"Akmal Devandra Van Brawijaya," sebut Adryan. "Azlan Devandra Van Brawijaya." Adryan dan Helsa memandang ke arah pintu masuk ruang persalinan. Renata masuk, bersamaan dengan Adryan menyebut nama bayi tersebut. "Dulu, sebelum Mama dan Papa punya Helsa, Mama pernah hamil," ungkap Renata. Digendongnya bayi itu dari pelukan Adryan, lalu menciumnya dengan lembut. "Kandungan Mama lemah, dan Mama keguguran saat usia kandungan memasuki enam bulan," jelas Renata. "Kakak kamu berjenis kelamin laki-laki, Mama udah siap namanya, Azlan. Dan sekarang Mama mau nama itu untuk cucu pertama Mama," tutur Renata. "Jadi Helsa punya kakak? Kenapa Mama sama Papa nggak pernah cerita?" tanya Helsa. "Nggak usah dibahas, lain kali aja gimana? Kamu istirahat, sayang," tambah Renata. "Azlan Devandra Van Brawijaya, Papa pasti senang sekarang," seru Renata. "Adryan nggak masalah, kan?" tanya Renata. Pria itu membalas dengan anggukan yang diselingi senyuman begitu tulus. Adryan
Senja kini berganti malam. Adryan memasuki rumah dengan pakaian futsal, dan lebih parahnya dalam kondisi mabuk. Entah ada apa dengan pria itu, yang pastinya sore tadi ia keluar untuk bermain futsal.Helsa yang memang sedang duduk pada kursi pantry meneliti cara berjalan suaminya yang sedikit sempoyongan. Terakhir Adryan menyentuh minuman haram tersebut saat mereka di Bali. Ada yang masih ingat kan tragedi Helsa ninggalin dia?"Minta izinnya main futsal, kenapa pulangnya mabuk?" sindir Helsa.Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Helsa baru saja meniduri Devan, dan baru sempat menikmati makan malamnya. Ia sendiri tahu bahwa suaminya akan makan bersama teman-temannya di luar setelah selesai bermain futsal.Adryan mencari keberadaan suara lembut itu, namun langsung terjatuh pada sofa di ruang tengah."Nggak Devan, Mas Adryan juga sama aja," cetusnya tak suka. Ia segera merapikan meja, meletakkan piring dan gelas pada wastafel dapur.Helsa menghampiri suaminya yang tertidur di sana,
Selepas kegiatan intim malam bersama istrinya, Adryan terbangun dari tidur. Sayup-sayup terlihat telapak tangan mungil yang sedang meraba wajah kantuknya. Hari masih terlalu pagi untuk bangun di hari libur, namun pergerakan kecil itu seperti ingin mengajaknya bermain.Di sisi kiri ternyata Helsa menghalanginya dengan bantal guling agar Devan tidak terjatuh ke lantai. Sepertinya wanita itu sedang di dapur, menyiapkan sarapan.Oh my god, jangan lupakan bahwa pria itu masih dalam keadaan naked."Good morning, my little bad boy," ucap Adryan sembari mencium gemas pipi gembul itu. Masih di dalam selimut, ia membawa Devan dalam pelukannya.Suara tawaan Devan begitu melengking ketika Adryan menggelitiknya. Gusi tanpa gigi itu terlihat sangat menggemaskan saat tertawa. Jangan lupakan bahwa bayi berusia tiga bulan itu memiliki lesung pipit."Mas Adryan!" Helsa menegurnya, ia tahu jika Devan sudah tertawa seperti itu, maka tidak lain adalah kelakuan suaminya.Terkadang Helsa merasa kesal pada A
Rumah besar bagaikan istana itu terasa sepi. Tidak ada suara tawa dan tangisnya Devan, tidak juga terdengar suara Helsa. Semuanya hilang. Adryan merebahkan tubuh lelahnya diatas ranjang king size, menatap langit kamar yang terasa kosong dengan perasaan bersalah. Sudah tiga malam ia tidur sendiri tanpa Helsa bersamanya, tanpa Devan juga.Wanitanya meninggalkan rumah semenjak kejadian itu. Helsa pergi membawa Devan ke rumah Bunda dan Ayah. Wanita itu mengadu dengan tangisan pada mertuanya. Menceritakan Adryan yang begitu kasar padanya sore hingga malam itu. Malam itu juga Bunda menghubunginya, memarahi Adryan habis-habisan. Bukan hanya Bunda, Ayah dan Jefry turut menceramahinya. Ya, dokter itu mengaku dia salah. Cemburunya berlebihan, Helsa bahkan tidak mau membawa ponselnya agar tidak diusik suaminya. "Jangan lama-lama marahnya, sayang," lirihnya. Lama berpikir, pria yang masih mengenakan kemeja kerjanya bertekad untuk membawa pulang anak dan istrinya malam ini juga. Adryan k
