Sayangnya, belum sempat Rio menyahut, seorang wanita berjilbab motif bunga-bunga muncul dari balik gorden sebuah pintu. Rio terka wanita yang tetap cantik walau sudah terlihat tak muda lagi itu adalah mama Naya.
Rio lupa bertanya, apakah di rumah Naya ada pembantu? Akan tetapi, mendengar cerita Naya tadi kelihatannya mereka memang tak menggunakan jasa pembantu.
Setidaknya demikian pesan tersirat mengenai hal itu yang Rio dengar dari mulut Naya tadi.
Tak mungkin juga wajah yang sedikit mirip dengan Naya jika diperhatikan secara seksama tersebut adalah seorang pembantu.
Maka, agar terlihat sopan Rio langsung berdiri menyambut kedatangan calon mertuanya ... amin ... ya, meski status belum pasti.
Iseng saja atas sebutan tadi. Setidaknya untuk menghibur diri sendiri.
Ketika gelas yang mulanya berada di atas nampan tersebut diturunkan dan diletakkan di atas meja, merasa
Mengerti akan maksud dari tatapan mama-nya tersebut, perlahan Naya menyerong duduknya ke arah Rio berada."Kamu biasanya sarapan pakai nasi goreng atau roti gitu?"Naya melontari pertanyaan.Lagi-lagi Rio cuma bisa meringis. Ia melirik ke arah mama Ina, seolah lakonnya itu memang sedang tak enak hati.Karena tak kunjung ada yang bersuara dari dua wanita tersebut seolah benar-benar menunggu jawaban darinya, akhirnya Rio menjawab, "Kamu udah sarapan?"Jawaban yang berisi pertanyaan balik di dalamnya."Loh, kok, malah balik nanya ke aku, sih."Rio terkekeh menimpalinya. "Ya nggak papa. Aku nanya kamu udah sarapan atau belum.""Aku udah tadi. Mama juga udah. Makanya ayok sarapan dulu. Nanti pas di luar tinggal makan jajan-jananan pinggir jalan aja gak perlu makan berat lagi," ungkap Naya."Kamu sarapan pakai apa tadi?"
"Mama denger kamu pindahan dari Banjar, ya?"Perlahan gerakan mengunyah Rio terhenti. Ke-dua pipinya tak lagi bergerak. Laki-laki tersebut melirik pada wanita yang baru saja melontarinya pertanyaan demikian.Oh, sudah mulai pengenalannya ternyata?Baiklah akan Rio ladeni.Cowok itu mengunyah dengan cepat makanan yang ada di dalam mulutnya setelah itu langsung menelannya."Iya, Ma," jawab Rio seraya menganggukkan kepalanya. "Mama denger dari Naya?"Sengaja melontari pertanyaan demikian agar suasana jadi ringan bagi Rio. Terbukti ketika lirikan dari matanya bertemu dengan manik Naya, gadis itu langsung memberinya cengiran."Dari siapa lagi memang?" Mama Ina balik menimpali.Ya jelas dari Naya tentunya. Sudah pasti juga, 'kan?"Mama tahu aku siapa?" Kini Rio balik bertanya karena seingatnya tadi ia memang belum memperkenalkan
Usai sudah Rio dengan acara sarapan di rumah Naya, tapi cowok itu tetap anteng di tempat duduknya dengan memutar tempat duduk yang dapat mengarah ke mama Ina maupun Naya.Tak apa, Rio juga tak mau terburu-buru. Alasannya cepat-cepat datang ke sini, ya, memang karena ingin mengenal keluarga Naya lebih jauh lagi.Jam masih menujukkan setengah sembilang. Masih pagi menjelang siang."Iya, gitu, Ma. Aku merantau dari Banjar emang gak bawa apa-apa. Pengen belajar mandiri mulai semuanya dari nol. Buat sementara emang aku tinggal di rumah om dan bibiku. Rumah mereka juga sederhana. Beda bangetlah sama rumah ini," ungkap Rio."Bagus itu. Menyusahkan diri sendiri emang perlu supaya membentuk karakter yang kuat dan bermental baja," tutur mama setuju dengan apa yang dikatakan Rio."Walaupun orang tua aku jauh, tapi mereka masih ada. Sesekali aku berkunjung ke sana, aku bakal ketemu karena kita sama-sa
Terpaan angin yang sepoi-sepoi sepanjang jalan membuat kibasan pada rambut Naya yang tergerai indah makin terasa.Untungnya Rio membawa motor dengan laju sedang hingga rambut itu tak disayangkan akan berantakan.Laki-laki itu seolah tahu permasalahan wanita.Selain itu juga, ke-dua-nya terlihat serasi menikmati momen kebersamaan sepanjang jalan ini.Rio memandang kaca spion yang sebelumnya telah ia atur terkait tata letak hingga dapat menantulkan bayangan dari manifestasi perempuan cantik yang tengah duduk di jok belakang.Sesekali Naya menyipitkan mata karena mendapat serangan dari angin yang menerpa wajah. Ekspresi-nya begitu menggemaskan.Ke-dua-nya sama-sama tak memakai alat pengaman berkendara motor. Rio yang memang sedari awal tak pakai helm, sedangkan Naya memang tak biasa. Kepala terasa berat jika memakai benda itu dan menimbulkan sakit pada bagian tertentu yang ra
Bukan tanpa sebab Naya bertanya tentang pendidikan terakhir. Tak sedikit pun ia bermaksud menyinggung etnis seseorang.Ia hanya ingin tahu saja. Pun disamping itu bukankah Rio terlahir dari keluarga terpandang? Sudah pasti sangat mampu untuk membiayai kuliahnya.Jadi, garis bawahi bahwa tak ada yang termasuk dalam perendahan etnis di sini."Aku seorang petani berdasi," ucap Rio formal.Naya tertawa menanggapinya. Humor gadis ini memang receh sekali."Sarjana Perkebunan," tebak Naya sudah pasti tepat sasaran.Sejenak Naya terdiam memikirkan sesuatu. Ia memiringkan kepala hingga mulutnya berdekatan dengan telinga Rio. Supaya mempermudah diri sendiri saja, jadi tak perlu ribet harus mengeraskan suara. Pasalnya angin membawa suara mengudara hingga hanya terdengar samar. Ditambah kendaraan di kanan-kiri yang berlalu-lalang."... tapi bukannya lebih baik kamu di
Sepanjang perjalanan jemari mereka saling terpaut menggenggam satu sama lain. Jika dibilang tak sopan baru kenal sudah berani pegang-pegang, Rio menampiknya, tak terima dikatai seperti itu. Bukankah dia sudah izin tadi, 'kan? Naya juga tak permasalahkan.Jika memang tak suka pasti Naya sudah katakan dari awal dan Rio akan melepas tautan tangan mereka.Buktinya Naya nyaman-nyaman saja tuh. Wajar saja Rio ambil kesempatan itu. Menikmati kehalusan kulit telapak tangan gadis itu.Entah bagaimana Rio itu, tak sadar bahwa kulitnya juga lembut karena memang tak pernah bekerja."Sebenernya aku punya tempat hasil rekomendasi dari temen aku."Naya bersuara di antara keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua, seolah tengah menikmati momen dengan hati tanpa perlu banyak bicara."Apa?" Rio merespon seraya menolehkan kepala. Pandangannya turun ke bawah karena perbedaan tin
Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.
Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny