Di dalam perpustakaan yang sunyi, suasana hening terasa begitu mendalam, seakan waktu berhenti. Setelah sosialisasi di kelas berakhir, anak-anak memilih menghabiskan waktu istirahat mereka dengan bermain di lapangan, bercengkerama dengan teman sebangku, atau menggosip di kantin. Namun, semua itu terasa membosankan bagiku. Aku menghela napas pelan, merasa sepi tanpa Aline dan Keenan di sisiku. Rasanya, kesunyian ini begitu menyengat. Akhirnya, aku memilih untuk mengungsi ke perpustakaan, tempat di mana aroma kertas dan kesendirian menciptakan suasana yang menenangkan bagi jiwa yang resah. Di antara rak-rak yang penuh dengan buku, mataku tertuju pada sebuah novel yang menarik. Dengan hati-hati, aku mengambilnya dan duduk dengan tenang, membiarkan kata-kata mengantarku ke dalam petualangan yang tak terduga. Tiba-tiba, suara lembut menginterupsi keasyikanku. "Mending baca ini." Seseorang menyodorkan sebuah buku dengan cover berwarna pink. Aku mendongak, terkejut melihat siapa yang datang
Alsha: Maaf Keenan, aku gak bisa pulang sama kamu sekarang Keenan Aksara: kenapa? kamu dimana emangnya? Aku tak mungkin memberitahu Keenan kalau aku di rumah sakit. Bisa-bisa dia marah besar. Jadi, kuputuskan untuk tidak membalas pesannya. Drt! Drt! Drt! Suara panggilan masuk dari Keenan menyusul setelah beberapa menit aku mendiamkannya. Drt! Drt! Drt! 'Aku gak mau nerima.' Drt! Drt! Drt! "HP lo," ucap cowok aneh itu sambil melirik ponsel yang kupegang. Dalam hati, aku bingung. Dengan satu gerakan, aku mengusap ikon merah, menolak panggilannya. 'Maaf, Keenan.' Setelah menjenguk Kak Davin, kami memutuskan untuk pulang. Di parkiran, saat Rey dan cowok aneh itu hendak masuk ke mobil, aku masih berdiri di luar, terjebak dalam pikiran yang melayang jauh. Keenan pasti marah besar, aku tidak bisa membayangkan reaksinya nanti. "Ngapain jadi patung disitu?" ucap cowok aneh itu, melangkah mendekat sementara Rey sudah berada di dalam mobil. "Aku pulangnya naik grab aja," jawabku, berusah
"Jika kehidupan adalah sebuah buku, maka awal hijrah adalah bab favorit ku." -Alshameyzea Afsheena °°°°Pagi itu, aku melangkah memasuki kelas dengan hati yang berdebar, seolah setiap langkahku menimbulkan riak dalam lautan keraguan yang menyesakkan. Rasanya, setiap sudut ruang kelas yang sempit itu dipenuhi oleh tatapan-tatapan yang tajam, menelusuri perubahan yang terasa begitu mencolok dalam diriku. Napasku terasa berat, meskipun aku mencoba untuk tetap tenang, mengabaikan bisikan-bisikan yang mengikuti di belakangku seperti bayangan yang tak terelakkan."Al? lo?" Suara Kafka memecah keheningan, serak dan penuh dengan keterkejutan. Dia berdiri di sana, matanya melebar, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.Aku balas menatap Kafka, bibirku mencoba membentuk senyuman yang terasa getir. Langkahku tak terhenti, terus menuju bangku, meskipun hatiku ingin sekali berhenti dan melarikan diri. Kafka, Abhi, dan Nevan terus memperhatikanku, mata mereka dipenuhi dengan rasa ingin tah
