Neneng POV“Memang nggak tahu malu adik sepupumu itu!” hardik Nenek seraya tak henti membelai punggungku.Bagaimana tidak sakit perasaanku ini? Setelah menerima kabar gembira jika akan ada seorang pemuda untuk melamar, tiba-tiba saja semuanya batal, dikarenakan orang yang dilamar salah orang, katanya.Tak masalah jika pemuda itu orang asing, tapi jelas bukan. Pemuda itu adalah orang yang selama ini kuharapkan menjadi suami. Selama masa sekolah dulu, aku sudah menaruh hati, hanya saja tak mampu mengungkapkan karena tak mungkin juga wanita yang memulainya terlebih dahulu.“Sakit hati Neneng, Nek.” Aku mendongak, menampakkan wajah yang sudah penuh dengan uraian air mata.“Sabar, nanti Nenek akan coba bicara lagi. Lagi pula, tidak baik kalau Imas melangkahimu. Bagaimana pun, kamu kakaknya.” Sembari memelukku Nenek berujar, walau demikian aku masih belum menghentikan tangisan, apa lagi mengingat tamparan Imas yang terasa menghina dan menjatuhkan harga diri.Entah bagaimana ceritanya, Kang
"Kenapa pada diam?" tanya Kang Azzam, aku dan Nenek hanya membeku saat lelaki itu berjalan mendekat ke arah kami. "Neng, jawab. Kamu mengguna-gunaku?" tanyanya lirih dengan tatapan lekat, jarak sedekat ini bisa membuatku melihat mata Kang Azzam yang berembun. "Jawab, Neng ... jawab," pintanya sembari meraih tanganku, tak sedikit pun terdengar nada membentak keluar dari mulutnya. Kerongkonganku seolah tercekat sampai tak bisa mengeluarkan satu baris kata pun, yang ada hanya air mata meluncur bebas membasahi kedua pipi. Sakit, sedih, segalanya bergumul di dalam hatiku. Apa lagi tatkala melihat Kang Azzam menangis di hadapanku, untuk yang pertama kali. "Jang Azzam, dengarkan dulu." Nenek menyela, suamiku itu langsung menatap. "Saya sudah dengar semuanya, Nek," jawabnya membuatku semakin menunduk. "Jang Azzam salah paham." "Tidak, saya tidak salah paham. Saya juga tidak cukup bodoh untuk mengartikan segala perkataan Nenek barusan." Nenek terdiam, mungkin bingung harus menjawab sua
Please follow authornya juga setelah selesai membaca agar bisa tahu perkembangan cerita ini. Terima kasih.🦋🦋🦋“Kang Azzam!” pekikku tak percaya saat melihat sosok yang amat kurindukan itu berada di depan mata.Dengan segera aku bangkit dari tempat tidur, berlari ke arahnya dan memeluknya bersama segenap rasa cinta yang ada.“Kenapa lama sekali, Kang? Neng rindu,” ucapku sembari tersedu-sedu, tapi Kang Azzam malah membisu, tak kurasakan dia membalas pelukanku.“Jang Azzam pasti lapar. Ayo, kita ke dapur. Ibu sudah masakin banyak makanan.” Suara Ibu membuatku melepas pelukan, sedangkan Kang Azzam masih setia bergeming.“Ayo, Jang. Ajak Neneng juga, selepas kepergian Jang Azzam, waktu makan istrimu jadi berantakkan. Singkirkan ego kalian, demi janin yang berada di dalam rahim Neneng,” lanjut Ibu membuatku menatap Kang Azzam kembali.Lelaki di hadapanku itu nampak menghela napas, matanya melihatku sekilas.“Baik, Bu.” Mendengar suaranya membuat sedikit rasa nyeriku berkurang.Ibu ters
Imas POVHidangan makan malam kali ini tak membuatku berselera, bukan karena menunya yang sederhana, justru sore tadi ibu mertuaku mengundang adiknya, Bu Yuni, untuk memasak sajian mewah.Masih tergambar jelas di ingatanku, wajah Pak Azzam yang muram dan sendu saat di mini market tadi. Ya, tak sengaja aku bertemu dengannya juga Teh Neneng saat membeli es krim dan beberapa peralatan mandi.Tiga minggu lalu, Pak Azzam pergi dari rumah, katanya dia bertengkar hebat dengan istrinya. Bahkan aku juga mendengar berita, jika alasan dari pertengkaran mereka itu adalah karena Pak Azzam mengetahui rahasia besar yang disembunyikan Teh Neneng dan Nenek.Aku sendiri mencoba tak percaya, mana mungkin Teh Neneng serta Nenek melakukan hal keji dan memalukan seperti yanag digembor-gemborkan banyak orang. Namun, mengingat kejanggalan sebelum pernikahan mereka terlaksana, aku jadi berpikir kembali, jika gosip itu benar adanya.Apa lagi aku pernah mendengar cerita tentang Nenek dari Mih Enur, kalau beliau
“Ayo, masuk.”“I-iya, Pak.” Aku tergagap mendengar suara Pak Abidzar, lalu menyudahi keterpanaan saat melihat ruangan yang terlihat mewah dan megah.Setelah masuk ke dalam, aku malah merasa bingung harus berbuat apa. Sedangkan Pak Abidzar lenyap ke ruangan yang sepertinya adalah sebuah kamar mandi.“Kenapa masih berdiri di situ?” tukasnya membuatku terkejut.“Tidur, lah, istirahat. Atau mau makan dulu?” tawarnya.“Terserah Bapak saja,” jawabku sambil mengulas senyum, tapi hatiku grogi bukan main.Pak Abidzar mengangguk-angguk, lalu menyuruhku duduk kembali. Aku pun menurut dan mendekat ke dekat ranjang yang luasnya entah berapa hektare. Terlalu berlebihan memang, tapi baru pertama kali ini aku melihat tempat tidur sebesar itu.“Sebentar, ya. Aku mau telepon dulu.” “Iya, Pak.” Tanpa berkata apa pun lagi dia langsung pergi, ketiadaannya di ruangan ini kugunakan untuk menghela napas sedalam mungkin.“Ya Allah, empuk sekali kasurnya.” Aku bergumam sendiri sembari mengelus selimut tebal y
“Kenapa Bapak bertanya seperti itu?” Akhirnya aku memberanikan diri untuk membuka suara.“Apa aku tidak boleh tahu masa lalu istriku sendiri, ya?” katanya membuatku tertegun lagi.Dia bilang, istri? Pak Abidzar memanggilku istrinya? Apa namaku sudah tertulis di hatinya walau masih dengan huruf kecil?“Benar, ‘kan?” Suaranya membuatku tersadar, cepat aku memalingkan pandangan.“Kenapa Bapak bisa tahu?” tanyaku sambil menatap Monumen Nasional kembali. “Karena aku lihat dia sangat perhatian denganmu.”“Tidak, Pak. Dia tidak perhatian.”“Tapi saat kamu kena tumpahan air panas waktu di rumah makan, dia begitu sigap memegangi dan menyingkirkan tanganmu.”“Itu hanya refleks, Pak.”“Memangnya kamu tahu itu refleks?” ujarnya lagi, entah kenapa malam ini Pak Abidzar lebih banyak bicara.“Iya, Pak. Sama halnya dengan Bapak yang refleks meraih tangan saya dari genggaman Pak Azzam waktu itu.” Sengaja aku memberanikan diri menatap matanya saat menjawab demikian, entah kenapa Pak Abidzar malah terd
Semalaman aku tak bisa tidur karena memikirkan sikap kemarin pada Pak Abidzar. Kenapa pula aku memiliki keberanian sebesar itu untuk memeluknya? Akhirnya aku malu karena ulah sendiri. "Halo, Imas ...." Aku dikejutkan dengan suara tak asing, melihat wanita yang berjalan dari arah pintu, aku lekas berdiri sambil menyunggingkan senyuman. "Bu Yuni. Apa kabar, Bu?" tanyaku merasa begitu bahagia karena bisa melihatnya lagi. Setelah menikah dengan Pak Abidzar, aku memang diperintahkan untuk fokus mengurus rumah tangga juga Syifa, sehingga terpaksa meninggalkan pekerjaan di fotocopy milik Bu Yuni yang baik hati ini. "Baik sekali, Imas sayang. Lagi pada ngapain ini?" tuturnya setelah memelukku beberapa saat, matanya kini menatap Syifa yang masih asyik menggambar. "Lagi nemenin Syifa menggambar, Bu. Masih sedikit merajuk dia karena kemarin tidak ikut ke Jakarta." "Oalah ...." ucapnya sambil terkekeh. "Kenapa atuh di Jakartanya sebentar pisan?" tanyanya. "Pak Abi harus kerja, Bu." "Pak?
“Pa, Syifa mau es krim.” Gadis di pangkuanku itu berujar sembari menunjuk pedagang es krim yang berada di depan, padahal kami sudah bersiap hendak pulang.“Iya, boleh.” Pak Abidzar menjawab sambil tersenyum.“Astagfirullah.”“Kenapa, Bi?” tanya ibu mertuaku saat melihat perubahan ekspresi wajah Pak Abi.“Tas Abi masih di balai panitia, Bu. Dompet, ponsel, laptop sama berkas-berkas acara juga ada di sana.”“Ya ampun, Abi. Ya sudah, ayo ambil dulu sana!”“Papa, mau es krim …,” Syifa merengek kembali.“Beli sama Mama, ya?” Aku mencoba membujuk, Syifa menggeleng, sepersekian detik tangisnya meledak. Karena kekecewaannya perihal tak diajak ke Jakarta, Syifa jadi lebih sensitif sekarang.“Kalau begitu biar Imas saja yang ambil.”“Tapi−“ Tangis Syifa semakin kencang, tak memberi kesempatan pada Pak Abi untuk merampungkan perkataannya.Mau tidak mau, aku pun menyerahkan Syifa pada ayahnya. Lantas bergegas pergi ke balai panitia untuk mengambil tas Pak Abi, takutnya ada orang tak bertanggung j
Emmeryl POV“Emmeryl! Dari mana saja kamu jam segini baru pulang?” Suara yang tentu tidak asing di telinga itu terdengar menggema, aku hanya bisa menghela napas sambil memegangi erat helm di genggaman.“Kerja, Pa. Dari mana lagi?” sahutku pelan.“Kerja? Jadwalmu di rumah sakit itu hanya sampai jam delapan malam. Jangan membodohi Papamu, Emmeryl!” bentaknya seolah tak bosan.“Kamu pasti habis main motor lagi, ‘kan?” tebaknya. Aku diam karena malas berdebat.“Emmeryl!” pekiknya saat aku hendak melangkah.“Sudah malam, Pa. Lebih baik Papa istirahat,” kataku dengan nada rendah.“Mau jadi apa sebenarnya kamu ini, Emmeryl? Susah sekali diatur! Besok keluarga Pak Anjaya akan datang ke mari bersama calon istrimu. Seharusnya kamu bisa pulang lebih awal untuk mempersiapkan diri karena akan bertemu dengan Salma.”“Emmeryl tidak punya calon istri, Pa.”“Jangan membantah!” bentaknya lagi, aku hanya bisa menelan ludah.Entah sudah berapa belas tahun aku hidup di bawah ketiak seorang lelaki yang tak
Imas POVSelama hidup di dunia, aku mencoba menerapkan prinsip untuk tak membenci siapa pun atau menumbuhkan dendam di dalam hati ini.Aku sudah melalui banyak derita, dan aku tidak mau menambah luka dengan perasaan itu sendiri. Tak pernah kusimpan amarah di dalam jiwa, termasuk pada lelaki yang banyak memberiku nestapa.Iya, hatiku hancur lebur kala waktu itu terasa dibuang begitu saja. Padahal saat itu ada benih dirinya yang tertanam di rahimku, juga cintanya yang mengakar di dalam hatiku. Duniaku seakan runtuh kala dia dengan begitu mudah mengakhiri ikatan rumah tangga kami.Akhirnya aku harus berjuang sendiri, terseok-seok menghadapi satu demi satu kepedihan yang tak ada sudahnya. Sebisa mungkin aku tak membiarkan perasaan dengki menguasai diri.Sampai akhirnya aku tahu, jika dia melakukan ini hanya untuk melindungi, bukan semata-mata karena inginnya sendiri.Pastinya hatiku akan lebih hancur jika sudah telanjur membencinya, karena aku sendiri tidak pantas melakukannya, sebagai m
“Ayo, masuk, Imas.” Azzam menyambut kedatangan sahabat istrinya itu dengan hangat, wanita bermata bulat itu mengangguk lantas masuk ke dalam sebuah rumah kecil yang dikontrak oleh pasutri baru.“Abelnya masih di kamar mandi. Kamu mau minum apa?” tawarnya.“Jangan repot-repot, Pak.” Imas menjawab dengan enteng, Azzam tersenyum lalu menuangkan air putih pada gelas kosong di atas meja.“Tidak repot, Imas.” Tangan Azzam meraih stoples berisi camilan di kolong meja, kemudian menyuguhkannya pada wanita yang sempat bertakhta di hatinya dengan waktu begitu lama.“Bagaimana keadaan Abel sekarang?” tanya Imas seraya melepas tas ranselnya yang berukuran kecil lalu meletakkannya di samping tubuh.“Masih sama seperti kemarin. Belum masuk nasi.”“Loh, terus makan apa, dong?” tanya Imas bingung.“Paling makan buah-buahan atau roti, Imas. Kemarin sih suka minum susu juga, tapi sekarang malah jadi mual katanya kalau nyium bau susu.”“Ya Allah,” tutur Imas khawatir.“Teteh!” Kedua manusia itu menoleh b
“Dewi, hubungi Abi.” Dengan lemah Johan meminta. Lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan setia mantan menantunya itu menemani bersama orang tuanya.“Sepertinya kontak Dewi diblokir, Yah.” Dewi ikutan lemas saat menyadari profil kontak Abidzar menjadi tiada, bahkan setiap kali dia mencoba menghubunginya melalui chat, hanya centang satu yang berada di bawah teks pesannya.“Pergi lah ke rumah Yuni. Abidzar pasti masih ada di sana, Dewi. Beritahu dia jika Ayah tertimpa musibah.” Dewi menggigit bibirnya beberapa saat, lalu akhirnya mengangguk setuju.“Kalau begitu Dewi akan menelepon Ibu dulu, biar ada yang menemani Ayah di sini,” ucapnya, Johan hanya mengangguk pelan.“Kamu ini apa-apaan, Dewi? Sudah cukup, Nak. Kamu itu bukan lagi istri Abidzar, bukan lagi menantu Pak Johan. Berhenti ikut campur dengan hidup mereka,” ucap sang ibunda dari seberang sana saat Dewi berhasil menghubunginya.Wanita berbibir tebal itu melirik Johan perlah
Abidzar tersedu di atas pusara mendiang ibunya. Setelah wanita itu tiada, dia merasa jika hidup yang dijalaninya teramat begitu pahit dan sulit.“Maafkan Abi, Bu. Maafkan Abi tidak bisa mempertahankan pernikahan sekaligus amanah Ibu.” Tangannya mengusap-usap batu nisan, dadanya begitu sesak mengingat banyaknya orang yang dia cintai pergi meninggalkannya.“Sebenarnya, Abi masih sangat mencintai Imas. Abi ingin kembali bersamanya. Tapi sepertinya semua itu mustahil, Imas sudah memiliki hidup baru, memiliki pendamping baru yang tidak pecundang semacam anakmu ini.”“Abi harus bagaimana, Bu? Abi sungguh tersiksa. Abi tidak bahagia menikah dengan pilihan Ayah, Abi juga sudah tidak nyaman menjalankan profesi yang selama ini Ayah inginkan. Boleh kah Abi pergi, Bu? Boleh kah Abi melepas segalanya?” katanya masih dengan tangis yang sama.Sesak di dadanya kini berkurang setelah lelaki berjambang itu mengeluarkan semua suara-suara kepedihan di dalam hatinya.Dengan langkah berat, Abidzar pun meni
“Bekalnya, Ryl.” Imas menyodorkan kotak makanan yang tak dijamah suaminya. “Tidak usah,” ucap Emmeryl dengan ketus, tentu Imas merasa terkejut dengan sikap suaminya pagi ini.“Tapi kamu kan−“ Suara Imas tertahan saat Emmeryl melangkah begitu saja. Dari ruangan tamu yang menyatu dengan ruang televisi, Imas menatap lelaki bertubuh tinggi itu menjauh dan menyambar motor di halaman rumah.Dengan wajah dingin Emmeryl memakai helm, kemudian melesat pergi tanpa mengucap kata sedikit pun.Imas menghela napas dalam dengan tangan masih memegangi kotak makan yang tak dibawa suaminya. Dengan langkah gontai Imas pun kembali ke belakang lalu meletakkan benda itu di atas mini bar.Wanita bermata bulat itu terduduk sendirian bersama lamunan panjang. Dia pun tertunduk lesu, menyadari jika sikap dingin Emmeryl adalah sebuah pertanda jika lelaki itu sedang marah. Tentu bukan karena alasan, pemilik mata bulan sabit itu memang terbakar cemburu kala melihat istrinya berada di pelukan orang lain.Setelah m
Suara pintu yang diketuk di depan sana membuat Emmeryl dan Imas refleks menyudahi aktivitas. Saat wajah mereka kembali berjauhan, suasana malah terasa canggung, bahkan Imas sendiri tak berani menatap lelaki bermata bulan sabit itu. Cepat dia turun dari meja mini bar lalu berlari kecil menuju pintu utama rumah berukuran enam kali sembilan tersebut.“Bapak?” ucapnya sedikit kaget saat melihat sosok Misbah di hadapan pintu, lelaki yang usianya sudah lebih dari setengah abad itu lantas menyunggingkan senyum.“Ayo, masuk, Pak. Kenapa Bapak ke sini gak kabarin Imas?” katanya lagi.“Hehe, maaf, Imas. Tadi Bapak habis antar jagung ke pembeli yang ngeborong, sekalian mampir ke sini karena rumahnya dekat.”“Ya Allah, Pak … terima kasih banyak.” Imas berucap sambil menahan haru.Tak lama Emmeryl datang, seperti biasa lelaki itu selalu menunjukkan rasa hormat pada ayah mertuanya.“Kenapa antar jagungnya malam-malam begini, Pak?” tanya Emmeryl.“Iya, Nak. Soalnya tadi siang Bapak sibuk bersihin sa
AUTHOR POVSaya pakai sudut pandang ini agar bisa lebih leluasa menceritakan kisah ini. Gak apa, ya?Dewi tersenyum-senyum seraya memandangi sendiri dari pantulan cermin. Dia merasa dirinya begitu cantik dengan paduan lingerie berwarna ungu muda. Wanita yang sudah berusia matang itu tengah menanti Abidzar di kamar mandi, dia hendak memberi kejutan berharap lelaki itu akan menjamahnya kembali.“Sedang apa kamu di sini?” Suara Abidzar terdengar menggema, lelaki berjambang itu sangat amat terkejut mendapati Dewi berada di kamarnya.“Loh, memangnya kenapa?” Dewi menyahut dengan enteng, bibir berisinya nampak menyunggingkan senyum.Abidzar menghela napas dalam, lalu memijat pelipis karena kelakukan wanita yang kini menjadi istrinya itu sering membuatnya merasa pening.“Tolong, keluar. Aku mau ganti pakaian.” Abidzar memelankan suaranya, dia tidak ingin berteriak karena takut ayah atau tantenya mendengar.“Kenapa harus keluar? Apa kamu tidak lihat aku sedang mengenakan apa?” Dewi berujar se
Malam-malam aku harus menempuh perjalanan cukup jauh bersama Emmeryl. Sepanjang jalan aku hanya bisa menahan hawa dingin yang terasa menusuk rongga di dalam badan, padahal aku sudah membalut tubuh dengan jaket tebal. Sebenarnya aku khawatir Emmeryl membawa motor dengan kondisi seperti tadi. Perasaannya pasti kacau karena mendengar kabar Ibundanya yang harus dilarikan ke rumah sakit besar di Kota. Ragu aku memegangi ujung jaketnya selama perjalanan, kali ini kecepatan laju kendaraan yang dikendalikan Emmeryl begitu cepat, sehingga tak jarang aku merasa ketakutan. “Aku akan memacu motor lebih cepat,” katanya dari depan dengan suara lumayan nyaring. “Ini ‘kan sudah cepat, Ryl.” Aku mencoba protes, bisa jantungan kalau dia benar-benar akan menambah kecepatan. “Tidak, ini terlalu lambat. Aku ingin segera sampai.” “Tapi, Ryl−“ Kalimatku terputus saat Emmeryl tiba-tiba saja menarik tanganku dari depan lalu melingkarkannya pada tubuh dia yang ramping. “Pegangan,” perintahnya, aku hanya