Seharian ini Albany sama sekali tidak pergi ke kebun. Dia sibuk menjaga Za, dari mulai menyiapkan makanan, menyuapi sampai bolak-balik jika istrinya itu hendak ke kamar mandi. Dengan telaten lelaki berambut sebahu itu melakukan semuanya dengan senang hati.“Mas, kamu bilang kemarin-kemarin kalau hari ini ada panen. Apa nanti nggak rugi?” tanya Za menatap dalam pada suaminya yang sedang fokus menyuapi.“Udah aku percayakan pada Dodi. Sementara aku nggak akan ke kebun dulu sampai kondisi kamu membaik,” jawab Albany datar dan kembali menyodorkan sesuap nasi ke mulut istrinya.Za benar-benar terharu melihat pengorbanan sang suami yang lebih mementingkan dirinya.“Padahal kan ada Ibu, mas. Dia pasti jagain aku,” ucap Za merasa bersalah karena telah merepotkan dan menghambat pekerjaan suaminya.“Kamu denger sendiri kan, apa kata dokter? Kamu itu nggak boleh banyak bergerak dulu. harus bedrest. Mana bisa Ibu gendong kamu ke kamar mandi,” timpal Albany.Za tersenyum tipis. Baiklah, kali ini d
Za langsung cemberut.“Aku udah bosan, Mas. selama beberapa bulan ini cuman keliling rumah sama keliling komplek. Aku cuman nyari baju-baju bayi. Lagian kemarin kan dokter udah bilang kalau kehamilan aku udah aman. Udah gitu, aku jalan kan, sama Ibu, nggak sendiri.” Za kembali memaksa.“Mau sama siapa berangkatnya? Aku antar aja ya? nanti pulangnya baru naik taksi.” Albany memberi masukan.“Lho, kamu, kan, mau berangkat sebentar lagi. Santai aja, taksi online tuh, sekarang banyak. Kamu nggak usah takut. Aku cuman mau beli beberapa potong baju, sekalian ke salon juga. rambutku udah nggak karuan, ini.” Za kembali merengek.Albany mulai merasa kasihan. Memang benar, selama beberapa bulan ini Za tidak bisa kemana-mana demi menjada calon buah hati mereka. Lagi pula, hasil pemeriksaan kemarin lusa, dokter menyatakan jika kehamilan Za baik-baik saja. Seorang anak laki-laki akan segera mereka timang. Ada rasa bangga yang menyeruak dalam hati lelaki itu saat mengingat jika dia akan segera men
Albany mondar-mandir menunggu di depan ruang operasi. Jantungnya bertalu cepat seiring hatinya yang gundah.Bibirnya tak henti merapalkan dzikir dan doa.Pintu ruang operasi itu kembali terbuka. Seorang suster keluar dari sana sembari membawa sebuah berkas.“Suami Ibu Zanna,” panggilnya dan Albany pun segera menghampiri.“Iya, Sus?”“Maaf, saya perlu tanda tangan Bapak lagi. Rahim Ibu Zanna mengalami kerusakan parah dan harus segera diangkat,” ucap suster itu yang langsung membuat Albany lemas seketika.“A-apa?” tanyanya pelan dengan wajah yang pucat.“Saya hanya menyampaikan apa yang dikatakan dokter kandungan yang membedah Ibu Zanna. Sekarang beliau sedang berusaha menyelamatkan anak dan istri Bapak,” ucap suster lagi.Dengan tangan gemetar Albany mencoretkan tinta di atas berkas itu. Terpaksa menyetujui hal yang sama sekali tidak disetujuinya.Dunianya seakan hancur seketika. Namun, yang kini jadi prioritasnya hanya kesembuhan sang istri.“Bertahanlah, Sayang. Jangan tinggalkan aku
Tiga hari tiga malam Za belum juga sadar. Albany tak sekejap pun meninggalkan rumah sakit. Hendro dan Ningsih benar-benar khawatir dengan kondisi Albany yang terlihat kalut dan tak bersemangat. Wajahnya yangn selama ini selalu bersih, kini dipenuhi bulu-bulu yang tak rapih. Kumis dan jenggotnya mulai terlihat.Albany betul-betul tak memperhatikan dirinya sendiri. Siang malam menunggu sang istri di depan ruang ICU. Menunggu kabar jika sang istri telah siuman.“Al, kamu belum sempat melihat bayimu. Dia sangat lucu. Persis kamu waktu kecil,” hibur Ningsih mencoba mengurai kesedihan di hati anaknya.Albany menoleh. Bagaimana dia sampai lupa dengan bayi itu?“Apa aku bisa melihatnya?” tanya Albany dengan wajah penuh harap.“Tentu saja. Kamu ayahnya. Tapi, kamu belum bisa menggendongnya. Dia dalam inkubator, karena berat badannya masih jauh dari cukup.” Ningsih coba menjelaskan.Albany langsung bangkit penuh semangat. Dia langsung melangkah mengikuti sang ibu menuju ruang perawatan bayi.H
Seminggu lebih Za dirawat di rumah sakit, sekarang kondisinya sudah membaik, walaupun masih banyak dibantu oleh suster juga suaminya.“Ibu sudah boleh pulang hari ini,” ucap Dokter saat mengunjungi Za ke ruangan dan memeriksanya.Senyum Za mengembang dan saling melempar pandangan dengan suaminya. Tangan mereka saling berpaut. Albany meremas jemari sang istri turut merasa bahagia.“Maaf, Dok, kalau bayi kami apakah sudah bisa pulang bersama kami?” tanya Za antusias.“Untuk itu, nanti dokter anak yang menangani anak Ibu yang memutuskan. Saya hanya bertanggungjawab pada Ibu saja,” jawab sang dokter dan membuat Za murung seketika.“Bayi Ibu masih agak lama di sini. Berat badannya masih kurang. Ibunya semangat untuk sembuh biar bisa ngasih ASi untuk Dedek. Biar Dedek bisa cepet naik berat badannya,” bisik seorang suster yang sengaja meninggalkan diri di ruangan itu setelah dokter berlalu.“Jadi … dia belum bisa pulang hari ini, Sus?” tanya Za dengan tatapan nanar.Suster itu menggeleng p
“Silakan masuk. Maaf, rumah saya hanya begini adanya,” ucap Pak Sopir.Za dan Albany masuk sembari mengucap salam.“Syafitri, tolong buatkan air buat tamu,” ujar Pak SOpir. Gadis yang sedang menyetrika itu lantas menoleh dan mematikan setrikanya.“Tidak usah repot-repot, Pak. Kami hanya sebentar,” ujar Albany agar tak merepotkan.“Tidak apa-apa. Hanya air saja,” timpal Pak Sopir.“Maaf, tidak bawa apa-apa.” Za menyimpan barang bawaannya di atas meja. Anak kecil yang sedang bermain mobil-mobilan itu langsung bangkit dan menyerbu aneka buah yang ditata cantik di keranjang.“Mau, Pak. Ade mau, ya, Pak,” ujar anak itu girang. Za tersenyum dan menyuruh anak itu mengambil apa pun yang diinginkannya.Dengan wajah semringah, anak itu mengambil sebuah apel dan menggigitnya dengan rakus. Pak Sopir terlihat malu dengan kepolosan anaknya.“Maaf, ya, Bu, Pak. Anak saya tidak span,” ucapnya malu-malu.“Tidak apa-apa, Pak. Ini memang buat di sini, kok. Kalau saja saya tau ada anak kecil, saya pasti
“Ayo kita keluar. Biar Dedek Rabbani menyusu dulu,” ajak Ninngsih pada suami juga besannya. Walapun masih ingin melihat sang cucu, mereka terpaksa harus keluar dulu.Rabbani terlihat menyusu dengan lahap. Walaupun awalnya seperti agak aneh karena selama ini dia minum susu dari botol. Namun, lama-lama semakin terbiasa.Za menatap takjub pada makhluk mungil yang selama ini dia tunggu. Begitu juga dengan Albany. Walaupun dia sudah berpuasa cukup lama, tetapi semua itu terbayar dengan kehadiran makhluk mungil yang begitu menggemaskan.“Dia semakin terlihat mirip aku ya?” ujar Albany menyidik-nyidik anaknya. Bentuk wajah, hidung juga mata.“Iya, tinggal pake tahi lalat di bawah mata, udah deh ini mah anaknya Ayah,” ujar Za sedikit cemburu.Hingga hari itu, ketika semua orang sudah kembali pada aktifitas. Za pun sudah mulai fit dan mampu melakukan segalanya sendiri. Albany sudah aktif kembali ke kebun, Hendro ke kantor sementara Ningsih pergi ke pasar.Za menjemur Rabbani setelah mandi. Ent
Gundukan tanah merah menjadi saksi tangisan hebat Za yang kehilangan kembali sang buah hati. Hanya sekejap Tuhan menitipkan makhluk mungil itu padanya.“Sabar, Sayang. Setiap yang ada pada kita adalah titipan, semua pasti akan kembali pada pemiliknya,” ucap Ningsih lirih seraya mengusap pundak menantunya yang bergetar karena tangis.“Dia akan jadi tabunganmu di akhirat nanti, Sayang. Tidak ada yang sia-sia pengorbanan kita selama di dunia.” Ningsih mengecup pelan kepala Za, berusaha menyalurkan kekuatan padanya.“Papa tau bagaimana harus berpisah dengan orang yang paling disayang, apalagi itu seorang anak. Papa pernah merasakannya ketika harus meninggalkan seorang wanita yang mengandung anak Papa. Berat. Sangat berat. Apalagi jika anak itu tak lagi bisa kita lihat.” Kini giliran Hendro yang angkat bicara. Dia jugas mengelus pelan kepala menantu kesayangannya itu.Albany yang berjongkok di seberang Za hanya diam ikut mendengarkan petuah dari orangtuanya. Hatinya sama sakit, tetapi dia
Entah berapa lama mereka menunggu di sana. Hingga seorang suster menghampiri mereka dan mengatakan jika operasinya berhasil. Bayinya ada dalam inkubator, sementara Syafitri masuk ke ruang ICU karena kondisinya kritis.Ada rasa lega juga sedih di hati keduanya.Za menatap lekat pada bayi yang terbaring di dalam kotak kaca itu. Pikirannya kembali pada masa Rabbani masih ada. Air matanya kembali menetes tanpa bisa ditahan.Albany menatap nanar pada sang istri. Dia mengira jika itu adalah air mata bahagia atas lahirnya seorang putra.“Dia mirip Rabbani ya, Mas.” Za bergumam. Albany mengangguk.“Selamat, kamu sudah resmi menjadi seorang ibu,” bisik Albany seraya memeluk istrinya dari samping. Dia juga mengecup puncak kepala Za penuh sayang.**Za dan Albany sedang sarapan di kantin rumah sakit saat dering telepon
Pagi-pagi Albany terbangun dengan tubuh yang luar biasa lelah. Kemarin malam dia bahkan tidak sempat makan. Hanya teh susu yang dihidangkan sang istri saja yang sempat diminumnya.Matanya mengerjap sambil dikucek. Za tersenyum di sebelahnya.“Kamu udah mandi?” tanya Albany saat melihat istrinya sudah rapih. Tak terlihat gurat lelah di mata wanita itu saat biasanya dia lihat setelah pergumulan mereka di malam harinya.“Udah. Aku bahkan udah siapin kamu sarapan. Ayo mandi dulu. kamu pasti cape,” ujar Za tersenyum semringah. Albany mengangguk. Dia lalu bangkit setelah sebelumnya meraih handuk yang semalam terjatuh ke lantai.Kening Albany mengerut saat dia berdiri dan sekilas melihat ke atas seprei hijau muda. Ada bercak darah di sana.“Sayang, kamu lagi dapet?” tanya Albany. Dia bahkan lupa jika istrinya sudah tak memiliki kantung rahim.&nb
[Mas, nanti malem aku tunggu ya. I miss you so much.]Tulis Za ke nomor whatsapp suaminya. Albany yang sedang mengecek kebun selada sontak mengulum senyum saat membaca pesan itu.[Siap-siap saja kalau sudah berani menggoda.]Balas Albany. Dia tersenyum lalu kembali memasukan ponselnya ke saku celana. Dia geleng-geleng membayangkan sang istri yang biasanya mendominasi kalau ngajak duluan.“Tunggu saja, aku buat kamu minta ampun,” gumamnya sambil mengulum senyum.[Aku minta Fitri pulang dulu ke rumah Pak Ahmad, biar kita nggak ada yang ganggu.]Za kembali membalas. Getar ponsel membuat Albany mengambilnya lagi. Dia lalu tertawa kecil sambil geleng-geleng saat membaca pesan itu.**Albany pulang dalam keadaan basah kuyup. Walaupun sudah memakai jas hujan, tetapi karena hujan yang mengguyur sangat besar air itu masih dapat tembus melalui sela-sela leher dan beberapa bagian lainnya.Albany masuk ke rumah yang terlihat sepi.“Pada ke mana, kok nggak ada?” gumamnya sambil celingak-celinguk.
Mereka tiba di rumah baru itu sudah sore. Rumah itu lebih terlihat seperti vila di daerah pegunungan. Za sengaja memilihnya, agar sang suami mudah mencari lahan perkebunan baru di sana.“Ini kamar kamu, ya, Fit.” Za menunjukan sebuah kamar di sebelah miliknya. Mata gadis itu tak henti-henti berbinar semenjak kedatangannya ke rumah ini. Rumah yang di matanya begitu mewah, jauh jika dibandingkan dengan rumah sang ayah.“Kamu nggak apa-apa, kan, di kamar ini?” tawar Za meminta persetujuan. Gadis itu mengangguk cepat.“Terima kasih, Bu,” ucap Syafitri dengan senyum semringah. Gadis yang baru setahun lulus SMA itu langsung masuk ke kamarnya dan berputar-putar melihat setiap benda yang seolah mimpi bisa menjadi miliknya.Za tersenyum melihat rona bahagia di wajah gadis itu. Gadis yang telah mau membantunya untuk memberikan seorang anak.Beberapa hari yang lalu, Za diam-diam mendatangi rumah Ahmad dan menceritakan semuanya. Za meminta Syafitri agar mau menjadi madunya.Awalnya Ahmad juga Sya
“Mas, aku sudah siapkan sebuah rumah di luar kota untuk rencana kita itu,” ujar Za saat Albany berganti pakaian pagi itu.“Rencana? Rencana apa?” tanyanya menghentikan aktifitas.“Punya bayi,” jawab Za singkat.“Maksudnya gimana?”“Kita pindah rumah dari sini, Mas. Tidak mungkin kita membawa istri barumu ke sini, kan? Bisa-bisa Papa sama Ibu marah sama kita. Mereka juga tidak tahu, kan, kalau aku sudah tidak memiliki Rahim?” ungkap Za.Terdengar dengkusan dari mulut Albany. Ternyata keinginan dan rencana istrinya itu bukan main-main. Padahal dia sama sekali tak menginginkan pernikahan kedua. Jika memang Tuhan tidak menakdirkannya memiliki anak, Albany akan menjalaninya dengan ikhlas.“Mas … kok malah gitu, sih? Bukannya jawab,” kejar Za dan menarik lengan suaminya.Albany mengembus napas kasar dan menatap istrinya nanar.“Aku harus jawab apa, Sayang? Aku sama sekali tidak punya ide untuk itu. Bahkan membayangkannya saja aku berat,” jawab Albany.“Hanya sebentar, Mas. Kita harus berkor
Mata Amara membulat seketika. Bahunya meluruh saat rekaman itu berakhir.“KAmu dengar sendiri, kan? Apa laki-laki macam itu yang akan kamu pertahankan? Dia hanya akan jadi penyakit untuk masa depanmu, Mara. Kamu lebih baik berhenti mengharapkannya,” ucap Za menatap dalam pada sepupunya.Amara mulai melemah emosinya. Tangis itu kini berganti isak. Za lalu merengkuh sepupunya dan mengelus punggungnya perlahan.“Kamu harus bersyukur karena mengetahui kebenaran tentang Rafael sebelum hari pernikahan kalian. Kalau seandainya kalian sudah menikah, sudah pasti akan jauh lebih berat buatmu,” bisik Za berusaha menyalurkan kekuatan.“Terima kasih, Za. Kalau seandainya kamu nggak ngasih tau semua ini, aku pasti salah paham terus sama kalian. Rafael bilang kalian telah menjebaknya hingga dia ditahan,” ucapnya terisak.Za tersenyum sekilas setelah mengendurkan pelukannya.“Kamu adalah adikku. Sudah sepantasnya aku menyelamatkanmu dari manusia picik seperti dia.” Za mengusap bahu Amara lalu mengaj
“Apa?” Mata Za terbelalak. Albany mengangguk dengan mata terpejam. Tak kuasa menahan rasa sakit di dadanya.“Dia sepertinya yang telah menabrakmu,” ucap Albany penuh sesal.“BAgaimana kamu bisa seyakin itu?” tanya Za dengan jantung yang bertalu kencang. Jika benar lelaki itu yang telah menabraknya, lalu apa alasannya?“Apa kamu tidak ingat waktu motor itu menabrakmu, Neng Za? Ibu melihat jelas sekali jenis motor, warna dan juga plat nomornya,” timpal Ningsih.“Aku kaget sekali waktu itu, Bu. Perutku juga sakit sekali diterjang motor itu. Kalau gak salah, memang motor yang sejenis motor Ninja warna merah. Hanya saja aku nggak tau nomor platnya. Lagi pula, buat apa dia nabrak aku?” Za tampak kebingungan.Albany mengembus napas kasar. Dia menggenggam tangan sang istri erat sebelum berani berterus terang tentang segalanya.“Kamu ingat dengan lelaki yang menggodaku di kafe?” tanya Albany dengan nada memelas.Mata Za terbelalak. Dia sadar, jika suara yang pernah dia dengar memang persis den
Mata Albany membulat seketika, apalagi saat lelaki itu datang mendekat.“Ini, kenalkan, sepupuku. Za. Dan ini suaminya, Albany,” ucap Amara memperkenalkan.Alis Rafael terangkat sebelah. Dia lalu tersenyum semringah seraya mengulurkan tangan.“Hai. Aku Rafael. Senang bertemu denganmu,” ucapnya mengulurkan tangan pada Albany. Lelaki berkuncir itu dengan terpaksa menerima uluran tangan orang yang dibencinya. Kala tangan mereka berjabat, Rafael menggerak-gerakan ibu jarinya mengelus telapak tangan Albany dengan menyunggingkan seulas senyum.Albany bergegas menarik tangannya. Sungguh terasa menjijikan ketika harus berhadapan dengan lelaki belok itu.Rafael juga tersenyum manis pada Za seraya mengulurkan tangan. Namun, Albany segera menarik lengan Za yang lain agar segera menjauh dari lelaki itu. Ada perasaan aneh dalam hati Za dengan sikap sang sua
Za hendak bangkit, namun ditahan oleh sang suami. Tubuhnya semakin bergetar menahan tangis.“Lepas, Mas. Lepaas …,” pinta Za memohon dan berusaha melepaskan cengkeraman tangan Albany yang menahan erat dirinya.“Tidak.” Albany menggeleng.“AKu mau pergi, Mas. Aku mau sendiri,” ucap Za terisak.“Tidak, Za. Aku mohon, jangan pergi lagi.” Lelaki itu tetap kukuh menahan tubuh istrinya yang hendak bangkit berdiri.“Aku hanya wanita tidak berguna, Mas. untuk apa lagi kau pertahankan aku,” isak Za semakin kencang.Albany merengkuhnya ke dalam pelukan. “Siapa bilang kau tidak berguna?” bisik Albany seraya mengusap punggung sang istri perlahan.“Kau adalah hidupku. Kau adalah nyawaku.” Albany semakin mengeratkan pelukannya. Tangis Za semakin pecah. Dia merasa menjadi wanita yang egois jika terus bersama dengan Albany.Lelaki itu sangat menginginkan seorang anak, dan sekarang … dia takkan lagi mampu memberikannya.“Aku tidak ingin kamu kecewa dengan keadaanku, Mas. Aku mandul. Aku tidak akan per