“Minumlah selagi hangat.” Nerissa memandang ragu pada Lovetta. Lovetta yang mengerti dengan tatapan temannya mendengus kesal.
“Sudah aku rebus. Memang kau kira sudah berapa lama kita berteman?” Nerissa yang mendengar penuturan temannya itu tersenyum simpul.
“Terima kasih.”
“Sepertinya bukan aku yang harus hati-hati dengan menu makananmu, tapi dirimu sendiri. Makanan macam apa lagi yang kau makan dalam seminggu ini?” Lovetta menatap Nerissa curiga karena dia memang sudah tahu seperti apa sifat Nerissa.
“Hanya dua potong sandwich,” ujar Nerissa tanppa beban. Sebuah bantal melayang tepat mengenai kepalanya.
“Aku jadi ragu kau punya umur pendek.” Lovetta kesal dengan temannya ini.
“Sudahlah, aku sedang menikmati masa-masa hidupku.” Penuturan Nerissa sukses membuat Lovetta bungkam. Dengan segera gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jadi, apa lagi kali ini?” Lovetta meneguk teh yang sebelumnya dia seduh. Pandangannya terarah pada Nerissa meminta jawaban pada gadis itu.
“Ayah ingin aku menikah.” Jari telunjuknya memutar menyentuh tepian cangkir. Matanya menerawang, pikirannya melayang ke moment di mana dia dipertemukan dengan Alarick dan ayahnya.
“Bagus, lagipula umurmu sudah cocok untuk berkeluarga,” ucap Lovetta diiringi dengan anggukannya, namun sepertinya orang yang ada di hadapannya tidak setuju dengan pendapat Lovetta. Nerissa memandang lekat Lovetta sebelum berkata.
“Bahkan jika aku harus menikahi Alarick?” Ucapan Nerissa berhasil membuat Lovetta tersedak, matanya membulat, fokusnya kini hanya pada Nerissa saja.
“What?” Lovetta menyimpan cangkirnya di meja dan segera berjalan ke samping Nerissa.
“Ayahku ingin aku menikah dengan Alarick.” Lovetta tak menjawab, dia ingin tahu kelanjutan cerita Nerissa.
“Alarick bilang, satu minggu lagi.” Lovetta bangkit dari duduknya kedua tangannya menggebrak meja yang membuat Nerissa tersentak.
“Bagus, kamu menyukainya, kan? Dan satu minggu lagi kalian akan menikah.” Di sini entah siapa yang akan menikah. Mengapa Lovetta begitu bersemangat atas pernikahannya?
“Ya. Dan bagus juga karena alasan mereka menjodohkanku adalah sebuah balas budi. Keluarga Alarick menolong keluargaku saat perusahaan ayah hampir bangkrut. Bukankah secara tidak langsung dia sudah menjualku?” Nerissa kembali melanjutkan acara minumnya.
“Ya. Dan sekarang aku mulai setuju dengan raut wajahmu itu. Bagaimana bisa ayahmu melakukan itu?” Nerissa yang mendengar penuturan Lovetta langsung memutar bola matanya.
“Bagaimana bisa kau berubah pikiran begitu cepat?”
“Karena sebelumnya aku tak mengetahui alasannya.” Nerissa berdecak dan mengacuhkan ucapan Lovetta.
“Lihatlah, sebenarnya ada apa dengan penampilanmu?” Nerissa menunjuk ujung kepala Lovetta hingga ujung kakinya.
Lovetta tak menjawab pertanyaan Nerissa. Gadis itu mengacungkan ponselnya yang menampilkan aplikasi baca online. Nerissa memegang kepalanya. Bagaimana bisa temannya ini begitu kecanduan platform baca satu itu.
“Ya. Itulah dirimu. Jika tidak begitu, maka aku akan sangat takut saat ini.” Mereka berdua terkekeh.
***
Alarick memandang langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang ke masa di mana Haleth memutuskannya. Otaknya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja walaupun dia putus dengan Haleth, namun hatinya tak dapat berbohong bahwa dia masih menginginkan gadis itu di sisinya.
Tanganya bergerak mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang. Beberapa kali dia berpikir ulang untuk menelpon ayahnya atau tidak.
“Halo, Ayah. Tentang perjodohan itu, aku akan melakukannya.” Matanya terpejam kuat. Entahlah apakah ini pilihan yang tepat atau tidak.
“Pilihan yang bagus, Nak. Mari kita atur pertemuan kembali.”
“Hhmm.” Alarick memandang ponselnya lekat-lekat setelah ayahnya memutuskan sambungan telepon.
Kakinya melangkah menuju dapur. Hidup sendiri membuat dirinya terbiasa melakukan apapun sendiri. Seperti saat ini, dengan telaten tangannya menggerakkan pisau mengiris daun bawang dan sayuran lainnya.
Menu sarapan kali ini hanya sepiring nasi goreng dengan omelet di atasnya. Memasaknya sendiri, Alarick juga makan sendiri. Ayahnya pernah menawarkan seorang maid untuk bekerja di apartemennya, namun dengan berbagai alasan Alarick menolak tawaran itu.
“Tak terlalu buruk,” desisnya. Mungkin bukan tak terlalu buruk, tapi lebih ke jauh dari kata buruk. Mungkin karena terbiasa, hingga Alarick benar-benar bisa memasak apapun dengan tangannya sendiri.
Beruntunglah mereka yang nantinya berhasil mendapatkan Alarick karena selain pintar berbisnis, pria itu juga pandai memasak. Mungkin hanya satu yang tidak bisa dilakukan pria itu, membereskan rumah menurutnya merupakan hal yang merepotkan, sehingga dia selalu meminta maid di rumahnya untuk berbenah di sini sesekali.
Dering ponsel memaksa Alarick untuk menunda sarapannya. Tangannya terarah untuk mengangkat panggilan itu.
“Hmm ada apa?” ucapnya dingin seperti biasa.
“Bisakah kau ke kantor lebih cepat? Klienmu meminta memajukan jadwal pertemuannya.” Alarick mendengus mendengar penuturan sekretarisnya itu.
“Oke, beri aku 20 menit untuk sampai ke sana.” Alarick bangkit dari duduknya. Nafsu makannya hilang karena telepon itu.
Lekuk tubuh atletisnya terlihat saat dia membuka pakaiannya. Jika dilihat dari penampilan fisiknya, Alarick bisa dikatakan manusia yang sangat sempurna. Bentuk tubuh berotot, bergelimang harta, ketampanan pria itu yang bisa dikatakan di atas rata-rata dan jangan lupakan jika dia juga merupakan pewaris tunggal Mauricio Corp.
Dengan semua yang dia miliki, bukan berarti kehidupannya sempurna. Pria itu sering kali merasa tertekan dengan segala keputusan ayahnya, seperti saat ini.
Dia harus mengurus segala hal tentang perusahaan ayahnya walaupun dia belum diresmikan menjadi CEO, namun dia tetap melakukannya karena alasan berbakti kepada orang tuanya.
Setelah selesai dengan segala persiapannya, Alarick mengambil kunci mobilnya dan segera pergi ke kantornya.
Dia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh mengingat jarak apartemennya yang terbilang cukup jauh dari kantornya.
Seperti biasa, sesampainya di sana banyak sekali mata yang terpusat padanya. Bahkan ketika pria itu tak tersenyum sedikitpun, pesonanya akan tetap memancar ke setiap penjuru ruangan.
Alarick masuk ke ruangannya setelah beberapa menit lalu dia menyelesaikan pertemuannya. Dia menyandarkan badannya pada sandaran kursi. Rasanya sangat lelah, mungkin karena pikirannya yang bercabang saat ini.
***
“Jadi ... apa keputusanmu?” Pria itu meneguk minuman yang ada di hadapannya. Tempat favorit untuknya dan tentu saja untuk gadis yang ada di sampingnya.
“Aku memutuskannya. Tentu saja aku tak ingin menikah dengan orang miskin.” Gadis itu berjalan ke arah kerumunan orang yang tengah meliukkan badannya mengikuti alunan musik.
“Lalu?” Pria itu ternyata mengikutinya. Mereka ikut meliukkan badannya.
“Lalu aku akan kembali menemuinya setelah dia berhasil mendapatkan harta ayahnya.” Gadis itu tersenyum simpul.
“Ohoo, seperti yang aku duga, itulah Haleth temanku.” Pria itu tertawa bersama dengan musik yang memekakkan telinga.
“Tentang kepergianmu ke luar negeri?” lanjut pria itu.
“Luar negeri? Aku akan melakukannya, tapi bukan untuk karirku. Aku ingin bersenang-senang denganmu Jaylen.” Haleth mengalungkan tangannya ke leher Jaylen. Perlahan wajah mereka saling mendekat sebelum kemudian ciuman panas itu mereka lakukan.
Seperti yang direncanakan beberapa hari yang lalu, kini kedua keluarga itu dipertemukan kembali untuk membahas apa yang seharusnya mereka bahas. Wajah Alarick seperti biasanya, terlihat datar. Pria itu mengeluarkan ponsel setelah menyelesaikan acara makannya. Jari-jarinya menari indah di atas ponsel pintar itu.Nomor yang ditujunya saat ini adalah mantan kekasihnya. Entah gadis itu akan membalas atau tidak, yang penting dia sudah mencoba.“Baiklah, seperti yang kita bicarakan beberapa hari lalu Nerissa, maukah kau menikah dengan putraku?” Tuan Maurucio memandang penuh harap pada Nerissa.Sejenak gadis itu terdiam mengingat percakapannya dengan Alarick di telepon satu hari lalu.“Aku benar-benar tak ingin menikah denganmu, dan sayangnya hanya kau yang bisa menolak pernikahan ini. Aku harap kau mengerti maksudku.” Katakanlah Alarick labil. bukannya dia sudah menyetujui untuk pernikahan ini?Lagi dan lagi serangkaian kalimat ya
Fillan Elfern, adalah seorang pria beruntung yang bisa bekerja dengan keluarga Frore. Banyak sekali pria gagah di luar sana yang melamar untuk menjadi bawahan Tuan Frore, namun nyatanya Tuan Frore memilih Fillan sebagai salah satu orang kepercayaannya.Tugasnya selama ini hanya satu, yaitu mengawasi Nerissa Frore putri dari Tuan Frore. Tuan Frore sebenarnya tak pernah melepaskan perhatian dari sosok putrinya itu, hanya saja cara dia memberikan perhatian sangat berbeda.Jika Nyonya Frore merupakan wanita lembut yang selalu memanjakan putra putrinya, berbeda dengan Tuan Frore yang memilih mendidik anaknya untuk menjadi orang yang mandiri. Namun sepertinya didikannya itu menjadi kesalah pahaman dalam keluarganya.Tuan Frore memilih Fillan sebagai ketua bodyguard dalam menjaga anaknya bukan tanpa alasan. Pria paruh baya itu telah melihat sejak lama kepribadian seorang Fillan. Pria itu cerdas, jujur, setia dan yang menjadi poin tambahan untuknya adalah ketam
“Jadi mulai dari mana kau akan bercerita?” Ya, Lovetta datang ke rumah sakit setelah Nerissa menghubunginya. Tangannya sibuk mengupas buah jeruk yang barusan dia bawa.“Rasanya aku tak perlu mengatakan apapun padamu.” Dengan tenang Nerissa mengambil sepotong jeruk yang diberikan Lovetta.“Kau ingin mati?!” Raut wajah Lovetta sukses membuat Nerissa terkekeh.“Ya benar. Bagaimana kau bisa tahu jika aku ingin mati?” Untuk kesekian kalinya Lovetta dikejutkan dengan perkataan Nerissa.“Apa maksudmu?” Tak hanya memberikannya pada Nerissa, gadis itu juga memakan buah jeruk yang sudah dia kupas.“Apa lagi yang bisa ku lakukan selain bunuh diri untuk menggagalkan perjodohan ini?” Lovetta benar-benar tak habis pikir dengan temannya ini.“Lakukan saja, pernikahan itu. Lagipula kau bisa bercerai jika sudah memiliki beberapa bukti kekasaran Alarick padamu.” Dengan lancarn
“Jason Marick, pria itu kakaknya Nerissa.” Tuan Frore memandang Tuan Mauricio lekat-lekat. Dia berharap Tuan Mauricio bisa mengerti dengan ucapannya.“Lalu Merick? Bagaimana bisa nama belakangnya berbeda denganmu?” Rupanya rasa penasaran Tuan Mauricio belum terjawab sepenuhnya.“Dia anak angkatku. Dua puluh dua tahun lalu sebelum aku memiliki Nerissa aku mengadopsinya dari sebuah panti asuhan dan dia sudah memiliki nama yang mungkin diberikan oleh orang tuanya.” Pikiran Tuan Frore melayang pada moment di mana dia dan istrinya mengadopsi Jason anak laki-laki yang sangat tampan dan juga baik hati.Sebelum mengadopsinya, Tuan Frore sudah lama memperhatikan kehidupan anak itu di panti asuhan. Seorang anak laki-laki berumur kurang lebih 4 tahun itu gemar berbagi pada temannya. Itulah yang menarik perhatian Tuan Frore untuk mengadopsi anak itu.“Nerissa mengetahuinya?” tanya Tuan Mauricio.“Ya. Aku me
Sebuah perjodohan antara Alarick dan Nerissa tak dapat dielakkan lagi. Kedua keluarga mereka sama-sama menginginkan perjodohan itu, namun tidak dengan Alarick begitupun Nerissa.Tak ada lagi cara yang dapat mereka lakukan untuk menghindari perjodohan tak masuk akal ini. Bahkan percobaan bunuh diri pun sudah Nerissa lakukan, dan apa hasilnya? Sebuah kegagalan.Hari yang seharusnya menjadi impian para pasangan, namun bagi Nerissa ini adalah awal dari kehancurannya. Seorang suami dengan harta melimpah yang tentu saja akan memenuhi kebutuhan finansialnya, tak menjadikan Nerissa luluh akan pria itu.Memang benar Nerissa telah mencintai pria itu sejak lama, namun bukan berarti dia akan menerima begitu saja sebuah perjodohan yang bahkan sangat tidak diinginkan oleh Alarick.“Bagaimana, Nona?” Seorang pelayan di sebuah butik menatap penuh harap pada Nerissa. Pelayan itu tentu saja menantikan sebuah jawaban positif dari seorang Nona Frore ini, ah akank
Pagi ini terasa begitu asing bagi Nerissa. Gadis cantik itu mengedarkan pandangannya. Ini bukan kamarnya, hanya itu yang terlintas di pikirannya sebelum akhirnya dia mengingat dengan jelas proses pengucapan janji yang mereka lakukan kemarin sore. Ya, Nerissa kini sudah menjadi seorang istri. Istri dari seorang Alarick Mauricio.Cinta pertamanya yang kini berhasil dia miliki sepenuhnya namun tidak dengan hatinya. Perlahan Nerissa melirik seseorang yang tidur dengan pulas di sampingnya. Alarick, pria itu terlihat lebih tampan saat tertidur seperti ini. Ya, mereka memutuskan untuk tidur di kamar yang sama mengingat orang tuanya bisa datang kapan saja.Mentari memang belum menampakkan dirinya, pantas saja jika pria di sampingnya ini masih tertidur begitu nyenyak. Tangan Nerissa terangkat untuk menyentuh pahatan indah di depan matanya sebelum dia mengurungkan niatnya.Alarick mengerjapkan matanya. Entah apa yang membuat pria itu terbangun. Apakah gerakan Neriss
Setelah keberangkatan Alarick ke kantornya, Nerissa tak membuang-buang waktu. Gadis itu segera bersiap-siap untuk pergi ke sebuah mini market. Keadaan lemari es yang begitu kosong membuat Nerissa berinisiatif untuk membeli beberapa bahan makanan.Tak banyak yang akan gadis itu beli. Langkahnya terhenti di sebuah rak sayuran. Tangan mungilnya bergerak dengan lincah memilih sayuran yang hendak dibelinya. Tak hanya itu, Nerissa juga ingin membeli beberapa daging dan telur.Walaupun makanan instan lebih menggiurkan, namun dia tahu jika itu tak baik untuk kesehatannya begitu pula dengan kesehatan Alarick.Nerissa memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan sesaat setelah kasir memberitahu total belanjaannya.“Apakah siang ini harus memasak?” monolognya dalam perjalanan pulang. Sebenarnya memasak bukan hal yang sulit, namun dia tak tahu apakah Alarick akan pulang siang ini atau tidak.Sesampainya di rumah, Nerissa bergegas menuju dapur dan
“Aku ingin ... ” belum sempat Alarick mengutarakan keinginannya, suara dering telepon berhasil mengalihkan perhatiannya. Dia juga semakin bersemangat saat melihat siapa orang yang menghubunginya di malam hari.Alarick beranjak dari tempat tidurnya dan meninggalkan Nerissa dengan segala rasa yang ada di hatinya. Dia benar-benar ingin menangis saat ini. Disaat dirinya akan terlelap, Alarick dengan santai menyuruhnya untuk tidak tidur. Sekarang dirinya sudah benar-benar terjaga dan lihatlah apa yang dilakukan Alarick padanya.Perlahan Nerissa bangkit dari duduknya. Dia mengendap menuju balkon kamarnya, niatnya hanya satu. Ya, menguping pembicaraan Alarick. Dia tahu tidak seharusnya dia melakukan hal ini, namun keinginan untuk mengetahui pembicaraan Alarick saat ini sangat besar.“Aku baik-baik saja, bagaimana kabarmu di sana?” Raut bahagia di wajah Alarick terlihat begitu ketara. Sudah bisa dipastikan siapa orang yang berbicara di seberang s
Alarick berpikir beberapa kali setelah Haleth bertanya demikian.“Kau tak memiliki perasaan lebih padanya, kan?” Pertanyaan itu terus saja berputar-putar di kepalanya.Kini mereka telah sampai di apartemen Haleth dan sejak percakapan tadi di mobil, mereka tak lagi mengeluarkan suara sedikitpun. Keadaan menjadi sangat canggung di antara mereka.“Terima kasih telah mengantarku,” ucap Haleth. Alarick menoleh seolah terkejut dengan perkataan Haleth yang tiba-tiba.“Ah iya sama-sama. Kalau begitu aku tak akan lama, masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan. Lain kali aku akan datang,” ujar Alarick. Pria itu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali.Haleth mengangguk mengijinkan Alarick untuk pergi dari sana. “Hmm baiklah, hati-hati di jalan.” Haleth melambaikan tangannya pada Alarick dan dibalas dengan lambaian pula oleh Alarick.Alarick kembali ke parkiran dengan berbaga
Nerissa tersenyum lebar dan menganggukkan kepalanya.“Menurutmu, apakah aku bisa bertahan sampai akhir?” tanya Nerissa. Kedua gadis itu mulai mendudukan dirinya di sofa yang tersedia di sana.“Apa? Dengan suamimu?” tanya Lovetta memastikan.Nerissa mengangguk lesu pertanda lagi-lagi ada masalah yang menimpanya.“Apa lagi yang dilakukan suamimu kali ini?” Melihat raut wajah Nerissa cukup membuat Lovetta yakin bahwa suaminya berulah lagi.“Pagi ini aku melihatnya tersenyum,” ujarnya. Lovetta mengerutkan dahinya.“Lalu di bagian mana kesalahan suamimu?” tanya Lovetta heran.“Tak biasanya dia tersenyum selebar itu. Kau tahu apa jawabannya saat aku bertanya?”“Apa?”“Dia bilang, dia sedang membaca sebuah berita online di ponselnya. Lalu bagian berita yang mana yang berhasil membuatnya tersenyum selebar itu?” Nerissa menyandarkan ba
Semesta seakan tak rela melihat kebahagiaan Nerissa. Baru saja beberapa hari lalu sikap Alarick sedikit menghangat padanya, kini pria itu terasa kembali berbeda.Sejak matahari muncul pagi ini, pria itu terus saja sibuk dengan ponselnya. Telepon yang masuk setiap satu jam sekali dan jangan lupakan notifikasi pesan yang seakan tak ada hentinya.“Ada apa sebenarnya dengan ponselmu?” tanya Nerissa geram. Dia bahkan tak kunjung menyentuh makanannya karena notifikasi sialan itu.“Bukan apa-apa. Hanya notifikasi berita saja,” jawab Alarick.“Sejak kapan kau gemar membaca berita di ponselmu dan dengan senyum mengembang itu?” sindir Nerissa. Kalian tahu sudah berapa lama Nerissa mengagumi Alarick. Gadis itu juga tahu dengan pasti apa saja kebiasaan suaminya ini dan membaca berita online bukanlah tipe suaminya.Entah sadar atau tidak, Alarick memudarkan senyumannya. Pria itu juga baru menyadari jika dia tersenyum beberapa
Setelah hari di mana Alarick membawa Nerissa ke rumah sakit, kini hati Nerissa benar-benar tak tenang. Dia takut Alarick akan mengetahui semuanya. Kalimat yang dia tulis dalam novelnya benar-benar hancur karena pikirannya yang bercabang. “Nerissa aku mau mandi.” Ucapan seseorang membangunkan Nerissa dari lamunannya. Nerissa menatap suaminya yang baru saja pulang kerja. “Ah iya, sebentar akan aku siapkan air hangat.” Nerissa beranjak dari kursi kerjanya. Ya, beberapa hari lalu Alarick menyiapkan sebuah meja kerja khusus Nerissa. Nerissa sudah menolak, namun Alarick tetap mamaksa hingga akhirnya meja itu berada di kamarnya dengan Alarick. Beruntunglah kamar mereka luas, jadi masih banyak ruang yang tersisa di sana. Alarick memang ahli dalam berbenah, namun semenjak ada Nerissa, apartemennya terlihat lebih bersih dan tertata. Alarick memuji kemampuan Nerissa dalam hal berumah tangga. “Sudah selesai.” Nerissa kembali ke kamar setelah seles
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukannya. Kau tahu jika aku mengatakan yang sebenarnya apa yang akan terjadi,” bujuk Alarick sambil berjalan menjauh dari sana. Dia khawatir Nerissa akan mendengar apa yang dia bicarakan. Pria jangkung itu memindahkan ponselnya ke telinga sebelah kiri. Terdengar helaan napas dari seberang sana. “Baiklah, aku akan tutup teleponnya,” ucap Haleth. Sebenarnya dia tak terlalu keberatan Alarick memanggilnya apa, namun dia merasa harus melakukan itu agar Alarick percaya bahwa dirinya masih menyayangi Alarick. Alarick menjauhkan ponselnya dari telinga. “Siapa?” tanya Nerissa. Alarick sedikit terlonjak dengan kedatangan Nerissa yang tiba-tiba. “Bukan siapa-siapa, hanya rekan bisnis,” ucapnya. Sebenarnya dia bisa saja memberitahu Nerissa bahwa dirinya masih berhubungan dengan Haleth, hanya saja dia takut gadis itu akan mengadu kepada Ayahnya. Nerissa mengangguk paham. “Kau akan pulang sekarang?” tanya Neris
Setelah berhasil mendapatkan apa yang diinginkannya, Nerissa mulai menghubungi satu persatu kontak yang diberikan Lovetta. Dia memang tak berharap banyak pada cara ini, namun tak salah juga jika dia mencoba. Nerissa tak mau mengambil resiko jati dirinya diketahui oleh orang-orang media, maka dari itu dia memakai nomor ponsel lama yang sudah jarang dia pakai. Dia juga tak menelpon tetapi mengirimkan sebuah pesan. Seperti yang kalian tahu jika Nerissa adalah seorang penulis, maka pesan yang dia kirim juga merupakan rangkaian kata yang sepertinya cukup meyakinkan untuk menghentikan skandal Alarick. “Satu persatu sudah selesai,” ucap Nerissa. Memang membutuhkan waktu lama, namun dengan sabar Nerissa mengurusnya satu persatu. “Sayangnya aku gagal meyakinkan stasiun berita yang sangat berpengaruh di Negeri ini,” lirihnya. Sepertinya untuk yang pertama kalinya dia tak bisa membantu Alarick menyelesaikan masalahnya. Nerissa kembali memutar ota
“Kau? Sedang apa kau di sini?” Seseorang masuk begitu saja ke dalam ruangan Tuan Frore. “A-Aku sedang berbicara dengan Ayahmu,” jawab Alarick. Pria itu sedikit tergagap karena kedatangan istrinya yang tiba-tiba. “Kau sendiri sedang apa di sini?” lanjut Alarick. “Ada sesuatu yang harus aku bicarakan dengan Ayahku.” Nerissa memandang ayahnya angkuh. “Ah, kalian duduklah. Kita bicarakan ini baik-baik,” ucap Tuan Frore. “Aku tak akan berbicara bertiga di sini. Urusanku hanya denganmu bukan Alarick,” sarkas Nerissa. Alarick yang mengerti dengan maksud Nerissa segera beranjak dari sana. “Kalau begitu aku pamit, Ayah,” pamit Alarick pada Tuan Frore. “Baiklah. Kapan-kapan mainlah lagi ke sini,” jawab Tuan Frore. Alarick mengangguk dan segera meninggalkan ruangan tuan Frore. “Apa yang membawamu ke sini?” tanya Tuan Frore setelah memastikan Alarick pergi dari sana. “Aku hanya ingin memberitahumu bahwa aku
Pecakapannya dengan tuan Mauricio satu hari lalu selalu saja terngiang dalam telinganya. Sebenarnya apa yang dipertanyakan tuan Mauricio juga menjadi pertanyaannya.“Apakah keputusan yang tepat, aku menikahkan putriku dengan Alarick?” Tuan Frore termenung sejenak di meja kerjanya.“Bukankah aku sudah mengambil keputusan yang tepat,” lanjutnya.Pikirannya melayang ke masa lalu, di mana putrinya, Nerissa masih mengenakan seragam putih abu yang sangat cocok di badannya.***Gadis dengan rok abu di atas lutut itu berlari memasuki sekolahnya dengan tangannya yang masih setia menggenggam tali tasnya.Nerissa, gadis manis itu terus menyusuri lorong sekolah untuk sampai di kelasnya, namun langkahnya terhenti di depan ruang guru. Nerissa mendekatkan telinganya pada pintu untuk mendengar pembicaraan serius orang yang ada di dalam.“Aku tak bisa membiarkanmu mengikuti turnamen
“Setidaknya kau bilang padanya, bukannya membiarkan orang berharap atas kedatanganmu!” Emosi Lovetta sudah tak terbendung. Awalnya dia akan membiarkan Nerissa yang mengurus rumah tangganya sendiri. Lovetta tahu dia tidak berhak ikut campur dalam rumah tangga seseorang, tapi sahabat mana yang kuat melihat sahabatnya sendiri diperlakukan seperti itu terlebih oleh suaminya sendiri. “Aku tahu. Bisakah kau pergi dari sini? Aku akan menyelesaikan ini dengan Nerissa,” ucap Alarick. Pria itu terlihat sangat tenang setelah mengabaikan janjinya untuk menjemput Nerissa. Tanpa menjawab, Lovetta mengambil kasar tas selempangnya yang tergeletak di kursi. “Aku pergi, jaga dirimu baik-baik.” Di akhir kalimatnya, Lovetta menatap netra Alarick dengan tajam. Nerissa mengangguk meyakinkan Lovetta bahwa dia akan baik-baik saja. “Kenapa kau tak menghubungiku? Kau ingin menghancurkan namaku?” sarkas Alarick. Mungkin maksudnya adalah, jika publik sampai tahu