Kami serempak menoleh ke kiri dan mendapati seorang wanita cantik berpakaian khas tenaga kesehatan nampak berjalan dari arah garasi sepertinya."Hanan! Jadi bener kamu Hanan? Ngapain di sini?"ucap wanita itu girang."Ayu?" gumam El memastikan."Iya! Ya ampun! Kamu masih inget aku?" senyum wanita bernama Ayu itu mengembang. Lantas ia menjabat tangan El masih dengan senyum mengembang."Loh, Ujang sudah kenal sama Non Tyas?" sahut Pak Kardi. "Iya, Pak! Hanan ini teman kuliah saya waktu di Batam. Gak nyangka sekarang ketemu lagi di sini?" jawab wanita itu. Aku heran dibuatnya, tadi Ayu sekarang Tyas, mana yang benar?"Iya, aku juga gak nyangka. Ternyata dunia sesempit ini." sahut El."Oh iya, kenalin! Ini Zahra, calon istri aku!" kenal El membuatku turut tersenyum mendengarnya mengenalkanku sebagai calon istrinya."Oh, hai! Saya Ayu Ning Tyas, boleh panggil Ayu, boleh Tyas!" kenalnya dengan senyum ramah."Zahra!" aku turut tersenyum dan membalas jabatan tangannya."Ngomong-omong, ngapai
Satu minggu sudah kami di Kalimantan Tengah, tepatnya di sebuah kota di Kabupaten Sukamara. Selama satu minggu itu pula, kondisi Ayah semakin baik dan terus membaik. Bahkan, sore ini Ayah sudah diperbolehkan pulang.Aku begitu bahagia dan bersyukur dengan kondisi Ayah yang kian membaik. Tak hanya aku, keluarga Pak Indarto dan keluaraga Bu Hanum pun demikian. Setiap hari Pak Supri dan Pak Indarto mengunjungi Ayah di rumah sakit tepatnya di kamar rawat Ayah, karena rupanya rumah sakit ini adalah milik putra ketiga beliau yang merupakan suami Ayu. Itulah mengapa, Ayu tak mengijinkanku menebus obat Ayah menggunakan uangku sendiri, satu kalipun.Selama di sini segala kebutuhan dan keperluanku benar-benar terjamin. Ayu menempatkan Ayah di ruang VVIP dengan kualitas kamar yang sangat mewah. Segalanya sudah tersedia di sini, sedangkan untuk makanku, hampir setiap hari Bu Hanum mengirimkan aneka masakannya untukku juga untuk El. Sungguh aku sangat bersyukur akan segala kemudahan yang Allah b
Ada pertemuan, ada pula perpisahan. Kini keluarga Pak Indarto melepas kepergian kami di bandar udara Iskandar Pangkalan Bun untuk kami bertolak ke Semarang, kembali ke kampung halaman.Tangis haru Pak Indar melepas Ayah, setelah lebih dari 20 tahun bekerja tanpa sekalipun pergi dari rumah beliau. Namun, kini beliau harus melepas Ayah untuk tak kembali lagi ke rumah beliau.Tak kalah haru dengan sang majikan, Pak Supri yang sudah bekerja dengan Ayah selama 8 tahun lamanya pun turut menangis haru sebab harus merelakan teman ngopi di kala senggangnya untuk pergi meninggalkan kota yang penuh dengan kenangan itu.Hari ini, tepat 5 hari setelah Ayah keluar dari rumah sakit. Kami harus bertolak ke Semarang, meninggalkan kota penuh kenangan bagi Ayah dan juga bagiku ini. Dalam hati aku berjanji, jika ada umur panjang suatu hari nanti aku pasti kembali ke kota ini.El telah lebih dulu bertolak ke Batam dua hari yang lalu, setelah memastikan rumah yang akan aku dan Ayah tempati di Semarang siap
Pagi ini, tak tenang rasa hatiku setelah mendengar langsung apa rencana Ibu dan kedua anak kesayangannya itu terhadap rumahku. Siang ini mereka akan membawa calon pembeli rumahku."Yah, siang ini Zahra gak pulang ya! Ada banyak hal yang harus Zahra selesaikan di kafe." ijinku saat aku dan Ayah selesai sarapan. Tentunya aku berbohong, karena sejatinya aku akan pulang ke rumah lamaku."Jadi, nanti siang, Ayah makan sendiri dulu gak papa ya?" lanjutku lagi."Iya, gak papa! Tapi, kamu jangan sampai lupa makan juga!" pesannya disertai senyum mengembang."Pasti, Yah! Yaudah, Zahra berangkat ya, Yah!" pamitku seraya bangkit berdiri. Segera meraih tangan Ayah dan menciumnya takzim, setelahnya segera pergi menggunakan taxi online yang sudah ku pesan sebelumnya.Hari masih jam 10 pagi, artinya masih punya waktu sekitar 1 jam dari sekarang untuk sampai di rumah dan menemui orang yang akan membeli rumahku itu. Aku memutuskan untuk datang ke kafe lebih dulu, disamping memang aku belum pamit secara
Aku terus melaju meninggalkan rumah itu dengan perasaan lega, meski tak dapat ku pungkiri ada sedikit rasa iba untuk mereka. Tapi, terus aku yakinkan diri ini bahwa aku sudah tak peduli lagi.Sampai di simpang lima, aku teringat akan toko yang tak pernah aku kunjungi. Aku memutar arah kembali ke jalan Brenggolo dimana ada satu toko utama dan gudang yang letaknya bersebelahan, dan keduanya sudah atas namaku.Tak butuh waktu lama, karena jalan itu sebenarnya berdampingan dengan jalan ke arah rumah lama hanya dipisahkan oleh satu perumahan mewah di tengahnya.Begitu sampai di depan toko, aku cukup lega karena kondisi toko masih ramai pembeli dan isinya pun masih lengkap bahkan kian maju saja. Nenek tak salah pilih orang untuk mengelola toko ini.Hampir 1 tahun aku tak datang ke sini, tepatnya semenjak Nenek sakit-sakitan dan berakhir di rawat intensif hingga akhir hayatnya. Bahkan, laporan keuangan yang setiap minggu Mbak Idah kirimkan pun aku tak terlalu paham. Tapi mulai hari ini dan s
Dua hari berselang sejak kejadian tempo hari, aku benar-benar berdiam diri di rumah saja, sama sekali tak kemana-mana selain jalan-jalan sekitar komplek dan lebih banyak menghabiskan waktu di dapur bareng Ayah.Rasanya masih seperti mimpi bagiku. Memiliki orang tua yang begitu perhatian, sayang dan yang pasti selalu mengajarkan hal yang baik. Membenahi ibadah yang sering malas-malasan, tak segan menegur jika aku melakukan kesalahan dengan bahasa yang enak didengar. Benar-benar berbanding terbalik dengan hidupku selama ini. Dimana, telingaku setiap hari harus mendengar umpatan dan bahasa kasar dengan volume maksimal.Ayah, sosok yang sangat perhatian, lembut tutur bahasanya dan rajin ibadahnya. Bagiku, beliau benar-benar panutan, terlepas dari kesalahan masa lalunya. Namun, meski begitu tak sedikit pun rasa benci ada untuknya. Karena, jika tanpa kesalahan itu tak mungkin aku ada di dunia ini, bukan?Beliau telah mendapat balasan akan kesalahan yang dulu beliau lakukan, dengan kehilanga
Begitu pintu terbuka, mataku melebar sempurna melihat pemandangan didepan mataku ini. Sekian detik aku terpaku seolah waktu berhenti berputar sejenak.Apa-apaan ini??Lelaki tampan yang semakin tampan dengan mengenakan batik lengan panjang dengan dipadukan celana chinos dan sneakers berwarna putih, formal dan kasual bergabung menghadirkan ketampanan lelaki yang belum satu bulan yang laku memintaku untuk menjadi istrinya itu kian terpancar.Ia berdiri dengan gagahnya, senyum menawan membekukan duniaku, di tangannya memegang buket bunga mawar putih besar dan beberapa mawar merah membentuk hati di tengah-tengahnya.Mataku melebar sempurna saat kulihat di belakang tubuh lelaki tampan itu berdiri pula beberapa orang yang turut mengenakan batik dan kebaya dengan buah tangan di tangan mereka masing-masing.Refleks aku kembali menutup pintu tanpa menyapa mereka apalagi mempersilahkan mereka masuk, menelisik kembali penampilanku dari atas hingga ke bawah yang hanya mengenakan kaos oblong dan c
Acara lamaran ini berjalan sebagaimana mestinya, meskipun mendadak. Seluruh keluarga El sudah kembali ke hotel yang menjadi tempat mereka menginap selama di Semarang. Sedangkan, Tante Sindi dan suaminya langsung pulang ke Ungaran.Kini tinggalah aku, El, Ayah dan kakek Priyo. Kami berbincang di ruang keluarga, sedangkan di luar sana para petugas katering sedang membereskan sisa-sisa makanan dan kembali mengangkut semuanya kembali ke restoran.Kami berniat membahas lebih lanjut acara pernikahan kami yang sudah diputuskan oleh kakek akan digelar 3 bulan dari sekarang."Tapi, maaf sebelumnya, Pak Priyo. Nanti sewaktu ijab saya tidak bisa menjadi menjadi wali untuk Zahra. Dan, nasab Zahra jelas berbinti Ibunya." ujar Ayah pelan dan penuh sesal."Tak apa, Pak Herman. Tak usah sedih hati, kan masih ada wali hakim. Yang terpenting, pernikahan mereka sah secara hukum dan agama." jawab Kakek bijak."Tapi, bagaimana dengan keluarga besar Anda nanti? Pastilah mereka akan membicarakan perihal nas