"Alaska? Melihat Aurora, Mas?" Matanya mengerjap berulang kali. Tidak pernah terlintas tentang Alaska dengan kecantikan Aurora di dalam benaknya. Helsa tertegun, ia menatap curiga pada pria itu. Apa mungkin dia berbohong hanya untuk mendapatkan maaf darinya? "Mau bilang Mas bohong?" Seolah tahu dengan jalan pikiran istrinya, Adryan langsung angkat bicara. Memicingkan matanya, wanita pemilik mata sayu itu masih belum percaya juga. "Biar Helsa maafin, ya? Maaf, ya, pak dokter, saya nggak akan percaya kepada anda!" "Dulu Mas pernah pergi ke Alaska bareng teman-teman kampus. Dan dari situ, Mas bermimpi akan membawa perempuan cantik ke sana," ujar Adryan. Adryan mensejajarkan wajahnya dengan wajah Helsa, "kamu nggak mau honeymoon emang?" Ah, dasar Helsa lemah. Digoda begitu saja langsung berseri wajahnya. Lihat, pipinya merah merona sekarang, ditambah lagi salah tingkahnya yang membuat Adryan ingin menerkamnya sekarang juga. "Kali ini bukan untuk permintaan maaf. Ya, karena mema
"Helsa!" Adryan menggeram buas diatas tubuh istrinya. Menikmati sensasi jepitan luar biasa yang Helsa berikan untuknya. Sempit, basah, dan terasa kencang. Setelah tiga bulan tidak menyentuh istrinya, malam ini Helsa membuka peluang untuk Adryan. Bukan karena dirayu dengan festival makanan, tapi Helsa yang tiba-tiba saja membahas itu dan Adryan pun terpancing. Sudah sejak pukul sebelas mereka bergulat hingga pukul satu dini hari, Adryan tidak meloloskan istrinya begitu saja. Tiga bulan tanpa melakukan hubungan intim bersama Helsa, bahkan Adryan tidak bermain solo. Bagaimana bisa ada pria dewasa yang sekuat Adryan tanpa sex? Padahal ada istri yang setiap hari tidur bersamanya. Malam ini Devan tidur di kamar yang memang sudah disiapkan untuknya dari awal. Dan hal itu membuat Adryan mengambil kesempatan besar. Adryan tidak kasar, tidak juga lembut malam ini. Namun terlihat jelas senyuman dari bibir Helsa disela desahannya. Helsa menikmati setiap sentuhan itu, bahkan tidak keber
"Anjani, namanya." Helsa menggenggam jemarinya, menunduk dalam, mendengar penggalan kisah masa lalu suaminya. "Perempuan dengan segala kurang ajarnya memanfaatkan Adryan." Bunda menatap lurus keluar jendela kamar putra bungsunya. Sebuah kotak di tangan nya berisi dokumentasi kelam Adryan. "Kata Mas Adryan, dia nggak pernah pacaran, Bunda," seru Helsa yang saat ini duduk di bibir ranjang. Bunda mengangguk, mengerti mengapa Adryan tidak pernah menganggap perempuan bernama Anjani adalah mantan kekasihnya. "Helsa, Bunda minta kamu datang hari ini karena Bunda mau meluruskan semua. Tentang perubahan pada Adryan." Bunda memberikan kotak merah tersebut pada Helsa, mengijinkan menantunya untuk melihat isi kotak tersebut. "Boleh, Bunda?" tanya Helsa. "Kamu berhak, sayang," cetus Bunda. Sungguh Helsa tidak ingin tahu apa yang terjadi di masa lalu suaminya, tapi berbeda dengan Bunda yang tidak ingin ada rahasia di pernikahan Adryan dan Helsa. Helsa membuka tutup kotak tersebut
Hari terakhir Adryan menjalankan tugas kemanusiaannya. Karena besok jadwal keberangkatannya bersama Helsa ke Alaska.Soal masa lalunya yang terkuak, Adryan sudah mengetahui bahwa Bunda yang memberitahu Helsa. Adryan tidak marah, karena Helsa memang harus mengetahui hal tersebut. Dia salah telah merahasiakan semuanya dari Helsa.Karena besok masa cutinya sudah berlaku, Adryan menggerakan segala tenaga untuk menyelesaikan seluruh urusannya."Gue nitip apa, ya dari Alaska?" pikir dokter Marcell. Pria itu sedari tadi menggoda sahabatnya yang akan honeymoon."Oh, nitip ponakan baru deh," lanjutnya.Adryan melempar gumpalan kertas ke arah dokter Marcell, "Devan masih kecil. Bini gue harus kuliah dulu."Marcell tergelak, "Ya siapa tahu lo kebablasan," timpalnya."Nggak akan, lah. Helsa harus kuliah, perempuan harus berpendidikan," cetus Adryan."Kalau ada yang bilang perempuan nggak usah capek-capek sekolah karena ujungnya di dapur, gue nggak setuju!" Sekali lagi Adryan mengeluarkan unek-une
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad