“A-apa kabar, Desi?” tanyaku ragu. “Baik, Mbak. Nah gitu dong, sekali-sekali main di ke sini.” Desi menuntunku untuk duduk di kursi ruang tamu. Melihat sambutan baik dari Desi, rasa takutku perlahan hilang. Paling tidak kedatanganku ke rumah ini tidak di sambut dengan penolakan. “Mulai hari ini Nita dan Miko akan tinggal di sini,” ujar Mas Rafi yang sedang berjalan ke araku.“Kamu yakin, Mas? Apa enggak jadi masalah buat Mama dan Mbak Silvi?” tanya Desi.“Nita hamil, aku enggak mau ambil risiko dengan membiarkan mereka tinggal sendiri,” jelas Mas Rafi.“Mbak hamil?” Desi berbalik memandangku. Aku mengangguk ragu. “Ih, selamat. Udah berapa bulan Mbak?” Desi mengusap lembut perutku.“Baru empat minggu.”“Wah, lagi rawan-rawannya. Mbak harus banyak istirahat, enggak boleh kerja berat. Mulai sekarang kalo ada apa-apa bilang sama aku, ya. Aku enggak mau keponakanku kenapa-kenapa,” ujarnya memperingatkan sebelum berjalan masuk.Entah mengapa raut wajah Desi seketika berubah saat tahu ka
“Bik, aku pergi dulu, ya.” Aku menghampiri Bibi di dapur.“Tapi, Bu! Nyonya besar sudah berpesan kalo Bu Nita enggak boleh pergi ke mana-mana,” cegah Bik Sumi.“Tenang aja, Bik. Aku Cuma mau nengokin adik di rumah. Mas Rafi sama Ibu udah ngizinin tadi. Lagi pula mereka enggak akan pulang kalo acara Mbak Silvi belum selesai.Aku bergegas meninggalkan rumah Mas Rafi. Untung saja ojek online yang barusan aku pesan sudah tiba di depan gerbang. Tanpa menunggu lama, aku sudah dalam perjalanan menuju rumah yang sudah lama aku tinggalkan.Menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya aku sampai di rumah masa kecilku. Aku memandang halaman yang luas yang di penuhi rumput. Miko yang barusan ku jemput dari sekolah langsung antusias begitu aku mengajaknya.Bak rumah tak berpenghuni, rumahku kini terasa dingin dan sepi. Walaupun Ari tinggal di sini tapi ia tak selalu rajin dalam membersihkan rumah. Hal itu terlihat dari kotornya teras dengan beberapa gelas bekas kopi yang tergeletak di meja teras.
"Oh, jadi ini kelakuan kamu di belakangku." Mas Rafi terus mendekat. Pandangannya tak lepas dari tanganku yang masih di genggam Rendi.Sekuat tenaga aku berusaha melepaskan tangan Rendi, tapi nihil, ia malah mengangkat tangan kami seolah pamer pada Mas Rafi."Pantas saja selama ini kamu tak pernah marah saat aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Silvi. Jadi kamu bermain di belakangku.""Bu-bukan begitu, Mas.""Banyak alasan! Kalo kebetulan ketemu itu di jalan, kalo di rumah itu namanya janjian," cibir Mas Rafi."Ya, bisa di bilang seperti itu. Kami memang janjian bertemu di sini. Lagian kamu kan akhir-akhir ini sibuk ngurusin pestamu, jadi Nita pasti kesepian dong," ucap Rendi."Dasar manusia-manusia tak tahu diri!""Jangan sok suci, bukannya kamu yang lebih tak tahu diri. Apa sebutan yang pantas untuk lelaki yang berusaha merebut kembali anak yang tak di akuinya, selain pengecut.""Kamu enggak usah ikut campur! Masalah Miko adalah urusanku dan Nita.""Kamu tahu siapa yang menem
“Maksudmu apa menghubungi Rania? Apa kamu mau bilang kalo aku terus-terusan ngejar kamu? Asal kamu tahu, dia sudah tahu semua.” Rendi langsung berbicara sesaat setelah aku duduk di hadapannya.Setelah peristiwa semalam, aku memang mengajak Rendi bertemu. Saat ini kami berada di sebuah cafe yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Ternyata asa banyak perubahan di lingkungan rumahku semenjak aku tinggal di ruko, salah satunya di bukanya sebuah cafe yang katanya baru buka dua bulan ini.“Apa kamu gila? Kamu udah sangat menyakiti Rania. Dia istri kamu.” “Istri di atas kertas lebih tepatnya. Aku tak pernah mencintai wanita Bodoh seperti Rania.”“Bodoh katamu?”Aku yakin Rendi sekarang sudah benar-benar tak waras. Bukankah dia yang telah membuat Rania seperti orang bodoh, yang terpaksa ia nikahi karena kesalahan masa lalu mereka.“Ya, Rania itu bodoh. Mana ada wanita yang mau terus bertahan saat suaminya jelas-jelas tak pernah mencintainya.” “Dia hanya meminta pertanggung jawaban atas a
“Ma-maaf? Maaf kenapa, Bu?” Aku menuntun Ibu agar duduk di kursi ruang tamu.“Kenapa kamu pulang ke sini? Kamu pasti tak nyaman di rumah Ibu dan memutuskan kabur.”“Bukan, Bu. Aku ke sini cuma kangen rumah lama aja.”Sebenarnya apa yang telah terjadi pada Ibu, mengapa ia tiba-tiba berubah? Walaupun Ibu tak pernah jahat terhadapku, tapi ia juga tak pernah memperlakukanku selembut ini.“Apa kamu akan pulang ke rumah Ibu?” “Belum tahu, Bu. Apa Mas Rafi tidak bilang sesuatu dengan Ibu?” “Ya, Rafi bicara banyak hal kemarin.”Ibu kembali terdiam, kali ini pandangannya terlihat kosong.“Ibu boleh menuduh apa saja padaku. Aku sudah siap jika memang kalian tak mengakui anak ini seperti Miko dulu.” Seketika Ibu menoleh, aku baru sadar jika wajah Ibu kali ini polos. Ia tak memakai make up tebal seperti biasa ia lakukan. Dari jarak sedekat ini terlihat jelas kerutan wajah dan kulit yang mengendur yang menandakan bahwa ia sebentar lagi akan memasuki fase lanjut usia.“Tidak, Nita! Aku yakin an
“Anita!” Mas Rafi langsung menangkapku yang hampir saja terhuyung .“Sakit, Mas,” racauku sambil terus memegangi perut.Tubuhku seketika kehilangan tenaga, pandanganku meremang dan kepalaku mendadak terasa sakit. Aku mendengar Mas Rafi berteriak memanggil Ibu dan Bik Sumi. Tak lama kemudian aku di angkat menuju mobil oleh Mas Rafi.“Rafi, kamu apakan Anita, hah!” pekik Ibu sembari terus mengelus kepalaku yang bersandar di bahunya. “Aku enggak ngapa-ngapain, Ma. Tadi Silvi datang terus ...”“Kenapa kamu biarin Silvi mendorong Anita? Kamu tahu kan kalo wanita hamil sampai jatuh itu bahaya.”“Maaf, Bu.”“Aku enggak apa-apa kok, Bu.” Aku mencoba menenangkan Ibu.Kugenggam erat tangan yang sedari tadi tak berhenti mengelus perutku. Tak ada kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Yang jelas aku sangat bahagia mendapat perhatian yang begitu besar dari Ibu.Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya kami sampai di klinik yang letaknya tak jauh dari rumah Ibu. Aku di angkat oleh Mas Rafi
“Berpisah?” Mas Rafi membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.“Apa kamu sadar dengan ucapanmu barusan?” tanya Mas Rafi terus menatapku lekat.“Iya, bukankah kamu sudah tak membutuhkan aku lagi? Kamu juga menganggap aku berselingkuh, kan?”“Lalu bagaimana dengan Miko?”“Biar hukum yang menentukan status Miko.”“Enggak! Sampai kapan pun kita tidak akan berpisah.”"Bukankah aku telah berbaik hati dengan memberimu kesempatan menjadi Ayah Miko? Aku rasa tugasku telah selesai. Mungkin sudah saatnya aku membahagiakan diri sendiri.""Apa semua ini karena Rendi?""Bukan, Rendi sudah beristri.""Jangan pernah bicarakan perpisahan karena semua itu tidak akan terjadi.""Tapi aku ..." Mas Rafi meletakkan jari telunjuknya di bibirku."Ingat, tak akan ada perpisahan."Mas Rafi membawaku ke dalam pelukannya. Entah dengan sihir apa, akupun tak mencoba menolak. Malah merasa nyaman dengan perlakuan Mas Rafi.Hingga sekuat apapun pikiranku menolak, hatiku tetap luluh juga.**"Nita,
"Mbak Silvi punya rencana apa lagi? Belum puaskah dia setelah berhasil membuat anakku batal melihat dunia?" tanyaku geram."Aku tidak ikut campur urusan kalian, saya datang ke sini atas inisiatif sendiri." "Lalu apa yang anda inginkan?""Aku mohon tinggalkan Rafi. Jangan membuat hidup Silvi semakin menderita." "Sebenarnya siapa kamu? Berani-beraninya mengatur hidupku? Di bayar berapa kamu sama Silvi?”Aku menggebrak meja, melampiaskan gejolak di dada yang sedari tadi aku tahan. "Aku tak di bayar siapa pun. Asal kamu tahu, kekayaan keluarga Silvi tak ada sepuluh persen dari total kekayaan pribadiku. Aku hanya ingin membahagiakan Silvi," jelasnya."Mengapa enggak kamu nikahi saja dia. Bukan malah memintaku mengalah,” geramku.Sebenarnya apa yang ada di pikiran Ario, bisa-bisanya ia memintaku meninggalkan Mas Rafi. Sedangkan ia tak ada hubungan apa pun dengan Mbak Silvi. "Aku punya penawaran menarik kalo kamu mau meninggalkan Rafi.""Cih! orang kaya macam kalian selalu saja menawark
Om Bahri terdiam sambil memeluk buku harian milik almarhum mama, sesekali ia menyeka matanya yang terlihat memerah. Walaupun tak sampai jatuh, tapi aku tahu lelaki paruh baya berwajah garang di hadapanku tengah menangis.“Apa anda menyesal?” tanyaku membuka suara.Om Bahri hanya bergeming, ia kembali membuka buku tersebut dan membacanya sekali lagi. Hingga aku melihat ia membuka halaman terakhir. “Aku sangat menyesal telah mencintaimu begitu dalam. Setelah dua puluh lima tahun sejak kita bertemu, akhirnya aku memutuskan menyerah. Mulai hari ini akan kuhabiskan sisa hidupku untuk mencintai suamiku, manusia paling tulus yang pernah kutemui.” Aku membacakan sebait tulisan di buku harian mama halaman terakhir. Om Bahri memandangku dengan tatapan lembut. Dilihat dari garis wajahnya, ia mungkin umurnya setara dengan Bapak atau mungkin lebih tua. Di usianya yang menjelang senja, Om Bahri seharusnya tengah berbahagia dengan keluarganya. Melihat anak-anaknya menikah dan bermain dengan cucu-c
“Jangan banyak alasan, Om, dengan seolah-olah menjadi orang yang paling tersakiti.” Aku membuang muka memandang hamparan sawah yang mulai menguning.“Kalian sama-sama pengecut!” gumamku.“Kalian?” Om Bahri berbalik memandangku.Aku melemparkan sebuah foto usang berlaminating tebal kepada Om Bahri. Wajahnya seketika menegang dan tangannya gemetar tatkala ia mengambil dan memperhatikan foto itu dengan saksama. Dalam foto tersebut terlihat sepasang remaja berseragam putih abu tengah tersenyum dengan tangan yang bergandengan. Mata sang lelaki melirik pada wanita di sampingnya yang terlihat malu-malu.“Ya, kalian, asal anda tahu, masalah terbesar dalam keluargaku adalah mama tak pernah bisa melupakan cinta pertamanya. Bertahun-tahun menjalani rumah tangga, selama itu pula nama Bahri selalu saja terucap saat mama dan bapak bertengkar.”Mata Om Bahri membulat, wajah tembamnya yang biasanya terlihat garang, kini terlihat menciut. Ia berjalan perlahan menghampiriku yang tengah menatapnya tajam
“Apa maksud kamu bicara seperti itu?” bentak Mas Rafi setibanya kami di dalam kamar. “Aku hanya ingin kalian tahu tentang tujuanku, apa itu salah?”“Apa yang ingin kamu kembalikan seperti semula? Mengapa kami juga boleh memiliki Miko?” kedua tangan Mas Rafi mencengkeram erat bahuku. “I-itu...”“Apa kamu masih berniat pergi?” Mas Rafi menyelidik, kini wajahnya hanya berjarak lima senti tepat di depan wajahku. Bahkan dengan jarak sedekat ini aku bisa mencium jelas bau rokok dari mulutnya.“Ya, tapi tenang saja, aku tak akan membawa Miko. Kalian yang akan menjadi orang tua Miko. Bagaimanapun juga, hidup Miko di sini lebih terjamin, masa depannya lebih jelas,” ucapku lagi.“Apa kamu mulai gila, hah? Kamu pikir pernikahan ini main-main? Mengapa kamu suka sekali mempermainkan hidup seseorang?” Cengkeraman Mas Rafi semakin kuat, bola matanya seakan hendak keluar dari tempatnya. “Aku sadar dengan ucapanku, Mas,” ucapku hampir tak bersuara.“Lalu mengapa tak kau serahkan saja Miko sejak aw
“Bagaimana kamu tahu tentang ...” Om Bahri tak melanjutkan kata-katanya. Wajahnya yang selalu terlihat garang kini berubah pias.“Aku tahu semuanya, bahkan nama Bahri Susanto sudah tak asing ditelingaku sejak aku kecil.”“Apa yang Riyati ceritakan padamu?” tanya Om Bahri antusias.“Tak ada, hanya saja Mama pernah beberapa kali menyebut nama Bahri Susanto saat berdebat dengan Bapak,” ungkapku.“Kamu pembohong! Sama dengan Riyati yang juga pembohong, dialah yang membuat hidupku hancur hingga saat ini,” ucap Om Bahri tak percaya.“Jika mamaku yang membuat hidup anda hancur? Mengapa aku menanggung akibatnya? Anda pikir untuk apa aku sudi kembali pada keluarga yang telah membuangku?” ucapku lantang. Rasanya sudah tak tahan untuk mengeluarkan rasa sakit yang selama ini terpendam.“Anita!” panggil Mas Rafi yang tengah berjalan cepat ke arahku.Seketika aku terdiam mencoba menetralkan degup jantung yang sedari tadi berdetak tak beraturan. Sebelum terlalu jauh, mungkin sudah saatnya Mas Rafi t
“Nita.” Tubuhku bergetar saat wanita di hadapanku tersenyum dan mengulurkan tangannya.“Ibu cepat sembuh, ya. Maafin Nita baru tengok sekarang.” Kuraih tangan Ibu dan menggenggamnya erat.“Maafin Ibu, Nita. Sejak dulu selalu membuat hidupmu susah,” ucap Ibu dengan suara bergetar.“Enggak, Bu. Nita udah maafin Ibu. Jangan berpikiran macam-macam.”“Terima kasih, Nak.”Akhirnya setelah lebih dari dua minggu aku bisa bertemu dengan Ibu tanpa bertemu orang-orang yang membenciku. Kata Mas Rafi, saat ini adalah jadwal pertemuan keluarga, jadi semua orang sedang berkumpul di salah satu rumah kerabat. Biasanya selain Mas Rafi, Desi atau Mbak Silvi, beberapa saudara Ibu selalu bergantian menjaga Ibu.“Makan dulu, Bu.” Aku mengambil sekotak makanan yang baru saja seorang perawat antarkan.“Lidah Ibu pahit, makanan rumah sakit enggak ada yang enak,” keluh Ibu.“Ini enak loh, Bu.” Aku menunjukkan kotak berisi nasi, sayur, sebutir telur rebus dan sepotong daging pada Ibu.“Masakannya enggak enak.”
"Sejak kapan kalian bermain di belakangku?" cecar Mas Rafi. Wajahnya yang merah padam seolah menunjukkan hatinya yang tengah terbakar."Apa jangan-jangan dia, alasan kamu minta berpisah." Mas Rafi menunjuk wajah Ario.“Kamu salah paham, Mas.” Aku mencoba menenangkan Mas Rafi dan segera menuntunnya ke atas. Aku tak mau perdebatan kami menjadi tontonan para karyawan dan pelanggan.“Santai aja Fi, aku kan Cuma berkunjung,” ucap Ario santai.“Diam kamu! Udah puas bikin suamiku salah paham?” bentakku saat melihat Ario juga ikut kembali naik ke atas.Rasanya ingin sekali aku mencakar wajahnya yang sok kegantengan itu. Aku yakin dia memang sudah malang melintang dalam urusan wanita, buktinya di saat genting seperti ini dia masih bisa bersikap santai seolah hal seperti ini bukanlah masalah besar untuknya.Kuambil segelas air putih dari dispenser di pojok ruangan kemudian menyodorkannya pada Mas Rafi. “Mau lagi?” tawarku saat Mas Rafi telah meminum air dalam gelas dalam sekali tenggak.Mas Ra
POV Anita"Hay, nyonya Rafi,” sapa Ario yang tiba-tiba duduk di hadapanku“Apa kabar Mas Ario?” tanyaku sopan. Walaupun aku tak terlalu suka dengan sikapnya, paling tidak aku harus menghormatinya karena dia telah ikut menyelamatkan Miko.“Mau minum apa, Mas?” tawarku.“Apa saja. Bagaimana kabar Miko?”“Baik, Mas. Hanya sedikit trauma.”“Rafi benar-benar beruntung. Punya istri dua pintar cari duit semua, cantik semua,” celetuknya.“Mas Ario bisa nambah istri kalo mau.”“Jangankan nambah, satu aja belum punya.”Aku tersenyum kecut mendengarnya. Dia pikir aku tak tahu kalo ia telah menikah tiga kali, pacarnya juga ada di mana-mana. Aku rasa teman-teman Mas Rafi semuanya buaya.“Kenapa kamu memilih menikah dengan Rafi? Bukankah itu sama saja menyakiti diri sendiri. Aku tahu menjadi istri ke dua enggak enak, apa lagi madunya orang kayak Silvi,” cerocos Ario sambil menggigit pie susu yang baru saja di bukanya.“Itu bukan urusan anda.” Aku terus fokus pada kertas-kertas di depanku.“Mengapa
“Bercandamu enggak lucu.” Aku mencubit pipi wanita di sebelahku.“Aku serius, rasanya sudah tak tahan hidup penuh dengan musuh. Dari dulu musuhku Cuma Bu Yati yang setiap hari bikin dongkol.”Aku tertawa mendengar ucapan Anita, bagaimana bisa ia menganggap Bu Yati musuh, bukankah ia lumayan baik.“Kalo saja aku menerima tawaran Ibu waktu itu, mungkin semua enggak akan seperti ini.”“Tawaran Ibu? Memang Ibu menawarkan apa?” tanyaku“Kita bersama merawat Miko tanpa kita menikah. Tapi saat itu aku takut kalian berbohong, dan membawa Miko dariku,” ungkapnya.“Mama bilang begitu?” tanyaku heran. Mengapa aku tak tahu masalah ini.“Iya. Mungkin itu lebih baik.”“Kalo kita tak menikah, kamu akan menikah dengan orang lain?”“Mungkin.”“Tidak bisa! Jangan pernah berpikir untuk menikah dengan orang lain, karena sampai kapanpun aku tidak akan melepasmu. Ingat itu!” Kumatikan puntung rokok terakhir dan beranjak meninggalkan AnitaBagaimana bisa gara-gara penculikan Miko ia berpikir untuk berpisah
"Sialan kau, Ario!" "Sudahlah, Fi. Relakan saja Anita denganku, lagipula Miko telah menganggapmu mati," ejeknya.Aku mengusap rambut anak di pangkuanku, entah mengapa ada perasaan tak rela saat memdengar aku hanyalah ayah barunya. Namun ini semua salahku yang tak memperjuangkannya sejak dalam kandungan. Aku takut dia membenciku jika suatu saat tahu kalo ayahnya pernah tak mengakuinya."Maafkan ayah, Nak."Mobil yang di kendarai Ario melaju cepat di jalan yang sudah mulai lengang. Hari memang sudah menjelang tengah malam, waktu di mana sebagian besar orang tengah sibuk mengarungi mimpinya.“Miko,” pekik Anita yang sudah menunggu di luar rumah.Ia menghampiriku dan segera mengambil Miko dari gendonganku. Ia menciuminya berkali-kali tapi Miko sudah tertidur di gendongannya hanya menggeliat.“Jangan bikin mama khawatir ya, nak.” Anita terus mendekap buah hatinya itu.“Terima kasih, Mas Ario udah bantu nemuin Miko,” ucap Anita.“Its OK, apa sih yang enggak buat kamu.” Ario mengerlingkan