"Kamu kenapa, Han? aku yang cerita kok kamu yang nangis? maaf ya, aku sudah bikin kamu sedih. udah yok jangan sedih-seidh lagi. kamu sudah tau kan gimana kisah aku. jadi jangan penasaran lagi, ya." Seli terkekeh.padahal barusan dia sedih, Hanum benar-benar salut pada sahabatnya. ****Rara datang ke rumah Rista, Rumah yang dulu punya kenangan banyak bersama Ridwan. ada banyak mata tetangga yang menyajikan kedatangan Rara di komplek itu. siapa yang tidak mengenal Rara. tentu tetangga situ semua mengenal Rara. saat mobil sampai di depan rumah, Rumah itu sedikit berubah, dari warna cat dan ada beberapa dari bentuk luar yang di renov. "Apa mereka merenovasi rumah itu?" Rara bertanya. dari cat pagar dan gerbang pun juga dirubah jadi lebih segar warnanya. jika dulu warna rumah itu lebih ke kuning ke coklatan. sekarang warna rumah itu silver abu-abu. rumah itu lebih terliaht mewah lagi dengan renovasi barunya. Rara menurunkan kaca mobilnya saat melewati rumah tetangga yang ada di depa
Rara ingin berbalik badan menuju mobil, Rara ingin laki-laki itu pergi terlebih dahulu. saat beberapa langkah, "Jangan, Pergi. biar aku yang pergi."Langkah Rara tertahan, Rara mematung namun tak ingin menoleh. suara langkah itu terdengar mendekati Rara. semakin dekat dan dekat. tepat di belakang Rara, Ridwan berhenti. "Jika ada aku, kamu tidak sudi untuk menyapa, Mama, maka biar aku yang pergi. Temui lah beliau, Mama pastii menyesal pernah salah sama kamu. Mama juga pasti menunggu kamu menemuinya, meskipun itu sudah menjadi gundukan tanah." Ucap Ridwan. Ridwan lalu keluar dari pemakaman umum tersebut. Rara masih mematung, tidak tau harus apa, Rara hanya kaget dan tidak siap bertemu secara tidak sengaja seperti ini. Rara menatap punggung Ridwan berlalu keluar namun hatinya ingin menyapa tapi enggan. Rara menarik napasnya dalam, memejamkan matanya sejenak mencoba untuk menenangkan hatinya. Rara dilema. harus menyusul Ridwan, apa menyekar dulu ke makam, Rista. kembali mimpi-mimpi
Rara membawa langkahnya keluar area pemakaman. Baru hendak membuka pintu mobil, suara bariton laki-laki yang pernah menjadi pendamping hidupnya itu membuat Rara terkejut. "Ra, Kamu apa kabar? gimana kabar , Hanum?"Ridwan yang dari tadi menunggu di samping pintu masuk area makam, sengaja untuk menunggu, Rara keluar hanya ingin menyapa dan menanyakan kabar mantan istrinya. meskipun di hati, Ridwan sungguh merasa tidak yakin bisa berhadapan langsung dengan mantan istrinya. Tapi ridwan mencoba untuk tetap tenang. "Eh, Mas. aku kira sudah pulang. Alhamdulillah, kabar aku baik, Mas. Pun juga sama Hanum. Hanum sebentar lagi dia kelulusan, sekarang tengah sibuk skripsi." Sahut Rara. Rara yang tadi hendak masuk ke mobil urung, karena disamperin, Ridwan tiba-tiba. "Syukurlah, Mas senang mendengar kalian baik-baik, saja." Kata Ridwan. Rara tersenyum, "Iya, Mas.""Ra… Mas, secara pribadi, atas nama Mama, Mas minta maaf, ya. Mungkin ada kesalahan, Mama yang menyakiti kamu, tolong dimaafkan, y
"jika bukan masalah itu, kenapa kamu nggak datang untuk menghadiri wisudanya? setidak nya tunjukan pada teman-temannya bahwa dia punya orang tua utuh dan lengkap." Bujuk Rara. "Baiklah, insya Allah nanti, Mas, usahakan datang. Terima kasih sekali lagi, Ra. kamu sudah memberi waktu untuk berbicara. Mas pamit dulu." Ridwan berbalik badan menuju ke kontrakan. tidak ada basa-basi untuk Rara. Ridwan sadar, antara dia dan Rara bukan lagi siapa-siapa Ridwan masih mengingat kata-kata Rara dulu, jika pun Rara mau berbicara denganku, itupun adalah perihal anak. Rara menatap punggung itu pergi menjauh, hingga hilang dari pandangan Rara. Rara pun kembali ke rumah setelah selesai dengan tujuannya. *****"Dari mana, Mas? Mas Ridwan sehat?""Saya habis dari makam, Mas Dimas. Alhamdulillah, saya sehat kok, Mas. Kenapa, Mas Dimas bertanya seperti itu?" "Oh nggak apa-apa, Mas. Mas terlihat lemas tak bersemangat jadi saya kira, Mas Rdwan sakit. Syukurlah kalau, Mas baik-baik saja." Ujar Dimas.
"Maaf, Mas Farhat. saya di setiap daerah itu punya agennya masing-masing itu minimal empat agen, Mas. dan itu di daerah kecil seperti kabupaten. kalau untuk provinsi bahkan saya punya agen ada yang sepuluh agen satu daerah tersebut. Dan puluhan reseller juga dalam satu daerah. jadi kiranya, kami sudah sangat-sangat kewalahan untuk memenuhi stok-stok untuk agen kami, Mas. dan juga untuk stok butik saya sendiri yang sudah ada beberapa cabang. jadi maaf banget, Mas Farhat, sepertinya saya tidak bisa untuk menerima kerja sama, ini." Tolak Rara halus. Wajah Farhat terlihat berubah, dia tidak terima dengan penolakan ini, tapi tak lama kudian Farhat kembali ke mode on. Farhat masih mencari cara agar Rara mau menerima kerjasamanya. "Mbak, ayo lah, saya sangat jatuh hati pada brand, Mbak Rara. Tidak masalah harganya sama dengan harga yang mbak jual aja. saya tidak mengambil harga reseller atau agen." Bujuk Farhat lagi. Rara mengerutkan keningnya, menatap Farhat sesaat. Rara heran, kenapa d
"Bukan siapa-siapa, Mbak Rara. maaf kalau saya telah mengganggu ketenangan di sini. Saya permisi dulu." Farhat berlalu meninggalkan Rara yang menunggangi motornya. "Tunggu, Mas! saya dengar semua tadi apa yang kamu bicarakan."Farhat yang sudah menyalakan mesin sepeda motornya, akhirnya mematikan kembali dan menoleh ke Rara. "Mbak menguping pembicaraan saya?""Saya nggak nguping. Inikan masih di kantor saya, dan Mas menelpon masih di pekarangan, saya. saya hanya tidak sengaja mendengar, bukan menguping." "Jadi apa yang Mbak dengar tadi?" tanya Farhat lagi. "Semuanya." Tukas Rara. Wajah Farhat terlihat berubah pias. Dia nggak menyangka jika tadi Rara mendengar semuanya. tapi sesungguhnya Rara hanya berbohong untuk menjerat agar Farhat berkata jujur. "Apa yang dimaksud itu Vina mantan adik ipar saya? soalnya tadi saya juga dengar kalian ngomong ipar-ipar gitu? apa kalian punya rencana buruk untuk saya?" selidik Rara. "Mm … maaf, Mbak Rara. Mbak sepertinya salah dengar, saya ngga
"Kabar baik, Mbak. Alhamdulillah aku sehat, Mbak. Mbak sendiri bagaimana kabarnya?" Vina balik berbasa-basi. "Seperti yang kamu lihat, Vin. Mbak baik-baik saja." "Kamu kenalan orang ini, Vin?" tanya Rara berakting. "Hmm… nggak kenal, Mbak. Emang dia siapa?" "Ada apa ini?" suara Anton datang dari belakang. "Eh, Mas Anton ... Mas usah pulang?" tanya Vina. meskipun gugup, Vina berusaha untuk tetap tenang. "Mbak, Apa kabar? ada apa angin apa ini Mbak datang kemari?" Tanya Anton. Anton tidak menjawab pertanyaan Vina. justru malah menyapa Rara. "Saya kesini ada perlu sama, Vina Nton. makanya saya sampai datang ke sini." Anton menoleh ke arah, Vina untuk mencari jawabanya. Vina hanya bisa menundukkan wajahnya ke bawah dan tidak berani menatap Kakaknya itu. "Maaf, Mbak. ada apa sebenarnya? Apa yang terjadi?" "Coba kamu tanya Vina aja, Nton, mana tau dia mau memberitahu kamu.""Mari masuk dulu, Mbak. kita ngobrol di dalam. nggak enak nanti di lihat sama tetangga." Titah Anton. mere
"Sebenarnya aku…. aku merasa hidup ini tidak adil untuk kita, Mas. untuk aku pribadi. Aku merasa setelah Mbak Rara berpisah dengan Mas Ridwan hidupku berubah 100% . Aku merasa Mbak mengambil kebahagian yang diberikan mas Ridwan untukku dan Mama. Aku iri, hidup Mbak Rara terusan membaik dan dan berkembang. sementara aku? keluarga kita? aku selalu nelangsa dan dan tidak hentinya ujian demi ujian melanda. Aku hanya tidak Terima saja Mbak Rara tidak membagi pendapatannya dengan, Mas Ridwan. Kalau saja Mbak Rara membagikan harta gono gini nya, ini nggak akan terjadi dalam hidup kita, Mas. Dan Mama mungkin bisa dapat pengobatan terbaik dan rumah kita tidak dijual." "Astagfirullahallazim…." Rara beristighfar sembari mengelus dadanya. Rara baru mengetahui jika Vina punya dendam atas perpisahannya dengan Ridwan. "Jadi karena itu kamu selalu cari masalah denganku, Vin? meskipun resikonya kamu harus berhadapan dengan polisi?" tanya Rara. "Maaf, Mbak." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. "
Ke esokan harinya, Rara dan Hanum pergi ketempat Ridwan berada. "Kak, Kakak mau nyekar ke makam, Oma Dulu apa ke rumah Papa, Dulu?""Kita nyekar dulu, Bun. habis itu baru ke rumah, Papa.""Baik, Kak." Rara melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang agar segera sampai di sana. "Eh, tapi, Bun. nggak usah nyekar dulu, Bun. kita kerumah, Papa dulu. Baru nanti habis itu kita nyekar ke makam, Oma." Rara menuruti semua apa maunya Hamum saja. yang terpenting bagi Rara saat ini Hamum jauh lebih bahagia dan sudah bisa legowo dengan keadaan apapun. Mobil yang membawa mereka sudah masuk ke gang rumah kontrakan Ridwan. Dari jauh tanpak orang-orang ramai di depan kontrakan itu. tak berselang lama dengan arah berlawan Muncul lah mobil Dimana tunangam Vina. di susul juga dengan kedatangan mobil Anton. "Itu kenapa rame-rame begitu, Kak ya? itu ada mobil Om anton sama Mobil Om Dimas juga." "Ada acara kali, Bun.""Kak. tapi itu ada bendera kuning juga di depan kontrakan, Kak,""Ayok kita turun,
Kalau memang masih ada rasa, kenapa tidak kembali lagi, Bun? biar kita menjadi keluarga yang utuh kembali." cicit Hamum lagi. deg! dada Rara berdebar hebat, hatiny mulai tidak karuan."Kak, tidak semudah itu untuk sebuah kata kembali, Kak.""Tapi seandainya, Papa meminta apa, Bunda akan menolak?""Kak, Kakak kenapa? kenapa dari tadi menanyakan masalah pernikahan melulu.""Jujur saja dari, Kakak, Bun. Kakak ingin Bunda bersatu kembali sama, Papa. kita jadi satu keluarga utuh lagi. Kakak sayang bangat sama kalian berdua, Bun.""Kakak ngaco kalo ngomong. Sudah lah, Kak. Bunda mau mandi dulu.""Tapi bunda masih ada rasakan sama, Papa." Rara hanya menoleh sesaat lalu kembali masuk ke dalam. sambil mandi Rara terus kepikiran dengan ucapa Hanum anaknya. Rara sendiri menanyakan itu pada pantulan bayangannya di kaca kamar mandi. "Apa benar aku masih mencintai, Mas Ridwan? apa benar selama ini aku seperti mati rassa pada lawan jenisku? tapi kenapa? kenapa disaat dekat dengannya seperti
Hamum memeluk Rara penuh dengan kegirangan dan kebahagiaan. pasalnya, hari ini dia sudah pakai toga tanda kelulusan. "Bunda, Kakak senang banget, Bun. Alhamdulillah, Kakak sudah lulus.""Iya, Kak. Bunda turut senang, selamat ya untuk anak, Bunda. Alhamdulillah, Bunda bangga sekali sama, Kakak karena Kakak sudah lulus melewati ujian ini." Tutur Rara seraya kembali memeluk hamum.Wajah Hanum yang tadinya bahagia, Sesaat kemudia berubah sendu. Hamum melihat ke kiri dan ke kanan, dan mengedar pandangan kesemua arah. Hanum beraharap akan ada kejutan di hari yang spesial ini. tapi nyatanya tidak. Rara juga tengah menunggu orang yang sama yang dicari Hanum. "Mas, kamu bilang mau datang, mana? Andai kamu melihat, Hanum tenngah menunggumu di sini." Rara membatin.melihat orang-orang berfoto bersama dengan ayah, membuat hati Hanum berkedut nyeri. "Pa, andai Papa datang? andai Papa ada di sini. "meskipun, Hamum belum secara langsung menghubungi Ridwan, tetap hati Hamum sudah memaafkan, Ridwan
Ridwan dan Rara sama-sama menoleh dan netra mereka bertemu. "Mas,""Ra," mereka kompak saling menyapa. Rara tersenyum begitu juga dengan Ridwan."Ini kejutan bagi, Mas, Ra. Mas nggak nyangka kamu akan datang.""Vina anak baik, Mas. dia datang ke rumah bersama calonnya mengundang secara langsung. Rasanya tidak pantas jika aku tidak datang. itu artinya aku masih dianggap keluarga oleh,Vina." Tutur Rara pelan. karena jarak mereka berdekatan. "Iya, Ra, kita masih keluarga, dan kamu hari ini cantik sekali… kamu sangat cantik." tentu itu hanya Ridwan ucapkan dalam hatinya. "Dua minggu lagi, Kakak wisuda, Mas.""Iya, Mas tau. Insya Allah, Mas akan usahakan datang." "ugh!" Ridwan meringis kesakitan. Perutnya tiba-tiba perih. Ridwan mencoba untuk tetap menahannya agar tidak ada yang tau kalau Dia tengah merasakan sakit yang luar biasa. "Mas, kamu kenapa?" Rara yang mendapati ridwan meringis menahan sakit. "Hm… nggak apa-apa, Ra.""Kamu pucat, Mas. Apa kamu sakit?""Nggak, Ra. Mas baik-ba
"Siapa yang datang kemari? apa ada uang mau bikin baju, lagi?"Dimas dan Vina keluar dari dalam mobil, Rara terkejut. "Vina?" ucap Rara tidak percaya. Rara segera keluar dari ruang meetingnya untuk menyambut kedatangan Vina. terlebih dahulu Rara menunda meeting itu setelah nanti Vina pulang. Rara rasanya bahagia sekali melihat perubahan Vina. Vina benar-benar membuktikan apa yang dia janjikan. "Assalamualaikum," Sapa Vina. "Waalaikumsalam." Rara menjawab salam Vina seraya keluar dari ruang meeting nya. "Mbak, apa kabar?" Vina bersalaman dengan Rara dan cipika cipiki. Entahlah semua seperti kebetulan atau memang sudah diatur oleh yang diatas. hari ini Rara memakai jilbab hadiah dari Vina. Wajah Vina sumringah bahagia mendapati pemberiannya dipakai oleh Rara. "Ada angin apa ini sampai datang kemari? ini siapa?" tanya Rara sambil menaruh minuman kemasan di atas meja. Vina menatap Dimas seraya tersenyum. "Aku kesini ingin silaturahmi aja, Mbak. sekalian aku mau ngasih, Mbak ini."
"Dim, Maaf kita belum saling mengenal, Dim. kamu belum tahu aku, pun sebaliknya aku juga belum tau kamu. Aku belum bisa jika kamu minta aku menjawab sekarang. Tapi jika kami ingin kita dekat, aku siap untuk kita saling mengenal terlebih dahulu.""Baik, Vin. Aku tau ini terlalu mendadak. Aku paham kok. Aku siap nunggu kamu kapanpun kamu bersedia." Tutur Dimas lembut. "Terima kasih, Dim.""Aku yang berterima kasih, Vin. karena kamu sudah mau memberi kesempatan untuk kita saling mengenal terlebih dahulu."Vina benar-benar takut dengan keseriusan Dimas. Hal yang ditakuti vina selama ini akhirnya terjadi juga. bagaimana nanti jika Dia tau bahwa Vina sudah tidak lagi suci. Apa Dimas masih bisa menerima, Vina dalam keadaan kotor. namun untuk jujur pun Vina tak berani. malu? iya jelas Vina sangat malu. "Apa sebaiknya aku beranikan diri untuk jujur? jika Dimas benar mencintaiku, pasti dia akan tetap menerima aku." Vina berbicara dengan diri sendiri. ******"Kamu mau pesan apa?" tanya Dim
Ridwan membuka matanya, kepalanya terasa sangat berat dan sakit. matanya menelusuri sekitar ruangan, bau obat-obatan memenuhi indra penciuman Ridwan. Ridwan menyadari tangannya terpasang infus. "Ya Allah apa yang terjadi padamu?" Ridwan tiba-tiba panik sekaligus penasaran apa yang terjadi padanya. "Selamat siang, Pak Ridwan. Bapak sudah sadar? gimana keadaannya. Apa yang, Bapak rasakan sekarang?""Dok, saya kenapa? apa yang terjadi pada saya?" bukan menjawab, Ridwan justru bertanya balik. "Menurut hasil pemeriksaan, Pak Ridwan, terkena asam lambung dan maag kronis, Pak." "Apa, Dok? kronis? apa saya bisa sembuh, Dok?""Insya Allah ya, Pak. Kita usahakan pengobatan terbaik untuk, Bapak. Untuk hasilnya, kita serahkan sama Allah ya, Pak. Kalau boleh saya tau, apa bapak tidak menjaga pola makan dengan, baik di rumah?""Iya, Dok. Saya makan yang teratur kok dirumah." ucap Ridwan berbohong. Dokter itu tersenyum ramah pada Ridwan. dokter perempuan muda. Yang sedang koas di rumah sak
Selama ini Epri mengamati, Rara dari jauh, Epri benar-benar tidak menyangka kehidupan Rara jauh lebih baik darinya. Epri yang notabene-nya dari keluarga yang berkecukupan dan kaya justru jauh di bawah Rara saat ini. Bahkan wanita yang dia pilih untuk dijadikan istri oleh Epri pun jauh di bawah Rara. Rara bahkan tidak terlihat ada kerutan di wajahnya. dia seperti menolak tua, membuat Epri yang semakin ingin mendekati Rara kembali. tapi sepertinya akan selalu gagal. "Apa aku harus berusaha lebih untuk ini? aku tidak boleh menyerah, aku harus mendapatkan kembali hati, Rara." Gumam Epri. Seminggu setelah kejadian itu, Rara kembali menerima paket. kali ini paket itu datang langsung ke kantor Rara. Iwan yang baru pulang dari antar paket menera itu dari kurir di depan kantor. "Bun, ini ada paket untuk Bunda. " Ridwan memberikan itu seraya paket buket bunga dari luar. "Bunga? dari siapa, Wan?" tanya Rara"Nggak tau, Bun. Aku nggak lihat nama pengirimnya." "Oh ya, sini, Bunda lihat. Ter
"Bun, di luar ada tamu." Windi datang memberitahukan, Rara. "Siapa? suruh masuk saja, Win." Titah Rara masih fokus dengan laptopnya. "Baik, Bun.""Assalamualaikum," Suara yang yang tidak asing itu terdengar mengusik konsentrasi Rara. Rara menatap sepatu pria itu hingga beralih sampai ke atas. Mata Rara melotot sempurna melihat siapa yang datang. "ya Allah, dia ternyata tidak main-main ingin menemuiku." Gumam Rara. "Waalaikumsalam," Sahut Rara dengan wajah syoknya. "Apa aku boleh masuk?""Tentu… silahkan duduk."Rara mencoba kembali ke mode tenang dan santai. Rara mencoba untuk rileks seolah dia tengah baik-baik saja. Rara ingin menunjukkan pada pria yang ada di hadapannya saat ini bahwa Rara jauh lebih baik dan lebih bahagia. setelah mempersilahkan duduk, Rara hanya diam dan tidak berbicara. itu berhasil membuat Epri menjadi salah tingkah. Epri duduk di sofa tepat di depan meja kerja Rara. Epri sempat terkagum melihat Rara yang sekarang. Rara tidak terlihat tua sama sekali,