Bab 53: Kebenaran di Warung Kopi
Pantas saja, aplikasi driver Ayo-Jek milik Aje sepi. Sudah satu jam ia menyalakannya sejak berangkat dari rumah tadi belum juga ia mendapat orderan.
Ternyata sekarang adalah hari merah. Memang bukan Minggu, tapi tetap saja ini adalah hari libur. Itu berarti tidak ada anak sekolah, atau pun guru-guru yang berangkat sekolah.
Pekerja kantoran dan juga karyawan-karyawan perusahaan juga libur. Emak-emak, embak-embak, atau tante-tante yang biasanya pergi ke pasar juga seakan enggan keluar.
“Ya sudahlah,” pikir Aje. Mungkin dia yang kelewat siang menyalakan aplikasi drivernya.
Aje pun membelokkan motornya ke kanan, dan terus saja menyusuri jalan raya Soekarno Hatta hingga tak lama kemudian ia berbelok lagi ke jalan Bunga Tanjung dan berhenti di salah satu base camp favoritnya, yaitu warung kopi Bang Fahmi.
Ada beberapa pengojek daring yang rupanya tel
Bab 54:Razia Hati “Hei! Di depan sana itu, kenapa ada banyak polisi?” tanya Aje dalam hati yang sontak saja cemas.Sang driver ojek online ini pun melambatkan laju motornya. Sejurus kemudian ia pun menajamkan pandangan ke arah depan sana. Hingga selanjutnya, ia menyadari Sesuatu.Gawat!Ada razia!Razia lalu lintas!Aduh, gugupnya Aje, dan takutnya dia. Kenapa begini?Secara sekilas saja Aje mengingat-ingat keadaan dirinya sendiri. Tentang surat-surat yang terkait dengan berkendara, semuanya lengkap. Ia juga tidak sedang menunggak pajak motornya.Aje berniat mengelak dari operasi razia yang semakin tampak jelas di jarak lima puluh meter di depan itu. Akan tetapi, kepalang tanggung, sudah tidak ada lagi belokan U-Turn untuk ia tuju. Juga tidak ada lagi persimpangan yang bisa ia sasar.Untuk berhenti dengan tiba-tiba dan balik arah melawan arus juga tidak m
Bab 55:Sambutan Para Perindu Sebuah bus berwarna silver melaju dengan kecepatan sedang di jalan antar kota. Berkelak-kelok di tikungan, klaksonnya menyalak dengan irama ‘telolet’ nan ramai. Sekali, bus itu melewati sebuah jembatan yang terbentang di atas sebuah sungai yang cukup lebar.Kemudian terus saja menanjak dan kembali berkelak-kelok, semakin jauh menuju ke barat, tepatnya menuju kabupaten Rokan Ulu.Sekitar lima jam kemudian, bus itu sampai di sebuah kota kecil bernama Negeri Intan, dan memasuki sebuah terminal kecil yang tampak hanya seperti pasar saja.Hekal turun di terminal kecil itu. Sembari menggendong tas punggungnya ia berjalan menuju sebuah mobil angkutan yang sedang ngetem menunggu penumpang di pojok terminal.Perjalanan kembali Hekal teruskan dengan mobil angkutan, dan ia sambung lagi dengan ojek yang biasa tersedia di persimpangan mulut kampungnya.Angin s
Bab 56:Minta Tolong? Di depan wastafel yang ada di rest room kantor Ditlantas, Olive mematung dengan gerak-gerik seperti orang linglung. Usai pelaksanaan operasi razia tadi, ia membasuh wajahnya dan membenahi sedikit riasan dengan set toiletries yang ia bawa.Beberapa saat ia terus memandangi wajahnya sendiri yang terpampang di cermin. Entahlah, entah apa yang sedang ia pikirkan sekarang. Pastinya ada satu kekecewaan yang ia dapat dari pelaksanaan operasi razia Simpatik tadi.Operasi razia tadi memang sengaja digelar Ditlantas Polda, bekerja sama dengan Satlantas dari Polresta Bandar Baru di hari merah atau hari libur. Dengan asumsi banyak orang yang keluar rumah untuk pergi berlibur, ‘hangout’, berjalan-jalan atau semacamnya.Tujuan dari operasi itu sendiri sebenarnya hanya untuk mengingatkan dan menanamkan kesadaran berlalu lintas kepada masyarakat.Olive bersama rekan-rekan tim y
Bab 57:Sambung Rasa Sambung rasa, sambung cerita, melepaskan rindu dan memuaskan rasa kasih. Kehangatan sebuah keluarga melingkari Hekal, sang Ibu, dan kedua adiknya yang berbincang-bincang di ruang tengah.Canda dan tawa bersahut dan berbalasan dengan begitu asyiknya. Hingga kemudian, sampai pada sebuah topik bahasan yang membuat Hekal merasa terpojok.“Mana janji Kakak?” Tanya Eci tiba-tiba dengan wajah yang merajuk.“Janji? Janji yang mana?” Hekal berpura-pura lupa.“Kakak bilang mau belikan aku sepatu.”Eca yang tunarungu pun menimpali dengan isyarat dan suara khas dari mulutnya.“Mmmah.., mmmhaah..,”Hekal tersenyum, dan sengaja membuang muka.“Iya, Kakak tidak lupa kok. Untuk Eca juga Kakak belikan.”“Mana?” Tanya Eca dengan isyarat.“Tunggu dulu, ada syaratnya.”
Bab 58:Rindu Mendadak saja hati Olive berdebar-debar. Apa hal? Apa pasal? Mengapa Hekal tidak juga membalas pesan chat yang barusan ia kirimkan? Apakah Hekal sudah mempunyai pacar?“Sehingga karena itu membalas pesan chat dari aku ia merasa tidak perlu?”Oh, Olive gelisah. Rasa kantuknya pun tak kunjung datang juga. Beberapa saat ia terus memandangi ponselnya yang terletak di atas ranjang, persis di depan wajahnya sendiri.“Hekal, kamu balas sekarang ya? Satu, dua.., tiga!”Eee..! Tidak juga!Merasa kesal, Olive pun bangkit dari ranjang. Ia berjalan keluar dari kamar, menuju kamar mandi, masuk lagi ke kamar. Keluar lagi, masuk.., nah, keluar lagi!“Kamu kenapa sih, Olive?” Tanya sang Ibu.Sebentar Olive mematung dengan ujung jari telunjuk yang tergigit.“Hape aku di mana, Ma?”Serentak saja ibu dan ayah tirinya i
Bab 59:Rapuh Hari demi hari pun berlalu. Menggenapi almanak satu demi satu hingga terbilang minggu. Bersamaan dengan itu, Briptu Olivia Razak menjalani hari-harinya dengan semangat yang selalu baru.Energi misterius yang merasukinya dari bayang-bayang wajah Hekal senantiasa membuatnya memandang hari dengan penuh keceriaan.Sang Polwan ini merasa, kemana pun ia melangkahkan kakinya seakan seluruh dunia tengah menatapnya.Di dalam persepsinya sendiri ia telah menjadi ‘center of gravity’, pusat gravitasi, di mana semua orang akan tertarik dan mengedar di sekeliling dirinya.Ajaib memang, setruman psikologis yang disebut-sebut orang dengan nama ‘kasmaran’ ini.Akan tetapi, bertolak belakang dengan itu semua, Aipda Karin Jazmina Zachrie merasa telah terjatuh ke dalam jurang yang paling dalam. Sampai di dasar jurang itu ia jatuh lagi, jatuh lagi, dan terus begitu, menga
Bab 60:3M Ibunda Karin kembali ke ruang tamu untuk menemui Olive. Beberapa saat mereka terlibat pembicaraan dengan suara yang sengaja dipelankan.Akhirnya, Olive pun mengangguk untuk memenuhi permintaan ibu dari seniornya di Polda itu. Segera ia bangkit dari kursi tamu dan berjalan melewati ruang tengah, lalu berbelok ke kiri, keluar menuju teras samping di mana Karin berada.“Mbak?” Sapa Olive dengan raut yang tampak segan.Karin menoleh, dan mengulas sebuah senyum tipis nan hambar.“Aku boleh duduk di situ?” Olive menunjuk sebuah kursi di samping Karin.Karin hanya mengangguk sekali. Ekspresi wajahnya sendiri seakan sedang tidak ingin ditemui oleh siapa pun.Olive melangkah mendekati Karin. Sebelum mengambil duduk ia menyempatkan diri untuk memeluk Karin yang masih saja termangu di kursinya. Dari situ Olive pun paham, betapa tertekannya batin sang Srikand
Bab 61:Ekstra Bakso It is work! Yeah, ternyata ini manjur!Setiap hari, pagi dan sore, Karin melakukan latihan karate, dengan fokus sasaran pada samsak yang ada tempelan kertas bertulisan ‘mantan’ itu.Secara perlahan bayang-bayang menyakitkan di dalam hati Karin pun mulai menipis. Ia semakin giat saja memukuli samsak dengan tangannya yang terbungkus sarung tinju.Di beberapa hari berikutnya setelah kedatangan Olive itu, Karin masih asyik memukuli samsak dengan aneka variasi serangan tinju. Jab, straight, counter strike, hook, uppercut, dan..,“Ciaatt..! Ciaaatt..!!”Bug! Bug! Bug!Bag, bug! Bag, bugg..!Lestari, alias Tari, keponakan Karin yang baru pulang kuliah, menghampiri dirinya yang terus berciat-ciat dan ber-gedebag-gedebug.“Tante. Aku lagi senang nih,” kata Tari sesampainya di samping Karin.“Kenapa?” S
Bab 303: Selendang Cinta “Saya terima nikah dan kawinnya Karin Jazmina Zachrie binti..,” Kalimat Aje terputus lagi! Bintinya, binti siapa? Aje lupa! Siapa tadi nama ayah kandung Karin? Siapa tadi namanya, ini, lelaki di hadapanku yang menggenggam tanganku ini! Mengapa lidah Aje menjadi kelu begini? Tiba-tiba saja hatinya bergetar dahsyat. Ia merasa tengah berada di dalam sebuah dimensi yang tak terdefinisi. Seakan-akan ia berada di suatu kegelapan, di mana sekarang tengah dipampangkan di depan matanya, seluruh kolase hidupnya yang bersambungan bak deretan potret. Dia yang dulu menikah dengan Diana., Dia yang dulu menjalani hidup nan bahagia.., Diana yang kemudian mengandung.., Diana yang dimasukkan ke ruang operasi…, Diana yang tak sadar dan terus pergi.., Darah Aje mendesir begitu derasnya. Bulu romanya pun serentak meremang. Entah apa yang ia rasakan sekarang. Namun, tiba-tiba kegelapan yang menyungkupinya tadi menghilang. Digantikan suasana yang terang benderang, de
Bab 302: Riam Kanan Riam Kiri “Eeem, ini, Abang ada masalah, Kal.”“Masalah? Masalah apa, Bang?”“Jadi begini, besok malam, eee.., besok malam.., Abang mau.., ini, ckk, eee..,”“Mau apa?” Kejar Hekal.“Emmm, Abang mau melamar seseorang.”“Melamar?”“Iya.”“Siapa?”“Kamu pasti tahu orangnya.”“Mbak Karin?”“Iya.”“Tunggu, tunggu dulu, Bang.”“Kenapa?”“Aku bilang cie dulu ya.”“Silah..,” belum sampai ‘kan’, Hekal sudah,“Ciiieeeee..!”Nah, masalahnya adalah, Aje sudah tidak mempunyai orang tua lagi. Kerabat terdekat ayahnya yang dituakan justru tinggal di kota yang berbeda dan itu jauh.Aje bisa saja, dan ia berani melakukan itu, melamar Karin seorang diri. Akan tetapi, ia juga tidak bisa mengabaikan etika.Semestinya, untuk berbicara dengan orang tua Karin harus melalui perantara orang tua juga, dalam hal ini keluarga.“Abang sudah meminta tolong Pak Sali untuk menjadi perwakilan keluarga Abang. Tapi, dia tidak berani. Grogi, begitu katanya.”“Oh, begini saja, Bang. Aku ada ide.”“Ap
Bab 301:Bunda Untuk Tiara Aje mengendarai motornya dengan perasaan yang melambung. Seakan-akan ia baru saja menghirup gas helium, membuat dirinya dan juga motornya terasa amat ringan.Rasanya seperti mau terbang saja. Mungkin benar apa yang dikatakan pujangga lama dari antah berantah itu, bahwa bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta, mereka tak butuh sayap!Seperti inikah dampak dari sesuatu yang dinamakan asmara itu?Apakah ini merupakan pengalaman yang paling baru bagi Aje?Tidak juga. Bersama almarhumah Diana dulu ia pernah merasakan gejolak yang seperti ini. Momen ketika dulu ia bertemu dengan almarhumah Diana pun kembali membayang di dalam benak Aje, seiring dengan perjalanannya bermotor kembali ke rumah.Di dalam bus metro, ya, di situlah ia dulu bertemu dengan Diana sewaktu masih tinggal di Jakarta. Cerita pun bergulir dari beberapa pertemuan hingga menjadi perkenalan.
Bab 300:Kamu Oke Aku Pun Oke “Ayim!”“Jazmin!”Tiba-tiba saja, bumi berhenti berputar, angin berhenti berhembus, bunga dan pepohonan tak bergerak, kupu-kupu diam mengambang.., semua yang ada di taman ini seakan terpasung pada waktu yang abadi.Pelan-pelan, Karin melirik ke arah Aje. Pelan-pelan juga Aje melirik ke arah Karin. Beberapa detik mereka berdua saling bersitatap, lalu serentak saling mengalihkan pandangan. Canggung, grogi, gugup, kikuk.Aje dan Karin telah tertangkap basah dengan kata-kata mereka sendiri, Saat ini Karin merasa bagai pencuri ayam yang terkurung di dalam kandang.Aje pun merasa bagai maling celana dalam yang dipergoki sang pemilik jemuran.“Naaah..!” Kata Olive menunjuk Hekal. “Sudah dengar Kakak kan? Gebetannya Mbak Karin itu cuma Ayim!”“Sudah dengar juga kamu kan?” Sahut Hekal pula. &ldq
Bab 299:Ayim & Jazmin Aje mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedikit lebih dari biasanya. Ia tidak ingin Hekal terlalu lama menunggu, lalu membuat penerima paket pun ikut menunggu.Barang yang tidak biasa, dengan layanan yang tidak biasa pula. Butuh cepat, begitu kata Hekal tadi. Ongkosnya saja dua kali lipat dari yang semestinya.Sesekali Aje berhenti di lampu merah, atau di ruas jalan yang kebetulan sedang ada kemacetan. Ia barengi proses mengendara motornya itu dengan berpikir, tentang apa pun yang kebetulan melintas di dalam benaknya.Nah, tiba-tiba ia teringat lagi pada mimpinya beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang wanita di bawah joglo yang ditunjukkan almarhumah Diana.Atau, bagaimana jika.., joglo dalam mimpinya itu memiliki pengertian yang tidak harfiah. Artinya bukan joglo dalam bentuk fisik, tapi joglo dalam bentuk yang.., heemm, Aje terus berpikir, terus melamun, se
Bab 298:Yang Bertengkar Sepanjang perjalanannya menuju alun-alun ini, benak Karin terus diganggu dengan banyaknya pertanyaan. Ia tak habis pikir, masalah apa yang sedang dihadapi Olive itu hingga ia meminta bantuan pada dirinya.“Mudah-mudahan, Olive nanti bisa kuat dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan Hekal,” harap Karin dalam hati.“Mudah-mudahan aku tidak perlu campur tangan.” Olive bilang di telepon tadi, dia bertengkar dengan Hekal suaminya itu. Pasal apakah? Apakah ini menyangkut fisik Olive yang tidak sempurna lagi dan Hekal yang kakinya juga cacat?“Sepertinya, tidak mungkin.” Bantah Karin pula.Sebab, dengan pandangannya sendiri ia bisa menilai ketulusan Hekal pada Olive dan begitu juga sebaliknya.Atau, ada rahasia lain?Misalnya, Olive frigid, dan Hekal impoxten hingga tak mampu menafkahi batin istrinya itu? Hemm,
Bab 296:Antara Tangisan dan Orderan Masih pukul sepuluh pagi, Karin ingin mengambil break dari pekerjaannya dengan keluar menuju kantin yang terletak di antara komplek perkantoran Ditreskrimum dan Ditlantas.Ia berharap segelas teh manis dengan campuran irisan lemon bisa menyegarkan pikirannya.Sejak kemarin ia diperintah oleh Kompol Corina untuk membaca-baca buku, artikel, atau jurnal yang membahas psikologi wanita.Ini terkait dengan sebuah kasus kekerasan dari sebuah Polres yang sekarang tengah mendapat supervisi dari komandannya itu.Karin membaca, membuat resume, dan menyunting semua hal yang perlu dari bacaannya itu, untuk selanjutnya nanti akan ia diskusikan bersama.Tak sampai dua menit kemudian Karin telah sampai di kantin dan segera memesan segelas teh lemon.Ia sengaja memilih duduk di meja yang paling pojok. Selain karena memang itu nalurinya sebagai petugas rese
Bab 296:Lumer “Aku tadi sudah ke Rowo Bening, Bang,” kata Hekal mulai buka percakapan.“Hem-hem? Ke tempat siapa?”“Tentu saja ke rumah Abang.”“Nah, Abang kan lagi mengojek.”“Itu dia yang aku lupa. Ya sudah, sekalian saja aku silaturrahmi ke rumah Kak Eda. Sekalian juga aku nengokin Tiara.”Aje tersenyum. Ia memindahkan jaket Ayo-Jek-nya dari meja ke kursi, supaya ia bisa melipat tangannya di meja itu. Cangkir kopinya ia geser juga sedikit.“Pantas saja aku pangling dengan Tiara ya, Bang.”“Kenapa?”“Tiara makin comel begitu, pipinya makin chubby, rambutnya pun makin panjang.”Aje tersenyum lagi.“Tiara rupanya sudah lupa dengan aku, Bang. Mau kugendong dia tak mau. Mau kucium apa lagi. Aku keluar dulu, beli es krim, barulah dia mau kugendong. Hahaha.
Bab 295:Duren Montong Sepanjang perjalanan pulang ini Aje sesekali tersenyum. Ia merasa geli ketika teringat keberhasilannya melakukan ‘prank’ kecil pada Karin di gazebo tadi.Begitu lucunya mungkin bagi sang Polwan itu. Sampai ia tertawa tergelak-gelak. Berhenti sebentar untuk bertanya jawab, lalu tertawa dan tergelak-gelak lagi.Karin bahkan sampai bangkit dari posisi duduknya dan mencubiti bahu Aje.Memori di gazebo belum lama tadi ia padan-padankan dengan memorinya yang dulu bersama almarhumah Diana.Prank pura-pura tertidur akibat terkena hipnotis sendiri, dulu juga pernah ia lakukan pada istrinya itu.Betapa senang dan gembiranya Diana ketika itu. Ia tertawa begitu lepas, dan menggeram-gerami dirinya dengan pukulan bantal guling.Aje lalu menangkap bantal guling, menarik tangan Diana pula, lalu segera menyambar bibir Diana yang merona itu dengan ciuma