"Allah memberikan karunia pada seorang firasat, saat suaminya salah jalan. Firasat seorang istri tak pernah salah."
Pukul 01.00
Raline terjaga dari tidurnya. Ia pun melirik ke arah jam dinding. Sudah larut malam, suaminya belum juga tidur disampingnya.
"Mas Galih kok nggak ada ya?Pasti masih kerja deh. Kasihan suamiku, gara-gara aku berhenti kerja, bebannya jadi semakin berat," gumam Raline.
Raline pun turun dari ranjang dan melihat suaminya di ruang kerjanya. Raline perlahan masuk dan melihat Galih tertidur di kursi. Tiba-tiba ponsel milik Galih berbunyi.
"Ponselnya masih aktif jam segini? Jangan-jangan lagi ada masalah lagi di kantor," ucap Raline.
Raline pun hendak membuka ponsel Galih, takut jika ada pesan yang penting. Saat tangannya nyaris mengambil ponsel sang suami, Galih terjaga dari tidurnya dan merampas ponselnya. Entah mengapa, ia marah besar.
"Raline, kamu ngapain?" ujar Galih dengan nada sedikit tinggi.
"Nggak, Mas. Ponsel kamu bunyi terus dari tadi. Aku takut kamu ada masalah di kantor," jawab Raline.
"Kamu ngecek-ngecek ponselku?" Nada suara Galih semakin tinggi.
"Nggak, Mas. Aku cuma khawatir ada pesan penting dari kantor. Itu aja kok," terang Raline.
Galih menghela nafas
"Sayang, maafin aku ya jadi marah-marah sama kamu. Tadi di kantor banyak banget kerjaannya. Maafin aku ya." Galih pun merangkul Raline untuk menutupi kesalahannya.
Raline pun tersenyum
"Mas, apa nggak sebaiknya aku balik kerja aja? Jadikan aku bisa ngeringanin beban kamu," pinta Raline.
Wajah tiba-tiba berubah
"Lagi punya mainan baru gini Raline malah mau balik kerja. Nanti harus bagi-bagi kerja rumah tangga dong. Mana ada waktu buat chating-chatingan," batin Galih.
Galih pun mengenggam tangan Raline, "Sayang, aku tahu banget, kamu pasti mau merawat Austin sendiri kan? Biar aku aja yang kerja. Kamu di rumah aja. Kamu urus anak kita."
Raline pun tersenyum, "Alhamdulillah kalau gitu.Kamu tuh pengertian banget. Makasih ya, Sayang."
"Iya, Sayang," ujar Galih memeluk Raline erat.
"Dan ini hadiah buat suami yang pengertian,. Cewek-cewek cantik," batin Galih.
****
Kantor Galih
Di ruang kerjanya, Galih pun berteriak memanggil Dion saat sahabatnya itu berjalan melewati ruang kerjanya.
"Dion, sini." Galih pun menghampiri sahabatnya itu yang berdiri di depan pintu.
"Ada apaan lu manggil gua?" tanya Dion heran.
"Lihat nih, gue baru buat akun sosmed. Nah, yang ini lebih cantik kan daripada yang ada di akun lu?" kata Galih berbangga.
"Ah, itu mah kenalan b**a-basi doang. Belum tentu mereka mau diajak lanjut sama lu," kata Dion tertawa.
"Ajak lanjut gimana maksudnya?" tanya Galih heran.
"Ajak kopi darat dong. Ajak salah satu di antara mereka ketemuan. Berani nggak lu?" ledek Dion pada sahabatnya itu.
"Emang lu pernah ketemuan sama mereka?" tanya Galih penasaran.
Dion tertawa, "Bukan pernah lagi. Gue malah sering ketemu mereka."
"Ya udah deh, nanti gue pilih deh yang paling cantik, gue ajak ketemuan," pungkas Galih.
"Ya udah, selamat berjuang!" Dion pun tertawa dan kembali ke ruang kerjanya.
Galih pun mulai menscroll ponselnya itu dan memilih seorang wanita untuk diajaknya ketemuan.
****
Be Cafe pukul 17.00
Seorang gadis cantik dengan paras oriental sedang menunggu Galih di sebuah meja. Galih yang baru datang, langsung menghampiri teman kencannya itu.
"Mas Martin, Hai," panggil gadis bernama Lani yang melambaikan tangannya saat melihat Martin alias Galih.
"Hai, maaf ya, agak sedikit telat. Soalnya tadi masih ada urusan di kantor," ujar Galih.
Lani pun tersenyum, "Nggak apa-apa, Mas kayaknya sibuk banget deh."
"Nggak juga," ujar Galih tertawa. Ia pun mempersilakan teman kencannya itu kembali duduk.
"Kayaknya jabatannya tinggi nih di kantor," kata Lani tertawa.
"Nggak."
Galih dan Lani pun tertawa.
"Benar juga kata Dion, aku serasa bujangan kalau kayak gini," batin Galih.
"Mas Martin, kamu lebih ganteng lo dilihat aslinya daripada difoto," puji Lani membuat Galih tertawa.
"Aku senang banget lo kenal sama kamu," ujar Lani tertawa.
Martin alias Galih pun tertawa, "Aku juga senang banget kenal sama kamu. Kamu terlihat lebih cantik daripada di sosial media."
"Mas Martin bisa aja deh." Lani pun tersipu malu.
Gawai Galih berbunyi
Galih pun mengambil ponsel disaku celananya dan terlihat nama Raline memanggil.
"Raline ngapain sih nelepon-nelepon?" batin Galih panik. Ia pun mereject panggilan dari Raline.
****
Keesokan hari, saat sarapan
"Mas, sarapan dulu, Mas," panggil Raline yang sedang mempersiapkan sarapan di meja makan.
"Aku langsung berangkat ya. Soalnya aku ada meeting hari ini," kata Galih berpamitan.
"Loh, kamu nggak sarapan dulu? Nanti kamu sakit, Mas," bujuk Raline.
"Aku ngopi aja deh." Galih pun mengambil kopi yang sudah tersedia di meja makan.
Dengan wajah heran, Raline mencium dengan takjim tangan suaminya.
"Assalamualaikum," pamit Galih.
"W*'alaikumsalam," jawab Raline.
Raline pun bingung
"Mas Galih kenapa ya. Kok berubah banget?!"
Malam hari pukul 20.00
Di ruang kerjanya, Galih asyik berselancar di dunia maya. Chatting dengan teman-teman wanitanya. Tidak ada lagi waktu berbicara dengan Raline atau sekadar bercengkerama dengan Austin, buah cintanya yang belum genap berusia 3 bulan.
Galih berpura sibuk dengan berkas-berkas kerjanya saat Raline masuk membawakan secangkir kopi dan cemilan untuk menemani suaminya yang masih sibuk bekerja.
"Mas, ini kopi sama cemilannya," ujar Raline yang menaruh kopi dan cemilannya di meja.
"Iya, taruh aja disitu ya," ujar Galih tanpa menoleh ke arah Raline yang berdiri dihadapannya dan bingung dengan perubahan sikap suaminya.
"Mas Galih kayaknya sibuk banget sampai nyuekin aku kayak gini." Sesaat Raline menatap, Galih tetap tak peduli. Ia sibuk menatap laptopnya. Raline pun keluar dari ruang kerja Galih.
Ponsel Galih berdering
Galih pun mengambil ponsel yang tergeletak dimeja. Wajahnya berubah sumringah saat ia melihat notifikasi seorang wanita cantik mengajaknya kenalan. Sesaat Galih melihat foto profil akun bernama Zakiya.
"Cantik juga nih cewek," gumam Galih.
Galih pun akhirnya sibuk membalas chat teman wanitanya itu.
****
Esok malam pukul 21.00
Di dalam kamar
Suara petir menggelegar. Hujan sangat deras malam ini. Raline menatap ke arah luar dari balik jendela. Hati tak menentu, galau melanda memikirkan perubahan sikap Galih.
"Ya Allah, kenapa perasaanku nggak jadi karu-karuan seperti ini? Aku merasa hubunganku dengan Mas Galih semakin merenggang. Bahkan dia udah nggak perhatian lagi sama Austin. Ada apa ini ya Allah?"
Raline mengambil foto pernikahannya dengan Galih yang tergeletak di sisi ranjang. Raline menatap sendu foto itu.
"Kamu kenapa sih sama aku, kenapa kamu berubah? Apa kamu sudah bosan sama aku? Atau ada orang lain di luar sana?!" lirih Raline.
"Astagfirullah. Nggak! Jangan sampai." Raline menghela nafas panjang.
Bulir bening jatuh dipelupuk mata Raline.
Cafe Millanie
Galih kembali bertemu dengan teman wanitanya di sosial media. Gadis berpenampilan sexy itu bernama Key. Keduanya bercengkerama tertawa lepas seolah telah lama saling mengenal dan dekat.
Di rumah Raline
Raline yang masih gamang, menengok Austin yang tertidur pulas diranjang. Raline pun kaget saat mengecek kondisi Austin yang ternyata demam tinggi.
"Ya Allah, Nak, kenapa badan kamu panas begini? Ya Allah."
Raline yang panik, mencoba menghubungi Galih berkali-kali tetapi Galih tidak juga menggubris, karena sedang asyik berkencan dengan Key.
Cafe Millanie
Wajah Galih berubah kesal, saat ponselnya berdering dan nama Raline memanggil.
"Mas, kok nggak dijawab? Telepon dari siapa? Dari istri kamu ya?" cecar Key yang curiga.
"Istri? Aku ini kan masih bujangan," jawab Galih tertawa.
"Ini sekretaris aku. Emang dia suka nggak tahu waktu kalau nelepon," ujar Galih tersenyum.
"Oohh." Key pun tersenyum. Ia mempercayai alasan Galih.
Rumah Raline
"Aku nggak bisa nunggu lama lagi. Aku harus cepat-cepat bawa Austin ke dokter," gerutu Raline.
"Kok dimatiin sih, Mas? Nanti kalau ada yang penting gimana?" selidik Key.
"Ya karena nggak ada yang lebih penting selain kamu," ujar Galih merayu teman kencannya itu.
Key pun tersipu malu, "Ah, Mas Martin bisa aja deh ngerayunya."
Galih tersenyum, "Aku nggak mau ada yang ganggu. Karena dihadapan aku ada bidadari cantik."
"Gombal deh, Mas," ujar Key tertawa, Galih pun ikut tersenyum.
Derasnya hujan mengiringi kepergian Raline menuju rumah sakit. Langkahnya gontai di bawah derasnya hujan. Ia belum juga menemukan taksi yang lewat.
"Ya Allah, kenapa nggak ada taksi yang lewat sih? Taksi online juga nggak ada. Mana Austin makin panas lagi. Sabar ya, Nak, kita ke rumah sakit biar Austin cepat sembuh," lirih Raline menatap Austin yang tertidur dalam selimutnya.
Di seberang jalan, ada Galih dan Key berjalan menggunakan payung. Sangat romantis, berpegangan tangan.
"Coba ada Mas Galih, dia pasti akan ngelindungin aku kayak gitu," gumam Raline.
"Kamu di mana, Mas?" batin Raline.
Setelah berjalan cukup jauh, Raline akhirnya menemukan taksi. Ia pun bergegas naik untuk segera sampai di rumah sakit.
Sesampainya di rumah sakit, Austin segera ditangani di ruang UGD. Kata dokter, Austin mengalami demam berdarah dan harus segera dirawat. Setelah diberikan penanganan pertama, Austin pun dipindahkan ke ruang perawatan khusus anak.
Galih sampai di rumah
Galih pun sampai di rumah. Ia masuk ke dalam rumahnya.
"Aku harus kelihatan capek banget nih habis lembur nih supaya Raline nggak curiga," pikir Galih.
Namun, tampak berbeda, semua lampu masih menyala padahal jam sudah menunjukkan pukul 03.30 dini hari.
"Kok kayak nggak ada orang ya? Udah hampir subuh gini lampu masih nyala semua," gumam Galih. Ia pun menaruh tas kerjanya dimeja makan dan ia mengecek ponselnya yang mati sejak tadi.
"Waduh, aku nggak sadar ponselnya mati dari tadi. Ada panggilan tak terjawab 10x dari Raline. Ada apa sih?" Galih mulai panik.
[Mas, Austin di rumah sakit]
Galih kaget saat membaca pesan Raline yang dikirimnya sejak tadi.
"Astagfirullah, Austin sakit. Maafin Papa, ini semua gara-gara Papa ngedate.Aduh." Galih pun merasa bersalah.Ia bergegas menyusul ke rumah sakit.
Rumah sakit Husada
"Cepat sembuh ya, Nak, Mama sayang banget sama kamu," ujar Raline yang berusaha menenangkan Austin yang sejak tadi rewel.
