Sita melipat tangannya di depan dada dengan ekspresi wajah kesal. Bukan tanpa alasan, melainkan karena Sani yang tiba-tiba datang ke kelas mereka dan mengajak Bella mengobrol.“Em, San, sorry, gue harus nemenin Sita ke toilet.”“Oh, iya, kalau gitu gue balik kelas dulu, ya.” Sani pun pergi.“Nih, buat lo.” Bella memberikan sebungkus coklat pada Sita.Sita yang tadinya cemberut langsung tersenyum. “Makasih Bella.”Bella tersenyum kecil ketika Sita langsung membuka bungkusan coklat tersebut dan melahapnya.“Kenapa coklatnya gak lo kasihin ke Sani tadi?” tanya Sita.“Emang kalau gue kasih ke Sani lo gak bakal marah?”Sita menggeleng. “Kan dia teman lo. Buat apa gue marah?”“Masa?”“Jangan bikin gue badmood, ya. Masih pagi ini.”“Lo gak suka ya sama Sani?”“Bukan gak suka, cuma gue gak suka aja dia keliatan kayak mau dekat sama lo. Padahal dari dulu dia gak ada teman cewek. Dia temenan cuma sama Vian cs. Makanya aneh aja kalau dia tiba-tiba mau temenan sama lo.”“Mungkin karena kita sefre
“Gue liat-liat kayaknya lo udah akrab banget ya sama Bella,” kata Beno.Beno berjalan menuju kelas bersama Sani. Mereka tadi sempat bertemu dengan Bella di depan.Sani tersenyum. “Iya, emang kenapa? Lo cemburu?”“Ya kali gue cemburu sama Bella. Gue cuma heran aja lo bisa akrab sama orang lain selain kita. Lo kan pernah bilang kalau lo malas temenan sama cewek karena kalau ribut sesama cewek ribet.”Sani manggut-manggut membenarkan. “Iya sih, tapi gue ngerasa temenan sama Bella seru. Karena selera dia sama kayak gue. Dia juga bukan tipe cewek yang ribet.”“Sayangnya dia gak mau deket sama cowok. Coba aja dia mau. Udah gue jadiin pacar.”“Sayangnya gue yakin Bella gak mungkin mau sama lo.”“Lo berdua ngomongin apa?” Keduanya langsung menoleh.Beno tersenyum. “Eh, Vian. Cakep amat.” Jangan sampai Vian dengar omongannya. Karena Vian pasti akan marah padanya.“Udah tahu.”“Yan, semalam gue telfon kok gak diangkat?” tanya Sani.“Gue lagi di luar terus lupa bawa hp. Gue sampai rumah udah kem
“Udah di sini aja,” ucap Bella ketika sampai di depan cabang perumahan rumahnya. Rumah Bella masih jauh, tapi Bella menyuruh Vian untuk menurunkannya. Bukan tanpa alasan, hanya saja Bella tidak mau Vian tahu di mana rumahnya. Dia tidak mau tiba-tiba cowok itu datang setelah mengetahui rumahnya. Bukannya terlalu percaya diri, tapi jika dilihat dari sifat Vian sepertinya dia tipe orang yang seperti itu.“Enggak, gue mau antarin lo sampai rumah. Kan gue udah janji tadi.”“Turunin gue sekarang,” ucap Bella tidak ingin dibantah.Vian pun akhirnya menghentikan motornya. “Gue tahu rumah lo masih jauh. Lo yakin mau turun di sini?”Bella melepas helm lalu memberikannya pada Vian. “Makasih.”“Kak Baron!” Bella memanggil Baron yang kebetulan lewat.Dalam hati Bella sangat bersyukur karena bertemu Baron. Kalau tidak Bella harus jalan kaki sampai rumah. Sedangkan jarak dari cabang perumahan menuju rumahnya lumayan jauh.Baron menghentikan motornya. Baru saja Baron hendak turun dari motor untuk be
“Udahan yuk, Bell. Capek ini,” ujar Baron dengan napas tersengal-sengal. Karena sedang libur, Bella mengajak Baron jogging. Padahal mereka baru beberapa menit lari, tapi Baron sudah mengeluh saja. Baron memang malas berolahraga. Kalau bukan Bella yang menarik paksa Baron dari kasur, mungkin saat ini Baron masih saja tidur pulas. “Baru juga lima menit.” “Lima menit gimana? Udah tujuh menit ini,” kata Baron sembari menunjukkan arlojinya. “Selisih dua menit doang. Lanjut lagi. Jangan banyak ngeluh. Cowok kok lemah.” “Bukan lemah. Masalahnya lo kan tahu sendiri gue itu gak suka jogging.” “Bacot lo.” Bella mempercepat larinya. Karena sudah malas mendengar Baron yang terus mengeluh. *** “Tata.” Bella dan Baron bertemu Tata di taman. Mereka memutuskan untuk beristirahat di taman setelah berolahraga kurang lebih setengah jam. “Eh, Kak Bella. Kita ketemu lagi.” Tata tersenyum lalu beralih menatap Baron. “Pacarnya Kak Bella, ya?” tanyanya. “Enggak!” jawab Bella dan Baron bersamaan memb
“Jadi lo udah tahu rumah Bella?” Beno cukup terkejut.Vian mengangguk sembari tersenyum.“Hebat juga lo udah tahu rumah Bella aja. Suatu kemajuan ini.” Regan menimpali.Vian masih tersenyum. Dia merasa sepertinya memang Bella ditakdirkan untuknya. Walaupun dia tidak tahu ke depannya akan seperti apa. Tapi, apapun yang terjadi Vian pasti akan menghadapinya. Karena dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Bella.“Pagi guys!” Sani menghampiri mereka bertiga.Ketiganya tersenyum membalas sapaan Sani.“Nih, gue ada snack buat kalian.” Sani memberikan paper bag berisi makanan ringan dari luar negeri.“Wih, makasih ya, San.” Beno dan Regan langsung saja menerimanya. Keduanya langsung memakannya. Vian hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan mereka.“Bokap lo udah pulang?” tanya Vian.Sani mengangguk. “Semalam. Makanya gue bawa makanan-makanan ini. Nanti lusa udah berangkat lagi. Sibuk banget bokap gue.”“Wajarlah bokap lo sibuk. Kan pilot.” Beno menyahut.“Iya sih, tapi jadinya gue jarang ngo
Bella sedang berjalan menuju kelas Vian. Kebetulan dia disuruh Bu Heni untuk mengambil buku paket milik Bu Retno. Sebenarnya Bella mengajak Sita untuk menemaninya, hanya saja Bu Heni tidak mau dan menyuruhnya pergi sendiri.Bella sedikit terkejut ketika melihat Vian sedang berdiri di depan kelas dengan posisi satu kaki diangkat dan kedua tangan memegang telinga.“Hai Bell.” Vian tersenyum. Dia malu karena Bella melihatnya dihukum.“Vian! Angkat kaki kamu sebelum saya kasih hukuman tambahan!” teriak Bu Retno dari dalam kelas.Vian terkesiap. Dia segera menaikkan sebelah kakinya kembali. “Gue curiga profesi Bu Retno sebenarnya bukan guru, tapi peramal,” gumamnya.Memilih tidak peduli, Bella langsung mengetuk pintu kelas. Setelah mendapat izin untuk masuk, Bella pun masuk ke dalam.Tak sampai berapa menit, Bella sudah keluar.“Bell, semangat belajarnya, ya,” ucap Vian menyemangati Bella.Seperti sebelumnya, Bella masih tidak memberikan respons. Malah Bella pergi begitu saja tanpa basa-ba
“Bell, bangun!” Baron menggoyang tubuh Bella membuat tidur Bella terusik.Bella bangun dengan ekspresi kesal. “Apa?”“Buruan ke bawah ada tamu,” kata Baron.“Siapa?”“Gak tahu, kayaknya teman lo. Buruan. Kasihan tamunya nunggu lama.”“Gak usah narik-narik.” Bella memukul tangan Baron karena menarik Bella untuk bangun dari ranjang.Dengan malas dan wajah bantal Bella turun ke lantai bawah untuk menemui sang tamu.Bella mengembuskan napas ketika Vian tersenyum padanya. Ternyata tamu yang dimaksud oleh Baron adalah Vian. Pantas saja Baron tadi mendesaknya. Benar-benar kakak yang menyebalkan. Hanya karena Vian, waktu tidur siangnya jadi terganggu.“Lo baru bangun tidur, ya? Sorry, udah ganggu ....”“Ada perlu apa?” potong Bella cepat.Bella benar-benar tidak ada niat untuk berbicara dengan Vian.“Gue bawain makanan buat lo. Gue mau minta maaf soal yang tadi. Gue tahu gue salah. Gak seharusnya gue nyelesain masalah dengan kekerasan.” Vian memberikan sebuah kantung kresek berisi makanan p
Vian segera menangkap bola basket yang hampir saja mengenai Bella. Kebetulan Bella berjalan melewati lapangan.Bella seketika terkejut. Vian menoleh pada Bella dengan wajah khawatir. “Lo gak papa?”Bella mengangguk. “Thank’s”Untung saja Vian menolongnya, kalau tidak ada Vian mungkin Bella sudah terkena bola basket. Entah kenapa Vian selalu menolongnya di saat-saat seperti ini.Vian melempar kembali bola pada para cowok yang bermain bola basket. “Lain kali kalau main hati-hati,” tegurnya.“Sorry, Yan,” ucap cowok yang menangkap bola basket tersebut.“Minta maaf sama orangnya bukan sama gue.”“Sorry, ya.” Cowok itu meminta maaf pada Bella.Bella hanya mengangguk sebgai respons. Setelah itu Bella langsung pergi. Buru-buru Vian menyusul Bella.“Bell, pulang sekolah lo sibuk gak? Kalau gak sibuk ....”“Gue sibuk,” potong Bella dengan cepat.Vian tersenyum. “Oh, oke. Kalau gitu selamat belajar, ya.” Vian kemudian pergi.Bella jadi tidak enak pada Vian. Apalagi tadi Vian sudah menolongnya.