"Maksud kamu apa, Wan? Kamu nggak ada uang untuk ongkos taksol? Taksi online maksudmu?" tanya Rista tak percaya. Kenapa anaknya naik taksol. Kan anaknya punya mobil. Semua berkelit di pikiran Ristta. "Kamu kenapa naik taksol, Nak? Kan kamu punya mobil, mobilmu mana?" lagi Rista dibuat penasaran. "Mobilku ditahan sama Rara, Ma," jawab Ridwan lirih. Eca yang mendengar itu pun merasa syok, tidak terima bahwa apa yang dimiliki Ridwan disita oleh Rara. Bagaimana bisa Rara menguasai harta yang dimiliki Ridwan, Eca memang belum mengetahui semuanya, sebab tadi Eca hanya fokus dengan rasa sakitnya. "Jadi tadi kamu minta mobil itu karena Mbak Rara menahan mobilmu, Mas? Kok bisa?" sekarang Eca pun bersuara mencari jawaban atas rasa penasarannya. "Terus? Uang kamu kok bisa nggak ada? Kenapa kamu nggak ambil di ATM lagi, Mas?" tanya Eca lagi. Rista menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan apa yang diucapkan oleh Eca. "Iya, Nak. Kenapa kamu nggak ambil uang di ATM?" Rista membenarkan kemba
Ridwan menerima kunci itu lalu menuju parkiran dan melajukan sepeda motor itu ke butik. Tak butuh waktu lama Ridwan sampai di sana, namun belum habis tadi rasa syok Ridwan melihat saldo ATMnya yang menghilang bak ditelan bumi. Sekarang Ridwan kembali dibuat syok melihat butiknya. "Apa-apaan, ini?!" tanya Ridwan sambil membuka helmnya lalu mendekati butik itu. Rahang Ridwan seketika mengeras tanda menahan emosi yang sudah memuncak melihat bacaan yang tertulis sangat besar di depan butik. Butik ini dijual! Silahkan hubungi nomor yang tertera dibawah ini. Ridwan benar tidak percaya melihat butik itu dijual, bagaimana bisa Rara menjual aset tanpa berkomunikasi terlebih dahulu denganya. Bertahun-tahun dia mengelola butik ini, seorang kenyataannya justru butik ini sudah ingin dijual. Tanpa berpikir lama lagi Ridwan kembali menghubungi Rara. Sayang sekali, lagi dan lagi Rara tak kunjung menerima telpon dari Ridwan. Rara tengah sibuk meeting bersama designernya untuk merancang produk t
"Di Rumah Sakit Eca butuh aku di sana, tapi…." Hari sudah sore, Eca sangat gelisah di rumah sakit, sebab Ridwan tak kunjung datang. "Coba kamu telpon Masmu, Vin. Kok belum pulang kemari dia?" Eca menyuruh Vina. "Mbak aja lah. Aku nggak berani." "Ya sudah, sini HP kamu!" Eca mengulurkan tangannya meminta Vina memberikan hpnya. "HP Mbak kan ada, pake HP mbak aja, kenapa?" "Nomorku masih di blok sama Masmu itu."Jawab Eca dengan warna juteknya. "Lagian kenapa di telpon-telpon sih, Ca? Biar saja kapan Ridwan mau pulang. Bisa jadi sekarang dia lagi bersama Hanum. Kamu itu harus ngerti jadi istri. Jangan terlalu curigaan terus. Nanti suamimu bisa nggak betah kalau kamu kekang terus, dia punya anak dan istri lain juga. Nggak cuma kamu aja istrinya!"Rista berkata dengan nada sinis. "Mama kenapa sih, Ma? Kok sekarang jadi kaya nggak suka banget sama aku? Aku juga lagi hamil anaknya Mas Ridwan lho, calon cucu Mama. Mama pikir aku nggak ngertiin Mas Ridwan selama ini? Kurang ngerti apa
"Jadi … Rara sudah tau kalau Eca istri kamu?!"tanya Rista lagi. Lagi Ridwan tertunduk dan mengangguk kecil. "Ini nggak bener, Wan. Dari awal juga Mama sudah bilang sama kamu, Wan. Pikir-pikir lagi jika mau menikah. Rara itu wanita cerdas. Dia tidak akan tinggal diam jika hidupnya merasa terusik. Sekarang terbukti, kan? Sekarang kamu mau apa dengan hubungan ini? Kamu masih mau lanjutin juga?" tanya Rista tegas. Sekarang justru mata Eca yang membulat sempurna mendengar pertanyaan mertuanya barusan. "Maksud Mama bicara seperti itu apa, Ma?" tanya Eca menyela pembicaraan Mertua dan suaminya. Rista dan Ridwan menoleh bersamaan ke arah Eca. Namun Rista tidak menjawab pertanyaan Eca. Rista justru bertanya kembali kepada Ridwan. "Gimana, Wan?" tanya Rista lagi. Lagi dan lagi Ridwan hanya menarik nafas panjang. "Sudah lah, Ma. Sekarang ini aku fokus dulu sama Eca. Kasian dia lagi sakit." Ridwan mencoba mencari alasan agar tak lagi di introgasi oleh Rista. "Terus sekarang gimana? K
Hanum tengah asyik belajar di kamar, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar. Ternyata Rara di luar ingin masuk untuk mengajak Hanum bicara dari hati ke hati. Kurang lebih lima hari Hanum tak bersua Papanya, alasan yang diberikan Rara ialah. Papa lagi ada urusan penting jadi nggak bisa diganggu dulu dan nggak bisa pulang dulu. Rara berbohong. Sementara Ridwan tak juga menghubungi Hanum karena kesibukan merawat Eca selama di rumah sakit. "Kakak lagi belajar, ya? Bunda ganggu dong?""Iya, Bunda, lagi ada tugas dari sekolah. Tapi udah siap, Kok." Imbuh Hanum sambil membereskan Buku-bukunya. "Oh, syukurlah Kakak sudah siap. Bunda mau ngomong sebentar sama Kakak, boleh?"Hanum menoleh sebentar, lalu kembali membereskan Buku-bukunya. "Boleh dong, Bun. Memangnya bunda mau ngomong apa?" Hanum berjalan mendekati Rara yang tengah duduk di sofa sambill menatap wajah teduh anak semata wayangnya itu. Hati Rara berat sekali untuk mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Rara takut jika nanti
Rara membawa Hanum kedalam pelukannya, bibir Rara bergetar menahan tangis. Bagaimana agar kerapuhan itu tidak tampak di hadapan Hanum"Terima kasih sudah dewasa, Nak." Ujar Rara. Senyum Hanum terukir di dalam pelukan bundanya. "Jika bukan Kakak menemukan tulisan Bunda, tidak mungkin Kakak bisa menjadi dewasa ini, Bun." Gumam Hanum. ****"Mau kemana, Mas? Kok udah rapi?" tanya Eca saat melihat Ridwan yang sudah bersiap-siap. "Mau pulang ke rumah, kangen Hanum." Sahut Ridwan jujur. "Kan ini minggu, Mas. Kok kamu pulang sih!"Ridwan yang tengah mengenakan kancing kemejanya menoleh, menatap Eca. "Mas udah satu minggu sama kamu lho, masa iya hari ini Mas nggak boleh pulang juga? Mas kangen Hanum." Tukas Ridwan. "Kangen Hanum apa kangen istri tanpa rahimmu itu?" celetuk Eca dengan muka masamnya. Kali ini Ridwan menatap Eca tajam. Rahangnya mengeras mendengar hinaan yang dilontarkan Eca pada Rara. "Jaga ucapan mu! Dia itu istriku juga. Meskipun dia tanpa rahim, tapi dia wanita y
Rara sedang yang tengah berada di kamar menatap lembar kertas putih di tangannya yang baru ia dapatkan dua hari lalu, di kejutkan dengan kedatangan Hanum. "Bun, di bawah Oma dama Papa." Hanum mengatakan dengan nafas yang naik turun. Senang ia naik ke lantai dua dengan sedikit berlari. "Sejak kapan, Kak?" tanya Rara. "Itu Bun, baru datang. Coba bunda lihat dari balkon." titah Hanum. Rara menarik nafasnya pelan. Ada rasa gugup yang hinggap secara tiba-tiba. "Kenapa Mama datang kesini juga." Hati Rara berucap. Rara menyikapi gorden kamarnya sedikit untuk melihat kebawah. Tampak Ridwan sedang berjalan bersama Rista yang hampir sampai di teras rumah. "Oyo, Kak, kita turun." Ajak Rara. Rara dan Hanum melangkah menuju ruang bawah. "Assalamu'alaikum, Cucu Oma," sapa Rista pada Hanum. Rara hanya menjawab salam meraka dalam hati. Tak sedikitpun Rara berniat mengambil tangan mertuanya untuk di cium, sebagai tanda hormat. Sebab rasa hormatnya sudah hilang saat mengetahui perselingkuhan
"Tidak ada perceraian diantara kita! Titik!" hardik Ridwan. "Sebutkan satu alasan Aku harus bertahan dengan pernikahan ini, Mas? Apa?! Setelah kamu menodai pernikahan ini, sekarang kamu ingin aku tetap menerimanya?! Kamu pikir segitu aku cinta dan takut kehilanganmu?" Rara berdiri dan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Hanum yang mendengar itu, menutup telinganya dengan kedua tangannya, dan berlari menuju kamarnya. Airmata yang tadi terus membasahi pipinya kian mengalir tak henti-henti tanpa di minta. Hancur? Sudah pasti! Tidak pernah terpikirkan oleh hanum akan menjadi saksi hancurnya kisah kedua orang tuanya yang akan berakhir seperti ini. "Aku tahu ini mungkin terbaik untuk, Bunda. Tapi kenapa? Mengapa Bunda tidak mempertahankan Papa dan kembali bersama agar keluarga ini tetap utuh? Why? Itu artinya bunda kalah dengan wanita itu? Wanita yang sudah merebut Papa dariku dan Bunda."Hanum merasa terpuruk atas apa yang ia dengar, tapi Hanum tak bisa menyela, Hanum tau bundanya ing
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,