Raline mengambil ponsel disakunya, "Mas Galih ke mana sih? Sampai sekarang nggak ada kabar. Benar-benar keterlaluan!" gerutu Raline. Ia pun kembali memasukkan ponselnya ke saku.
Galih pun sampai
"Raline, Raline! Austin kenapa, kok bisa dirawat begini?" ujar Galih yang panik.
"Sayang ...." Galih mengelus kepala Austin.
"Kamu darimana, Mas?" selidik Raline yang matanya sudah sembab karena menangis sejak tadi.
"A-aku, aku lembur di kantor," jawab Galih terbata.
"Aku nggak sadar handphone kumati sampai lowbat. Maafin aku ya," ujar Galih yang menyadari kesalahannya.
"Sayang," panggil Galih pada Austin.
"Aku mau bicara sama kamu di luar!" Raline pun mengajak Galih ke luar setelah menitipkan Austin pada suster jaga.
Raline dan Galih di ruang tunggu
"Mas, kamu kenapa sih berubah banget? Kamu nggak lagi perduli sama urusan rumah. Bahkan kamu sekarang jarang di rumah," cecar Raline.
"Aku tuh sibuk. Cari uang untuk keluargaku.Aku tuh udah kayak palugada di kantor," jawanmb Galih ketus.
"Sesibuk-sibuknya kamu, harusnya kamu tetap perhatiin anak kita. Berapa hari ini kulihat kamu sama sekali nggak perhatian sama Austin. Apa ada sesuatu di luar Mas, yang menyebabkan kamu nggak perhatian sama anak kita?" cecar Raline yang memberondong pertanyaan pada Galih. Galih pun tersudut.
"Astagfirullah. Kok kamu tega sih ngomong kayak gitu sama aku? Nggak mungkinlah aku kayak gitu. Aku tuh sayang banget sama Austin.
"Mas, aku tuh hanya tahu apa yang kulihat.Mas, aku tahu suami adalah ladang amal buat istri, aku sangat mensyukuri semua kelebihan kamu, begitupun kekuranganmu, aku akan bantu memperbaikinya. Tapi gimana aku bantu memperbaiki, kalau kamunya nggak pernah ada!" pekik Raline berurai air mata.
"Ya Tuhan! Aku sadar udah salah dan kelewatan. Aku benar-benar malu sama diriku sendiri, tapi aku nggak mungkin jujur sama Raline. Nanti dia bisa merendahkan aku," batin Galih.
"Kamu dengar aku kan, Mas!" bentak Raline.
"Raline, kamu nggak bisa sudutkan aku begini. Kamu juga harus introspeksi diri. Kamu itu nggak becus ngurus anak, ngurus rumah tangga, Aku capek pulang kerja, rumah berantakan, kacau balau. Aku capek cari uang. Capek cari uang buat kalian, ngerti nggak?!" Galih pun berbalik marah, menutupi kesalahannya.
"A-aku dan Austin bukan hanya butuh materi. Tetapi kami butuh kamu ada di rumah!" ujar Raline dengan nada tinggi.
"Raline .... "
bersambung ....
"Raline, kamu nggak bisa sudutkan aku begini. Kamu juga harus introspeksi diri. Kamu itu nggak becus ngurus anak, ngurus rumah tangga, Aku capek pulang kerja, rumah berantakan, kacau balau. Aku capek cari uang. Capek cari uang buat kalian, ngerti nggak?!" Galih pun berbalik marah, menutupi kesalahannya."A-aku dan Austin bukan hanya butuh materi. Tetapi kami butuh kamu ada di rumah!" ujar Raline dengan nada tinggi."Raline .... "Galih dan Raline menengok ke arah wanita paruh baya itu. Wanita yang tidak lain adalah Ibu Galih, Nyonya Mira yang marah karena putra kesayangannya itu dimarahi istrinya.Raline dan Galih terperanjat dengan kehadiran ibu mereka. "Kamu kenapa sih terlalu menuntut suami kamu terus kayak begini?!" Wajah Bu Mira terlihat sangat kesal dengan kemarahan menantunya."Bu, Ibu kok ada di sini sih, Bu?" tegur Galih."Ya Ibu mana bi
Malam hari 21.30Setelah pulang dari kantor dan makan malam, Galih masuk ke dalam ruang kerjanya. Raline ya percaya saja, ditambah pintu pun dikunci Galih.Di dalam ruang kerjanya, Galih berbaring di atas sofa, dan mengambil gawainya. Ia kembali membuka akun sosial medianya dan chatting dengan semua wanita teman dunia maya."Ini pada agresif banget sih hari ini. Ngajak ketemuan. Ketemuan di hotel bintang 5?Bisa jebol dong dompet. Nggak ah!"Galih says"Nah, ini ngajak ketemuan juga nih. Minta beliin sepatu? Nih, apa-apaan sih? Pada minta kayak gini?! Wah, bisa kalah taruhan sama Dion nih?!Hancur dong harga diri aku. Padahal kan kalau gue menang kan bisa dapatin mobil dia. Kalau aku kalah taruhan,bisa-bisa dia ngeledekin gue terus kalau gue suami takut istri. Tapi kalau gue pakai uang gaji untuk beli permintaan cewek-cewek ini, bisa ketahuan Raline dong?!" 
Keesokan harinya"Raline, kamu kemarin kan janji mau bantu biaya renovasi rumah. Ingat nggak? Nah, sekarang Ibu harus bayar. Cuma 5 juta aja kok, ada kan?" tutur sang ibu mertua, membuat Raline kembali pusing."Maaf, Bu, sekarang uangnya belum ada. Kalau minggu depan gimana?" ujar Raline memelas."Kamu ini gimana sih?! Mana bisa tukang-tukang itu nunggu! Kalian itu kan udah lama berumah tangga, masa nggak ada sih tabungan sedikitpun?" ujar Ibu Galih yang langsung memarahi dan mencaci sang menantu.Raline hanya terdiam"Ya Allah, aku nggak mungkin membuka aib Mas Galih, kalau lagi ada masalah dikantornya. Aku pasrah aja deh dimarahi sama Ibu," batin Raline yang tertekan."Kalian tuh pasti boros ya? Masak gaji segitu nggak cukup. Pokoknya Ibu nggak mau tahu ya, siapin uangnya untuk bayar tukang-tukang itu. Dengar ya!" ujar Ibu Galih dengan nada tinggi dan wajah ketu
Rumah sakit HusadaDi dalam kamar perawatan, Galih mengajak ngobrol Austin, yang masih terbaring lemah. Wajahnya sendu, seolah paham apa yang dikatakan sang ayah."Austin, cepat sembuh ya. Nanti Ayah ajak jalan-jalan ya," ucap Galih sambil mengelus kepala sang putra.Raline dan Ibu Galih hanya menatap nanar dari sofa."Yang tahu emas aku ada di mana, cuma aku dan Mas Galih. Apa mungkin, Mas Galih yang menukar emasku dengan perhiasan imitasi? Haa ... kalau iya, kenapa Mas Galih setega itu membohongi aku?" batin Raline.Ibu Galih pun bangkit, ia menghampiri sang putra yang nampak lelah karena sepulang dari kantor, harus ke rumah sakit lagi."Galih, Raline, sebaiknya kalian pulang saja. Biar malam ini, Ibu yang menjaga Austin di sini. Tapi, besok gantian ya," saran Ibu Galih yang kasihan melihat anak dan menantunya itu kelelahan."Jangan, Bu
"Andai Ibu tahu kecurigaanku selama ini sama Mas Galih."Ibu Galih itu akhirnya duduk disamping Raline."Ohya, tadi dokter sempat ke sini. Dia bilang, kondisi si Austin sudah membaik dan melewati masa kritis," ungkap nenek Austin itu tersenyum."Alhamdulillah ya, Bu. Kondisi Austin udah mulai stabil," ujar Raline tersenyum bahagia."Iya, alhamdulillah.""Bu, Raline ijin pulang dulu ya lihat rumah. Ibu ada yang mau dititip nggak?" tanya Raline."Ibu nggak perlu apa-apa. Ya udah, kamu pulang aja. Siapa tahu Galih ada perlu apa-apa," kata ibu mertuanya itu yang mulai mereda amarahnya."Kalau gitu, Raline permisi ya, Bu." Raline pun mencium dengan takjim tangan ibu mertuanya.Sebelum membuka pintu, Raline melirik ke arah ibu mertuanya yang sudah kembali duduk dikursi samping ranjang, me
"Seorang istri mampu bertahan dengan kekurangan suaminya. Tetapi, seorang istri tidak mampu bertahan, di saat suaminya tidak setia."Raline hancur. Hatinya patah. Suami yang dianggapnya setia. Suami yang dikenalnya sebagai laki-laki yang sangat mencintai keluarga, ternyata berkencan dengan banyak wanita di dunia maya."Apa aku buat akun sosmed juga?" gumam Raline dikamarnya. Ia pun mengambil ponsel pintar miliknya.Raline mulai mengotak-atik, hingga akhirnya, Raline pun mulai membuat akun dengan nama fake.Setelah aku fake itu dibuat, demi mengetahui sepak terjang sang suami, Raline pun meminta pertemanan pada Martin alias Galih."Aku harus tahu, siapa aja teman-temannya dan apa isi akunnya itu?" batin Raline. Hatinya menangis perih."Mas Galih mengaku bujangan?Ya Allah .... " lirih Raline."Semua teman wanitanya sepertinya terpesona dengan Mas Galih. Ya Allah, kua
Pagi itu Galih sangat bersemangat datang ke kantor karena ia ingin menceritakan perkenalannya dengan Bella. Wanita cantik dan memikat hatinya yang baru ia kenal di sosial media."Dion, gue baru kenalan dengan cewek cantik," sapa Galih saat melihat Dion sedang berjalan memasuki pelataran gedung perkantoran mewah itu.Dion tertawa melihat sahabatnya itu penuh semangat menceritakan teman chatingnya itu."Bukan cuma itu, Dion. Hobi kami berdua itu sama. Apa yang gue suka, dia juga suka. Kayaknya gue jodoh ini," ucap Galih tertawa menepuk pundak Dion.Dion tertawa terbahak-bahak"Haduh, Galih, Galih. Semua cewek lu bilang jodoh. Eh, ingat ya, Lih! Kita itu di sosmed cuma cari pacar, nggak lebih.""Iya, gue ngerti. Tetapi, kali ini, benar-benar beda. Gue kayak ngerasain gimana ya ... tiap gue ngechat sama dia, dia itu kayak soulmate gue," dalih Galih.Dion
"Maaf, Mas, tetapi aku nggak bisa lagi percaya sama kata-kata kamu. Aku mau kita pisah!" ucap Raline tegas.Galih pun syok. Begitupun dengan Nyonya Amira, Ibu Galih."Line, aku mohon. Jangan kamu bilang pisah sama aku, Raline," pinta Galih memohon agar istrinya itu mau memaafkannya."Aku mohon. Tolong kasih kesempatan aku, tolong ...." jerit Galih.Galih tidak pernah menyangka jika permainan keisengannya di dunia maya justru menghancurkan rumah tangganya. Raline tetap bersikeras bercerai. Ia tidak lagi bisa memberi kesempatan pada suami yang telah mengkhianatinya."Mas, maafin aku, Raline ....""Aku sudah memaafkan kamu. Tetapi, untuk menjalani rumah tangga lagu bersama kamu, aku minta maaf. Aku nggak bisa, Mas," jawab Raline tegas dengan keputusannya."Jadi mulai saat ini, kita jalani saja hidup kita masing-masing!" pinta Raline tegas. Tanpa airmata
Hari itu Lexy pun menyiapkan semuanya. Setelah semua kejahatan yang pernah dilakukannya di masa lalu pada Raline dan Hamid, Lexy ingin menebusnya dengan membahagiakan kedua kakaknya malam ini.[Mas, nanti kamu sama Raline datang sama Austin ke Cafe D'cante jam 20.00 ya. Aku tunggu.]Setelah mengirimkan pesan ke nomor Hamid, Lexy pun melanjutkan semua persiapan agar tampil sempurna. Surprise malam ini, dia persembahkan tepat di hari anniversary Raline dan Hamid.Beberapa jam berlaluMobil yang dikendarai Hamid pun sampai di pelataran cafe mewah itu. Raline pun sudah turun dan duduk di atas kursi rodanya, ditemani oleh Austin."Mas, kamu saja yang masuk ya. Aku menunggu di mobil saja," ungkap Raline yang merasa tidak percaya diri sejak duduk di atas kursi rodanya."Sayang, kamu nggak boleh gitu. Kasihan dong sama Lexy, dia undang kita berdua, bukan hanya aku kan?!" bujuk Hamid. Raline akhirnya setuju d
Sejak Hamid memutuskan kembali ke Indonesia, praktis Lexy maupun kedua orang tuanya tidak pernah lagi bertemu dengan putra sulung kebanggan Tuan Amran.Masa-masa yang pernah dirasakan Lexy bersama Hamid dulu menorehkan banyak kenangan. Tanpa sepengetahuan sang Mami, Lexy pun berangkat ke Jakarta untuk memberi surprise untuk kakak dan kakak iparnya itu."Lexy, berapa lama kamu di Singapura?" tanya Marissa saat mengantar putra kesayangannya itu di bandara."Mungkin satu atau dua Minggu, Mi. Ya kalau udah selesai secepatnya aku pasti pulang. Mami sama Papi jangan terlalu capek ya," pesan Lexy.Setelah mendengar informasi akan keberangkatan pesawat, Lexy pun berpamitan pada kedua orang tuanya. Langkahnya pun cepat menaiki tangga pesawat."Maafkan aku, Mi. Aku terpaksa berbohong. Tapi, aku sudah merindukan Mas Hamid. Aku harus memberikan ini langsung padanya. Ini haknya. Bukan milikku," gumam Lexy dalam hatinya.
