"Anda terlalu keras pada diri Anda, Nyonya. Dan itu ditularkan pada anak-anak tanpa Anda sadari. Menangis itu bukan dosa, Nyonya. Sekali waktu tidak kuat itu biasa. Begitulah seharusnya manusia."Nyonya Esther mengangguk. "Rasanya pasti tidak enak, bukan? Lalu kenapa Anda melakukan itu pada Novena? Anda ingin membalas dendam?" cecar Angela. Ia hampir saja tidak bisa menahan diri.Sontak Nyonya Esther menoleh ke arah Angela. "Tidak! Bukan begitu. Saya hanya ingin membentuk anak-anak menjadi pribadi yang kuat, itu saja.""Kata Novena, cukup sampai di dia saja. Jangan teruskan pada kedua kakaknya. Dia rindu ingin dipeluk maminya seperti kecil dulu.""Maafkan Mami, Vena ...." Nyonya Esther menunduk, menopang wajahnya dengan kedua tangan. "Novena sangat menyayangi, Anda, Nyonya," kata Angela seraya menoleh pada Novena yang berdiri di sebelah ibunya."Mami pun sangat sayang sama Vena," ucapnya terbata. Air mata Nyonya Esther pun akhirnya tumpah.Angela menggeser duduknya. "Menangis saja, N
Antoni Hakim melepaskan seat belt-nya, kemudian menggeser duduknya ke arah Angela. Merunduk membukakan pintu. Angela refleks mendorong tubuhnya ke belakang. Hampir tak berjarak dengan pria itu membuat jantungnya seolah akan meledak. "Silakan, Nona." Ia meminta Angela turun setelah pintunya terbuka. Angela pun hanya mengangguk kecil. Ia turun dengan dada berdebar-debar. Angela melihat sekeliling setelah tidak ia temukan remaja perempuan itu di depan maupun di bawah mobil. "Mungkin benar memang tidak ada siapa-siapa." Angela membatin. "Bagaimana Nona? Apa Nona temukan orang yang dimaksud?" Antoni Hakim bertanya seraya menghampiri Angela. "Beri saya waktu sebentar lagi, Tuan." Mata Angela menangkap sekelebat bayangan hitam mengarah ke tepi jalan di dekat pohon albasia. "Jangan ke sana, Nona!" Antoni setengah berlari memblokir langkah Angela dengan berdiri di depannya. "Saya melihat gadis itu di sana, Tuan.""Jangan berhalusinasi, Nona. Ini sudah malam.""Percayalah pada saya, Tuan
Angela dibawa masuk ke dalam mobil dengan digendong oleh Antoni Hakim. Walaupun pingsan, Angela masih bisa mendengar dan merasakan kejadian di dekatnya."Nona … Nona Angela, tolonglah bangun!" Antoni menepuk-nepuk kedua pipi Angela. "Kita masih harus menunggu polisi datang. Setelah itu kita ke rumah sakit, ya," ucapnya cemas. Angela hanya menggerakkan jarinya. Ia masih belum sanggup membuka mata. Tubuhnya pun masih lemas. Rasanya ia hanya ingin berbaring dan tidur. Namun, suara aneh berdengung terus-menerus setelah Angela jatuh pingsan. Dengungnya mirip dengan suara di rumah makan saat membantu Pauli. "Tuan Antoni …." Angela memanggil pria itu dengan suara lemah. "Iya, Nona." Antoni mendekatkan wajahnya pada Angela. Mereka duduk bersebelahan di kursi belakang. "Bisakah kita pergi sekarang saja? Ada sesuatu yang sangat mengganggu." "Tunggulah beberapa menit lagi. Teman saya bilang akan datang secepatnya."Angela tidak bisa berbuat banyak ataupun memaksa. Dia yang memulai semua in
"Perempuan binal …," sebutnya dengan dialek yang tidak biasa. Angela menutup matanya. Belum pernah sebelumnya dia sedekat ini dengan sosok hantu pengganggu yang buruk rupa. Makhluk itu sedang mengintimidasi dan menerornya sedemikian rupa agar ia lemah dan kalah. "Kubiarkan dia lolos kali ini, tapi tidak untuk selanjutnya!" ancam Miranda. Langkah sepatunya terdengar semakin menjauh. Anehnya bau bangkai dari hantu buruk rupa itu pun sirna. Angela membuka matanya. Benar saja hantu itu sudah tidak ada di hadapannya. "Nona Angela! Di mana Anda?" panggil Antoni terdengar khawatir. Angela mendorong pintu lemari pakaian. Masih memegang sepatu dan clutch di tangannya ia keluar dengan ekspresi wajah datar. "Syukurlah Nona masih di sini. Saya sangat terkejut dan takut Nona hilang," kata Antoni di depan Angela. "Saya mau pulang sekarang, Tuan Antoni. Tidak perlu Anda mengantar. Saya bisa pulang sendiri," ujar Angela sambil memakai sepatunya. "Biar Pak Kardiman yang mengantar Nona. Sekaran
"Periksa isi lemarinya, Dik!" perintah Robby pada istrinya. "Biar aku periksa tas dan tempat tidur si An ini," sambungnya. Baru saja mereka bergerak, seluruh lampu padam. Angela membatin, ini pasti ulah Bang Adam. "Nyalakan lampu di hapemu, Dik!" "Iya, Bang," jawab Rania. Angela tersenyum di balik plester yang menutupi mulutnya. Ia yakin ponsel yang dibawa Rania pun tidak akan menyala. Adam pasti akan mengacaukan gelombang energinya. "Hapenya mati, Bang. Seingatku tadi baterenya full." "Bagaimana kau ini? Kalau gelap begini mana bisa kita mencari." Robby memarahi istrinya.Terdengar Rania menggerutu kesal dan memukul-mukul ponselnya. Sepersekian detik kemudian suara benda dipukul-pukul dari arah langit-langit. Cukup keras hingga membuat Rania meloncat ke arah suaminya. "Suara apa itu, Bang? Jangan-jangan ada maling sembunyi di loteng." "Hush! Diam! Bicaranya pelan-pelan saja."Suara-suara mulai terdengar dari segala penjuru rumah. Suara panci berjatuhan di dapur, pintu yang te
"Sudah selesai, Pak. Silakan dilihat." Angela mempersilakan papa Anne untuk melihat hasil akhir riasan yang dikerjakan Angela. "Tidak perlu!" Tante Nola menyela. "Kami yakin hasilnya bagus." Ia kemudian menelepon seseorang untukmemindahkan peti jenazah. "Maaf, Pak. Saya bisa minta waktunya. Sebentar saja," kata Angela sebelum papanya Anne meninggalkan ruangan setelah melihat hasil riasan Angela. Tante Nola dan anaknya sudah keluar lebih dulu. "Bukankah tugasmu sudah selesai.""Iya, saya tahu, Pak. Ada pesan dari Anne yang harus saya sampaikan.""Pesan apa?" tanyanya. Tidak terlihat ekspresi terkejut atau sejenisnya. Wajahnya datar saja. "Anne minta maaf untuk semua hal yang membuat Bapak kecewa. Satu hal yang pasti, Anne sangat menyayangi Anda.""Bilang pada Anne kesempatan untuk dia sudah tidak ada lagi. Terlambat."Papa Anne berbalik meninggalkan Angela. Barulah terlihat makhluk seperti laba-laba yang menempel pada punggung pria itu. Makhluk itu sempat menoleh ke arah Angela da
Terlihat Lula keluar rumah, Miranda pun mengikutinya. Tanpa mengatakan apa pun mereka meninggalkan Angela begitu saja. Begitu Angela beranjak, terdengar pintu dikunci dari luar. Rupanya mereka sudah merencanakan untuk mengurung Angela di rumah ini. Tetapi untuk apa? Ia masih bisa menghubungi seseorang untuk menjemputnya. Angela mengambil buku bersampul tipis berwarna hitam yang ada di atas meja. Buku itu seperti buku tulis biasa yang tidak begitu tebal. Ketika dibuka, halaman tengah buku itu langsung terlihat karena ada foto terselip di situ. Angela mengambilnya lalu membalik sisi bergambar ke arahnya. Perempuan berambut lurus sebahu duduk tersenyum di bangku besi yang dikelilingi tumbuhan mawar yang sedang bermekaran. Masih sangat muda, sepertinya belum sampai menyentuh usia dua puluh. "Ibu …," ucap Angela pelan. "Ada apa ini sebenarnya?" Angela kemudian meletakkan foto tersebut di atas meja. Ia sudah tidak sabar ingin membaca isi buku di tangannya. Angela membaca lembar demi le
Antoni merebahkan Angela di kursi belakang. Kepalanya diletakkan di pangkuan pria tersebut. Tangan Antoni seperti tidak ingin jauh dari Angela. Ia terus menggenggamnya dengan erat. Angela pun tidak ingin melepaskannya. Di saat-saat seperti ini hanya pria inilah tempatnya berlariAngin kencang disertai petir dan hujan yang cukup deras memaksa Kardiman menyetir dengan kecepatan rendah. Mereka tidak membawa Angela ke hotel melainkan ke sebuah rumah rahasia milik keluarga Hakim yang hanya diketahui keberadaannya oleh orang-orang tertentu. Pak Kardiman pun belum pernah tahu tentang rumah itu. Setidaknya begitulah yang didengar Angela selama berada di perjalanan. "Inikah tempat yang Tuan maksud?" tanya Angela. Ia bangkit dari pangkuan Antoni, melihat ke luar melalui kaca jendela mobil. Walaupun hujan deras penerangan di luar rumah itu sangat cukup. Angela pikir rumah yang akan dituju terletak jauh di pinggiran kota ternyata ia salah. Rumah itu berada di kawasan daerah yang cukup padat di