"Air mata adalah bahasa hati yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar peduli." -Alshameyzea Afsheena •••Hari itu, segalanya terasa berjalan terlalu cepat. Kelas berlangsung seperti biasa, meski pikiranku tidak sepenuhnya fokus. Aku tahu, hari ini akan ada rapat OSIS yang sudah tertunda beberapa hari karena berbagai kegiatan sekolah, mulai dari perkemahan hingga class meeting. Tapi entah kenapa, sejak pagi ada perasaan gelisah yang menyusup tanpa diundang. Mungkin ini hanya perasaanku saja, atau mungkin memang ada sesuatu yang akan terjadi.Ruangan OSIS yang biasanya ramai kini terasa lebih sunyi. Hanya deretan meja, kursi, dan layar laptop di depanku yang menampilkan draft proposal kegiatan MPLS. Aku duduk di sudut ruangan, jauh dari pusat perhatian, namun pikiranku terus berputar-putar tentang proposal yang sudah ku buat semalam suntuk. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya—apakah aku sudah mengikuti semua arahan Arshaka? Apakah ada yang terlewat? Keringat dingin mul
Aku tidak tahan lagi. Air mataku jatuh, tanpa bisa ku tahan. Kenapa dia begitu kasar? Aku hanya ingin membantu, tapi kenapa rasanya seperti aku telah melakukan kesalahan besar?Arshaka tampaknya tidak peduli dengan tangisku. "Kalau lo nggak bisa ngerjain tugas ini, bilang dari awal! Gue bisa kasih ke pengurus lain!" bentak dia, kalimatnya bagai pisau yang menancap di dadaku. "Lo mending ngundurin diri deh dari OSIS!"Deg! Jantungku serasa berhenti mendengar kata-kata itu. 'Ngundurin diri? Segitu berantakankah hasil kerjaanku?'Air mataku mengalir lebih deras, kepalaku tertunduk dalam rasa malu dan putus asa. Apa yang harus aku lakukan? Semua usahaku terasa sia-sia.Rey, yang dari tadi menahan diri, akhirnya berdiri dan mencoba membelaku. "Shaka, lo keterlaluan. Lo nggak boleh ngomong gitu ke Alsha."Tapi Arshaka tidak peduli. Dengan wajah yang memerah karena marah, dia melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Semua mata tertuju padaku, dan dalam hening yang menyakitkan itu, a
"Kadang, sebuah benda kecil bisa membawa lebih banyak makna daripada yang terlihat di mata." -Alshameyzea Afsheena ...Aku dan Aline melangkah cepat, langkah kaki kami menggemakan ketegangan di lobi rumah sakit yang steril dan sunyi. Di sana, di balik meja resepsionis yang bersih dan teratur, seorang petugas perempuan sedang memeriksa layar komputernya dengan tatapan serius. Aku menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya menghampirinya."Permisi, mbak, mau tanya, ada pasien baru yang mengalami kecelakaan beberapa jam yang lalu? Usianya sekitar anak SMA," tanyaku, mencoba tetap tenang.Sebelum petugas itu sempat menjawab, suara Aline memecah suasana. "Rey!" serunya, membuat kami semua menoleh.Aku segera mengucapkan terima kasih pada petugas itu, lalu berlari menghampiri Rey, disusul oleh Aline."Rey, gimana keadaan dia?" tanyaku, suara penuh kekhawatiran.Rey hanya diam sejenak, menatapku dengan tatapan penuh rasa iba. Namun, sebelum dia sempat menjawab, sosok dokter muncul di sam
Aku hanya bisa menunduk, tidak berani menatapnya."Lo sendiri udah tau kalau gue udah kecewa banget sama lo, dan lo masih berani-beraninya dateng kesini?" dia melanjutkan, nada suaranya semakin tajam.Aku merasa hatiku semakin berat. Perlahan, aku berbalik hendak pergi dari ruangan. Namun, kalimatnya menghentikan langkahku."Lo yakin, kalau lo itu manusia?" suaranya menggema di ruangan kecil itu.Aku tetap diam, tatapanku tertuju pada pintu di depanku. "Gue nggak butuh sikap baik lo yang cuma buat gue melayang terus lo jatuhin gitu aja," lanjutnya dengan penuh amarah.Kata-katanya terasa seperti tusukan. Aku bingung, mencoba mencerna maksudnya."Mending lo jauhin gue, deh, Sha. Gak usah temuin gue lagi,""Sebelum gue tambah benci sama lo!"Kata-kata itu menusuk hatiku, membuatku menunduk sambil berusaha keras untuk menahan air mata yang sudah hampir jatuh. Kalimat terakhirnya terus bergaung dalam kepalaku, seolah membelah malam yang dingin ini dengan kejam.'Semoga cepat sembuh, Shak
"Terkadang, yang kita butuhkan hanya jeda, untuk memahami bahwa perasaan tak pernah benar-benar pergi." -Alshameyzea Afsheena ...Sejak malam itu, banyak yang berubah. Sekarang aku duduk di kelas tiga SMA, dan kejadian itu seakan hanyalah bayangan buram yang sesekali muncul, tapi tak pernah benar-benar hilang. Meski begitu, kadang, saat semuanya sunyi, ingatan itu datang lagi—menyelinap tanpa diundang, mengusik ketenangan.Aline tak pernah melewatkan kesempatan untuk mengomeliku soal malam itu. "Aku kan udah bilang, Al, jangan pernah pulang sendirian!" setiap kata-katanya, meski terdengar keras, selalu dibumbui rasa khawatir yang tidak bisa disembunyikan. Dia adalah sosok sahabat yang selalu ada, bahkan di saat aku mungkin tak mengharapkannya.Lain halnya dengan Rey. Sejak kejadian itu, dia menjadi lebih sering menawarkan diri untuk menemaniku pulang. Meskipun aku sering menolak dengan alasan bisa pulang sendiri, dia tetap saja bersikeras. Ada ketenangan dalam caranya hadir. Sepe
Tanpa berpikir panjang, aku mengambil ponsel yang tergeletak di sampingku dan mulai mengetik pesan singkat.Alsha: Dimana?Pesanku terkirim, dan dengan cepat, notifikasi balasan muncul di layar.Keenan Aksara: Kenapa, hm?Aku sedikit menghela napas, bibirku tertarik ke atas dalam senyum kecil yang hampir tak terasa.Alsha: Kalo ditanya itu jangan nanya balik.Alsha: Kamu dimana skrg?Pesan berikutnya datang dengan cepat, disertai sedikit humor yang khas darinya.Keenan Aksara: Di hati Sheena.Aku memutar mataku sambil tersenyum.Alsha: Keenan, aku serius😌Keenan Aksara: 😁Keenan Aksara: Lagi di lapangan nih, baru selesai latihan sama anak-anak.Alsha: Latihan basket malem-malem?Keenan Aksara: Iya, biasa, kan buat lomba ke LN.Alsha: Hm...Keenan Aksara: Kenapa nanya aku dimana?Aku terdiam sejenak, pikiranku kembali melayang pada Arshaka dan kata-katanya tadi sore. Namun, Keenan tidak menunggu lama untuk mengirim pesan lagi.Keenan Aksara: Kangen ya?Keenan Aksara: Mau aku samperin
"Malam itu, Arshaka tak hanya memainkan gitar, ia menyentuh hati setiap orang yang hadir, membiarkan setiap nada dan lirik mengungkapkan rasa yang selama ini terpendam." -Alshameyzea Afsheena ...Malam itu, hujan masih mengguyur, meskipun hanya tersisa rintik-rintik. Hawa dingin yang menyelusup masuk membuat suasana terasa semakin sepi dan sunyi. "Udah," suara Arshaka memecah keheningan, membuatku berbalik. Dia sudah berganti pakaian dengan cepat, meski sedikit basah. Lihatlah, betapa sempurna dirinya, seolah tidak terpengaruh dinginnya malam ini. Tangannya cekatan, memasukkan pakaian basahnya ke dalam kantong plastik yang sedikit mengilap terkena cahaya lampu.'Semoga dia gak kedinginan.'"Kamu ngapain malem-malem kesini?" tanyaku akhirnya, mencoba mengalihkan perhatiannya dari kesibukannya."Gue..." jawabnya singkat, namun pandangannya tiba-tiba tertuju ke langit. Aku mengikuti arah tatapannya, melihat awan yang perlahan membuka jalan bagi sinar bulan. Hujan benar-benar sudah b
Aku memilih kursi yang menghadap langsung ke panggung, sementara Arshaka duduk di depanku, membelakangi panggung, seolah tidak tertarik dengan musik yang mengalun lembut."Kamu mau bahas soal apa?" tanyaku, mencoba membuka percakapan.Arshaka mengeluarkan sebuah map yang terlihat agak basah, lalu meletakkannya di atas meja. Aku menatap map itu dengan penuh tanya."Program OSIS?" tebakku.Dia mengerutkan kening, "Kenapa lo bisa mikir gitu?""Ya, kan, biasanya kamu sangat peduli sama masa depan SMAN Cendana," jawabku, sedikit tersenyum.Arshaka menggeleng pelan, "Ini lebih penting dari itu."Aku mengangkat alisku, lalu dengan penasaran mencoba membuka map itu. Namun, tangannya dengan cepat merebutnya kembali, membuatku terkejut."Lo boleh buka map ini, setelah lo udah siap nanti," katanya dengan nada misterius.Aku mendengus kesal, "Kalau aku udah siap sekarang?"Dia melotot padaku, "Please, deh, Sha, nggak usah nyebelin malam ini. Ini malem terakhir gue bisa ketemu lo," ucapnya dengan
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"