Aroma lavender dalam ruangan membuat Helsa betah berlama-lama disini. Kamar ini menyimpan sejuta kenangan bersama sahabat-sahabatnya. Bahkan kenangan bersama mantan pacarnya. Helsa ingat sekali saat bagaimana enam orang gadis dengan seragam SMA yang berdesakan tidur di atas ranjang itu, bahkan Diandra dan Bella sempat jatuh ke lantai. Bicara soal Bella, apa kabar dengan gadis itu? Helsa sudah memaafkannya. Rindu, Helsa merindukan mereka. Mungkin sekarang gadis-gadis itu sedang berlibur menikmati masa muda mereka atau mungkin sedang mempersiapkan diri untuk masuk ke universitas. "Sampai bertemu lagi," ucap Helsa. Pertemuan beberapa hari lalu mungkin menjadi yang terakhir, karena Adryan sudah tidak mengijinkan istrinya untuk keluar apalagi dengan kondisi kehamilan Helsa yang sudah membesar. Katanya, jika teman-temannya ingin bertemu, langsung saja ke rumah. Helsa membuka laci nakas, disana ada sebuah flashdisk dan ponsel lama milikknya. Ponsel itu sudah tidak ia paka
Adryan melangkah tegas memasuki ruangan dokter Bagas, Kepala Rumah Sakit Mawar Medika. Tidak memakai pakaian formal seperti biasa, pria itu hanya mengenakan celana training dan kaos berwarna abu-abu yang dibalut dengan hoodie hitam. Di ruangan dokter Bagas, Daniel masih ditahan sejak kejadian siang tadi. Laki-laki yang berprofesi Analisis Kesehatan itu terlihat sangat berantakan. Adryan menahan emosinya saat melihat Daniel, begitu pun dengan Daniel yang sama sekali tidak ingin melihat Adryan. Perbuatannya salah karena sudah membahayakan nyawa seseorang, apalagi orang itu adalah istri dari pria yang hatinya begitu mulia. "Helsa sudah di kamarnya, dokter Adryan?" tanya dokter Bagas. "Sudah, mungkin sebentar lagi suster Diana akam memasang infus," jawabnya. Dokter Bagas mengalihkan atensinya pada Daniel yang sejak tadi tidak bersuara. "Bicara seperti apa yang mau kamu sampaikan pada dokter Adryan, jangan mengulur waktu," tegas dokter Bagas pada Daniel. "Saya hanya disuruh, dokter.
"Selamat pagi." Seorang perawat tersenyum canggung pada Helsa. Wanita berpakaian Oka itu merasa aneh saat mendengar Adryan menyapa Helsa layaknya pasien lain. Sayang? Oh, panggilan tidak berlaku saat Adryan sedang bertugas. "Selamat pagi, cantik," sapa perawat berusia kepala tiga pada Helsa. Adryan bekerja secara profesional. Helsa akan menjadi pasiennya saat ia sedang bertugas. Wanita hamil itu akan diperlakukan sama seperti pasien lainnya, tidak boleh lebih. "Sudah sarapan?" tanya Adryan. Dengan penlight ditangannya, ia memeriksa kondisi mata Helsa. Mata sayu itu selalu terlihat pucat. Itu yang selalu Adryan lihat sejak pertama mereka bertemu. Istrinya memang menderita anemia berat. "Belum, dokter," jawab Helsa seadanya. Wanita itu masih kesal pada Adryan yang meninggalkannya begitu saja pagi tadi. "Kenapa belum? Lagi nungguin siapa emang?" Adryan bertanya, lihat bagaimana senyuman kecil terpatri pada bibirnya. Pria itu memang sengaja bertanya. "Nungguin mama saya,"
Hari berlalu dengan semestinya. Beberapa minggu yang lalu setelah dirawat selama enam hari di rumah sakit, kadar Hemoglobin wanita hamil itu kembali normal, bahkan sempurna. Adryan tidak perluh khawatir saat Helsa bersalin nanti. Usia kandungannya sudah memasuki bulan kesembilan, itu berarti hanya menunggu hari kelahirannya saja. Jujur, saat ini Adryan begitu khawatir saat Helsa harus ditinggal sendiri di rumah. Jika Adryan berada diluar rumah, maka Helsa akan meladeni telpon setiap dua puluh menit sekali. Menyebalkan sekali. "Mas, besok kan dengar kelulusan, kalau nilai Helsa bagus dikasih hadiah kan?" "Terus nanti lusa kan pengumuman kelulusan juga dari Toronto, berarti hadiahnya ada dua," tambah Helsa. "Emang mau hadiah apa, sayang?" Adryan melepaskan buku yang sejak tadi ia baca, sekarang atensinya beralih pada Helsa. "Kan ada dua hadiahnya, satunya Helsa yang tentuin, satunya lagi terserah mau kasih apa aja," jawab Helsa. "Kasih apa aja, serius?" Adryan memastikan. "Iya, a
