"Sayang...," Suara berat khas bangun tidur itu sedari tadi memanggil nama wanitanya. Jika biasanya ada Helsa disampingnya, maka pagi ini berbeda, Adryan tidak menemukan keberadaan istrinya. Seisi Villa sudah dia periksa, namun hasilnya nihil. "Apa Helsa lagi keluar?" lirihnya. Mungkin saja wanita itu sedang jalan-jalan sebentar, tapi dia khawatir. Helsa tidak biasa seperti ini, bahkan nomor handphonenya tidak aktif. Dari dapur, Adryan langsung ke kamar, bersiap-siap kembali ke hotel, melanjutkan Rakernas hari terakhir. Pikirnya, mungkin sebentar lagi Helsa kembali. Saat hendak menarik tuas pintu kamar, mbok Ayu yang mengurus Villa ini datang dari arah pintu samping dekat kolam renang. Wanita yang masih berusia kepala empat itu membawa beberapa buah dalam keranjang. "Mbok, lihat Helsa?" tanya Adryan. Wanita itu sedikit terkejut dengan suaranya, "Mas dokter buat kaget saja." "Mas ini kok tidak tahu istrinya pergi, sudah dari jam lima subuh keluar rumah. Bawa sama kopernya," teran
Suasana ruang keluarga di rumah tuan Franco Brawijaya tampak damai, dilihat dari candaan sepasang wanita yang tengah asyik berbincang. Bunda Marimar tertawa banyak, hari ini wanita paruh baya itu sangat lega. Akhirnya hari yang ditunggu tiba, Helsa mau pergi dari kehidupan putranya. Bahkan menantunya itu mengirim surat gugatan cerai ke rumah. Dan wanita yang kini bersamanya adalah dokter Uni. "Bunda, apa sekarang Adryan masih bersama Helsa?" tanya Uni. "Mereka sedang di Bali, atau mungkin saja Helsa sudah tidak bersama Adryan." Uni mengangguk paham, kalau saja kemarin dia ke Bali untuk mengikuti Rakernas mungkin saja akan bertemu dengan teman lamanya. Mereka juga bisa nginap di hotel yang sama. "Bunda nggak kasihan sama Adryan?" tanya Uni prihatin. "Bunda lebih kasihan jika anak bungsu bunda harus terjebak dengan orang salah." PRANG!!!!!! PRANG!!!!! "Terjebak dengan orang yang salah? Senang banget kayaknya, Bun. Puas banget ya, baca surat itu." Suara baritone dari pintu dan
"Mas...,""Kok tidur disini? Ayo bangun.""Dingin, nanti bisa sakit."Kelopak mata perlahan terbuka, iris mata coklatnya mencoba untuk menetralisir cahaya lampu yang menerpanya. Adryan menangkup wajah cantik yang terlihat pucat itu."Kamu pulang sayang?""Iya, Helsa pulang. Kenapa harus tidur disini?"Adryan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia memeluk wanitanya, bahkan sangat erat. Jangan katakan dia berlebihan, apa kalian tidak akan frustasi itu jika ditinggal pergi orang yang kalian cinta?Dia menangis dalam pelukan istrinya, menumpahkan segala lara yang membanjiri pikiran dan perasaannya. Adryan mengecup mesra kening Helsa, beralih pada punggung tangan wanitanya."Jangan pergi lagi, Helsa. Mas sayang, Mas cinta sama kamu," ucap Adryan bersungguh-sungguh. Sorot matanya teramat sangat tulus, tidak ada guratan kebohongan pada wajahnya.Braggghh..."Adryan!!!""Bangun!!!""Lo ngapain tidur di kamar mandi, gila!""Sa..., pulang, sayang." Adryan terus menggumamkan nama Helsa dala
"Dokter Adryan..." Pria berjas putih yang dipanggil dengan cepat kembali memutar arah, dia harus ke ruangan nya, namun suara anak kecil dengan kursi roda mengurungkan niatnya. Adryan berjongkok di hadapan gadis kecil yang sudah memakai hijab. "Denta cantik banget," puji Adryan. "Emang Denta masih cantik? Rambut Denta sudah habis," keluh Denta. Gadis kecil itu menunduk sembari memainkan kuku jarinya. "Jangan sedih dong, nanti rambutnya balik lagi," kata Adryan sembari mengusap kepala gadis itu. Benar saja, rambut Denta sudah tidak terasa dari luar hijab itu. Adryan tersenyum hambar, apa dia terlalu banyak memberi harapan untuk gadis ini? "Emangnya Denta masih bisa sembuh, dok?" "Apa nanti Denta bisa jaga Mama?" "Dokter kok bisa sehat, sedangkan Denta nggak sehat. Padahal umur Denta lebih muda dari dokter. Denta punya salah sama Tuhan?" Mendengar pertanyaan beruntun dari pasiennya membuat Adryan tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Pikirannya sedang kalut dengan kepergian i
Renata berjalan mengendap-endap memasuki rumah sahabatnya, Agya. Suara tangisan dua manusia yang dikenalnya dari kamar yang ditempati putrinya menarik perhatian. Renata legah saat Agya mengirimnya pesan bahwa Adryan datang menjemput Helsa.Setelah urusannya di Seminyak selesai, wanita paruh baya itu langsung kembali ke Penglipuran."Renata, untuk apa kamu disana?" panggil Agya saat mendapati Renata yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu.Renata menghampiri Agya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam, "aku senang Agya, akhirnya Adryan datang. Helsa itu keras kepala," ujar Renata."Persis kamu," tanda Agya yang sudah mengetahui karakter sahabatnya itu.Renata terkekeh. "Dari tadi nangis tuh suaminya," kata Agya.Braggghhhhh...Suara dari kamar itu mengalihkan perhatian Renata dan Agya, sepertinya itu guci yang ada di kamar. Agya tampak tersenyum dengan raut wajah Renata, Agya tahu Renata tidak enak hati."Tidak apa, Ren. Palingan guci kecil di kamar itu," ungkap Agya."Aku nggak
Jam sudah menunjukkan pukul 17:00 WIB, sesuai dengan permintaan Adryan yang memintanya untuk menunggu di lobby apartemen, disini Helsa sekarang. Wanita itu terlihat senang, terlihat dari semburat senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Hari ini suami ganjen nya itu akan memberi kejutan. Helsa sudah tidak sabar dengan kejutan itu. Belum lama duduk disana, sepasang remaja dengan pakaian putih abu-abu mengalihkan perhatiannya. Helsa tersenyum melihat betapa serasinya mereka, tangan yang selalu menggenggam satu sama lain. "Pasti cowoknya sayang banget sama dia," gumamnya. Helsa tertegun sebentar, tiba-tiba saja terlintas bayangan masa lalunya. Helsa pernah sebahagia mereka, walaupun itu singkat. Kemudian dia beralih menatap cincin pernikahannya dengan lekat, mengingat saat pertama kali Adryan melamarnya. "Tapi aku lebih bahagia sekarang," lirihnya dengan mata sedikit berair, "Mas Adryan bisa kasih aku lebih dari kata bahagia itu sendiri." "Sayang...,"
"Helsa yang pegang kendali, dan Mas nggak boleh berkomentar atau menolak kalau Helsa minta lebih." Adryan yang tadinya bersiap menggendong Helsa ke ranjang mendadak menghentikan pergerakannya. Dia menangkup wajah Helsa dengan gemas, "kalau ngasih syarat yang benar dong, Sa." "Nggak mau? Ya udah, Helsa mau lanjut beres-beres," ujar Helsa santai, lalu membuang singlet suaminya keatas ranjang. Adryan yang merasa dipermainkan dengan cepat menggendong ibu hamil itu dan membaringkannya diatas ranjang kebesaran mereka, "kamu harus tanggung jawab." "Tanggung jawab apa?" tanya Helsa menantang Adryan yang sudah mengungkuhnya dibawah. Tidak menjawab pertanyaan itu, Adryan justru mengunci pergerakan tangan Helsa, lalu mencium wanitanya dengan lembut. Matanya terpejam, Helsa terbawa suasana dan membalas ciuman suaminya. Ciuman itu berangsur turun ke leher, tanda warna merah dan keunguan mulai tercetak di beberapa bagian leher wanita hamil itu. Helsa mengerang pelan, kemudian menjambak surai h
Satu minggu berlalu. Sudah selama itu juga Adryan dan Helsa menetap di rumah baru mereka. Helsa sempat menangis ketika mereka hendak beranjak meninggalkan apartemen itu, lebay memang. Namun, itulah Helsa, selalu cengeng dengan siapapun orangnya.Di rumah baru ini dia selalu kesepian jika Adryan berangkat kerja, meskipun ada asisten rumah tangga, itu tidak membuat wanita hamil itu merasa ramai. Ditambah dengan suaminya yang selalu pulang larut malam."HELSA!!!"Wanita itu memutar tubuhnya, matanya mengarah pada pintu utama rumah. Sekali lagi Helsa mendengar dengan seksama suara-suara yang tampak tidak asing. Seketika air matanya luruh, dengan langkah pelan, wanita itu berjalan menuju pintu utama."SURPRISE!!!!!"Lihat, siapa yang datang?Helsa menatap tidak percaya dengan keempat gadis centil yang mengejutkannya. Mereka mengenakan seragam sekolah. Ranaya, Citra, Diandra, dan Keke. Mereka adalah sahabat-sahabat Helsa. Jangan tanya dimana Bella."Sa..., lo nggak senang kita datang?" tany