Ujian Nasional berjalan dengan semestinya. Ini hari keempat sekaligus menjadi hari terakhir. Khusus hari terakhir ini, Adryan tidak berangkat ke rumah sakit hanya untuk menemani istrinya ujian. Dan lihat, pagi sekali pria itu sudah sibuk membuat sarapan untuk istrinya, yang pastinya dibantu mbak Intan. Hari ini ia bangun lebih cepat dari biasanya. Sedangkan ibu hamil itu masih terlelap. Pria itu pandai dalam mengolah makanan, hanya saja sejak menikah ia menjadi malas. Selama di apartemen kemarin Helsa yang selalu masak untuknya, namun seiring berjalannya waktu ia tidak mengijinkan istrinya bekerja. Oatmeal dengan potongan strawberry, roti gandum isi telur dan sedikit alpukat, susu ibu hamil sudah tersedia diatas meja makan. Jangan lupakan beberapa menu sarapan untuknya sendiri. "MAS ADRYAN!!!" Adryan yang sedang meneguk air putih seketika tersedak saat suara teriakan yang diiringi tangisan dari dalam kamar menggema. Gelas yang tadinya dipegang sekarang berpindah ke lantai dan menj
Aroma lavender dalam ruangan membuat Helsa betah berlama-lama disini. Kamar ini menyimpan sejuta kenangan bersama sahabat-sahabatnya. Bahkan kenangan bersama mantan pacarnya. Helsa ingat sekali saat bagaimana enam orang gadis dengan seragam SMA yang berdesakan tidur di atas ranjang itu, bahkan Diandra dan Bella sempat jatuh ke lantai. Bicara soal Bella, apa kabar dengan gadis itu? Helsa sudah memaafkannya. Rindu, Helsa merindukan mereka. Mungkin sekarang gadis-gadis itu sedang berlibur menikmati masa muda mereka atau mungkin sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas. "Sampai bertemu lagi," ucap Helsa. Pertemuan beberapa hari lalu mungkin menjadi yang terakhir, karena Adryan sudah tidak mengijinkan istrinya untuk keluar apalagi dengan kondisi kehamilan Helsa yang sudah membesar. Katanya, jika teman-temannya ingin bertemu, langsung saja ke rumah. Helsa membuka laci nakas, disana ada sebuah flashdisk dan ponsel lama milikknya. Ponsel itu sudah tidak ia paka
Adryan melangkah tegas memasuki ruangan dokter Bagas, Kepala Rumah Sakit Mawar Medika. Tidak memakai pakaian formal seperti biasa, pria itu hanya mengenakan celana training dan kaos berwarna abu-abu yang dibalut dengan hoodie hitam. Di ruangan dokter Bagas, Daniel masih ditahan sejak kejadian siang tadi. Laki-laki yang berprofesi Analisis Kesehatan itu terlihat sangat berantakan. Adryan menahan emosinya saat melihat Daniel, begitu pun dengan Daniel yang sama sekali tidak ingin melihat Adryan. Perbuatannya salah karena sudah membahayakan nyawa seseorang, apalagi orang itu adalah istri dari pria yang hatinya begitu mulia. "Helsa sudah di kamarnya, dokter Adryan?" tanya dokter Bagas. "Sudah, mungkin sebentar lagi suster Diana akam memasang infus," jawabnya. Dokter Bagas mengalihkan atensinya pada Daniel yang sejak tadi tidak bersuara. "Bicara seperti apa yang mau kamu sampaikan pada dokter Adryan, jangan mengulur waktu," tegas dokter Bagas pada Daniel. "Saya hanya disuruh, dokter.
"Selamat pagi." Seorang perawat tersenyum canggung pada Helsa. Wanita berpakaian Oka itu merasa aneh saat mendengar Adryan menyapa Helsa layaknya pasien lain. Sayang? Oh, panggilan tidak berlaku saat Adryan sedang bertugas. "Selamat pagi, cantik," sapa perawat berusia kepala tiga pada Helsa. Adryan bekerja secara profesional. Helsa akan menjadi pasiennya saat ia sedang bertugas. Wanita hamil itu akan diperlakukan sama seperti pasien lainnya, tidak boleh lebih. "Sudah sarapan?" tanya Adryan. Dengan penlight ditangannya, ia memeriksa kondisi mata Helsa. Mata sayu itu selalu terlihat pucat. Itu yang selalu Adryan lihat sejak pertama mereka bertemu. Istrinya memang menderita anemia berat. "Belum, dokter," jawab Helsa seadanya. Wanita itu masih kesal pada Adryan yang meninggalkannya begitu saja pagi tadi. "Kenapa belum? Lagi nungguin siapa emang?" Adryan bertanya, lihat bagaimana senyuman kecil terpatri pada bibirnya. Pria itu memang sengaja bertanya. "Nungguin mama saya,"
Hari berlalu dengan semestinya. Beberapa minggu yang lalu setelah dirawat selama enam hari di rumah sakit, kadar Hemoglobin wanita hamil itu kembali normal, bahkan sempurna. Adryan tidak perluh khawatir saat Helsa bersalin nanti. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, itu berarti hanya menunggu hari kelahirannya saja. Jujur, saat ini Adryan begitu khawatir saat Helsa harus ditinggal sendiri di rumah. Jika Adryan berada diluar rumah, maka Helsa akan meladeni telpon setiap dua puluh menit sekali. Menyebalkan sekali. "Mas, besok kan dengar kelulusan, kalau nilai Helsa bagus dikasih hadiah kan?" "Terus nanti lusa kan pengumuman kelulusan juga dari Toronto, berarti hadiahnya ada dua," tambah Helsa. "Emang mau hadiah apa, sayang?" Adryan melepaskan buku yang sejak tadi ia baca, sekarang atensinya beralih pada Helsa. "Kan ada dua hadiahnya, satunya Helsa yang tentuin, satunya lagi terserah mau kasih apa aja," jawab Helsa. "Kasih apa aja, serius?" Adryan memastikan. "Iya, a
Malam yang penuh dengan emosi dan air mata penyesalan yang tiada akhir. Satu botol alkohol diteguknya hingga tandas tanpa jeda. Masih terselip tangisan dalam racauannya. Sepulang dari rumah Helsa, Akmal meminta Reno menemaninya minum di rumah tantenya. Bukan hanya Reno, ada David dan Dimas juga disana. Sudah lima bulan Akmal tidak pulang ke rumahnya. "Akmal nangis dari rumahnya Helsa?" tanya David pada Reno, memandang kondisi temannya. "Begitu, lah." "Semua orang punya kesalahan, dan selalu dikasih kesempatan kedua, kenapa gue nggak dapat kesempatan itu?" racau Akmal. "Helsa terlalu jahat sama gue, dia siksa gue gini banget." Akmal tertawa, kembali meneguk alkohol yang ada ditangannya. "Dia nggak jahat, Al. Dia bebasin lo deket sama perempuan-perempuan itu tanpa harus ngerasa bersalah sama dia," timpal Dimas. Reno terkekeh, "emang Akmal pernah ngerasa bersalah sama Helsa pas tidur sama mereka?" "Ren, lo diam!" tunjuk Akmal. Matanya begitu sayu, memerah karena alkohol dan tangi
Malam itu IGD Mawar Medika tampak ramai karena adanya kecelakaan beruntun di dekat rumah sakit tersebut. Dua puluh menit waktu yang ditempuh mobil Adryan, dan sampailah mereka di Mawar Medika. Di loby IGD sudah ada dua perawat yang memang sedang menunggu mereka. Di perjalanan tadi, dokter hematologi itu sudah menghubungi beberapa rekannya yang sedang bertugas di IGD agar menyiapkan brangkar. Keluar dari mobil, Adryan langsung menggendong Helsa keluar dari sana dan membaringkan istrinya pada brangkar. Helsa didorong ke dalam IGD terlebih dahulu untuk memasang infus. Bukan tanpa sebab Helsa diinfus, Adryan takut terjadi pendarahan secara tiba-tiba saat di ruang bersalin. Kondisi kadar hemoglobinnya memang sudah stabil, namun Adryan masih saja khawatir. Pria itu sendiri yang memasang infus pada tangan kiri istrinya. Sweet banget kan readers ... Helsa mati-matian menahan tangisnya. Beberapa saat kemudian, Renata tiba bersamaan dengan dokter Sofia. "Mama," spontan Helsa menangis ketik
"Akmal Devandra Van Brawijaya," sebut Adryan. "Azlan Devandra Van Brawijaya." Adryan dan Helsa memandang ke arah pintu masuk ruang persalinan. Renata masuk, bersamaan dengan Adryan menyebut nama bayi tersebut. "Dulu, sebelum Mama dan Papa punya Helsa, Mama pernah hamil," ungkap Renata. Digendongnya bayi itu dari pelukan Adryan, lalu menciumnya dengan lembut. "Kandungan Mama lemah, dan Mama keguguran saat usia kandungan memasuki enam bulan," jelas Renata. "Kakak kamu berjenis kelamin laki-laki, Mama udah siap namanya, Azlan. Dan sekarang Mama mau nama itu untuk cucu pertama Mama," tutur Renata. "Jadi Helsa punya kakak? Kenapa Mama sama Papa nggak pernah cerita?" tanya Helsa. "Nggak usah dibahas, lain kali aja gimana? Kamu istirahat, sayang," tambah Renata. "Azlan Devandra Van Brawijaya, Papa pasti senang sekarang," seru Renata. "Adryan nggak masalah, kan?" tanya Renata. Pria itu membalas dengan anggukan yang diselingi senyuman begitu tulus. Adryan