beberapa model yang ada di dalam etalase tersebut. "Ini Buk, pilihannya, coba Ibu lihat maman kiranya yang cocok dengan anak Ibuk?" Karyawan itu berkata.Di sebelah Eca masih sibuk bernego siasi. "Coba kamu cek lagi yang bener deh yang bener, jangan-jangan alatnya rusak itu! Ini kan jelas ada suratnya, bagaimana mungkin ini tuh barang palsu." Eca kekeuh untuk tet
Malu? Sudah pasti Eca sangat malu. Eca tak bisa melawan Rara untuk sekedar menjawab.Karyawan toko itu hanya menyaksikan percakapan antara Eca dan Rara, mereka juga bingung apa ya g terjadi sebenarnya."Maaf, Buk, ini barangnya saya kembalikan. Barang ibu ini memang barang lalu, dan tidak ada harganya." ujar karyawan yang tadi melayani Eca."Eh mas, kalo nggak, percaya coba tanya sama wanita ini. Ini tuh barang asli. Kalian ingin menipu saya ya?" Sungut Eca.Dengan senang hati Rara mengambil perhiasan itu mencoba berpura-pura menilai apakah asli atau palsu."Ini kan hanya imitasi, hanya bentuknya saja yang sama dengan perhiasan asli." Tutur Rara. Lalu manaruh kotak perhiasan itu kembali di depan Eca.Jantung dara kembai berdebar. Eca tidak percaya bahwa perhiasannya itu barang imitasi. "Ini pasti ulah wanita tanpa rahim ini." Gumam Eca penuh Emosi. "Betul, Buk. Hanya orang yang paham perhiasan yang bisa membedakan mana yang asi mana yang bukan." Imbuh pria itu. Lagi, Eca merasa s
"Deal, Mbak?" Tanya Vino memastikan lagi harganya."Ok, saya Terima, deal!" Rara menjawab dengan semangat.Vino memberikan harga terbaik untuk butik ini. Karena lokasi yang sangat strategis membuat harganya sedikit lebih fantastis. Tidak masalah bagi seorang vino, semua memang sesuai dengan apa yang akan di bayarkan. Rara cukup lega akhirnya butik ini laki juga dengan harga paling tinggi dari yang pernah menawarkan sebelumnya."Baik, Mas. Surat-suratnya ada di mobil saya, mana tau Mas vino mau lihat dulu,""Nggak usah Mbak Rara, nanti saja kalau sudah selesai membalikkan namanya atas nama saya." Tolak Vino halus."Ok, Mas, kalau begitu saya pamit dulu ya, Mas Vino. Terima kasih." Pamit Rara."Ok, siap! Mbak Rara, saya juga terima kasih sama Mbak Rara, karena belum menjual butik ini pada yang lain. Itu artinya emang ini menjadi rejekinya calon tunangan saya, Mbak. Saya mau kasih ini nanti untuk hadiah tunangan Saya." Ucap Vino."Oh, ini butik untuk calon tunangannya Mas Vino? Wah,
Rara mengenal Bimo sekitar empat tahun lalu, di mana waktu itu Rara mengubah jok mobil kesayangannya di sana. Bimo yang notabennya ramah pada semua pelanggannya membuat siapa saja yang datang ke sana akan cepat akrab pada Bimo dan seperti teman lama yang sudah lama kenal.[Ok, Ra, Siap! Kapan kamu antar mobilnya?] tanya Bimo lagi.[Kamu bisa jemput nggak Bim? Nanti aku setelah selesai aja baru jemput ke sananya, bisa ya, Bim?] bujuk Rara. Bimo diam sesaat, lalu berkata. [Ok, Ra, bisa diatur itu, ada uang bensinnya kan?] selorohnya di sebrang sana.[Ada kok, Bim. Tenang aja!] balas Rara.Tawa Bimo pun pecah di sebrang sana. Setelah melewati obrolan basa basi sebentar panggilan itupun berakhir.******Pagi sekali Bimo sudah datang ke rumah untuk menjemput mobil yang akan Rara memodifikasi."Ok, Ra. Aku bawa ya mobilnya," ucap Bimo saat menerima kunci mobil itu dari Rara."Siap, Bim. Terima kasih ya, Bim, maaf ngerepotin." Ujar Rara sungkan."Santai Ra, aku sengaja kesini pagi seka
Setelah jam istirahat makan siang, Rara segera ke tempat Bimo untuk mengambil HP itu. Rasa penasaran Rara sungguh menggebu-gebu, ingin segera tahu ada apa di HP itu. Kurang lebih satu jam perjalanan, Rara sampai juga ditempat Bimo. Bengkel Bimo lagi ramai-ramainya pelanggan yang datang servis dan memodifikasi mobil. Rara jadi sedikit sungkan datang dalam keadaan Bimo lagi sangat sibuk seperti ini, mana tadi Rara lupa ngabarin jika ia datang siang ini. Rara pikir datang di jam istirahat adalah waktu yang tepat, tapi ternyata Rara salah. Rara masih setia di dalam mobil dengan kaca yang sedikit di turunkan, lalu seorang karyawan Bimo datang menghampiri Rara. "Selamat siang, Mbak, ada yang bisa di bantu?" sapanya ramah. Dari tadi dia melihat Rara tak kunjung turun membuat karyawan itu berinisiatif menghampiri Rara."Siang,Mas, saya ke sini mau ketemu sama Bimo, tapi sepertinya dia sibuk makanya saya jadi nggak enakkan untuk turun." Ujar Rara. "Mau ketemu Bos Bimo? Nggak sibuk dia, tunggu
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,