"Lo mau ngomong apa, San?" tanya Bella.Semalam Sani sempat mengirim Bella pesan. Sani meminta Bella untuk bertemu saat jam istirahat karena ada yang ingin dia bicarakan dengan Bella."Em, Vian semalam ngomong sama gue. Katanya lo marah sama dia karena tahu dia belajar bareng gue. Bener?"Bella terdiam sejenak. Dia jadi merasa tidak enak dengan Sani. Kenapa juga Vian harus memberitahu Sani? Vian benar-benar tidak bisa menjaga mulutnya. "Gue minta maaf. Gue pikir Vian udah gak mau diajarin sama gue lagi. Tapi Vian udah jelasin kok." Bella meminta maaf."Jadi lo gak marah kan sama gue?"Bella menggeleng. "Lo gak salah. Kenapa gue harus marah sama lo?"Sani tersenyum. "Syukur deh. Gue pikir kalau lo marah gue mau jelasin biar lo gak salah paham. Vian juga gak mau ngerepotin lo. Gue udah ngomong sama Vian kalau misalnya dia ada tugas Fisika yang gak bisa dia kerjain dan lo gak bisa bantuin langsung kontak gue aja. Kasihan juga kan kalau dia ganggu lo terus.""Gak usah repot-repot. Gue ba
"San, gue udah selesai." Vian menaruh hasil kerjanya di hadapan Sani untuk diperiksa.Kebetulan hari ini Sani meminta Vian untuk jadwal belajar dimajukan karena besok Sani akan mempersiapkan diri untuk mengikuti olimpiade mewakili sekolah. Jadilah mereka belajar di rumah Vian."Sani?" Vian melambaikan tangan di depan wajahnya membuat Sani langsung tersadar."Kenapa?""Gue udah selesai.""Oh iya." Sani segera memeriksa hasil kerja Vian."Bener semua. Lo makin jago aja, ya."Vian tersenyum. "Iya dong. Siapa dulu yang ajarin.""Btw, pas gue pulang gue tadi liat lo sama Bella di jalan. Lo beliin Bella bunga, ya?""Oh iya. Kebetulan ada anak kecil jualan bunga. Karena dagangannya gak laku gue beli semua deh. Terus gue kasih ke Bella. Harusnya cewek kalau dikasih bunga senang kan, eh Bella malah marah. Katanya gue boros. Padahal niat gue kan cuma mau nolongin.""Ngomongin soal bunga gue jadi ingat lo dulu juga pernah beliin buat gue. Persis kayak kejadian lo sama Bella. Terus anak kecil itu
Vian berdecak. Sedaritadi dia mencoba menghubungi Bella, tapi tidak ada jawaban. Vian yakin Bella pasti marah padanya. "Gak diangkat?" tanya Beby.Vian menggeleng. "Gara-gara lo nih.""Kok jadi gue?""Iya lah, kalau lo gak manggil gue by pasti Bella gak bakal salah paham. Dia pasti marah.""Lagian lo juga manggil gue by.""Ya nama lo kan Beby.""Terus lo pikir karena itu Bella cemburu? Emang Bella suka sama lo?""Ya gak tahu, tapi kan dia marah karena itu."Beby tertawa. "Jangan kepedean dulu. Mungkin aja dia kesal sama lo karena mikirnya lo itu player.""Kok gitu?""Iya lah, lo kan baru nembak dia beberapa hari yang lalu terus sekarang dia liat lo jalan sama cewek lain pasti dia makin gak suka lah sama lo karena ilfeel.""Lagian ngapain juga lo manggil gue kayak gitu?""Sengaja biar mau liat reaksi dia. Gue pikir dia bakal marah-marah gitu sama lo, ternyata enggak.""Gue kan udah bilang Bella itu cuek. Dia gak akan mau ngabisin energi dia buat hal yang gak penting. Kalau kayak gini
"Sebenarnya gue ke sini pengin ngomong soal kemarin," ucap Vian."Bukannya lo udah suruh tuh cewek buat ngomong sama gue?"Vian mengernyitkan keningnya bingung. "Maksudnya gimana?""Namanya Beby kan? Dia udah ngomong ke gue. Lo yang suruh dia, kan?""Bentar, Beby ketemu lo? Gue sama sekali gak tahu. Dia gak bilang ke gue kalau mau ketemu lo.""Terus itu inisiatif dia sendiri gitu?""Bentar." Vian mengambil ponselnya mencoba menghubungi Beby. Tapi Beby tidak menjawab panggilannya."Ck! Gak diangkat lagi." Vian memang meminta Beby untuk membantunya, tapi dia tidak menyangka kalau Beby akan bertemu dengan Bella dan berbicara dengannya. Vian tahu Beby bermaksud menolongnya, tapi bukankah itu akan membuat Bella semakin tidak suka dengannya? Karena Bella berpikir dirinya yang telah menyuruh Beby.Vian kembali menatap Bella. "Bell, jujur gue benar-benar gak tahu kalau Beby temuin lo. Kalau gue tahu gak mungkin gue sekarang ada di sini. Gue tahu lo belum suka sama gue, tapi niat gue jelasin h
"Cie, anak mama lagi mikirin siapa sih? Kok senyum-senyum gitu?""Mama. Tumben jam segini udah pulang.""Iya, mama kan kangen sama anak mama. Kamu lagi mikirin Bella, ya?"Vian tersenyum. "Tau aja mama." "Iya dong. Kan kamu anak mama. Gimana? Udah ada perkembangan belum?""Ya gitu deh, ma. Masih sama."Tari mengusap pundak Vian. "Mama yakin kamu bakal berhasil kok. Mama support kamu sama Bella.""Dulu aja mama jodoh-jodohin aku sama Sani mulu.""Ya abisnya kamu cuma dekat sama Sani makanya mama mikirnya kamu suka sama Sani. Tahunya ada cewek lain.""Lagi pada ngobrol apa nih? Kok keliatannya serius banget?" Galih yang baru saja pulang bertanya."Papa tumben pulang jam segini."Galih tersenyum. "Papa pengin kita makan malam bareng. Udah lama kan gak makan bareng. Karena papa sama mama sibuk terus."***"Papa dengar dari mama kamu lagi dekat sama cewek, ya?" tanya Galih di sela makan malam mereka."Iya pa, baru dekat doang.""Papa kira kamu sama Sani.""Papa sama mama sama aja. Mikirny
"Kalian lagi berantem? Kok diem-dieman?" Ardi bertanya menyadari ada yang berbeda dari kedua anaknya."Kok gak jawab?" Ardi kembali bertanya."Biasalah, mereka kan hampir tiap hari berantem. Nanti juga baikan sendiri," kata Lani.Lani sudah biasa dengan keduanya karena hampir tiap hari menyaksikan pertengkaran mereka. Berbeda dengan Ardi yang pasti akan langsung mendamaikan karena tidak ingin mereka terus-terusan bertengkar."Biasa pa, Bella marah sama aku." Baron menjawab.Bella fokus melahap sarapannya. Dia tidak berniat untuk menjelaskan alasannya bertengkar dengan Baron. "Marah? Marah kenapa?""Baron ....""Pa, ma, aku berangkat dulu." Bella sudah menghabiskan sarapannya dan berpamitan pada kedua orangtuanya."Loh? Gak berangkat bareng Baron?" tanya Ardi."Enggak, aku udah order ojol. Aku pergi dulu." Bella pun pergi."Hati-hati Bell."Ardi kembali menatap Baron. "Kamu harus minta maaf sama adek kamu. Suka banget ribut.""Iya pa." Baron rasa kali ini Bella akan mendiamkannya lebi
"Bell. Gue mau nanya sesuatu sama lo.""Nanya apa?""Lo sebenarnya suka gak sama Vian?"Bella masih diam."Sorry kalau gue nanya kayak gitu. Lo kan tahu kalau gue suka sama Vian, tapi Vian suka sama lo. Kalau emang lo suka sama Vian lo boleh jujur biar gue mundur. Tapi kalau lo gak suka sama Vian gue mau perjuangin Vian. Karena gue udah lama suka sama dia." Sani mengutarakan isi hatinya."Gue gak suka sama dia kok."Sani seketika langsung tersenyum. "Serius?"Bella mengangguk."Jadi gak papa ya kalau gue dekatin Vian. Lo gak marah kan?""Gue kan cuma ngajarin dia. Gak lebih dari itu." Bella menjawabnya sesuai isi pikirannya, tapi entah kenapa hatinya merasa tidak enak.***"Lo serius biarin Sani dekatin Vian?" Bella menatap Sita terkejut.Sita tadi memang tidak sengaja mendengar percakapan mereka saat sedang mencari Bella."Lo ....""Sorry, gue tadi gak sengaja dengar omongan lo sama Sani. Tapi lo beneran gak suka sama Vian?" Sita menyela.Bella menggeleng."Sedikit pun? Setelah kalia
"Enak ya, baksonya," ucap Vian.Bella hanya mengangguk. Kebetulan saat mereka mengobrol di depan ada abang tukang bakso yang lewat. Dan Vian pun memutuskan untuk membeli karena lapar. Bella tidak mau, tapi Vian memaksa."Abang udah berapa lama jualan?" Vian tiba-tiba bertanya pada penjual bakso tersebut."Belum terlalu lama, mas. Baru setahun.""Sering jualan di kompleks sini?""Baru seminggu ini sih, mas."Bella hanya menatap keduanya yang sibuk bertanya jawab. Bella hanya seperti penonton."Enak banget nih makan bakso." Baron menghampiri mereka."Bang Baron mau?" Vian menawari."Boleh deh.""Bang, baksonya tambah satu, ya.""Kenapa lo liatin gue kayak gitu? Kesel karena gue ganggu?" Baron tersenyum jahil.Bella memutar bola matanya malas. "Gak jelas.""Emang ya, ngedate itu bukan diliat dari tempatnya, tapi sama siapa orangnya. Iya gak, Yan?"Vian hanya tersenyum."Bawel lo," ketus Bella.***Vian tersenyum menatap Bella yang sedang berada di lapangan. Karena guru tidak masuk, dia
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat