Setelah sekian hari lebih banyak merenung dan terdiam karena musibah yang dialami, Apih kini mulai semakin banyak berbicara. Apih malah udah bisa negur juga. Seperti pagi itu waktu dirinya menegur terlebih dulu karena ngelihat rona kesedihan pada diri puterinya.
“Kamu kurang tidur ya? Insomnia lagi?”
Dinda yang emang belum lama bangun dari tidur, mengangguk. “Ketauan ya, Pih?”
“Ketauan banget. Mata kamu merah.”
Dinda tersenyum kecil. Waktu melangkah ke kamar kecil, Apih manggil.
“Kamu nguping omongan Apih sama Amih kemarin ya?”
Dinda berhenti melangkah. “Soal rencana Apih sama Amih mau ngelego barang buat ngeganti motor yang ilang?”
“I-iya,” Apih menjawab ragu. "Maafin Apih ya, nak."
Ngelihat Apih berucap dengan nada berat Dinda jadi nggak tahan untuk nggak nguatin bokapnya. Ia berbalik badan dan kemudian memeluk Apih dengan kasih sayang.
“Tenang aja, Apih. Dinda gak keberatan sama
Dinda kurang tidur sebetulnya. Tapi untuk pergi ke warung Mas Joyo, dia selalu semangat dan akan lebih bersemangat lagi kalo ibunya meminta buat beli yang lebih banyak supaya dia lebih lama di sana. Tapi sayang, pagi itu, cuma sedikit barang yang harus dibeli. Ini artinya waktu kebersamaannya akan lebih singkat bersama Ramond. Dinda belom banyak tahu mengenai latar-belakang pria itu. Yang dia tau adalah Ramond itu keponakannya Mas Joyo yang baru datang dari kampung untuk melanjutkan pendidikan. Cuma itu yang Dinda tahu. Selebihnya yang ia tahu ialah bahwa Ramond masih ngomong aku-kamu dan bukannya gue-elo. Never mind. Ahhh... selalu menyenangkan rasanya kalo Dinda bisa dilayani makhluk manis ini. Sepuluhan meter sebelum masuk warung, Dinda sempat sedikit ngebetulin rambut melalui kaca sebuah mobil mer
"Kalo ayam? Bebek?""Kayaknya pernah juga.""Kalo ada tamu datang, gimana? Mereka nggak terganggu?""Cuwekin ajah. Yang penting rumah sayah nggak kemalingan. Saya nggak malu cerita karena paktanya kayak gituh."Walau nggak yakin orang itu ngomong jujur, Pak Galih dengan isterinya memaksa diri meng-iya-kan. Bagi mereka, sulit diterima akal sehat orang sekaya Pak Satya mau ngelakuin hal bodoh semacam itu."Terus gimana nih, Pak Galih? Kalian teh musti tanggungjawab atuh.”Ngedengerin ‘tanggung jawab’, mereka berdua mengerti apa yang dimaksud. Tapi mereka diam. Nggak langsung berespon.“Koq diem? Jawab dong!” tegur Pak Satya galak.“Untuk kasus ini kami udah lapor polisi tapi emang belum ada perkembangan. Jadi, ya kami pasrah. Kami mau tanggung jawab. Kami putuskan untuk kasih ganti rugi karena kami juga nggak yakin bisa dapetin lagi motornya.”&ldq
“Aku?” Sandro lagi-lagi berlagak nggak tahu apa-apa sambil kembali bersembunyi di balik tubuh Dinda.“Bengek!” Dinda lagi-lagi berusaha menyelamatkan Sandro dari ancaman Pak Setya. “Maksud temanku , oom kalo keluar malam-malam bawa kendaraan tuh musti hati-hati. Jangan sering keluar malam. Nanti Oom sakit bengek.”“Oooh,” Pak Satya manggut-manggut. “Ya udah, Oom pergi dulu.”“Ya deh. Hati-hati di jalan, Oom.”Sandro seneng ngelihat kepergian Pak Satya. Tapi, dasar Sandro emang siborokokok, alias pengacau, begitu bokapnya Panji itu beberapa meter melangkah, Sandro lagi-lagi keceplosan ngomong.“Kampret.”Eeeeeh, rupanya Pak Satya ngedengerin juga kata itu. Dengan tampang kesal, dia mendekati Sandro lagi."Ngomong apa lagi kamuh?”Dipelototin Pak Satya, Sandro santai aja. Sandro yakin bahwa kecerdasan Dinda lagi-lagi b
“Terang aja masih ada hati. Kalo nggak, dia udah mati dari kapan tau akibat lever-nya nggak ada.”“Elo ngeledek usaha gue?”“Elo yang ngeledek.”“Coba aja lagi ngedeketin Rannie. Mumpung dia masih kesengsem sama elo sebanyak delapan puluh persen, Coy! Dia itu masih ada hat... maksud gue, dia masih belom bisa ngelupain elo. Dari analisa program aplikasi ini, ternyata sikap cuwek yang dia tunjukin sebetulnya cuma buat nutupin perasaan hati dia yang sebenernya.” Sandro merenung lagi. "Program elo keren. Tapi gimana kalo problemanya-nol?" "Maksud elo, probabilitasnya nol? Nggak mungkin," Dinda menjawab tegas. "Probabilitas nol sih parah banget. Itu hil yang mustahal." "Maksud gue, kemungkinan
“Eleuh-eleuuuuh, kamu itu ada apah sampe jadi repot sendiri?” Panji mencoba bersabar ketika mau menjelaskan. “Di depan tadi Panji liat truk tangki bawaan mas Eko ada di depan rumah. Berarti, duit di bapak itu dapet dari dia kan?”“Oh, emang sih.”“Nah itulah.”“Itu apah?”“Duit yang bapak hitung itu duit dari mas Eko. Iya kan? Nah, mas Eko itu kan sopir truk tangki tinja. Dia juga yang turunin slang, naikin selang, udah gitu nyedot tinja pake selang. Bapak kan tau itu orang joroknya minta ampun. Jadi, duit dari dia bisa jadi masih ada bau-baunya.”“Ah kamu itu lebay,” pak Satya protes. “Nggak mungkin dia sampe sejorok itu.”“Mas Eko itu orangnya jorok. Percaya deh.”“Kalo dia jorok, berarti duit ini bau dong.”“
Ditanyai seperti itu, Dinda mengerti maksud dan arah omongannya. Sandro lagi-lagi kurang yakin dengan cara kerja aplikasinya. Dan bagi Dinda, ini mulai menjengkelkan. Anak itu perlu dikerjai lagi."Tenang aja, San. Gue udah terrapin koq. Gue udah bikin kelinci percobaan ke pasangan lain.”“O gitu? Berhasil?”“Berhasil dong.”“Wuih mantap. Begini nih kalo punya temen IQ tinggi. Yang lain mah masih pada main Tik Tok, eh elo mainnya udah AI. Gile benerrrr….”Jawaban Dinda yang begitu meyakinkan terang aja bikin Sandro tenang. Tapi rasa tenang itu hanya bertahan nggak lama. Dia inget bahwa apa yang dibikin adalah sebuah aplikasi baru. Lalu, dimana dan kapan Dinda praktekinnya.“Tunggu. Bukannya ini aplikasi baru? Lu yakin udah terapin?”“Udah.”“Emang kapan diterapinnya?”“Sehari sebelum kita terakhir ketemu."
Ada perkembangan menarik soal motor yang hilang. Kasus itu dilaporin pak Galih alias Apih ke polisi. Ternyata setelah berjalan sekian lama, motor itu bisa diketemuin. Pelakunya pun di luar dugaan. Motor pak Satya yang dipake pak Galih dan kemudian raib, ternyata ada orang dalem yang terlibat. Orang itu adalah Rojab. Ia sakit hati atas perlakuan pak Satya selama dia bekerja. Selain gajinya gampang sekali dipotong, ditunda, dan dicicil, ia juga dipecat secara sepihak. Rasa sakit hati itu yang bikin dirinya berusaha membalas dendam. Dia yang tahu bahwa salah satu motor dirental ke pak Galih, udah lama mengincar. Dia mengincar rumah, kebiasaan penghuninya, dan melakukan di waktu yang tepat. Pendek kata, setelah berjalan sekian lama dirinya nekad melakukan pencurian motor. K
“Itu semua berisi daftar pertanyaan-pertanyaan yang elo musti jawab secara baik, jujur, nggak sombong dan rajin sembahyang.” Bimbim nggak merhatiin omongan ngaconya Dinda berhubung dia sibuk ngebolak-balik kertas buat ngelihat daftar pertanyaan yang ada. Bimbim ngegeleng-geleng kepala. “Gue ngisi sebanyak ini? Tega bener, yak?” "Iya, yak," jawab Dinda sambil ngeledek logat daerah Cikarangnya yang susah ilang. “Kalo elo gak mau ditolong ya udah. Gue nggak maksa.” Bimbim ngebaca beberapa pertanyaan di lembaran-lembaran kertas segepok itu. “Ini nggak salah nih gue musti ngisi pertanyaan-pertanyaan gak bermutu kayak gini?” Dinda ngomong tanpa reaksi. “Elo mau ditolong nggak? Gue nggak maksa elo datang ke sini.” Bimbim terdiam sebelum ngejawab pasrah. “Iya deh. Rupanya gini ini nasib jadi jones. Dilecehin terus.” “Bawel ah. Ngomong melulu. Mau ngisi nggak?” bentak Dinda. Bimbim masih perhatiin l