"Kadang, kelelahan hari yang panjang digantikan oleh kehangatan yang sederhana dalam kebersamaan yang tulus."•••Aku melemparkan tasku ke sofa panjang di ruang tamu dengan gerakan lelah. Tubuhku terasa berat setelah hampir seharian bertemu dengan Arshaka. Namun, yang lebih melelahkan adalah pertanyaan Aline yang terus-menerus menjejali pikiranku. Dia tidak berhenti bertanya tentang apa yang terjadi antara aku dan Arshaka, apa yang Arshaka katakan, bagaimana reaksiku, dan seterusnya. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku pusing.Aline duduk di sampingku, matanya penuh harapan akan jawaban yang belum kuterima. Dia terus menatapku, seolah setiap detik yang berlalu tanpa jawaban semakin menambah rasa penasarannya.Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Aline, udah deh, nggak usah lebay. Orang dia bahas program OSIS,” ujarku akhirnya, dengan nada yang lebih datar dari biasanya. Aku menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, berharap bisa mengurangi ketegangan yang ada
Aku berdiri perlahan dari kasur, merasakan bagaimana berat tubuhku berpindah ke kaki yang sempat lelah setelah seharian penuh di sekolah. Pikiranku masih berputar, membayangkan suasana aula tadi—begitu tegang dan penuh pro dan kontra. Namun kini, setelah semuanya berlalu, ada sesuatu yang melonggarkan di dalam dada. Ada perasaan lega yang pelan-pelan menyapu kelelahan, menggantinya dengan secercah kepuasan. Setidaknya, kami berhasil mencapai tujuan kami hari ini. Aku tersenyum kecil, memutar kembali memori tentang Arshaka yang dengan penuh ketenangan memimpin sosialisasi itu. Matahari sore mengintip dari sela-sela tirai jendelaku, menciptakan bayangan panjang di lantai kayu yang kusam. Aku berniat keluar kamar untuk menghirup udara segar, ketika suara Aline terdengar dari balik pintu."Al! Coba lihat aku. Pantes nggak?" serunya, penuh antusias.Aku menoleh, dan tanpa bisa menahan diri, mulutku terbuka sedikit karena terkejut. Di depan mataku berdiri Aline, yang biasanya tampil dengan
"Cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi tentang bagaimana kita membiarkan pola-pola kecil dalam tindakan kita berbicara lebih keras dari kata-kata." -Alshameyzea Afsheena ...Hari ini adalah hari pertama pelaksanaan program OSIS, dan suasana di SMAN Cendana berubah total. Aku berdiri di lorong, mengamati transformasi yang terjadi di sekelilingku.Pemandangan yang dulunya terasa membosankan kini menenangkan hati. Melihat para siswi yang mengenakan kerudung memberikan ketenangan tersendiri, apalagi dengan Aline di sampingku, penampilannya yang baru menambah kebahagiaan di hati. Aku tersenyum, menikmati kedamaian pagi ini.Aku melirik jam tangan—masih pukul enam pagi, tapi tampaknya hampir semua siswa sudah tiba. Aku mengagumi sikap mereka yang berubah drastis, mungkin karena efek dari sosialisasi kemarin mengenai program kedisiplinan. Mereka tampak antusias melaksanakan peraturan baru, terutama karena iming-iming beasiswa yang ditawarkan Arshaka. Tawaran itu bukan main-main, men
Arshaka melangkah maju, diikuti oleh Keenan. Mereka saling menatap tajam, seolah siap bertarung. Tangannya mengepal, menandakan ketegangan yang hampir tidak bisa ditahan lagi. Aku menghela napas panjang dan segera menghampiri mereka, berdiri di samping Keenan. "Keenan," ucapku lembut, mencoba menenangkan situasi. Aku menatap matanya, memberi isyarat agar dia berhenti. Perlahan, Keenan mundur selangkah, tangannya masih mengepal, tapi tatapannya mulai melunak saat aku berbicara. "Ayo, masuk kelas," ajakku, berusaha mengalihkan perhatian Keenan dari ketegangan yang semakin memuncak. Keenan akhirnya mengangguk, meskipun terlihat masih kesal. Aku memberi isyarat kepada Aline, yang langsung mengangguk setuju. Begitu juga dengan Abhi, Nevan, dan Kafka, mereka mulai melangkah menuju kelas XI IPA 2. Saat aku melangkah ke dalam kelas, pikiranku terus berputar, mencoba mencari cara untuk menasihati Keenan dan teman-temannya tanpa memicu kemarahan mereka. Aku tahu bahwa meskipun Arshaka t
"Kadang, cahaya yang paling tenang menyinari luka yang paling dalam, mengungkapkan kisah yang tak terucapkan." -Alshameyzea Afsheena ...Semenjak kejadian di taman sekolah itu, suasana di SMAN Cendana kini terasa lebih hidup dan semangat. Hari ini adalah hari puncak dari serangkaian lomba kelas meeting yang telah berlangsung sejak seminggu lalu. Lapangan SMAN Cendana dipenuhi oleh para siswa yang mengenakan pakaian olahraga mereka, menanti dengan antusias babak final dari kompetisi yang akan menentukan juara akhir. Tujuh bulan telah berlalu begitu saja, dan program-program OSIS di bawah kepemimpinan Arshaka berjalan dengan sukses, membawa perubahan nyata di sekolah. Siswa-siswa yang sebelumnya sering bolos kini lebih disiplin, dan mereka yang biasanya datang terlambat kini berusaha keras untuk tiba lebih awal sebelum bel sekolah berbunyi. Dan..penampilan Keenan dan teman-temannya yang kini rapi mengikuti aturan baru ini, membuatku merasa takjub sama mereka.Terutama pada Keenan,
Tanpa berpikir panjang, aku masuk ke kelasnya, nihil, tidak ada siapapun disana. Aku bertanya-tanya, 'kemana dia?' Aku semakin khawatir, 'UKS?' Aku segera pergi ke UKS yang terletak di ujung kelas XI IPS 2 di lantai 2. Kebetulan, di sekolah kami, setiap tingkat kelas ada UKS nya, dan letaknya sama-sama di ujung kelas.Aku berlari dengan napas yang tersengal, ketika langkahku sampai di depan pintu UKS, aku memelankan suaraku, berusaha tidak mau mengganggu seseorang yang ada di dalam ruangan itu. Benar, Arshaka ada di dalam, dia duduk di kursi dan sedang berusaha mengobati luka yang ada di telapak kakinya.Aku meringis melihat darah mengalir dari luka di kaki Arshaka. Tanpa sadar, aku mendekatinya, dan kehadiranku membuatnya terkejut. Arshaka mengangkat alis, tatapannya bingung dan penuh tanya. Aku menyadari bahwa dia kesulitan memberi obat pada lukanya, jadi aku merebut botol obat merah dari tangannya. Dengan gerakan lembut namun pasti, aku jongkok di depannya dan berkata pelan, "Ak
"Air mata adalah bahasa hati yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang benar-benar peduli." -Alshameyzea Afsheena •••Hari itu, segalanya terasa berjalan terlalu cepat. Kelas berlangsung seperti biasa, meski pikiranku tidak sepenuhnya fokus. Aku tahu, hari ini akan ada rapat OSIS yang sudah tertunda beberapa hari karena berbagai kegiatan sekolah, mulai dari perkemahan hingga class meeting. Tapi entah kenapa, sejak pagi ada perasaan gelisah yang menyusup tanpa diundang. Mungkin ini hanya perasaanku saja, atau mungkin memang ada sesuatu yang akan terjadi.Ruangan OSIS yang biasanya ramai kini terasa lebih sunyi. Hanya deretan meja, kursi, dan layar laptop di depanku yang menampilkan draft proposal kegiatan MPLS. Aku duduk di sudut ruangan, jauh dari pusat perhatian, namun pikiranku terus berputar-putar tentang proposal yang sudah ku buat semalam suntuk. Aku tidak bisa berhenti memikirkannya—apakah aku sudah mengikuti semua arahan Arshaka? Apakah ada yang terlewat? Keringat dingin mul
Aku tidak tahan lagi. Air mataku jatuh, tanpa bisa ku tahan. Kenapa dia begitu kasar? Aku hanya ingin membantu, tapi kenapa rasanya seperti aku telah melakukan kesalahan besar?Arshaka tampaknya tidak peduli dengan tangisku. "Kalau lo nggak bisa ngerjain tugas ini, bilang dari awal! Gue bisa kasih ke pengurus lain!" bentak dia, kalimatnya bagai pisau yang menancap di dadaku. "Lo mending ngundurin diri deh dari OSIS!"Deg! Jantungku serasa berhenti mendengar kata-kata itu. 'Ngundurin diri? Segitu berantakankah hasil kerjaanku?'Air mataku mengalir lebih deras, kepalaku tertunduk dalam rasa malu dan putus asa. Apa yang harus aku lakukan? Semua usahaku terasa sia-sia.Rey, yang dari tadi menahan diri, akhirnya berdiri dan mencoba membelaku. "Shaka, lo keterlaluan. Lo nggak boleh ngomong gitu ke Alsha."Tapi Arshaka tidak peduli. Dengan wajah yang memerah karena marah, dia melangkah keluar dari ruangan tanpa menoleh lagi. Semua mata tertuju padaku, dan dalam hening yang menyakitkan itu, a
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"