Malam yang penuh dengan emosi dan air mata penyesalan yang tiada akhir. Satu botol alkohol diteguknya hingga tandas tanpa jeda. Masih terselip tangisan dalam racauannya. Sepulang dari rumah Helsa, Akmal meminta Reno menemaninya minum di rumah tantenya. Bukan hanya Reno, ada David dan Dimas juga disana. Sudah lima bulan Akmal tidak pulang ke rumahnya. "Akmal nangis dari rumahnya Helsa?" tanya David pada Reno, memandang kondisi temannya. "Begitu, lah." "Semua orang punya kesalahan, dan selalu dikasih kesempatan kedua, kenapa gue nggak dapat kesempatan itu?" racau Akmal. "Helsa terlalu jahat sama gue, dia siksa gue gini banget." Akmal tertawa, kembali meneguk alkohol yang ada ditangannya. "Dia nggak jahat, Al. Dia bebasin lo deket sama perempuan-perempuan itu tanpa harus ngerasa bersalah sama dia," timpal Dimas. Reno terkekeh, "emang Akmal pernah ngerasa bersalah sama Helsa pas tidur sama mereka?" "Ren, lo diam!" tunjuk Akmal. Matanya begitu sayu, memerah karena alkohol dan tangi
Malam itu IGD Mawar Medika tampak ramai karena adanya kecelakaan beruntun di dekat rumah sakit tersebut. Dua puluh menit waktu yang ditempuh mobil Adryan, dan sampailah mereka di Mawar Medika. Di loby IGD sudah ada dua perawat yang memang sedang menunggu mereka. Di perjalanan tadi, dokter hematologi itu sudah menghubungi beberapa rekannya yang sedang bertugas di IGD agar menyiapkan brangkar. Keluar dari mobil, Adryan langsung menggendong Helsa keluar dari sana dan membaringkan istrinya pada brangkar. Helsa didorong ke dalam IGD terlebih dahulu untuk memasang infus. Bukan tanpa sebab Helsa diinfus, Adryan takut terjadi pendarahan secara tiba-tiba saat di ruang bersalin. Kondisi kadar hemoglobinnya memang sudah stabil, namun Adryan masih saja khawatir. Pria itu sendiri yang memasang infus pada tangan kiri istrinya. Sweet banget kan readers ... Helsa mati-matian menahan tangisnya. Beberapa saat kemudian, Renata tiba bersamaan dengan dokter Sofia. "Mama," spontan Helsa menangis ketik
"Akmal Devandra Van Brawijaya," sebut Adryan. "Azlan Devandra Van Brawijaya." Adryan dan Helsa memandang ke arah pintu masuk ruang persalinan. Renata masuk, bersamaan dengan Adryan menyebut nama bayi tersebut. "Dulu, sebelum Mama dan Papa punya Helsa, Mama pernah hamil," ungkap Renata. Digendongnya bayi itu dari pelukan Adryan, lalu menciumnya dengan lembut. "Kandungan Mama lemah, dan Mama keguguran saat usia kandungan memasuki enam bulan," jelas Renata. "Kakak kamu berjenis kelamin laki-laki, Mama udah siap namanya, Azlan. Dan sekarang Mama mau nama itu untuk cucu pertama Mama," tutur Renata. "Jadi Helsa punya kakak? Kenapa Mama sama Papa nggak pernah cerita?" tanya Helsa. "Nggak usah dibahas, lain kali aja gimana? Kamu istirahat, sayang," tambah Renata. "Azlan Devandra Van Brawijaya, Papa pasti senang sekarang," seru Renata. "Adryan nggak masalah, kan?" tanya Renata. Pria itu membalas dengan anggukan yang diselingi senyuman begitu tulus. Adryan
Senja kini berganti malam. Adryan memasuki rumah dengan pakaian futsal, dan lebih parahnya dalam kondisi mabuk. Entah ada apa dengan pria itu, yang pastinya sore tadi ia keluar untuk bermain futsal.Helsa yang memang sedang duduk pada kursi pantry meneliti cara berjalan suaminya yang sedikit sempoyongan. Terakhir Adryan menyentuh minuman haram tersebut saat mereka di Bali. Ada yang masih ingat kan tragedi Helsa ninggalin dia?"Minta izinnya main futsal, kenapa pulangnya mabuk?" sindir Helsa.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Helsa baru saja meniduri Devan, dan baru sempat menikmati makan malamnya. Ia sendiri tahu bahwa suaminya akan makan bersama teman-temannya di luar setelah selesai bermain futsal.Adryan mencari keberadaan suara lembut itu, namun langsung terjatuh pada sofa di ruang tengah."Nggak Devan, Mas Adryan juga sama aja," cetusnya tak suka. Ia segera merapikan meja, meletakkan piring dan gelas pada wastafel dapur.Helsa menghampiri suaminya yang tertidur di sana,
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad