“Wah! Rumah lo besar banget, Yan.” Sita begitu kagum ketika tiba di rumah Vian.Sebenarnya mereka berencana akan belajar di rumah Bella, tapi karena Sani mengusulkan untuk belajar di rumah Vian dan Sita menyetujui akhirnya Bella pun ikut. Kalau saja itu ide Sita mungkin dengan tegas Bella langsung menolak, tapi ini Sani. Dia tidak enak kalau menolak Sani.Vian tersenyum. “Enggak, biasa aja. Ayo masuk.”Vian membuka pintu mempersilakan mereka masuk.Lagi-lagi Sita dibuat takjub dengan rumah Vian. Tidak heran dari luar saja sudah kelihatan megah apalagi di dalamnya. Bella sendiri juga sedikit takjub dengan rumah Vian.“Dulu gue sering ke sini belajar bareng Vian, tapi karena udah enggak gue jadi jarang,” ucap Sani.“Gue ke atas dulu, ya. Mau ganti baju.” Vian segera naik ke lantai atas menuju kamarnya.“Lo berdua mau minum apa? Biar gue bilang sama Bi Sumi.” Sani bertanya.“Emang ini rumah lo? Nawarin minum segala,” ketus Sita.Bella menatap Sita sambil menggeleng. Menyuruh Sita untuk
"Hai!" Bella menoleh sejenak. Dia sedikit terkejut melihat cowok yang menyapanya."Bentar Bell." Bella segera menepis tangan cowok itu."Gue lagi gak mau diganggu Frans," ucap Bella dengan ekspresi datarnya. Rasanya hidup Bella sudah cukup tenang karena Frans sudah lama tidak mengganggunya. Semenjak Vian memperingati cowok itu.Entah kenapa cowok itu malah tiba-tiba muncul di hadapannya."Gue cuma mau minta maaf karena udah sempat ganggu lo. Gue benar-benar nyesal. Gue harap lo mau maafin gue."Bella menatap Frans sejenak. Kenapa tiba-tiba Frans meminta maaf? Dilihat darimana pun Bella tahu karakter Frans. Cowok itu tidak mungkin akan meminta maaf semudah ini. Cukup mencurigakan."Disuruh siapa?"Frans mengernyitkan keningnya. "Maksudnya?""Lo disuruh siapa buat minta maaf?"Frans menggeleng. "Gue gak disuruh siapa-siapa. Gue emang niat mau minta maaf sama lo. Gue gak pengin lo benci sama gue. Lo mau kan maafin gue?"***"Lo ngapain duduk di sini?" ketus Sita ketika Frans mengambil d
"Sorry bang, gue telat." Vian baru saja tiba di sebuah cafe. Kebetulan Baron meminta Vian untuk bertemu."Gak papa santai aja. Pesan minum dulu."Vian kemudian memanggil waiters untuk memesan minuman."Sorry juga ya bang tadi gak anterin Bella pulang soalnya gue ....""Aman. Lagian Bella juga udah dianterin sama temannya.""Teman?"Baron mengangguk. "Teman cowok. Aneh kan? Padahal dia gak pernah mau dekat sama cowok bahkan cuma ngobrol aja dia gak mau. Tapi sekarang malah dia punya teman cowok. Agak aneh. Lo tahu gak cowok yang anterin Bella?"Vian terdiam sejenak. Jadi Bella pulang bersama Frans. Vian tidak menyangka Bella mau menerima tawaran Frans begitu saja. Berbeda kalau dengan dirinya. "Yan?""Ah, iya. Yang anterin Bella itu Frans.""Frans? Jadi lo kenal dia?"Vian mengangguk. "Satu sekolah gak suka sama dia karena suka bully anak-anak sekolah. Bahkan waktu awal-awal Bella pindah juga sering diganggu sama dia.""Jadi dia pernah bully Bella?""Gue udah peringatin dia dan dia se
"Gue boleh gabung gak?" Vian seketika langsung menatap datar Frans. Baru saja dia senang karena bisa makan dengan Bella di kantin, Frans malah datang dan mengganggu mereka."Meja kosong masih banyak," ujar Vian datar."Boleh." Bella menyahut membuat Vian seketika langsung menoleh tidak terima."Gak boleh.""Ya udah, gue pindah." Bella hendak pergi namun Vian segera menahannya. Dia tidak mau hanya karena Frans, Bella malah pergi."Lo boleh duduk di sini."Frans tersenyum lalu duduk di samping Bella. "Thanks.""Bell, gue boleh minta nomor lo?""Buat?""Em, gue mau nanya lo kalau gue gak bisa kerjain tugas Fisika. Gue dengar lo jago Fisika. Boleh gak?""Boleh." Bella menerima ponsel Frans untuk mengetik nomor ponselnya.Vian hampir tidak percaya mendengar jawaban Bella. Begitu mudahnya Bella memberikan nomornya pada Frans yang baru menjadi temannya selama dua hari. Sedangkan dirinya saja waktu itu tidak dikasih. Sosial media saja diblokir. Benar-benar tidak adil baginya."Bell, kok lo k
"Lo kenapa? Kok lemas gitu? Bukannya kemarin abis jalan sama Bella?" Beno bertanya.Vian menarik napas lalu mengembuskannya. "Iya, tapi Bella keliatan gak senang jalan sama gue. Mungkin karena gue ngajak jalan tiba-tiba. Gak ngomong sama dia dulu.""Mungkin kemarin dia marah, tapi bisa jadi hari ini dia udah gak marah. Lagian kan baru pertama kali. Siapa tahu kalau kalian jalan lagi Bella malah senang. Pelan-pelan aja." Regan menepuk-nepuk pundak Vian mencoba menenangkan pikiran Vian."Benar yang dibilang Regan, Yan. Lo jangan over thinking gitu. Oh iya, hari ini nilai ulangan kita udah dipajang di mading sekolah. Mau liat gak?""Mana?"Beno memberikan ponselnya yang terdapat foto nama-nama murid beserta nilai ulangan."Woi!"Regan dan Beno seketika terkejut karena teriakan Vian."Kenapa? Nilai lo jelek?"***"Bell! Bella!"Bella menatap Sita datar karena panggilannya menggema. Seisi kelas menatap mereka."Kenapa?""Lo udah liat peringkat nilai ulangan belum?""Belum. Emang udah ada?"
"Ini mau ke mana sih?" Bella yang sedari tadi diam akhirnya membuka suara. Karena mereka sudah hampir dua puluh menit perjalanan, tapi belum juga sampai. Vian menatap Bella dari kaca spionnya sembari tersenyum. "Bentar lagi juga sampe kok."Tak lama kemudian Vian berhenti di depan sebuah panti jompo.Kini Bella mengerti kenapa tadi Vian membeli banyak kue ketika dalam perjalanan tadi. Rupanya karena Vian ingin pergi ke panti jompo."Yuk." Vian sudah turun dari motor.Bella mengikuti Vian masuk ke dalam."Selamat siang, Bu.""Eh, siang Vian. Akhirnya ke sini lagi. Ditanyain terus tuh sama nenek Ani."Vian tersenyum. "Maaf Bu, baru bisa datang. Akhir-akhir ini emang Vian lumayan sibuk.""Ini siapa? Pacar, ya?" Ibu pengurus panti jompo bertanya ketika melihat Bella."Teman Vian, Bu. Sengaja ngajakin biar ada yang nemenin.""Bella." Bella memperkenalkan dirinya."Saya Fitri. Pengurus panti ini."Bu Fitri beralih menatap Vian. "Kamu gak salah pilih teman. Cantik."Vian tersenyum, sedangka
“Kenapa San? Galau ya karena peringkat lo turun?” Vian bertanya karena Sani sedari tadi hanya melamun.Meskipun Sani tidak memberitahu Vian, tapi Vian dapat mengetahuinya. Apalagi Vian berteman dengan Sani sudah cukup lama.“Ya gitu deh. Peringkat gue turun dan berujung dimarahin bokap.”“Gak papa, lo kan sudah berusaha juga. Lagian selisih nilainya sama Bella juga gak jauh-jauh amat. Gue yakin lo masih bisa pertahanin peringkat lo kok.”Sani tersenyum. “Thanks ya. Gue pikir lo bakal kayak yang lain.”“Maksudnya?” Vian mengernyitkan keningnya.“Dari kemarin gue selalu dengar mereka pada senang karena peringkat gue turun. Karena mereka bilang gue terlalu ambisius gak pernah mau kalah. Makanya gue gak punya teman.”“Lo gak usah dengarin omongan mereka. Selagi mereka gak berkontribusi dalam hidup lo gak usah peduli. Lagian teman lo kan gue. Regan sama Beno juga. Jadi lo gak usah takut.”“Thanks lagi ya, Yan. Makin ke sini gue makin sadar kalau bukan lo yang butuh gue, tapi sebaliknya.”“
“Masuk,” ujar Bella ketika pintu kamarnya diketuk.Bella menatap datar Baron yang tiba-tiba tersenyum. Bisa ditebak Baron menginginkan sesuatu darinya.“Kenapa?” Bella kembali membaca novel.“Temenin gue ke mall, yuk.” Baron mengajak Bella.“Gak.” Bella menolak.Karena hari ini libur, Bella ingin menghabiskan waktunya di rumah. Bella sedang tidak ingin keluar dan bertemu orang-orang yang akan menghabiskan energinya.“Ayolah temenin gue beli sepatu. Nanti gue traktir lo deh. Lo mau apa? Komik baru? Novel baru? Atau buku soal Fisika?”“Emang lo gak bisa pergi sendiri?”“Gak bisa makanya gue ajak lo. Mau ya?”Baron kalau ada maunya saja berbicara lembut padanya. Kalau tidak pasti sudah menjahilinya dan berujung bertengkar.“Lo keluar. Gue siap-siap dulu.” Bella menutup novelnya lalu beranjak dari tempat tidur.Baron seketika tersenyum lebar. “Makasih ya. Lo emang adek terbaik.”Bella menatap Baron datar. “Jijik gue.”***“Ini mall yang terakhir, ya. Kalau sampe gak ada juga gue pulang.
"Yan, daftar peringkat nilai UAS udah keluar. Lo gak mau liat?" tanya Regan."Nanti aja." "Loh? Kenapa? Bukannya lo nunggu dari kemarin?""Emang, tapi gue gak siap. Gue takut gak sesuai sama harapan gue. Gue takut ngecewain Bella.""Lo kan udah usaha, Yan. Bella juga pasti ngerti kok."Vian menggeleng. "Syarat gue baikan sama dia kan peringkat gue harus bagus. Gue gak yakin kalau gue bisa masuk sepuluh besar.""Mungkin Bella ngomong kayak gitu biar lo lebih rajin belajar. Percaya sama gue Bella pasti bakal bangga sama lo apalagi ngeliat usaha lo yang belajar mati-matian.""Gan! Regan!" "Apasih Ben? Teriak-teriak emang gue budek.""Lo udah liat peringkat lo belum? Gila, lo di peringkat sebelas, bro! Gak nyangka gue. Keren juga lo," ucap Beno yang begitu antusias.Regan tersenyum bangga. "Iya lah, emang lo peringkat lima puluh."Beno menatap Regan sinis. "Sombong amat!" Beno beralih menatap Vian. "Lo gak mau ngecek peringkat lo? Tadinya mau gue foto, tapi keburu rame jadinya gak sempa
"Kenapa?"Terdengar helaan napas lega dari seberang sana ketika Bella menjawab telepon masuk. 'Akhirnya lo angkat juga. Gue telfon daritadi hp lo gak aktif.'"Sengaja gue matiin biar fokus belajar."'Masih belajar gak? Takutnya gue ganggu.'"Kenapa?" Bella kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.'Gue cuma mau bilang kalau lo jangan salah paham ya soal yang lo liat tadi. Gue tadi cuma berusaha buat nenangin Sani.'"Oke." Setelahnya Bella langsung memutuskan sambungan panggilan begitu saja. Bella kembali mematikan ponselnya karena dia tahu Vian pasti akan kembali menghubunginya dan dia sedang tidak ingin diganggu.Bella mengerti kalau Vian memang mencoba untuk menenangkan Sani. Hanya saja sebagai pacar Vian tentu Bella merasa cemburu, tapi tidak mungkin dia memperpanjang masalah karena Bella malas ribut di hari-hari yang penting ini. Yang ada malah membuat dia tidak fokus belajar dan akan mempengaruhi nilai ujiannya. Lagipula Vian juga sudah berusaha untuk menjelaskan padanya
"Gue dengar-dengar Sani tadi pingsan waktu ujian Kimia," ujar Sita lalu menikmati gorengan yang dia beli."Pingsan? Terus sekarang dia di mana? Udah siuman belum?" tanya Bella khawatir.Sita mengendikan bahunya. "Gak tahu. Gue cuma dengar sepintas dari anak-anak kelasnya.""Pasti gara-gara kebanyakan belajar terus gak istirahat. Biasa kan dia gitu," sahut Alan."Gue jadi ngebayangin waktu olimpiade lalu dia belajar kayak apa.""Ya, lebih parah. Makanya dia masuk rumah sakit, kan. Dia ngelakuin itu karena bokapnya. Dia gak mau bikin bokapnya kecewa.""Sekesel-keselnya gue sama Sani, masih lebih kesel gue sama bokapnya. Kek emang jaman sekarang masih ada ya orangtua yang suka maksa kehendak gitu? Kayak apa-apa anak harus ikutin semua kemauan orangtuanya tanpa peduli perasaan anaknya kayak gimana. Egois gak sih?" Sita meluapkan kekesalannya membuat Alan hanya bisa tersenyum."Kenapa lo senyam-senyum?"Alan menggeleng. "Gue cuma takjub aja lo sekesel itu sama bokap Sani. Jadi sekarang lo
"Kenapa muka lo keliatan tegang gitu? Lo takut gak bisa kerjain soal?" Beno bertanya menyadari ekspresi Vian yang begitu tegang. Ya, akhirnya hari ini mereka melaksanakan ujian akhir semester yang mana biasanya tidak pernah ditakuti oleh Vian. Namun, hari ini dia tampak begitu tegang. Vian seperti itu bukan tanpa alasan, melainkan karena dia takut kalau nilainya tidak tuntas. Vian sudah berjanji pada Bella akan meraih nilai yang bagus agar Bella tidak marah lagi padanya. "Udah santai aja, Yan. Biasanya juga lo gak pernah tegang gini." Regan menimpali.Vian menggeleng. "Masalahnya gue udah janji sama Bella. Kalau nilai UAS gue bagus baru dia mau maafin gue."Regan menepuk-nepuk pundak Vian. "Semangat Yan. Gue yakin lo pasti bisa.""Waktu uts aja lo bisa masa uas lo gak bisa. Apalagi kan lo udah belajar sama Bella. Tutor terbaik lo."Vian mengangguk percaya diri. "Gue bisa. Demi Bella."***"Huft. Baru hari pertama aja udah susah apalagi kalau Matematika, Fisika sama Kimia. Bisa mati
"Hai San."Sani yang sedang duduk di teras rumah sembari membaca buku mendongak. "Ngapain ke sini, Yan? Tumben gak bilang-bilang.""Boleh duduk dulu gak?""Duduk aja."Vian lalu mendudukan bokongnya di kursi kayu. "Sebenarnya gue ke sini mau minta maaf sama lo soal kemarin. Gara-gara berantem sama Bella malah lo yang kena imbasnya. Padahal lo gak salah apa-apa.""Gue tahu kok. Selama ini gue selalu ngerepotin lo. Gue lupa kalau lo udah punya Bella dan sekarang dia prioritas lo. Gak seharusnya gue ngandelin lo terus-terusan. Kalau gue jadi Bella juga mungkin gue bakal sama kayak dia. Gak ada yang mau cowoknya perhatian ke cewek lain walaupun itu sahabatnya sendiri.""Lo masih mau temenan sama gue, kan?"Sani tersenyum. "Masihlah emang lo gak mau?"Vian menggeleng. "Gue bakal jadi teman lo terus."***"Vian!" Vian yang ketiduran tersentak bangun lalu mengucek-ucek matanya untuk memperjelas penglihatannya."Eh, bang. Gue kirain Bella.""Bella? Emang dia ke mana?""Kata tante lagi pergi s
Vian tersenyum menatap Bella yang sedang menyiram tanaman. "Bella."Bella menoleh menatap Vian dengan wajah datar. "Gue bantuin, ya.""Gak perlu." Bella langsung menolak. Vian memilih duduk di teras rumah sambil terus menatap Bella yang masih melakukan kegiatan menyiramnya.Setelah selesai Bella hendak masuk ke dalam rumah, namun Vian menahannya."Lo ingat gak kita hari ini ada jadwal belajar bareng?""Gue gak ingat. Lagian hari ini gue sibuk," jawab Bella dingin."Sibuk? Emang mau ngapain?""Harus banget lo tahu kegiatan gue?""Harus. Kan lo pacar gue."Bella hanya memutar bola matanya malas."Bella!" Keduanya menoleh Bella kemudian tersenyum. Sedangkan Vian menatapnya kesal."Jadi alasan lo gak bisa belajar bareng gue karena dia?" tanya Vian."Lan, ayo masuk."Vian menatap Bella tidak percaya. Bella tidak menjawab pertanyaannya dan malah menyuruh Alan untuk masuk ke dalam rumah. Sedangkan Vian yang sedaritadi di teras sama sekali tidak ditawar untuk masuk. Ini benar-benar tidak a
"Lo sama Vian berantem karena Sani, kan?" tebak Alan yang tentu saja benar.Bella hanya diam lalu meneguk minumannya."Gue bakal ngomong sama Sani."Bella seketika membulatkan matanya. "Ngapain? Gak usah.""Tapi Bell, kalau kayak gini terus lo sama Vian bisa putus. Emang lo mau kayak gitu. Gue bukannya mau ikut campur. Gue cuma gak mau waktu gue pergi lo malah patah hati dan gak ada gue buat hibur lo.""Gue gak papa, Lan. Waktu lo selingkuhin aja gue aman kok."Alan seketika menundukkan kepalanya merasa bersalah. "Sorry Bell, gue ...."Bella kemudian tertawa melihat raut wajah Alan yang berubah. "Bercanda Lan. Gak usah dimasukin ke hati.""Tapi lo serius gak mau gue bantuin buat ngomong sama Sani. Biar dia ngerti.""Gue rasa Sani cukup pintar buat ngerti tanpa perlu dikasih tahu."***"Udah, telfon aja," celetuk Beno ketika melihat Vian sedang menatap layar ponselnya yang mana tertera kontak Bella. "Gue takut.""Takut kenapa? Pacar sendiri kok takut.""Lo juga ngerti maksud gue apa."
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat