Ia hendak berdiri dan melangkahkan kaki
Lalu suara pria yang turun dari mobil itu mengejutkannya " Vaan....ngapain malem gini disini,nunggu Taxi?? " Ujar suara pria yang tiba tiba menggetarkan hatinya, ia menatap asal suara yang perlahan mendekat itu " Masssss....darimana?? " jawab Vania kakukarena merasa tidak enak Dendi mendapatinya sedang dalam keadaan kacau begini. " Loooh Vaniaaa, kenapa kamu berantakan gini, lohhh, apa yang terjadi, kenapa dengan bibirmu Van?" Dendi dengan sigap memeluk Vania erat, ia tak lagi menghiraukan sekitar, hatinya perih mendapati wanita yang telah mengusik hatinya, terlihat berantakan. Vania menitikan air matanya di pelukan Dendi seolah ingin menumpahkan semua dan melepaskan beban berat di hatinya. Vania perlahan melepaskan pelukan itu karena ia teringat bahwa ia hampir menjadi wanita kotor yang tak pantas di peluk oleh Dendi. " Vaaan, apa yang terjadi, Hmm.? " Dendi membelai rambut Vania dengan lembut Vania menggelengkan kepalanya seraya mengelap air matanya " aku gak papa mas, cuma tadi kesasar aja, makanya duduk disini nunggu Taxi " Jawab Vania asal Dendi menatap Vania dalam lalu berkata " Udah malem...yok aku anter kamu pulang, lagian daerah sini jarang taxi lewat di jam segini kali Van " " Gak usah masss, aku lagi pengen ngirup angin segar malem hari, mas balik aja kesian anak anak nunggu dirumah " Jawab Vania yang menolak halus, Vania juga tak ingin terlalu dekat dengan Dendi, ia tak mau bergantung pada pria itu walau Vania sempat merasa kehilangan ketika tiba tiba selama beberapa hari Dendi tidak menghubunginya atau mendatanginya sama sekali tapi tidak.! Ia harus bisa mandiri seperti Vania yang kemarin yang tak bergantung pada siapapun. " kenapa kamu ga mau pulang kerumah?? karna Issabell ga dirumah ya??" Dendi mencari tau alasan Vania diluar selarut ini " iya mas...aku lagi ga pengen pulang malem ini, jadi mas pulang aja kesian baby girl...” Vania membuang pandangannya menatap langit malam yang gelap tanpa bintang satupun,segelap hatinya saat ini. " yaudah....kalau kamu ga pengen pulang kerumah...biar aku temenin Van...bahaya malem gini diluaran sendirian, mana kamu cew lagi " Lalu Dendi menuju mobilnya berbicara dengan supirnya,sampai kemudian sang supir sudah turun lalu Dendi mendatangi Vania menggendong Vania ala bridal style lalu mendudukkannya di kursi samping, perlakuan Dendi yang spontan membuat Vania terkejut. Dendi mengambil alih kemudi mengendarai mobil miliknya meninggalkan sang supir yang tengah berdiri di halte menunggu jemputan, menggantikan posisi Vania duduk di Halte tersebut. Dendi mengendarai mobilnya menuju sebuah Hotel berbintang 5 yang membuat kening Vania berkerut " Mas, kenapa kita kesini?" Dendi tak menjawab hanya meletakkan jari telunjuknya di bibir Vania yang masih ada bekas darah mengalir. Sesampainya di lobby Dendi memberikan kunci mobil kepada petugas yang sudah memberi hormat kepadanya lalu menggendong Vania tanpa permisi. Sontak Vania yang mendapat perlakuan sedemikian rupa, membuatnya terkejut, ia meronta dan meminta Dendi menurunkannya karena tak enak di lihat orang, tapi apa daya, usahanya sia - sia, Dendi tak menghiraukan permintaan Vania, ia hanya berbisik di telinga janda muda yang masih terlihat segar itu. " Diam saja atau aku panggil wartawan sekarang?? " Ujarnya seraya tersenyum berjalan menuju ke lift di samping Receptionist Para Karyawan memberi hormat kepada Dendi, hingga membuat beberapa pengunjung yang tengah berada di area itu menatap heran pada Dendi yang menggendong wanita dengan kaki berdarah. Dendi tak menghiraukan tatapan orang lain terhadapnya, ia dengan cuek memasuki lift yang sudah terbuka untuknya menuju lantai 38 Penthouse miliknya, yang telah sekian lama tak ia kunjungi sejak kepergian sang istri untuk selama - lamanya. Mark Hotel adalah salah satu hotel milik ayahnya,warisan dari sang kakek yang telah meninggal, dan kini hotel tersebut di jalankan oleh ayah Dendi yang di bantu sang paman. Sesampainya di Penthouse, ia membuka pintu lalu merebahkan Vania di atas ranjang yang dulu selalu ia tiduri saat bersantai dengan sang istri. " Jangan bangun Van, kamu tiduran aja, sebentar lagi aku bersihkan lukamu dulu biar tidak infeksi..” Dendi memeriksa luka di kaki Vania, sedangkan Vania merasa tak enak, karena telah tidur di ranjang yang bukan ia inginkan, ia mencoba bangkit, namun Dendi menghalanginya dengan lembut. “ Sudah, istirahat saja dulu, tak perlu merasa sungkan, rebahkan tubuh dan pikiranmu dengan tenang, percayalah kau akan baik - baik saja disini..." Ujar Dendi lembut ketika ia mengetahui Vania hendak bangun Bel Kamar berbunyi dan Dendi bangkit, ia berjalan menuju pintu, lalu membukakan pintu tersebut terlihat sang room boy mengantarkan tas miliknya, setelah mengucapkan terimakasih, ia kembali menutup pintu kamar itu dan berjalan dimana Vania terbaring. Dendi duduk disisi Vania terbaring, tangannya bergegas membuka tas, yang ternyata adalah peralatan medis miliknya. Dengan telaten ia mulai membersihkan luka di kaki Vania penuh konsentrasi seolah ia tengah menghadapi pasien tanpa mengucapkan sepatah katapun. Setelah selesai, ia menggeser duduknya dan mulai membersihkan dibagian bibir, tatapannya perih melihat wanita yang telah mengusik hatinya itu terluka, dengan sangat hati - hati ia mengolesi salep ke bibir Vania, tatapan mata mereka beradu, dan sesaat mereka saling pandang, kemudian ia memeriksa Vania menggunakan stetoskop miliknya, lalu ia memasang infus dan menggantungnya di tiang yang memang sudah ia sediakan di kamar tersebut. " Malam ini, kamu istirahat disini ya Van, kamu sedang dalam keadaan tidak baik - baik saja saat ini, dan aku harus menjaga mu malam ini.." Mendengar kata - kata yang keluar dari bibir pria di hadapannya membuat Vania meneteskan air mata. Jauh di lubuk sanubarinya terlintas rasa bahagia, ia bingung jika ia bahagia, lantas mengapa air mata ini mengalir? Akankah ini merupakan air mata bahagia karena mendapat perhatian dari pria tampan dan baik hati, atau karena ia putus asa memikirkan darimana ia mendapat uang untuk melunasi seperti yang ia janjikan tadi kepada pria yang hampir menodainya. " kenapa kamu menangis..?Apakah ucapanku salah, sehingga melukai perasaanmu? Aku tak bermaksud menyakiti hatimu...” Dendi menatap Vania yang menggeleng kearahnya. “ Sepertinya, kamu memiliki sebuah kisah yang belum ingin aku ketahui, tak perlu cerita Van, kalo memang kamu belum siap menceritakan masalah yang telah membebanimu, aku tahu kejadian hari ini sangat berat bagimu, hingga kau tak mampu mnegucapkan sepatah katapun untuk menjelaskan kondisimu tadi, jangan dipaksakan, aku tak ingin kau merasa terbebani, ceritalah ketika kau memang sudsh ingin menceritakannya, ketahuilah kita semua memiliki misteri hidup masing - masing...." Ujar Dendi seraya membelai rambut Vania dengan penuh kasih sayang, Vania menghela nafas panjang lalu ia mengangguk dan berbisik lirih. " Makasih mas, sudah ngerti dan ada untuk aku saat ini, aku gak tau gimana jadinya kalo... " Belum selesai Vania melanjutkan kalimatnya, telunjuk Dendi sudah berada di bibir Vania, pria dihadapannya itu menggeleng perlahanseraya berkata, " Husst..jangan ngomong macem - macem, maaf ya, beberapa hari aku gak sempat ngabari kamu, aku ada seminar di luar kota, dan aku lelah banget, jadi gak sempat ngabarin, itu kenapa gitu selesai aku buru buru pulang " Ujar Dendi seraya menatap Vania dengan lembut, senyum manis mengembang di bibir yang sudah bersih tanpa brewok dipipi. Vania memalingkan pandangannya karena ia merasa salah tingkah bertatapan dengan mata Dendi hatinya berdebar. " Gak papa mas, gak perlu mas Dendi pikirkan hal itu, jadi gak usah merasa bersalah gitu, aku juga gak minta mas ngubungin aku kan? Jadi jangan merasa sungkan begitu mas.. " Jawab Vania menyadari dirinya tak memiliki hak untuk mengontrol Dendi kemanapun ia pergi. " Hmm, kamu mau tidur Van? kalau ngantuk tidur saja, oh ya kamu udh makan?aku melihat pipimu semakin tirus sejak beberapa hari aku tinggal " Tanya Dendi seraya membelai pipi Vania. Ada nyeri di hatinya ketika menyaksikan keadaan Vania yang kacau seperti ini, ingin rasanya ia mengetahui apa yang membebani wanita itu sehingga terlihat sangat terpuruk sekali, tapi ia teringat akan nasehat sahabat sekaligus orang kepercayaannya, jika ingin mendapatkan hati Vania jangan terlalu terburu buru dalam bertindak. " Aku belum ngantuk mas, aku juga gak laper, mas kalo ngantuk tidur saja, bukankah mas dari luar kota, pasti capek kan? abaikan saja aku mas, anggep aku tidak berada disini saat ini..." Jawab vania sambil melihat sekeliling untuk mencari tempat tidur lagi dan ternyata hanya ada satu tempat tidur, baru ia teringat bahwa saat ini tengah berada di hotel. " Aku juga belum ngantuk Van, tadi di pesawat aku tidur sepanjang perjalanan, jadi yaah ! sekarang gak ngantuk dehh.. " Dendi beranjak berdiri dan berpindah posisi di Ranjang merebahkan badannya di samping Vania Seraya berkata " Van....kalau kau berkenan, dan tidak merepotkanmu, sebaiknya berbagilah beban denganku, jangan pikul beban itu sendirian, kita saling bahu - membahu bersama dan saling menguatkan, aku rasa itu baik untuk kita berdua.." " Maksud mas?? " tanya Vania menoleh kearah Dendi yang saat ini berada disisinya. " Aku tahu, saat ini kamu tengah menghadapi masalah berat, mungkin masalah besar, kalau kau sudi jangan simpan masalahmu sendirian Van, ceritalah denganku, siapa tau aku bisa membantu, terkadang dengan bercerita setidaknya membantu meringankan bebanmu, jangan pendam sendirian Van.., " jawab Dendi seraya memiringkan badannya, tangannya menopang kepalanya dan satu tangan lagi membelai rambut Vania dengan lembut. " Mas..kalau gak salah, mas Dendi dokter bukan? Dokter bedah...” Tanya Vania tiba - tiba, karena teringat sesuatu hingga membuatnya sedikit bersemangat, ia tersenyum dengan ide sesaatnya sembari menatap langit - langit kamar. " Hmm, seperti yangkamu tau van..” Jawab Dendi masih dengan tatapan yang tak beralih dari janda satu anak itu. “ Kenapa? kamu sakit? Sakit apa kamu sampai butuh operasi? Kalau memang kamu yang sakit, aku akan memberikan solusi kesehatan terbaik untukmu..” Ucap Dendi penuh Selidik. " Ehmm.. enggak, aku gak sakit mas.. " jawab Vania menggeleng. " Trus? Kenapa dengan profesiku Van? Atau siapa yang membutuhkanku sebagai seorang ahli bedah? " " E-ehm, gak mas, benernya aku mau minta tolong aja sih mas.." tanya Vania dengan " Iya, kamu minta tolong apa sayang..... aku pasti usahain buat kamu semampuku " Balas Dendi meyakinkan Vania yang tengah di rundung keraguan. " Serius kamu mas? “ Tanya Vania dengan mata berbinar, hingga membuat Dendi mengangguk sembari tersenyum. “ Hmm..” Mas, mau gak mas operasikan ginjalku 1 trus mas jual, di rumah sakit tempat mas praktek? Pasti banyak kan yang ngebutuhin ginjal, pasti ada yang cocok dengan ginjalku...” Vania tersenyum getir, ia menitikkan air mata putus asa, otaknya buntu, bagaimana jika sampai esok ia tak juga mampu mendapat uang untuk melunasi hutangnya kepada mafia itu. " Jangan becanda kamu Van, lagian candamu garing tau, dasar nakal nih..” Dendi mencubit hidung Vania gemas. “ Aku serius mas..” Ucap Vania dengan suara serak, hingga membuat Dendi membelalakkan matanya. “ Kamu pikir di perbolehkan jual beli ginjal sembarangan??Jangan ngeledek profesiku sayang, aku cari menopang hidup dari sana, kualat tar " jawab Dendi yang tidak mengerti arah pembicaraan Vania yang menurutnya semakin ngawur. " Maaass.. aku gak becanda.! Emang ada tampangku Becanda mas? aku serius, dengan segenap jiwa dan ragaku mas..” jawab Vania bingung meski bagaimana menerangkan kepada pria disisinya yang kini tengah menatapnya, ia tak tahu harus menjelaskan dari mana seandainya Dendi menanyakan penyebab kegilaannya. " Ada apa denganmu Van? sampai ginjal segala mau di gadaikan, semua baik - baik saja bukan? Issabell baik - baik aja kan van?" Tanya Dendi semakin penasaran dan tak mengerti bagaimana pemikiran Vania. Bukan jawaban yang memuaskan yang di peroleh Dendi, justru tangis wanita itu yang semakin terdengar menyayat hati, tangis pilu putus asa, tanpa perintah Dendi mendekap erat Vania, agar merasa nyaman dan berkenan untuk bercerita kepadanya. " Setelah 24 jam gak ada yang baik - baik saja mas, kalau mas gak jual ginjalku segera..” Vania maskh berfikir lebih cepat laku jual ginjal, dibanding mencari orang yang berminat melakukan over kredit rumah tempat tinggalnya, karena hal ini bukan sekali dua kali ia lakukan, toh nyatanya tak ada satupun yang berminat, tak tahu dimana letak kendalanya, tapi itulah kenyataan, bahwa sulit baginya untuk menjual rumah yang saat ini masih dalam masa kredit." Jangan ngawur kamu Van, jangan buat aku kawatir Van, sudah jangan nangis ada aku, aku janji akan menyelesaikan permasalahanmu... “ Bisik Dendi menenangkan Vania, hatinya resah melihat air mata wanita itu kembali bercucuran keluar. Tanpa di duga sama sekali, Vania tertawa keras hingga membuatnya kebingungan, ia berpikir apakah Vania memiliki gangguan kejiwaan sehingga moodnya tidak stabil, kekawatiran tumbuh kian besar di hatinya, manakala melihat wanita yang telah mengusik hatinya tiba - tiba tertawa seperti putus asa. " Masalahku tidak seringan itu mas, bukan cuma orang pukul lalu kita balas pukul " jawab Vania getir " Makanya kamu cerita sayang, biar aku ngerti duduk permasalahannya kalo kamu ga cerita gimana aku tau coba.. "Jawab Dendi pelan " Jawaban dari permalasahanku cuma satu mas.. mas jual ginjalku semua selesai " jawab Vania hingga membuat Dendi tersulut emosi,
Bahkan ketika beberapa wanita mencoba menggodanya, sang bartender itu mengkode untuk berhenti menggoda boss muda tersebut. Dendi menitikkan air mata perih mengingat apa yang baru saja terjadi malam ini, Kekecewaan menyeruak jauh di lubuk hatinya, ternyata Vania sama saja dengan Wanita - wanita yang ada di dekatnya selama ini, wanita yang rela melakukan apa saja hanya demi mendapat lembar demi lembar uang dari kantongnya. Runtuh sudah semua kepercayaan yang telah dibangun sejak awal pertemuan, ditambah dengan bumbu yang ia terima dari sahabatnya, dimana sahabatnya mengatakan Vania berbeda dengan yang lainnya, saat itu secercah harapan muncul dalam hati sanubarinya, untuk mencoba memulai keseriusan dalam menjalin kisah asmara yang nantinya menuju mahligai indah bersama, tapi apa yang terjadi? Hancur. Pupus sudah harapannya membangun Keluarga bahagia bersama Vania yang ia k
Setelah selesai menulis surat di selembar kertas, Vania bangkit berdiri, ia berjalan tertatih menggunakan sandal hotel untuk alas kakinya, sembari membawa Koper berisi uang 5 Miliar di tangannya. Dengan sangat hati - hati ia menutup pintu kamar, seolah takut di ketahui kepergiannya, meskipun niatnya tidak seperti itu, ia hanya takut Dendi terbangun di tengah istirahatnya dari perjalanan dinas luar kota yang pasti melelahkan, pikirnya. Setelah menutup pintu, Vania terus berjalan dengan kaki pincang, entah mengapa kakinya semakin terasa perih ketika semakin banyak melangkah. Ia berdiri di depan lift menunggu pintu lift terbuka, hingga terdengar bunyi pintu lift terbuka, lalu ia masuk kedalamnya. Karena masih terlalu pagi, sehingga penghuni lift itu hanya dirinya. Vania keluar lift dengan koper di tangannya menuju lobi.&
Melihat Adam memejamkan mata pasrah, Verrel tertawa terbahak - bahak. " Siapa orang yang menyewa kita, untuk menyakiti wanita tadi malam?! " Tawa Verrel yang lebih menyeramkan dibanding jurang dengan kedalaman ratusan meter bagi Adam saat ini, nyalinya ciut menghadapi emosi boss besarnya yang tengah tidak stabil meskipun ia telah mengirim seorang artis untuk melayaninya hari ini. Ia mengira - ngira akankah snag artis membuat ulah hingga bossnya marah besar? " Anak buah Vincent tuan, mereka membayar kita 3x lipat dari hutang wanita jalang itu tuan.. " Dengan nada ketakutan Adam menjawab sedikit pede karena ia berfikir telah memberi omset kepada Bossnya itu. Tapi bukannya pujian yang ia peroleh justru ciuman dari gagang pistol yang sudah mengenai kepalanya hingga darah mengalir dari kepala itu. D
Tak menunggu hingga 2 kali perintah, merekapun bergegas ke dapur dimana beberapa asisten rumah tangga tampak tengah sibuk dengan kegiatan dapur, lalu ia menyampaikan pesan bossnya yang di iringi anggukan sang kepala koki paham permintaan sang boss yang jarang berada di gedung ini. Vania masih tertegun melihat pemandangan yang terjadi di ruangan itu, ia masih berdiri mengingat Adam yang tadi berjalan dengan di papah oleh perawat. Vania bergidik ngeri membayangkan betapa seramnya situasi dan keadaan di rumah ini, Lamunannya memudar seketika, ia di kejutkan ketika ada sebuah tangan memegangi bahunya sambil berkata " Jangan bengong disana ayo silahkan duduk " Ujar Verrel dengan lembut, suara yang jauh berbeda dari tadi malam. Lalu Verrel duduk di sebelahnya tidak seperti bia
Vania merasa dirinya berada di gurun tandus yang mendapat siraman air es di teriknya mentari kala Verrel memperlakukannya bak seorang istri. Tubuhnya menegang ketika Verrel terus menciuminya dari ujung rambut sampai ujung kaki, angannya melambung tinggi menggapai surga kenikmatan disaat Verrel menindih tubuhnya dengan perlahan. Tak kuasa menahan, ia mendesis menikmati hujaman rudal perkasa milik pria tampan yang terus memaju mundurkan tubuhnya, semakin lama semakin menambah kecepatan seiring jarum jam bergerak. Tak ingin hanya menjadi penikmat surga dunia, Vania menarik tubuh Verrel dan meminta untuk bertukar posisi, menciptakan surga bagi pasangan pria nya saat ini, aksinya ini membuat pria itu tersenyum senang. Verrel menikmati sentuhan demi sentuhan yang menggetarkan hati, hingga ia merasa hatinya hampir meledak, menikmati kuluman lidah Vania y
" Sudah, jangan nakal, ikutin saja kata kataku, aku tak akan menyakiti mu " Bisik Verrel mesra seraya mencium telinga Vania yang membuat Vania makin membenci dirinya " Aku harus segera bekerja aku sudah sangat terlambat ku mohon " Pinta Vania kepada Verrel dan mendengar itu Verrel pun mengabulkannya " Baiklah tapi sebelum bekerja kita harus makan dulu kasihan pelayan tua yang sudah susah payah memasakkan untukmu " Ujar Verrel menyebut nama pelayan Itu Vania sontak teringat kemarin kepala nya pusing setelah minum pemberian sang pelayan tua itu. " Apakah kamu memasukkan sesuatu di minumanku semalam? Karena kemarin setelah aku meminumnya aku merasa pusing dan tidak ingat apapun " Tanya Vania ketus. " Ternyata kamu lucu juga sayang.. kemarin kita memulai semua be
Tapi, apaa.!? Ia harus menelan pil kekecewaan, dan kali ini lebih pahit, harapannya pupus, setelah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri Vania turun dari mobil mewah seorang pria yang lebih muda darinya dan memiliki wajah yang tampan bak model papan atas, dengan kulit terawat dan tubuh atletis, sangat menjadi idaman para wanita dengan postur tubuhnya yang tinggi. Otaknya langsung berfikir kotor, ketika melihat pria itu tampak akrab dengan mengagndeng tangan Vania, tatapaj pria itu menyiratkan rasa cinta yang dalam terhadap Vania. Pertanyaan demi pertanyaan terus melintas mengisi penuh seluruh rongga otaknya, ia tidak terima dengan perlakuan Vania yang seolah memanfaatkan dirinya, dan meninggalkan dirinya begitu saja pagi - pagi buta, lalu pagi ini ia melihat Vania dengan pria lain, darimanakah mereka? Akan kah Vania bermalam bersama pria muda nan tampan itu semalam suntuk? Pikirannya melayan
*** Seminggu setelah kejadian pertemuan Vania dan nyonya Iriana di Mall. Tampak Verrel menemani Vania duduk menikmati suasana pagi melakukan olahraga yoga di samping kolam renang dekat taman bunga Anggrek mereka. Vania tampak melipat matras yoga nya, dan berjalan menghampiri Verrel yang tengah duduk memperhatikan perut buncitnya. Dengan manja Vania mengelendot duduk di sisi Verrel. “ Makasih sayang, sudah menemaniku olahraga, kamu mau kerja di kantor atau di ranjang? “ Vania mengerlingkan sebelah matanya. Sontak tawa Verrel mengisi area yang sepi itu. “ Mumpung anak-anak sedang private…” Bisik Vania lagi, merebahkan kepalanya dengan manja di dada bidang pria yang telah menyempurnakan hidupnya. “ Apapun yang kau
Dua Tahun kemudian… Pagi itu terlihat Verrel tengah bermain bersama putra pertamanya yang masih berumur 1 tahun 6 bulan di sebuah taman di rumah mereka, terlihat disana dilengkapi fasilitas bermain. " Reeceee...sudah bermainnya, Daddy harus bekerja nak.." Ujar Vania yang mendekat kearah ayah dan anak yang tengah bermain dengan sangat seru " lihat lah Daddy mu Reecce baju nya sudah basah semua..." Lanjut Vania mengulurkan kedua tangannya kepada sang putra Reece Bibby Gondokusumo. Tapi sang putra yang memilih mengabaikannya dan melanjutkan bermain kuda-kudaan bersama sang ayah, membuat Vania mendengus kesal karena merasa di abaikan oleh anak dan ayah yang tengah asyik bermain. Sedangkan Verrel tersenyum menggoda Vania karen
" Dok.., coba deh rasakan sentuhan angin malam ini terasa damai bangettt. Keluarin tangan dokter Dendi abis tu pejam kan mata lalu tarik nafas dalem-dalem dan rasakan sensasinya…” Lanjut Monica seraya membuka kaca mobil di dekat Dendi. Dendi yang semula terlihat enggan mencoba apa yang di sarankan Monica akhirnya dengan ragu-ragu dia mengeluarkan tangannya dan mengikuti saran Monica dengan mengeluarkan tangannya menerpa angin malam. Dendi perlahan tersenyum walau itu belum terlihat jelas di balik wajah frustasinya namun hal itu cukup melegakan bagi Monica yang sedikit kawatir jika dokter berprestasi seperti Dendi mengakhir hidupnya secara tragis hanya karena permasalahan kecil yang di hadapinya. Walau Monica juga tak bisa menjengkali permasalahan Dendi karena setiap orang memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan masalahnya sehingga Monica memilih menghormati Dendi d
Sementara itu disisi lain, di tempat yang berbeda. Setelah keluar dari rumah Verrel dan Vania, tampak Dendi seperti kehilangan arah saat itu. Malam semakin larut tapi Dendi terus mengendarai mobilnya, dia hanya berhenti ketika di SPBU untuk pengisian bahan bakar mobilnya, setelah itu dia akan kembali menginjakkan gas mengitari kota Jakarta tanpa arah dan tujuan. Saat ini dia hanya tak ingin keluar dari mobil itu, seolah dunianya telah runtuh sehingga dia memilih berada di dalam mobil dan terus mengendarai mobil sport miliknya. Dendi bahkan masih tak mempercayai tindakannya di hadapan Verrel, pria yang telah merebut seluruh hati Vania. Entah apa yang telah terjadi mengapa dia keluar dari rumah itu dengan tanpa wanita yang dia cintai. Dia meneteskan air mata meski tanpa suara tangis. Hatinya pilu menyadari betapa dirinya telah menyia-nyiakan cinta dan kesempatan yang ada dengan memilih ber
“ Yuk sayang, keburu Jessica pergi karena terlalu lama menunggumu…” Bisik Verrel kepada sang istri yang merengut sembari mencubit perutnya. Verrel hanya tersenyum simpul melihat kejahilan sang istri. Lalu mereka bangkit dari ranjang dan berjalan menaiki lift yang menghubungkan dari lantai kamarnya menuju lantai dasar. Verrel berjalan menuju ruang kerjanya, sedangkan sang istri menemui Jessica yang terlihat tengah mengobrol dengan malu-malu bersama Arjun. Terlihat Arjun tersentak dan salah tingkah melihat kehadiran Nyonya rumah itu, lalu Arjun berpamitan dan berjalan menuju ruang kerja, dimana bossnya pasti telah menunggunya disana. Waktu beranjak dengan cepat, hingga tanpa sadar hari telah senja, Verrel meminta Arjun mengantar Jessica pulang. Dan Verrel menitip pesan p
“ Atau bung Dendi menginginkan video ini berada di tangan polisi? Saya bisa menyerahkannya sekarang juga, dan kasus ini bisa di persidangkan, saya sengaja tidak membawa kasus ini ke ranah hukum kenapa? Karena saya percaya hukuman yang saya berikan akan membuat mereka berfikir ribuan kali untuk menyentuh milik saya, saya harus melindungi apa yang menjadi milik saya hingga nafas terakhir saya…” Verrrl melirik Dendi yang memasang wajah tegang. “ Andai bung Dendi malam itu tidak dapat mengurangi kesalahan bung Dendi, dengan memberikan pertolongan Vania, mungkin seluruh peluru pistol ini sudah bersarang di dada bung Dendi dan menembus ke jantung, hingga membuat bung Dendi dan pasangan bung Dendi merasakan sakitnya sekarat di tempat saya mengeksekusi orang, mengapa saya menganggap kesalahan ini juga milik bung Dendi? Karena pemicu semua penderitaan Vania sumbernya adalah bung Dendi! Andai bun
Hatinya bertanya-tanya. Siapa gerangan yang berani membocorkan rahasia ibuku? Adakah orangku berhianat lagi setelah sekian lama hanya demi uang? Oke, baiklah aku harus sedikit bersabar agar mengetahui titik terang, sejauh mana pria bodoh di hadapanku ini mengetahui tentang rahasia sisi gelapku? Jika dia tahu lebih banyak, hal itu bisa di pastikan informasi yang di dapat dari orang salam, sebaiknya aku harus lebih bersabar, agar tidak mengecewakan istriku, karena janji kami harus mendapat restu orang-orang yang kami kenal, demi kebahagiaan kehidupan pernikahan kami, tapi aku harus menyelesaikan semuanya hari ini, terlebih pria bodoh ini sudab berani membawa ibuku ke dalam permasalahan kami, hmm. Sepertinya dia kehabisan akal dan berusaha keras memancing amarahku dan mempertontonkan pada istriku bahwa aku seperti yang dia klaim. Tidak bisa di biarkan! Melihat Verrel terdiam, Dendi merasa di
Seminggu berlalu setelah Vania mengembalikan koper berisi uang 5 Miliar milik Dendi yang pernah dia ambil untuk membayar hutangnya kepada Verrel. Pagi itu Verrel mengajak Vania untuk check up ke dokter kandungan, kali ini Verrel berpindah rumah sakit ibu dan anak agar terhindar dari sang mantan yang mungkin menyimpan dendam terhadapnya sehingga dia sengaja menghindarinya. Mereka menuruni lift di rumah itu lalu menuju mobil yang telah bersiap di depan pintu rumah megah milik Verrel. Mereka menaiki mobil dimana Arjun telah berdiri disana menyambut mereka. Setelah pintu tertutup, Arjun memasuki mobil di bangku depan samping sopir seperti biasa, kemudian sang sopir melajukan mobilnya menuju pintu gerbang rumah itu. Begitu pintu gerbang terbuka otomatis, sang sopir tiba-tiba menghentikan mobilnya dan menoleh kearah Arjun yang kemudian membu
Pagi itu langit begitu cerah dan cuaca begitu sejuk, angin terasa damai menghembus di antara wajah kedua insan yang telah terikat dalam tali perkawinan. Vania dan Verrel menikmati sorenya di taman anggrek sembari menikmati sarapan pagi bersama. Seminggu berlalu setelah Vania menemui Aaron di kantornya. Dan pagi ini jadwal Vania adalah ke sebuah bank dimana Vania menyimpan uang milik Dendi yang pernah dia pinjam dahulu. Vania sengaja menyimpan di Bank, berharap nantinya akan mengembalikan dengan utuh seperti pertama kali Dendi memberikan padanya, dengan menjual rumahnya, namun apa hendak di kata, banyak kejadian hingga membuatnya tak sempat berfokus pada penjualan rumah, dan kini terpaksa mengembalikan uang tersebut menggunakan uang milik Verrel suami. Sejak awal dirinya tak ingin membebani Verrel, tapi ses