Pemandangan dari Villa milik keluarganya tidak kalah cantik karena disampingnya merupakan hamparan laut yang begitu luas. Helsa menghirup dalam angin laut yang menerpa wajahnya. Sudah dua malam wanita ini tidur tanpa ditemani suaminya, karena memang pria itu harus berada di hotel selama tiga hari untuk mengikuti Rakernas IDI. Bukan tidak mau menginap di Villa, tapi memang jarak dari Villa ke hotel tempat acara itu sangat jauh. Tadinya dia ingin mengajak Helsa, tapi wanita ini memilih menetap di Villa. Buat aku, bisa hidup sama kamu udah lebih dari sempurna. I love you so much. "Kamu bodoh." Dia memejamkan mata. Entah mengapa kalimat itu terlintas di ingatannya. "Bajingan emang," lirihnya. "Siapa yang bajingan?" Suara baritone itu membuat Helsa tersenyum sumringah. Adryan berjalan dari pintu samping villa menuju padanya. "Suami Helsa udah pulang. Bukannya tiga hari ya, Rakernasnya?" tanyanya. "Jadwal dikosongkan, jadi Mas balik kesini. Mau tidur sama kamu." "Kopernya ditinggal
"Sayang...," Suara berat khas bangun tidur itu sedari tadi memanggil nama wanitanya. Jika biasanya ada Helsa disampingnya, maka pagi ini berbeda, Adryan tidak menemukan keberadaan istrinya. Seisi Villa sudah dia periksa, namun hasilnya nihil. "Apa Helsa lagi keluar?" lirihnya. Mungkin saja wanita itu sedang jalan-jalan sebentar, tapi dia khawatir. Helsa tidak biasa seperti ini, bahkan nomor handphonenya tidak aktif. Dari dapur, Adryan langsung ke kamar, bersiap-siap kembali ke hotel, melanjutkan Rakernas hari terakhir. Pikirnya, mungkin sebentar lagi Helsa kembali. Saat hendak menarik tuas pintu kamar, mbok Ayu yang mengurus Villa ini datang dari arah pintu samping dekat kolam renang. Wanita yang masih berusia kepala empat itu membawa beberapa buah dalam keranjang. "Mbok, lihat Helsa?" tanya Adryan. Wanita itu sedikit terkejut dengan suaranya, "Mas dokter buat kaget saja." "Mas ini kok tidak tahu istrinya pergi, sudah dari jam lima subuh keluar rumah. Bawa sama kopernya," teran
Suasana ruang keluarga di rumah tuan Franco Brawijaya tampak damai, dilihat dari candaan sepasang wanita yang tengah asyik berbincang. Bunda Marimar tertawa banyak, hari ini wanita paruh baya itu sangat lega. Akhirnya hari yang ditunggu tiba, Helsa mau pergi dari kehidupan putranya. Bahkan menantunya itu mengirim surat gugatan cerai ke rumah. Dan wanita yang kini bersamanya adalah dokter Uni. "Bunda, apa sekarang Adryan masih bersama Helsa?" tanya Uni. "Mereka sedang di Bali, atau mungkin saja Helsa sudah tidak bersama Adryan." Uni mengangguk paham, kalau saja kemarin dia ke Bali untuk mengikuti Rakernas mungkin saja akan bertemu dengan teman lamanya. Mereka juga bisa nginap di hotel yang sama. "Bunda nggak kasihan sama Adryan?" tanya Uni prihatin. "Bunda lebih kasihan jika anak bungsu bunda harus terjebak dengan orang salah." PRANG!!!!!! PRANG!!!!! "Terjebak dengan orang yang salah? Senang banget kayaknya, Bun. Puas banget ya, baca surat itu." Suara baritone dari pintu dan
