Latihan dasar selesai, dan para murid dipersilakan untuk istirahat sejenak sebelum sesi berikutnya dimulai. Zidan duduk di bawah naungan pohon besar di pinggir lapangan, mencoba menenangkan pikirannya. Ia memandangi murid-murid lain yang sedang bercanda, beberapa berbicara serius, dan lainnya hanya duduk diam, menikmati waktu tenang mereka.Elric, yang membawa sebotol air, menghampiri Zidan. “Jadi, kau punya jurus dasar yang cukup baik untuk pemula. Tapi kalau kau ingin bertahan di akademi ini, kau perlu lebih dari itu,” katanya, menyerahkan botol air kepadanya.“Terima kasih,” jawab Zidan, menerima botol tersebut. “Aku tahu, aku masih harus belajar banyak.”Daren tiba-tiba bergabung, menjatuhkan dirinya ke rumput di sebelah Zidan. “Jangan dengarkan Elric. Dia sendiri lebih suka menghindari latihan daripada benar-benar belajar. Kalau kau butuh bantuan, aku di sini.”“Hey, aku ada di sini, kan?” balas Elric dengan nada setengah bercanda. “Tapi aku penasaran, Zidan. Kenapa kau masuk ke
Malam itu, suasana di asrama terasa lebih sunyi dari biasanya. Zidan duduk di ranjangnya, memutar-mutar pena penekan energi di tangannya sambil memikirkan pertemuan dengan Reynar. Tatapan tajam Reynar dan ancamannya masih terngiang-ngiang.“Dia seperti tahu sesuatu,” gumam Zidan pelan.Kyro yang sedang merapikan barang-barangnya di sisi lain ruangan mendengar gumaman itu. “Kau bicara soal Reynar?”Zidan mengangguk. “Iya. Kau merasa dia mencurigai kita?”Kyro menghela napas panjang sebelum mendekat. “Reynar adalah orang yang selalu mencari kelemahan orang lain. Jika dia merasa ada sesuatu yang tidak biasa tentangmu, dia pasti akan terus mengamatimu sampai dia menemukan jawabannya.”“Lalu, apa yang harus kulakukan?”“Jangan terlalu mencolok. Tapi juga jangan terlihat terlalu lemah. Dia menghormati kekuatan, tapi dia tidak suka jika ada yang lebih pintar darinya.”Daren yang baru kembali dari aula membawa beberapa roti untuk makan malam langsung bergabung dalam percakapan itu. “Hei, jan
Kompetisi di akademi terus berlanjut, dan Zidan harus tetap menjaga rahasianya dengan hati-hati. Setiap hari adalah ujian baru, baik di arena latihan maupun di luar, ketika ia harus menghadapi tekanan dari teman-teman sekelasnya yang perlahan mengenalinya lebih dekat. Meski ia terlihat seperti murid biasa, Zidan sadar bahwa setiap gerakan kecilnya diawasi.Kyro, Daren, dan Elric adalah teman-teman setianya di akademi. Mereka sering mendukung Zidan dalam latihan dan kompetisi. Namun, Zidan tidak pernah memberi tahu mereka bahwa ia adalah seorang alkemis. Rahasia itu terlalu berbahaya untuk diungkapkan. Dalam kekaisaran Arzan, hanya menyebut nama alkemis saja bisa mengundang hukuman mati, apalagi mengaku sebagai salah satunya."Zidan, kau tampak tenang sekali," kata Kyro suatu hari saat mereka sedang berjalan menuju arena kompetisi berikutnya. "Biasanya orang baru gugup saat memasuki kompetisi sebesar ini."Zidan hanya tersenyum kecil. "Aku hanya mencoba menikmati prosesnya," jawabnya,
Keesokan harinya, suasana di akademi terasa berbeda. Para murid berbaris di lapangan utama, menunggu pembagian tim untuk ujian strategi yang diumumkan dengan penuh antisipasi. Instruktur dengan pakaian serba hitam berdiri di depan, wajahnya serius saat memeriksa daftar nama di tangannya.“Baiklah,” katanya dengan suara lantang. “Hari ini, kalian akan diuji dalam strategi tim. Setiap tim terdiri dari empat orang, dan tugas kalian adalah merebut bendera di tengah medan pertempuran. Tim yang berhasil membawa bendera kembali ke pos akan dianggap pemenang.”Zidan menelan ludah, mendengar penjelasan itu. Pertarungan kelompok berarti ia harus lebih berhati-hati, terutama jika harus bekerja sama dengan teman-temannya.“Tim pertama: Daren, Kyro, Elric, dan Zidan.”Kyro langsung bersorak kecil. “Kita satu tim! Aku sudah tahu ini akan terjadi.”Daren menepuk pundak Zidan dengan semangat. “Ini kesempatan kita menunjukkan bahwa murid dengan nilai E juga bisa hebat!”Elric hanya mengangguk pelan, w
Hari berikutnya, latihan fisik dan teknik bertarung kembali digelar di arena utama akademi. Kali ini, mereka diuji dalam simulasi pertempuran tim, di mana setiap kelompok harus menghadapi serangkaian rintangan dan lawan buatan yang diatur oleh instruktur.Zidan, seperti biasa, menyembunyikan kemampuannya dengan cermat. Pil penekan energi yang selalu ia konsumsi membantu menyamarkan aura alkemisnya. Ia memastikan setiap gerakannya tampak seperti usaha keras seorang murid biasa, meski kemampuannya sebenarnya jauh melampaui rekan-rekannya.“Kau siap?” tanya Kyro dengan semangat.“Selalu,” jawab Zidan sambil tersenyum kecil.Daren menyeringai. “Kali ini, kita harus menunjukkan bahwa kelompok kita lebih baik daripada yang lain. Zidan, aku harap kau punya rencana hebat lagi.”Zidan mengangguk, berpura-pura memikirkan strategi sederhana. Ia ingin memastikan bahwa mereka menang tanpa membuat dirinya terlalu mencolok.Mereka memasuki arena, yang telah diubah menjadi labirin penuh jebakan. Di s
Seiring waktu, hubungan Zidan dengan kelompoknya semakin kuat. Daren, yang ceria dan bersemangat, sering mengajak Zidan berbicara di luar topik latihan. Kyro, dengan sikapnya yang tenang namun penuh perhatian, menjadi semacam penyeimbang di kelompok mereka. Bahkan Elric, meskipun masih menyimpan kecurigaan, mulai menunjukkan rasa hormat terhadap kemampuan Zidan.Suatu sore, mereka berkumpul di tepi sungai kecil di belakang akademi, tempat para murid sering menghabiskan waktu luang. Daren, seperti biasa, memulai percakapan dengan penuh antusias.“Kalian tahu? Aku yakin kita adalah kelompok terkuat di angkatan ini!” katanya, melompat dari batu ke batu di atas sungai.Kyro tertawa kecil. “Kau selalu terlalu percaya diri, Daren. Tapi aku suka semangatmu.”Zidan, duduk di tepi sungai sambil memandangi air yang mengalir, tersenyum mendengar candaan mereka. Momen-momen seperti ini mengingatkannya pada kehidupannya sebelum semua ini, sebelum ia harus menyembunyikan identitasnya sebagai alkemi
Hari itu, seperti biasa, mereka berempat—Zidan, Elric, Daren, dan Kyro—melanjutkan latihan mereka di luar akademi. Hutan yang mengelilingi tempat itu memiliki banyak jalur dan rute yang belum mereka telusuri, sehingga mereka memutuskan untuk menjelajah lebih jauh.“Ayo, kita coba jalan lebih dalam! Aku rasa kita bisa menemukan tempat latihan yang lebih menantang,” seru Daren dengan semangat yang tak terkendali.Kyro, yang biasanya lebih berhati-hati, tampak ragu. “Hati-hati, Daren. Hutan ini luas dan kita tidak tahu apa yang ada di dalamnya.”Zidan mengangguk setuju. “Kita harus tetap waspada. Jangan sampai terjebak di tempat yang tidak kita kenal.”Namun, semangat Daren yang tak bisa dibendung membuat mereka terus melangkah lebih jauh. Mereka melalui jalan-jalan sempit yang dihiasi dengan pohon-pohon raksasa dan tumbuhan liar yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Udara semakin lembab, dan suara burung serta binatang hutan semakin jarang terdengar.“Ada apa dengan hutan ini?” Elr
Daren adalah yang pertama menghentikan langkahnya, matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan. Zidan, yang berjalan di belakang, mengikuti pandangan Daren dan melihat apa yang ia lihat. Di tengah kebun tua yang terbengkalai, sebuah bangunan besar dan megah terlihat samar-samar. Bangunan itu tampak sepi, tertutup oleh kabut tipis yang merayap di atas tanah. "Apa itu?" tanya Zidan dengan suara pelan, berusaha tidak membangkitkan perhatian. "Itu... bekas tempat latihan militer," jawab Elric dengan nada yang sedikit berubah. "Tapi tempat itu sudah lama ditinggalkan, banyak cerita aneh tentangnya." Kyro mengangguk. "Tempat itu disebut 'Taman Kehancuran'. Dulu, itu adalah tempat di mana para pendekar terlatih dilatih secara keras. Namun, ada banyak yang hilang atau tidak pernah kembali." Zidan merasa ketegangan meningkat. Meskipun mereka sudah berhasil keluar dari hutan gelap yang mengerikan, rasanya suasana masih belum aman. Mereka hanya bisa menebak apa yang ada di dalam, dan yang pa
Hubungan di antara Zidan, Daren, Kyro, dan Elric perlahan mencapai titik yang berbeda dari sebelumnya. Rasa curiga yang dulu sempat menghantui mereka—terutama dari Elric kepada Zidan—mulai memudar seiring dengan waktu yang mereka habiskan bersama dalam misi-misi berbahaya. Kepercayaan dan kekompakan mereka semakin tumbuh, tidak hanya sebagai teman satu tim, tetapi sebagai saudara seperjuangan. Setiap kali salah satu dari mereka terluka atau mengalami kesulitan, yang lain akan sigap memberikan bantuan. Daren, dengan sikap santainya, selalu berusaha menjaga semangat kelompok tetap tinggi. Kyro, yang penuh perhatian, sering kali menjadi perencana yang memastikan semua berjalan lancar. Elric, meskipun sering menyendiri, kini mulai lebih terbuka, bahkan menunjukkan rasa hormat kepada Zidan. Malam itu, saat mereka berkumpul di tenda setelah misi yang penuh tantangan, Daren membuka pembicaraan. "Aku tak pernah menyangka, kita bisa jadi sedekat ini. Awalnya aku pikir kita semua cuma akan
Setelah tantangan individu itu selesai, hubungan mereka semakin erat. Daren dan Kyro terus memuji Zidan atas ketenangannya di arena, sementara Elric yang biasanya sinis kini lebih sering diam, seolah merenungi sesuatu. "Sepertinya kau punya bakat alami untuk bertahan hidup, Zidan," ujar Kyro sambil menepuk bahu Zidan dengan penuh semangat. "Tapi aku penasaran, kau belajar dari mana semua itu?" Zidan hanya tersenyum tipis. "Aku banyak mengamati, itu saja." Namun, malam itu, ketika mereka sedang berkumpul di kamar, Elric akhirnya mengutarakan pikirannya. "Zidan, aku ingin bertanya," katanya dengan nada serius. Semua orang terdiam. Daren dan Kyro berhenti bercanda, menyadari bahwa pertanyaan ini mungkin penting. "Apa sebenarnya tujuanmu di sini?" Elric melanjutkan, matanya tajam menatap Zidan. "Kau tampak terlalu terlatih untuk seseorang yang berasal dari klan bawah." Zidan merasakan detak jantungnya meningkat. Namun, ia sudah mempersiapkan diri untuk momen seperti ini. "Tuju
Misi pengintaian yang diberikan pelatih Gerdan ternyata jauh lebih menantang dari yang mereka bayangkan. Tim Zidan, Elric, Daren, dan Kyro diberi tugas untuk mengumpulkan informasi di perbatasan hutan lebat yang memisahkan wilayah akademi dengan salah satu markas kecil Arzan. Hutan itu terkenal dengan jebakan alami dan rumor tentang makhluk buas yang berkeliaran di malam hari.Saat mereka memulai perjalanan, Elric terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sikapnya membuat Daren tak tahan untuk menggodanya. "Hei, Elric, kau takut dengan hutan ini? Jangan khawatir, ada aku di sini!" katanya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.Elric hanya meliriknya, kemudian menghela napas. “Aku tidak takut pada hutan, Daren. Aku hanya berpikir... tugas ini terlalu berisiko untuk murid seperti kita.”Zidan, yang berjalan di depan, menoleh. “Itu benar. Tapi kita tidak punya pilihan selain menyelesaikannya.”Kyro menepuk bahu Elric. “Hei, kita akan baik-baik saja. Kau lupa siapa yang ada di tim
Hari-hari berlalu, dan keadaan Elric perlahan membaik. Wajahnya yang sebelumnya pucat kini mulai memerah kembali, dan kekuatan tubuhnya mulai pulih. Zidan, Daren, dan Kyro terus memberikan perhatian penuh, bahkan di luar jadwal latihan mereka. Mereka membagi tugas: Daren memastikan Elric makan dengan cukup, Kyro mengurus obat dan ramuan sederhana, sementara Zidan diam-diam mencari cara agar mereka bisa tetap melindungi Elric tanpa menarik perhatian pelatih atau murid lain.“Kalian benar-benar merepotkan diri untukku,” ujar Elric pada suatu pagi, ketika mereka sedang berkumpul di kamar. Suaranya terdengar tulus, meski masih ada sedikit rasa bersalah.“Kau itu bagian dari tim kami,” balas Kyro dengan senyum lebar. “Kalau kau tidak ada, siapa lagi yang akan menjawab soal-soal teori sulit itu?”Daren tertawa, menepuk bahu Elric dengan penuh semangat. “Dan siapa lagi yang akan menjadi pengingat bahwa kita tidak boleh terlalu banyak bermain-main?”Elric tersenyum kecil. Ia merasa diterima,
Latihan hari berikutnya berjalan lebih keras dari biasanya. Pelatih utama, seorang pria berusia paruh baya bernama Gerdan, terkenal dengan metode latihannya yang brutal. Tidak ada toleransi untuk kesalahan, tidak ada belas kasih bagi yang lemah. Para murid dihadapkan pada serangkaian latihan fisik yang menguras tenaga, disertai ujian teknik bertarung tanpa henti. Elric, meskipun dikenal cerdas, sering kali kesulitan menghadapi tekanan fisik yang ekstrem. Pagi itu, ia menjadi sasaran kemarahan Gerdan. "Elric!" panggil Gerdan dengan nada tajam, matanya menatap tajam ke arah murid itu. "Apa kau pikir ini tempat untuk bersantai? Gerakanmu lambat, seperti orang yang baru belajar berjalan!" Elric mencoba mengabaikan hinaan itu. Dengan pedang di tangannya, ia berusaha menunjukkan teknik terbaiknya dalam duel latihan melawan murid senior. Namun, lawannya terlalu kuat, dan Elric terjatuh beberapa kali. "Apa ini? Lemah sekali!" Gerdan melangkah maju, mengayunkan tongkat kayu panjangnya. "Ba
Zidan memegang erat pedangnya, bersiap menghadapi serangan pertama yang pasti akan datang. Kyro dan Daren berdiri di sampingnya, masing-masing menyiapkan senjata mereka. Elric tampak tidak begitu terkejut, namun tatapan matanya tetap tajam, mempersiapkan diri untuk apa pun yang mungkin terjadi. Seorang pembunuh dari Bayang Pelindung maju lebih dekat, matanya yang tajam penuh dengan ancaman. “Kalian tidak punya tempat untuk lari. Menyerahlah dan kalian akan cepat mati,” katanya dengan suara dingin, seolah sudah terbiasa mengakhiri hidup orang dengan sekejap. Zidan tahu bahwa waktu tidak lagi berpihak pada mereka. Ia tidak bisa membiarkan mereka bertahan hidup atau membiarkan mereka menyebarkan informasi tentang mereka. Dalam sekejap, Zidan mengayunkan pedangnya dengan cepat, mengarah ke salah satu pembunuh yang berada di depan. Gerakan Zidan begitu halus dan cepat, membuat lawannya tidak sempat menghindar. Namun, pembunuh itu dengan cekatan menghindar, melompat mundur dan menurunk
Setelah pertempuran itu, langkah-langkah mereka semakin hati-hati. Hutan Zorn, dengan suasana sunyinya yang menyesakkan, seolah mengintai setiap gerakan mereka. Pohon-pohon besar yang menjulang tinggi dengan akar yang melilit menyerupai jebakan alami membuat perjalanan terasa semakin sulit. Tidak ada jalan setapak yang jelas, hanya semak belukar dan bayang-bayang gelap yang menyelimuti mereka."Apakah ada yang merasa seperti sedang diawasi?" tanya Kyro, suara gemetar. Ia melirik ke belakang seolah-olah sesuatu bisa melompat kapan saja."Aku merasakannya sejak kita melangkah lebih jauh ke dalam hutan," jawab Elric dengan nada serius. “Ini bukan hanya hutan biasa. Ada sesuatu yang salah di sini.”Zidan berhenti, mengangkat tangan memberi tanda agar mereka juga berhenti. Ia menajamkan pendengarannya. Suara angin yang meniup daun-daun kering tiba-tiba terhenti. Segala sesuatu terasa begitu hening, terlalu hening.“Kita harus tetap bersiap. Tidak ada yang tahu apa yang akan muncul berikutn
Tahap ketiga dimulai dengan langkah yang jauh lebih menantang. Di depan mereka terbentang sebuah hutan lebat yang dikenal sebagai Hutan Zorn sebuah tempat yang penuh dengan makhluk buas dan jebakan alami. Hutan ini bukan hanya menguji fisik, tetapi juga ketahanan mental dan strategi bertahan hidup.Master Haidar, dengan ekspresi serius, memberi instruksi terakhir sebelum mereka memasuki hutan. “Kalian akan berkelompok dan bertahan di dalam hutan selama tiga hari. Yang bertahan hidup dan berhasil keluar dari hutan dengan kondisi utuh akan dinilai sebagai pemenang. Jangan mengandalkan kekuatan semata. Gunakan strategi dan kerjasama.”Zidan merasakan ketegangan di udara. Hutan Zorn terkenal tidak hanya karena bahaya yang mengintai, tetapi juga karena rumor-rumor tentang makhluk mengerikan yang menghuni tempat itu. Namun, ini adalah kesempatan terakhir mereka untuk menunjukkan kemampuan.“Jangan khawatir,” kata Daren, memecah keheningan. “Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini hanya b
Daren dan Kyro saling berpandangan, mencoba mencerna apa yang baru saja mereka dengar. Diamnya mereka membuat atmosfer semakin berat. Elric, yang biasanya tenang, kini tampak gelisah. Ia melangkah mendekat ke Zidan, wajahnya penuh pertimbangan."Aku tidak tahu apakah aku harus percaya padamu," kata Elric dengan nada dingin. "Tapi jika kau benar-benar seorang alkemis, kau menyadari risikonya, bukan? Jika Arzan mengetahui identitasmu, bukan hanya kau yang akan dihukum. Kita semua bisa ikut terlibat."Zidan mengangguk pelan, wajahnya serius. "Aku tahu risikonya. Aku sudah siap menanggung semuanya. Tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak bisa hanya diam melihat kekejaman Arzan terus berlanjut. Kerajaan kecil telah dihancurkan, rakyat tidak bersalah disiksa, dan mereka yang melawan dianggap musuh. Apa kau pikir kita bisa hidup seperti ini selamanya?"Kyro, yang biasanya ceria, tampak muram. Ia menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya untuk menatap Zidan. "Aku ti