Lisa merasa kesal karena Elina malah menolak ajakan dirinya. Padahal dia sudah merencanakan semuanya untuk menghabisi Elina."Sialan wanita itu."Lisa lalu memutuskan untuk berjalan menuju ke arah kamar bayi, tempat di mana anaknya Radit berada.Dia menggendong bayi tersebut sejenak. Sampai dia merasa kalau Jio panas."Astaga!"Lisa langsung panik dan dia berteriak dengan kencang. "Jio!"Radit keluar dari kamar Elina, dan itu membuat Lisa merasa sangat kesal. Tetapi dia segera mengatur ekspresi wajahnya kembali."Kenapa Lisa?" tanya Radit yang kini berjalan menuju ke arah Lisa."Jio sepertinya demam."Radit langsung berjalan menuju ke kamar tempat anaknya. Begitu pun dengan Elina yang mendengar informasi tersebut. Dia langsung keluar dari kamarnya.Elina bermaksud untuk menghampiri Radit karena ingin melakukan sesuatu sekarang. Tetapi sebelum itu, tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Lisa."Mau ke mana kamu?" cegah Lisa.Dengan nada memaksa, dia menghalangi Elina, yang tampak panik
Radit menoleh ke arah Elina setelah ia memberikan obat padanya. Radit merasa sedikit lega karena Jio sudah tidak rewel sekarang."Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu dengan Jio, dan semuanya karena kamu."Elina melihat Radit yang kini sudah berani mengancam dirinya. Tapi dia tidak punya pilihan lain sekarang."Iya, Pak Radit."Lisa justru tersenyum penuh arti ketika melihat Elina yang kena marah oleh Radit. Dalam hati, dia berharap Radit sekalian mengusir wanita itu.Elina akhirnya keluar dari kamar Jio dan menatap sinis ke arah Lisa yang berdiri tak jauh dari tempatnya.Ia yakin, semua ini pasti ada hubungannya dengan Lisa. Jio sampai sakit begini, pasti ulah Lisa."Huh," umpat Lisa.Setelah Elina pergi dari sana, Lisa memutuskan untuk menjalankan aksinya. Dia berjalan menghampiri Radit yang masih berada di dekat tempat tidur Jio."Tuan Radit pasti lelah. Ini saya bawakan kopi," ucap Lisa sambil menyodorkan secangkir kopi.Radit melirik Lisa dan menerima kopi itu sekilas."Terima
Elina akhirnya datang ke rumah kedua orang tuanya bersama dengan Radit yang kebetulan ingin menemaninya.Radit menghentikan mobilnya dan dia ikut keluar bersama dengan Elina sekarang. Matanya melihat rumah yang sedikit sederhana, tetapi pekarangan rumahnya cukup luas karena ada taman bunga."Ini rumah kedua orang tuamu?" tanya Radit."Iya, ayo masuk," ajak Elina.Elina dan Radit melangkah menuju rumah yang sederhana namun hangat. Dinding cat berwarna pastel terlihat cerah, dikelilingi oleh taman bunga yang beraneka warna. Aroma segar bunga melati dan mawar menguar di udara, memberikan nuansa nyaman."Rumah ini selalu membuatku merasa tenang," kata Elina sambil tersenyum.Radit mengangguk, terpesona oleh keindahan taman. Mereka berdua berjalan menuju pintu depan yang dihiasi dengan anyaman rotan. Elina mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, suara lembut ibunya terdengar dari dalam."Elina! Kamu sudah datang!" Ibu Elina membuka pintu dengan senyuman hangat.Setelah berpelukan, Elina mem
Radit merasa senang setelah makan siang bersama dengan keluarga Elina. Ia merasa lega karena ternyata ia telah mendapatkan restu dari kedua orangtua Elina. Padahal sebelumnya ia mengira ayah Elina akan marah atau bersikap rumit, tetapi ternyata semuanya berjalan jauh lebih baik dari yang ia bayangkan.Radit benar-benar merasa diterima, dan itu membuatnya bahagia."Jangan kapok ya untuk datang lagi ke sini," kata ibu Elina dengan senyum hangat."Iya, Bu. Terima kasih banyak," jawab Radit sambil menjabat tangan ibu dan ayah Elina sebelum akhirnya menuju mobil.Sementara itu, Elina berdiri di depan pintu rumah, memeluk ibunya dan ayahnya erat-erat. Rasa haru dan kerinduan menyelimuti hatinya, menyadari bahwa pertemuan ini mungkin akan menjadi awal dari jarak baru."Kalau begitu, aku pergi dulu ya," ujarnya, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya."Iya, hati-hati di jalan. Kalian sering-sering main ke sini ya," balas ibunya lembut. Ayahnya hanya mengangguk pelan."Iya, Bu. Terima kasih bany
Sesampainya di rumah, Rian segera memarkir mobil dan bergegas masuk. Radit sudah menunggu di ruang tamu, ekspresinya serius.“Bagaimana?” tanya Radit, melihat wajah Rian yang tidak tenang.Rian mengeluarkan kertas hasil lab dan menyerahkannya kepada Radit. “Ini hasilnya. Kita harus segera menindaklanjutinya. Aku yakin ada yang tidak beres di sini.”Radit memeriksa dengan seksama dan dia terkejut ketika melihat hasilnya. Bahkan dia tidak menyangka sama sekali kalau hasilnya akan seperti ini."Jadi bukan karena ASI dari Elina," ujar Radit.Elina yang ada di sana pun menoleh ke arah Radit, "Sekarang kamu percaya bukan."Sebenarnya Elina curiga kepada seseorang, hanya ada satu orang yang mencurigakan di sini yaitu Lisa. Tetapi dia tidak punya bukti untuk hal ini.Elina hanya punya bukti kalau Lisa sering keluar rumah dan bertemu seseorang. Itu pun semuanya dari Kina, wanita yang dia suruh untuk memata-matai."Menurut hasilnya, Jio seperti itu karena obat tidur.""Obat tidur?" tanya Radit
Elina menatap dengan kesal ke arah Radit, CEO baru yang baru saja memaksanya untuk menerima tawaran kenaikan jabatan yang sebenarnya tidak pernah ia inginkan. Sebagian orang mungkin akan merasa bahagia dengan hal itu, terutama karena jabatan baru berarti lebih banyak pengakuan dan kesempatan. Namun, bagi Elina, ada sesuatu yang membuatnya tidak bisa begitu saja menerima perubahan ini."Kenapa melamun, Elina?"Suara Radit yang berat membuat Elina terkejut. "Eh, iya maaf, Pak Radit."Tanpa banyak bicara, Elina menundukkan kepala dan mengikuti perintah untuk masuk ke ruang kerja pribadi Radit. Begitu berada di dalam, ia terperangah melihat tumpukan berkas yang menggunung di atas meja. Pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab sekretarisnya kini dialihkan padanya."Kerjakan semuanya dengan cepat," ujar Radit tanpa ragu."Tapi, Pak... saya..."Elina hendak berargumen, namun Radit dengan cepat memotong kalimatnya. "Kenapa? Mau cari alasan lagi? Jangan sampai ada hal lain yang menggan
Elina baru saja menyelesaikan semua tugasnya dengan penuh hati-hati, namun ada sesuatu yang membuat pikirannya tak tenang. Tugasnya sudah selesai, tapi ucapan Radit tadi pagi masih terngiang di telinganya."Sudah selesai?" tanya Radit sambil menyandarkan diri pada pintu ruangan Elina."Iya Pak Radit. Semuanya sudah selesai," jawab Elina, berusaha tetap tenang meskipun dalam hati ada rasa cemas yang mulai merayap."Kalau begitu, ikut dengan saya," ucap Radit, lalu melangkah ke pintu keluar dengan cepat, meninggalkan Elina yang masih terdiam beberapa detik."Baik Pak Radit," jawab Elina akhirnya, merasa bingung tetapi tak ingin terlihat ragu. Ia pun mengikutinya.Namun, langkah kaki Elina yang terburu-buru itu tak terlepas dari pandangan orang-orang di sekelilingnya. Beberapa rekan kantornya menatapnya dengan mata penuh rasa penasaran. Ada yang tersenyum simpul, ada juga yang menggelengkan kepala seolah-olah tahu sesuatu yang tak diketahui Elina. Namun, ia hanya bisa melanjutkan langkah
Radit menoleh dengan tatapan tajam yang membuat Elina terdiam sejenak. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan itu, seolah Radit sedang menguji reaksinya."Kamu tidak sedang berpikir mesum tentang saya, kan?" tanya Radit dengan nada ringan, namun matanya penuh dengan godaan yang tidak bisa disembunyikan.Elina hampir saja tersedak, merasakan darahnya mengalir cepat ke wajahnya. Ketegangan langsung mencengkeramnya. Dia merasa seperti seluruh tubuhnya terperangkap dalam pandangan Radit yang tajam. Tidak tahu harus menjawab apa, Elina hanya bisa menundukkan kepala, wajahnya memerah."Saya mohon maaf, Pak Radit," ujarnya, suara gemetar. Sekarang dia merasa begitu kecil dan tidak berdaya di hadapan Radit yang perlahan mendekat.Radit mengangkat alisnya, lalu mendekatkan tubuhnya sedikit lagi, cukup dekat untuk membuat Elina merasa semakin gugup. "Jadi, itu benar?" godanya lebih lanjut, senyum nakalnya semakin terlihat. "Bagaimana kalau kita coba lakukan apa yang kamu bayangkan tadi?"Elin
Sesampainya di rumah, Rian segera memarkir mobil dan bergegas masuk. Radit sudah menunggu di ruang tamu, ekspresinya serius.“Bagaimana?” tanya Radit, melihat wajah Rian yang tidak tenang.Rian mengeluarkan kertas hasil lab dan menyerahkannya kepada Radit. “Ini hasilnya. Kita harus segera menindaklanjutinya. Aku yakin ada yang tidak beres di sini.”Radit memeriksa dengan seksama dan dia terkejut ketika melihat hasilnya. Bahkan dia tidak menyangka sama sekali kalau hasilnya akan seperti ini."Jadi bukan karena ASI dari Elina," ujar Radit.Elina yang ada di sana pun menoleh ke arah Radit, "Sekarang kamu percaya bukan."Sebenarnya Elina curiga kepada seseorang, hanya ada satu orang yang mencurigakan di sini yaitu Lisa. Tetapi dia tidak punya bukti untuk hal ini.Elina hanya punya bukti kalau Lisa sering keluar rumah dan bertemu seseorang. Itu pun semuanya dari Kina, wanita yang dia suruh untuk memata-matai."Menurut hasilnya, Jio seperti itu karena obat tidur.""Obat tidur?" tanya Radit
Radit merasa senang setelah makan siang bersama dengan keluarga Elina. Ia merasa lega karena ternyata ia telah mendapatkan restu dari kedua orangtua Elina. Padahal sebelumnya ia mengira ayah Elina akan marah atau bersikap rumit, tetapi ternyata semuanya berjalan jauh lebih baik dari yang ia bayangkan.Radit benar-benar merasa diterima, dan itu membuatnya bahagia."Jangan kapok ya untuk datang lagi ke sini," kata ibu Elina dengan senyum hangat."Iya, Bu. Terima kasih banyak," jawab Radit sambil menjabat tangan ibu dan ayah Elina sebelum akhirnya menuju mobil.Sementara itu, Elina berdiri di depan pintu rumah, memeluk ibunya dan ayahnya erat-erat. Rasa haru dan kerinduan menyelimuti hatinya, menyadari bahwa pertemuan ini mungkin akan menjadi awal dari jarak baru."Kalau begitu, aku pergi dulu ya," ujarnya, mencoba menyembunyikan rasa sedihnya."Iya, hati-hati di jalan. Kalian sering-sering main ke sini ya," balas ibunya lembut. Ayahnya hanya mengangguk pelan."Iya, Bu. Terima kasih bany
Elina akhirnya datang ke rumah kedua orang tuanya bersama dengan Radit yang kebetulan ingin menemaninya.Radit menghentikan mobilnya dan dia ikut keluar bersama dengan Elina sekarang. Matanya melihat rumah yang sedikit sederhana, tetapi pekarangan rumahnya cukup luas karena ada taman bunga."Ini rumah kedua orang tuamu?" tanya Radit."Iya, ayo masuk," ajak Elina.Elina dan Radit melangkah menuju rumah yang sederhana namun hangat. Dinding cat berwarna pastel terlihat cerah, dikelilingi oleh taman bunga yang beraneka warna. Aroma segar bunga melati dan mawar menguar di udara, memberikan nuansa nyaman."Rumah ini selalu membuatku merasa tenang," kata Elina sambil tersenyum.Radit mengangguk, terpesona oleh keindahan taman. Mereka berdua berjalan menuju pintu depan yang dihiasi dengan anyaman rotan. Elina mengetuk pintu, dan tak lama kemudian, suara lembut ibunya terdengar dari dalam."Elina! Kamu sudah datang!" Ibu Elina membuka pintu dengan senyuman hangat.Setelah berpelukan, Elina mem
Radit menoleh ke arah Elina setelah ia memberikan obat padanya. Radit merasa sedikit lega karena Jio sudah tidak rewel sekarang."Awas saja kalau sampai terjadi sesuatu dengan Jio, dan semuanya karena kamu."Elina melihat Radit yang kini sudah berani mengancam dirinya. Tapi dia tidak punya pilihan lain sekarang."Iya, Pak Radit."Lisa justru tersenyum penuh arti ketika melihat Elina yang kena marah oleh Radit. Dalam hati, dia berharap Radit sekalian mengusir wanita itu.Elina akhirnya keluar dari kamar Jio dan menatap sinis ke arah Lisa yang berdiri tak jauh dari tempatnya.Ia yakin, semua ini pasti ada hubungannya dengan Lisa. Jio sampai sakit begini, pasti ulah Lisa."Huh," umpat Lisa.Setelah Elina pergi dari sana, Lisa memutuskan untuk menjalankan aksinya. Dia berjalan menghampiri Radit yang masih berada di dekat tempat tidur Jio."Tuan Radit pasti lelah. Ini saya bawakan kopi," ucap Lisa sambil menyodorkan secangkir kopi.Radit melirik Lisa dan menerima kopi itu sekilas."Terima
Lisa merasa kesal karena Elina malah menolak ajakan dirinya. Padahal dia sudah merencanakan semuanya untuk menghabisi Elina."Sialan wanita itu."Lisa lalu memutuskan untuk berjalan menuju ke arah kamar bayi, tempat di mana anaknya Radit berada.Dia menggendong bayi tersebut sejenak. Sampai dia merasa kalau Jio panas."Astaga!"Lisa langsung panik dan dia berteriak dengan kencang. "Jio!"Radit keluar dari kamar Elina, dan itu membuat Lisa merasa sangat kesal. Tetapi dia segera mengatur ekspresi wajahnya kembali."Kenapa Lisa?" tanya Radit yang kini berjalan menuju ke arah Lisa."Jio sepertinya demam."Radit langsung berjalan menuju ke kamar tempat anaknya. Begitu pun dengan Elina yang mendengar informasi tersebut. Dia langsung keluar dari kamarnya.Elina bermaksud untuk menghampiri Radit karena ingin melakukan sesuatu sekarang. Tetapi sebelum itu, tangannya sudah lebih dulu dicekal oleh Lisa."Mau ke mana kamu?" cegah Lisa.Dengan nada memaksa, dia menghalangi Elina, yang tampak panik
Dalam kamar.Elina tengah tersenyum dengan puas terlebih dia berhasil menolak ajakan dari Lisa barusan. Dia yakin kalau Lisa tengah merencanakan sesuatu."Kamu pikir aku bodoh, Lisa. Tentu saja aku tahu niat busukmu."Elina tersenyum dengan penuh arti, beruntung sekali dia dekat dengan Kina. Wanita itu yang menjadi mata-mata untuk dirinya. Tetapi Elina masih penasaran dengan sosok wanita yang dikatakan oleh Kina. Siapa orang yang mengobrol dengan Lisa.Elina membuka ponselnya dan memastikan kembali foto yang dikirim oleh Kina padanya. Di dalam foto tersebut, Lisa nampak tengah mengobrol dengan seseorang."Siapa dia?" batin Elina.Dia tidak mungkin bertanya pada Radit karena laki-laki itu pasti tidak akan memberitahu dirinya. Bisa juga kalau laki-laki itu pura-pura tidak tahu.Elina berpikir sejenak, siapa orang yang bisa membantu dirinya. Kemudian dia teringat dengan Rian, siapa tahu Rian tahu dengan orang tersebut."Tetapi bagaimana kalau Rian mengatakan pada Radit?" batin Elina yang
Radit berdiri di sudut ruangan, matanya terpaku pada Elina dan Dani yang tertawa bersama di pantry. Suara mereka menggema di telinganya, seakan seluruh dunia memudar hanya menyisakan tawa ringan itu. Elina, dengan senyum manisnya, tampak begitu nyaman berada di dekat Dani, membuat dada Radit terasa sesak."Bukannya bagus yah Dani.""Iya tentu saja, Elina." Radit diam-diam mengepalkan tangannya. "sejak kapan mereka malah dekat lagi?"Radit mengerutkan kening. Api cemburu mulai membakar di dalam dadanya. Setiap tawa Elina adalah seperti tamparan—tajam dan tak bisa dihindari. Dia berusaha mengabaikannya, tapi rasa itu terus tumbuh liar.Radit menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Tapi akhirnya dia melangkah cepat dan menarik tangan Elina dengan sedikit kasar."Ngapain kamu tadi dekat-dekat sama dia?" suaranya dingin, nyaris menggigit.Elina menoleh, alisnya terangkat, tatapannya tajam. "Memangnya kenapa, Pak?"Radit tak menjawab. Sebaliknya, dia menggenggam bahu Elina, menat
Lisa pergi dari tempat itu, dia takut kalau sampai ada orang yang melihat dirinya. Tetapi tanpa dia sadari, ada Kina yang diam-diam mengikuti Lisa."Jadi wanita itu yang sudah membunuh istrinya Pak Radit," ujar Kina, tidak menyangka.Dia melirik ke arah wanita yang tadi mengobrol dengan Lisa, wajahnya terasa tidak asing. Kina merasa pernah melihatnya sebelumnya.Diam-diam, Kina sudah mengambil foto dua orang tersebut. Sekarang, dia hanya perlu melaporkan semuanya pada Elina.FLASHBACK ONKemarin, saat Kina diusir dari kantor milik Radit karena difitnah oleh Dani dan Bela, Elina mendatangi dirinya dan memberikan sebuah penawaran menarik."Jika kamu mau bekerja sama denganku, maka kamu akan kembali punya pekerjaan, Kina.""Apa maumu, Elina?" tanya Kina, curiga."Tinggal di dekat rumah Radit dan awasi wanita bernama Lisa. Dia adalah babysitter anaknya Radit, dan sangat mencurigakan... dia bahkan pernah memasukkan garam ke dalam ASI-ku.""Hanya itu saja?""Iya, dan kamu juga bisa membalas
Elina diam-diam mencuri pandang ke arah Radit, pria yang kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi tenang namun sulit ditebak. Ruangan kantor itu sunyi, hanya terdengar bunyi jam dinding yang terus berdetak, seakan ikut menghitung waktu yang terasa berat di antara mereka."Pak Radit..."Nada suara Elina terdengar pelan, namun cukup tegas. Ada sesuatu dalam intonasinya yang membuat Radit langsung menoleh, alisnya sedikit terangkat."Kenapa, Elina?" tanyanya, nada suaranya datar tapi matanya menyelidik, seperti bisa membaca apa pun yang tengah dipikirkan wanita itu."Saya... saya habis ini akan bertemu dengan seseorang. Mungkin nanti akan pulang sedikit malam," ucap Elina pelan, seperti tengah memilih kata-kata dengan hati-hati. Ia menggenggam ujung bajunya, gelisah.Radit menyipitkan mata. "Kamu mau ke mana?"Nada curiga itu tak bisa disembunyikan. Ia sudah terlalu sering melihat ekspresi gugup Elina akhir-akhir ini. Ia tahu ada yang disembunyikan."Kebetulan ibu saya menyuruh untuk m