"Mas...,""Kok tidur disini? Ayo bangun.""Dingin, nanti bisa sakit."Kelopak mata perlahan terbuka, iris mata coklatnya mencoba untuk menetralisir cahaya lampu yang menerpanya. Adryan menangkup wajah cantik yang terlihat pucat itu."Kamu pulang sayang?""Iya, Helsa pulang. Kenapa harus tidur disini?"Adryan tidak langsung menjawab pertanyaan itu, dia memeluk wanitanya, bahkan sangat erat. Jangan katakan dia berlebihan, apa kalian tidak akan frustasi itu jika ditinggal pergi orang yang kalian cinta?Dia menangis dalam pelukan istrinya, menumpahkan segala lara yang membanjiri pikiran dan perasaannya. Adryan mengecup mesra kening Helsa, beralih pada punggung tangan wanitanya."Jangan pergi lagi, Helsa. Mas sayang, Mas cinta sama kamu," ucap Adryan bersungguh-sungguh. Sorot matanya teramat sangat tulus, tidak ada guratan kebohongan pada wajahnya.Braggghh..."Adryan!!!""Bangun!!!""Lo ngapain tidur di kamar mandi, gila!""Sa..., pulang, sayang." Adryan terus menggumamkan nama Helsa dala
"Dokter Adryan..." Pria berjas putih yang dipanggil dengan cepat kembali memutar arah, dia harus ke ruangan nya, namun suara anak kecil dengan kursi roda mengurungkan niatnya. Adryan berjongkok di hadapan gadis kecil yang sudah memakai hijab. "Denta cantik banget," puji Adryan. "Emang Denta masih cantik? Rambut Denta sudah habis," keluh Denta. Gadis kecil itu menunduk sembari memainkan kuku jarinya. "Jangan sedih dong, nanti rambutnya balik lagi," kata Adryan sembari mengusap kepala gadis itu. Benar saja, rambut Denta sudah tidak terasa dari luar hijab itu. Adryan tersenyum hambar, apa dia terlalu banyak memberi harapan untuk gadis ini? "Emangnya Denta masih bisa sembuh, dok?" "Apa nanti Denta bisa jaga Mama?" "Dokter kok bisa sehat, sedangkan Denta nggak sehat. Padahal umur Denta lebih muda dari dokter. Denta punya salah sama Tuhan?" Mendengar pertanyaan beruntun dari pasiennya membuat Adryan tidak tahu harus menjelaskan seperti apa. Pikirannya sedang kalut dengan kepergian i
Renata berjalan mengendap-endap memasuki rumah sahabatnya, Agya. Suara tangisan dua manusia yang dikenalnya dari kamar yang ditempati putrinya menarik perhatian. Renata legah saat Agya mengirimnya pesan bahwa Adryan datang menjemput Helsa.Setelah urusannya di Seminyak selesai, wanita paruh baya itu langsung kembali ke Penglipuran."Renata, untuk apa kamu disana?" panggil Agya saat mendapati Renata yang sedang berdiri di depan pintu kamar itu.Renata menghampiri Agya yang sedang sibuk menyiapkan makan malam, "aku senang Agya, akhirnya Adryan datang. Helsa itu keras kepala," ujar Renata."Persis kamu," tanda Agya yang sudah mengetahui karakter sahabatnya itu.Renata terkekeh. "Dari tadi nangis tuh suaminya," kata Agya.Braggghhhhh...Suara dari kamar itu mengalihkan perhatian Renata dan Agya, sepertinya itu guci yang ada di kamar. Agya tampak tersenyum dengan raut wajah Renata, Agya tahu Renata tidak enak hati."Tidak apa, Ren. Palingan guci kecil di kamar itu," ungkap Agya."Aku nggak
Jam sudah menunjukkan pukul 17:00 WIB, sesuai dengan permintaan Adryan yang memintanya untuk menunggu di lobby apartemen, disini Helsa sekarang. Wanita itu terlihat senang, terlihat dari semburat senyum yang tidak lepas dari bibirnya. Hari ini suami ganjen nya itu akan memberi kejutan. Helsa sudah tidak sabar dengan kejutan itu. Belum lama duduk disana, sepasang remaja dengan pakaian putih abu-abu mengalihkan perhatiannya. Helsa tersenyum melihat betapa serasinya mereka, tangan yang selalu menggenggam satu sama lain. "Pasti cowoknya sayang banget sama dia," gumamnya. Helsa tertegun sebentar, tiba-tiba saja terlintas bayangan masa lalunya. Helsa pernah sebahagia mereka, walaupun itu singkat. Kemudian dia beralih menatap cincin pernikahannya dengan lekat, mengingat saat pertama kali Adryan melamarnya. "Tapi aku lebih bahagia sekarang," lirihnya dengan mata sedikit berair, "Mas Adryan bisa kasih aku lebih dari kata bahagia itu sendiri." "Sayang...,"
"Helsa yang pegang kendali, dan Mas nggak boleh berkomentar atau menolak kalau Helsa minta lebih." Adryan yang tadinya bersiap menggendong Helsa ke ranjang mendadak menghentikan pergerakannya. Dia menangkup wajah Helsa dengan gemas, "kalau ngasih syarat yang benar dong, Sa." "Nggak mau? Ya udah, Helsa mau lanjut beres-beres," ujar Helsa santai, lalu membuang singlet suaminya keatas ranjang. Adryan yang merasa dipermainkan dengan cepat menggendong ibu hamil itu dan membaringkannya diatas ranjang kebesaran mereka, "kamu harus tanggung jawab." "Tanggung jawab apa?" tanya Helsa menantang Adryan yang sudah mengungkuhnya dibawah. Tidak menjawab pertanyaan itu, Adryan justru mengunci pergerakan tangan Helsa, lalu mencium wanitanya dengan lembut. Matanya terpejam, Helsa terbawa suasana dan membalas ciuman suaminya. Ciuman itu berangsur turun ke leher, tanda warna merah dan keunguan mulai tercetak di beberapa bagian leher wanita hamil itu. Helsa mengerang pelan, kemudian menjambak surai h
Lima hari sudah Adryan tidak kembali ke rumah. Kata Bunda, pria itu sedang berada di apartemen. Bunda sudah memberikan kotak berisi testpack padanya. Entah kenapa, tidak ada reaksi apapun dari pria itu.Setelah pulang mengantarkan Devan ke sekolah, wanita yang kini berbadan dua itu mampir kesana. Kebetulan letak Cafe itu tak jauh dari sekolahan anaknya.Helsa hanya ingin menikmati cheesecake. Lagian di rumah hanya dia sendiri. Oh ya, dia dan Devan tetap di rumah mereka. Bunda melarang ia pulang ke rumah Mamanya.Helsa menceritakan kesalahpahaman yang terjadi pada mertuanya.Pandangannya keluar kaca jendela. Kebetulan macam apa yang harus membuatnya bertemu dengan mantan kekasihnya. Akmal lengkap dengan seragamnya.Helsa bercedak pelan, seharusnya dia tidak bertemu lagi dengan pria itu."Helsa, kamu disini juga?"Helsa meraih tas, ingin beranjak dari sana, namun dicegah pria itu. "Cake kamu belum habis. Mubazir," sebut Akmal."Gue boleh duduk disini?" tanya Akmal."Silahkan," kata Helsa
BMW hitam memasuki pekarangan rumah berlantai tiga itu tepat pukul lima sore. Setelah memarkirkan mobil, sang empunya keluar dari sana. Disambut baik istri dan juga anaknya. Helsa mencium punggung tangan kekar itu, lalu dibalas kecupan singkat pada dahinya."Bagaimana harinya?" tanya Adryan.Helsa tersenyum menerima satu buket bunga mawar putih kesukaannya. Buket bunga kelima, di hari kelima cuti."Papi nanya Devan dong, Mami aja yang ditanya," protes Devan yang kini duduk pada kursi piano.Nggak mau kalah ini bocah satu.Adryan mendekatinya. "Bagaimana hari ini Singa kecilnya Papi?" Ia mencium gemas anaknya, tak lupa Devan pun mencium punggung tangan Papinya."Baik dong, hari ini Devan langsung pulang ke rumah. Om Jefry sama tante Vio yang nganterin," jawab Devan, semangat.Helsa berlalu meninggalkan percakapan Ayah dan anak tersebut. Tak lupa membawa serta tas dan juga jas milik Adryan. Akan panjang jika ia harus menunggu keduanya selesai dengan perbincangan, mulai dari yang penting
Siang itu kantor pusat Perusahaan Andrean Corp dibuat panik pada lantai sepuluh, tepatnya di dalam ruangan meeting. Renata memberi perintah untuk mengangkat tubuh lemah tak berdaya putrinya yang jatuh di depan ruangan tersebut setelah hampir dua jam melakukan pertemuan dengan salah satu investor asal Rusia. Beberapa hari ini Helsa terlihat kelelahan karena menyiapkan persentase dan semua laporan untuk melakukan pertemuan ini. Dan pada akhirnya, ia tumbang sesaat setelah investor tersebut menandatangani kontrak kerja sama. "Helsa...," panggil Renata. Wanita paru baya itu menepuk-nepuk pelan pipi putrinya, namun hasilnya nihil, Helsa sama sekali tidak sadarkan diri.Renata segera menghubungi Adryan. Untuk beberapa saat belum ada jawaban, sampai pada panggilan keempat barulah pria itu menjawabnya."Hallo, Ma...,"Renata menarik nafas sebentar. "Rumah sakit Mitra Husada, sekarang Adryan." *** Langkah kakinya dengan cepat menyusuri koridor rumah sakit Mitra Husada. Adryan tidak mengh
"Devan..., tante Diandra kangen," seru Diandra sembari memeluk bocah tersebut."Tante Andra cantik deh," puji Devan."Makasih, Sayang," balas Diandra.Devan menyodorkan tangan, "bagi duit merah tante Andra, kan Devan udah bilang tante cantik."Diandra memelototkan matanya, bisa-bisanya bocah ini meminta imbalan padanya. Duh, ajaran siapa sih bocah satu ini."Jangan gitu dong, kita kan temenan," rayu Diandra."Tante Andra tuh temannya Mami, bukan Devan," balas Devan. Ia kemudian sibuk melihat-lihat beberapa pajangan di dalam caffe tersebut.Helsa dan Citra terkikik mendengar percakapan Diandra dan Devan. Pas banget Devan ketemu sama aunty yang lemot nya nggak hilang-hilang."Sa, anak lo ngeselin banget, sumpah!""Devan lo ajak bicara," celetuk Citra.Sore itu mereka tidak sengaja bertemu di Cafe yang ada di rumah sakit Mawar Medika. Citra dan Diandra akan menjenguk Ando yang sakit. Guru olahraga itu mengalami kecelakaan beberapa hari yang lalu."Kalian kenapa nggak bilang sama gue kala
Acara reuni sudah selesai. Helsa pikir dia tidak akan bertemu Akmal lagi setelah itu, tapi hari ini mereka dipertemukan kembali.Seperti saat ini, lagi-lagi dia bersama Akmal di pinggir jalan yang tidak jauh dari markas TNI. Akmal yang baru saja akan menjemput kekasihnya pun bertemu Helsa yang sedang meratapi ban mobilnya yang pecah."Pakai derek aja ke bengkelnya, aku antar kamu pulang," ujar Akmal. Pria itu lengkap dengan seragam lorengnya.Entah sudah berapa kali Akmal menawarinya, tapi Helsa tetap menolak. Hari sudah semakin gelap."Gue nggak mau terjadi salah paham," jujur Helsa."Aku yang tanggung jawab di depan suami kamu," sahut Akmal, "ponsel kamu aja mati total."Tertegun. Mungkin lebih baik Helsa pulang bersama Akmal, lagian setelah dipikir-pikir dia tak ada apa-apanya dengan tentara satu ini."Mau, kan?" Akmal bertanya lagi, memastikan Helsa mau pulang bersamanya."Antar gue di depan perumahan aja," jawab Helsa.Dia tidak ingin Akmal tahu dimana rumahnya sekarang, karena j
Weekend adalah hari bermalas-malasan Adryan untuk berangkat ke rumah sakit. Bagaimana tidak, istri dan anaknya asyik di rumah, sedangkan ia harus bekerja. Padahal kan, dia juga ingin berlibur.Ya, setiap sabtu Helsa dan Devan memang libur.Pukul lima pagi Helsa sudah terjaga. Mandi, menyiapkan sarapan, dan juga pakaian kerja suaminya. Helsa juga sempat mengintip Devan di kamar, anaknya masih tertidur, sama seperti Adryan.Sudah selesai dengan semuanya, wanita tersebut kembali ke kamar untuk membangunkan bayi besarnya.Bayi besar? Itu karena Adryan berlaku manja sejak Helsa kembali dari Kanada.Helsa duduk pada bibir ranjang, ia usap lengan suaminya, "Mas, Helsa udah sejam berkutat di dapur, masih aja tidur,"Hanya sedikit erangan yang terdengar, sekali lagi Helsa membangunkannya. Menarik selimut yang menutup sebatas pinggang."Good morning, babe," ucap Adryan. Ia menarik tangan Helsa dan mengecupnya. Aish, jantung aman?Helsa hanya bergumam, ia beranjak dari sana membuka gorden jendel
Satu minggu setelah pertemuan Akmal dan Helsa. Devan selalu memberitahu bahwa teman Maminya yang ia panggil om tentara itu selalu mendatangi sekolahnya. Akmal mengetahui sekolah Devan dari Ranaya. Pria itu memaksa Ranaya agar mau jujur. Takut dimarahi Helsa, sebelum Akmal bertemu Devan, Ranaya meminta maaf pada sahabatnya. Helsa tidak menyalahkan Ranaya, sama sekali tidak. Karena dia tahu hal semacam ini akan terjadi. "Jadi, dia sering ke sekolah bertemu Devan?" tanya Adryan. Helsa menjawab dengan anggukan kecil. Sekarang mereka berada dalam satu mobil menuju rumah Mamanya. Seharian ini Devan di rumah Renata. "Kamu nggak marah, kan, kalau Akmal sering ketemu Devan?" tanya Adryan lagi. "Mas tau apa yang paling Helsa takutin disini." Adryan meraih tangan kanan istrinya, mencium punggung tangan itu. "Dia tahu Devan lebih butuh kamu, Sayang." "Mas, apa Helsa cerita sama Mama?" tanya Helsa. "Jangan buat Mama sakit karena hal semacam ini. Kamu tau kan, gimana perasaan Mama sama dia
"Mami..!Wanita itu menoleh, tersenyum melihat jagoan kecilnya berlari menghampirinya. Helsa merentangkan tangan, menyambut pelukan Devan. Devan mencium pipi Helsa, lalu mencium punggung tangan wanita itu. "Mami pakai mobil Papi? Mobil Mami kemana? Kok Papi nggak jemput Devan?" tanyanya beruntun. "Lagi di service. Emang salah kalau Mami yang jemput?" Devan mencebik, "Devan kan udah bilang Mami nggak boleh jemput Devan.""Papi lagi sibuk," timpal Helsa. "Mami nggak kerja? Emang Oma nggak marah?" "Nggak. Mami udah ijin sama Oma," sahut Helsa, "ayo kita masuk." Helsa membuka pintu mobil untuk Devan, memakaikan seatbelt untuknya, lalu turut masuk ke dalam. "Kita jemput Papi dulu," kata Helsa. "Papi pulang cepet banget." "Nggak tau, Mami cuma disuruh gitu." Mobil keluar dari parkiran sekolah tersebut, dan melaju dengan kecepatan sedang menuju Mawar Medika. Hari ini mobilnya masuk service, jadi Helsa memakai mobil Adryan. Pria itu pun meminta untuk menjemput Devan sebelum kemba
Hari berlalu, bulan pun berganti. Satu tahun sudah Helsa berada di Jakarta. Selain mengurus keluarganya, Helsa pun disibukkan dengan pekerjaannya. Jabatannya yang hanya karyawan biasa di perusahaan Papanya sudah naik satu tingkat menjadi sekretaris Mamanya. Helsa sendiri yang meminta belajar dari bawah dahulu. "Devan-," panggil Adryan. Suasana meja makan terasa hening, biasanya Devan yang selalu banyak bicara. Menceritakan tentang sekolahnya, tentang teman-temannya yang absurd, guru yang cerewet, dan masih banyak lagi."Devandra-," sekali lagi Adryan memanggilnya.Tidak ada sahutan sama sekali, bocah itu malahan turun dengan membawa piringnya hendak makan di pantry dapur. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar deheman pria dewasa tersebut. "Azlan Devandra Van Brawi-," "Ia, Papi," sahut Devan. Jika Adryan sudah menyebut dengan nama lengkapnya, maka Devan tahu Papinya sedang tidak bercanda."Kenapa diemin Maminya dari kemarin, hm?" Devan mendekat pada kursi yang ditempati Ad