Di tengah keheningan itu, suara pengumuman dari speaker sekolah tiba-tiba memecah suasana, menggema di seluruh sudut kelas dan lorong-lorong. "Perhatian! Kepada calon kandidat OSIS, diharapkan segera berkumpul ke kantor. Terimakasih."Aku beranjak dari tempat duduk dengan langkah yang sedikit ragu. Rasanya setiap gerakanku diawasi oleh tatapan diam mereka, seperti mereka menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Aku pergi dulu, ya," ucapku, suaraku berusaha terdengar tegas, meskipun ada sedikit getaran yang terselip.Saat aku melangkah pergi, suara Kafka menghentikan langkahku sejenak. "Al? Lo berani sendirian?"Pertanyaannya membuatku menoleh, melihat wajahnya yang penuh kekhawatiran. Kafka, aku tahu dia tipe orang yang pekaan, terutama terhadap hal-hal kecil yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Senyum tipis muncul di bibirku, mengangguk pelan untuk meyakinkan dia dan.. diriku sendiri, bahwa aku baik-baik saja. Aku meninggalkan mereka bertiga dengan perasaan campur adu
Pertanyaan itu menghantamku seperti pukulan telak. Aku mencoba mempertahankan ketenanganku, menahan gemuruh emosi yang mulai berkecamuk di dada. "Aku pakai kerudung karena pilihan pribadi. Ini nggak ada hubungannya sama sekali dengan niatku untuk mencalonkan diri sebagai ketua OSIS," jawabku, berusaha setenang mungkin meski di dalam hati terasa sangat sakit.Namun, ejekan itu tak berhenti. "Kenapa lo tiba-tiba pakai kerudung? Biar kita milih lo?" seorang siswa lainnya ikut bersuara, disusul dengan komentar sinis lainnya."Hahaha, jadi orang kok sok suci!" ejek seorang siswa lain, wajahnya penuh cemoohan yang memantul di antara teman-temannya."Apa lo lagi tobat? Karena udah berhasil bikin temen kita, Davin, masuk RS?" seorang siswa lagi menambahkan, suaranya penuh dengan kepalsuan yang mengiris tajam."Eh bener! Sok jagoan banget tuh pacarnya, sampai bikin Davin masuk RS, padahal nggak sengaja, ya, kan?"Aku menelan ludah, berusaha menahan diri agar tidak ikut terhanyut dalam emosi.
Suasana semakin tegang. kak Claudia, yang semula memimpin tawa ejekan, mencoba mengendalikan situasi. "Kita cuma bercanda kok, Arshaka." Katanya, dengan senyum tipis yang penuh kepalsuan."Bercanda?" Arshaka menanggapi dengan nada yang lebih tegas, matanya menyipit penuh kemarahan. "Lo pikir ngejek keyakinan dan usaha orang itu lucu? Lo harusnya malu sama diri lo sendiri. Alsha punya keberanian buat tampil beda dan memimpin, sementara lo semua cuma bisa ngerendahin!"Kata-kata Arshaka memukul telak, menghempaskan setiap ejekan yang baru saja terlontar. Tak ada yang berani menanggapi, kecuali seorang siswa lain yang masih mencoba melawan arus. "Tapi kan dia beda sendiri. Gimana mau jadi ketua OSIS kalau gitu?"Arshaka menatap siswa itu dengan sorot mata tajam. "Justru karena dia berani beda, dia layak jadi ketua. Keteguhan dan keyakinannya itu kualitas pemimpin yang sejati. Kalau lo semua punya masalah sama program kerjanya, kasih saran yang bener, bukan hinaan!" Suaranya semakin tegas
Meski rasa terima kasih masih ada di dalam hati, aku tidak bisa menahan diri untuk mengalihkan pandangan. 'Aku benar-benar nggak mood buat ngobrol sama siapa pun hari ini', bahkan dengan dia yang telah berdiri di pihakku.Dengan langkah tegas, aku berjalan melewatinya, berharap dia tidak mencoba menghentikanku. Tatapan kami bertemu sejenak, dan meskipun tidak ada kata-kata yang terucap, ada pemahaman yang melintas di antara kami. Dia membiarkan aku pergi, hanya menatap punggungku yang perlahan menjauh, membawa segala luka dan tekad baru yang harus kuhadapi sendiri.----Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk berjalan kaki meskipun matahari sore masih terasa menyengat. Jalanan dipenuhi kendaraan yang melaju perlahan, orang-orang baru pulang kerja, dan suara klakson yang bersahutan membuat suasana semakin ramai. Namun, di tengah keramaian ini, hatiku justru terasa sepi, seolah-olah aku hanyalah sosok kecil yang terhanyut dalam lautan manusia.Setiap langkahku terasa berat, pikiranku te
"Setiap tantangan adalah pelajaran dan setiap kesabaran adalah kekuatan."°°°°"Sheena..."Suara itu terdengar lagi, begitu jelas di telinga, menggetarkan hatiku dengan kelembutan dan kehangatan yang hanya dimiliki oleh sosok nenek. Pandanganku menyapu sekitar, nihil, tidak ada siapa-siapa disini. Air mataku mengalir deras, mengiringi panggilan itu dalam keheningan ruangan yang sunyi."Sheena...""Nenek... di mana, Nek?" suaraku gemetar, terputus-putus oleh kekosongan yang mendalam di dalam hatiku. Aku merasa hancur, terpuruk dalam rasa kehilangan yang tak terungkapkan. Tubuhku rapuh, seperti tak mampu lagi menahan beratnya duka yang menghimpit.Aku bersimpuh lemas di tempat yang asing ini, meratapi kekosongan yang menyelimuti diriku tanpa ampun. Tanganku menutupi wajahku yang terasa hangus oleh kepedihan ini. Aku menangis dalam kesendirian yang menyayat hati, merindukan pelukan hangat nenek yang selalu menjadi penyejuk dalam badai kehidupanku."Nek.." ucapku sesenggukan."Sheena mau
“E-eh, Kak, itu mau dipasang di mading sama Yara...” protes si siswi, namun Aline tak peduli, tangannya gemetar ketika ia mulai membaca, matanya bergerak cepat melintasi kalimat-kalimat di selebaran itu. Aku berdiri di sampingnya, dan perlahan-lahan judul berita di koran itu terlihat jelas di mataku, seolah-olah huruf-huruf itu melompat keluar dari halaman dan menghantam dadaku dengan keras. ~"Tragedi di Laut Mediterania: Pesawat XYZ345 Jatuh, 7 Siswa Indonesia Jadi Korban"Penerbangan internasional XYZ345 dari Indonesia menuju Spanyol yang membawa total 162 penumpang mengalami kecelakaan tragis di perairan dekat Laut Mediterania. Pesawat tersebut membawa 7 siswa Indonesia yang terpilih untuk mengikuti lomba tingkat Internasional ke Spanyol, bersama dengan penumpang umum dan kru pesawat. Berdasarkan laporan sementara, sebagian besar korban telah ditemukan dalam kondisi meninggal dunia. Namun, terdapat satu jasad siswa Indonesia yang hingga saat ini belum ditemukan. Berikut adalah da
Tiba-tiba Aline menepuk lenganku, memutuskan lamunan yang mulai merasuk. "Hey, Al! Kok malah ngelamun? Udah sana, lanjutin belajarnya. Aku mau tidur," katanya dengan ringan sebelum berbalik dan menuju tempat tidurnya.Aku sedikit terkejut, lalu tersadar dan mengangguk. "Iya, iya," jawabku sambil kembali menatap layar laptop, mencoba fokus lagi pada tugas yang harus kuselesaikan. Aku menggulir pelan halaman pada laptopku, membaca artikel tentang ketentraman jiwa manusia. Di tengah keheningan malam, pikiranku melayang pada nasihat lembut seorang ustadz di pengajian kecil. Suaranya penuh keyakinan, wajahnya teduh di bawah sorotan lampu masjid, saat ia berbicara tentang hati dan perasaan perempuan."Perempuan," katanya lembut, "jika tidak disibukkan dengan ilmu dan agamanya, dia akan gila karena perasaannya."Kalimat itu seperti sayatan tajam, menggugah kesadaran yang dalam. Aku memejamkan mata, mencoba merenungkan kata-katanya. Mungkin ini jawabannya—aku perlu mengalihkan perasaanku ke
Jemariku gemetar sedikit saat menemukannya, dan aku membuka halaman demi halaman, hingga kutemukan kutipan yang selalu berulang dalam buku itu. Bibirku membaca pelan kata-kata yang pernah memberiku kekuatan."Dalam perpaduan bulan dan bintang, langit malam mengungkap keindahan, menghapus segala beban hidup yang memandang."Aku mengulangi kalimat itu, berbisik, "Bulan dan bintang... langit malam... keindahan... menghapus beban hidup yang memandang."Mataku tak lepas dari langit di luar jendela. Bulan bersinar dengan tenang, bintang-bintang di sekelilingnya berkelip, seolah menyapa. Ada sesuatu di sana, sesuatu yang hampir kupegang. Aku merasakan denyut ide yang perlahan mulai terbangun di kepalaku."Keindahan... langit malam..." gumamku lagi, lebih dalam, mencoba merangkai makna di antara kata-kata itu. Aku menutup mataku sejenak, membiarkan bayangan langit malam menari-nari di dalam pikiranku, berharap bisa memunculkan sesuatu yang nyata. Dan tiba-tiba.. seperti kilatan cahaya, 'aku t
Aku berbalik dan memandangnya dengan lelah. "Sebentar lagi, Lin," jawabku singkat, suaraku nyaris tenggelam."Aku mau ngaji dulu, sambil nunggu adzan isya'," tambahku, berharap Aline tak lagi mendesakku.Namun, dia tetap mendekat, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tak bisa ia sembunyikan. "Al, minum obat dulu, ya? Jangan ditunda-tunda," katanya sambil meraih kotak obat yang sudah kusiapkan di kamar untuk keadaan darurat. Dia menyodorkan obat itu kepadaku, seakan tak ingin memberi ruang bagi penolakan.Aku menatap pil-pil di tangannya, lalu mengangguk lemah. Perlahan, aku mengambil obat tersebut dan segera menelannya. Perasaan sedikit tenang menyelimuti, meski tidak sepenuhnya menghapus rasa sakit yang ada di dalam dada."Nah, gitu dong. Kalau gini kan aku bisa lebih tenang. Kamu lupa ya? Tadi Kafka nitip kamu ke aku," ucap Aline, mencoba mencairkan suasana.Kafka. Nama itu membuatku terdiam sejenak. Masih ada banyak hal yang harus kupertanyakan padanya, namun, malam ini, aku terl
Aline mengangguk pelan, "Iya," jawabnya lembut, tak pernah sekalipun melepaskan rangkulannya di pundakku.Abhi yang biasanya ceria terlihat lebih serius. "Cepet sembuh ya, neng Alsha," ucapnya dengan nada tulus, meskipun ada sedikit kebingungan di matanya.Nevan menambahkan, "Iya, cepet sembuh, Al, biar Keenan nanti nggak kepikiran pas tanding." Kalimat terakhir itu terasa seperti belati yang menusuk langsung ke hatiku. Air mataku yang sedari tadi kutahan semakin deras mengalir, namun aku tetap diam. Mereka tidak tahu. Tidak tahu bahwa sakit yang kurasakan bukan hanya karena pusing, tetapi karena pengkhianatan yang baru saja kulihat. Keenan. Orang yang mereka banggakan, orang yang mereka kira akan peduli padaku, ternyata sudah bersama orang lain. Gadis lain. Setelah beberapa menit berlalu dalam keheningan, aku memohon agar mobil berhenti. "Mampir ke masjid dulu... sholat Maghrib," pintaku dengan suara pelan, hampir tak terdengar.Aline mengangguk tanpa bertanya lebih lanjut, dan su
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki yang semakin mendekat membawaku kembali ke kenyataan. Aline tiba lebih dulu, diikuti oleh Kafka, Nevan, dan Abhi. Wajah mereka penuh kecemasan saat mereka menghampiriku. Aline duduk di sampingku, tanpa ragu langsung merangkulku dengan erat. Pelukan hangatnya seolah mencoba menarikku keluar dari keterpurukan yang tengah melingkupiku."Al, tiba-tiba banget sakitnya?" tanyanya lembut, suaranya bergetar samar dengan kekhawatiran.Aku hanya mengangguk pelan, masih menutupi wajah dengan kedua tanganku. Air mata yang membasahi pipiku tidak bisa kutahan lagi, dan aku tidak ingin mereka melihat betapa hancurnya aku saat ini."Bentar, gue telfon supir gue dulu biar cepet kesini," Kafka berkata, suaranya terdengar seperti dari kejauhan, bergema di antara pikiranku yang kacau. Aku bisa mendengar langkah kakinya menjauh sedikit, mungkin untuk mendapatkan sinyal yang lebih baik, tapi fokusku tak bisa sepenuhnya tertuju padanya.Aline menghela napas dalam
"Ketika rasa tak lagi mampu berlabuh di bumi, aku melangitkannya—membiarkannya terbang tinggi, menuju Tuhan, di mana segala harapan menemukan tempatnya yang abadi." -Alshameyzea Afsheena •••Di bawah langit senja yang memancarkan warna merah jingga lembut, bandara sore itu tampak bagaikan palet cat yang dipenuhi dengan warna-warna ceria dan energi yang tak tertahan. Namun, kontras antara suasana yang riuh dan keadaan batinku yang terpuruk tak pernah lebih jelas daripada saat ini. Setiap langkahku terasa seperti usaha sia-sia untuk menghapus bayangan yang baru saja menghantamku dengan keras, seakan dunia yang kukenal runtuh dalam sekejap. Napasku terasa semakin berat, masing-masing seperti beban yang menambah kekosongan yang menggelayuti hatiku. Tanpa rencana atau tujuan yang jelas, kakiku menarikku ke arah kamar mandi, mencari ketenangan di tempat yang sederhana. Mungkin, air wudhu' yang dingin dan menyegarkan bisa menjadi penawar sementara, menyelamatkanku dari kegundahan yang men
Aku terus memperhatikannya, merasa janggal dan penasaran. Gerakannya tenang, tapi matanya tampak sibuk mencari. Lalu, tak lama kemudian, muncul beberapa sosok yang sangat familiar-Rey, dokter Athala, dan bundanya. Mereka bergabung dengan Arshaka, tampak berbicara dengan penuh keseriusan.Ada perasaan aneh yang tiba-tiba muncul di dadaku, semacam kekacauan emosional yang sulit kutafsirkan. Namun sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, suara Aline memecah keheningan."Al, lagi liatin apa sih?" tanyanya dengan nada penasaran, membuyarkan lamunanku.Aku tersentak, refleks menggeleng pelan. Tapi saat aku kembali menoleh ke arah Shaka dan keluarganya, mereka sudah menghilang dalam keramaian bandara. Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri dari rasa tak menentu yang tiba-tiba melanda.Kami berhenti di area parkir. Aline segera membuka pintu dan keluar dengan cepat, sementara aku masih mencoba menenangkan pikiran. Beberapa detik kemudian, mobil Nevan dan Abhi tiba, disusul oleh mob
"Itu. Lanjutannya," jawabku sambil menatapnya lebih dalam, ingin melihat reaksinya.Keenan menarik napas dalam, tatapannya tak pernah lepas dari wajahku. "Masih," ucapnya mantap, tanpa ragu.Keheningan langsung menyelimuti kami. Meski di sekitar kami kelas dipenuhi dengan suara obrolan teman-teman yang riuh, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang memisahkan kami dari hiruk pikuk itu. Hanya ada aku dan Keenan, duduk berhadapan dengan suasana yang kini terasa jauh lebih dalam dan rumit."Kamu mau ya, nganterin aku nanti?" tanyanya tiba-tiba, suaranya kini lebih lembut, penuh harap. "Bareng Kafka juga. Nanti ajak Aline."Aku menatapnya, kini wajahnya penuh dengan permohonan yang begitu tulus. Untuk sesaat, aku terdiam. Lalu, dengan senyum tipis, aku mengangguk pelan, tanda bahwa aku bersedia.---KRING! KRING! KRING!Bel sekolah berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran hari itu. "Jam pelajaran telah selesai, seluruh siswa diperbolehkan untuk pulang ke rumah masing-masing,"