Sisil dalam sebuah dilema. Persahabatannya dengan Raline sedang dipertaruhkan. Rumah tangganya dengan Zayn pun bisa goyah jika ia jujur tentang perasaannya.Sisil mencintai Hamid, ya itu memang benar. Namun, itu hanyalah masa lalu. Sisil pun sudah mengikhlaskan semuanya. Baginya, persahabatannya dengan Hamid dan Raline jauh lebih berharga dari rasa cintanya."Katakan yang sebenarnya Sisil. Kenapa kamu diam?!" cecar Dion.Zayn dan Hamid menatapnya tajam. Raline pun menunggu jawaban dari pertanyaannya. Namun, akhirnya Sisil memilih jujur tentang semuanya."Oke, aku akan jujur tentang semuanya," ungkap Sisil memulai pembicaraan."Dion benar. Aku memang mencintai Hamid. Tapi itu dulu. Sekarang aku hanya mencintai Zayn, dia suamiku.""Perlu kalian tahu, jauh sebelum aku menikahi Zayn, aku sudah mengikhlaskan Raline dan Hamid menikah. Karena aku tahu,mereka saling mencintai dan aku ingin melihat Raline bah
Andre yang terkejut dengan kedatangan Dion dan Nyonya Amira pun langsung menarik paksa keduanya keluar dari ruangan. Andre tidak ingin semua rencana yang sudah disusunnya dengan rapih jadi berantakan."Mau apa kalian ke sini?" pekik Andre saat menarik Dion kasar ke teras rumah. Menjauh dari perkumpulan sahabatnya."Lepaskan tanganku, Andre!" bentak Dion."Ingat, Andre. Aku ini Kakakmu!" hardiknya yang langsung hendak memukul Andre tapi dicegah Nyonya Amira."Stop! Jangan kayak anak kecil kalian!" bentak Amira.Kedua kakak beradik itu hanya terdiam saat ibu tirinya memisahkan pertengkaran itu. Sesungguhnya Amira hanya memanfaatkan Dion dan Andre demi dendamnya pada Raline."Kita di sini satu team. Nggak seharusnya kalian berdua ribut begini Nanti kalau mereka dengar, gimana?" bentak Nyonya Amira."Andre, apa rencana kamu selanjutnya?" tanya Amira berbisik Andre pun berbi
Hamid yang tidak ingin kembali ada pertengkaran dengan kedua orang tuanya akhirnya mengalah. Setelah pamitan dengan sang Papi yang selama ini sudah begitu menyayanginya, Hamid pun tetap berusaha menghormati Maminya."Nggak usah. Lebih cepat kamu pergi, itu lebih baik!" ketus Nyonya Marissa saat Hamid hendak mencium tangannya dengan takjim.Tuan Amran pun menegur istrinya itu tapi Marissa tak perduli. Ia tetap dengan kekerasannya. Tuan Amran pun menggendong Austin dan mencium kening anak lelaki Raline yang sudah dianggapnya cucu itu. Tuan Amran pun mencium kening Raline. Pelukan hangat orang tua yang dirindukannya itu kini didapat Raline. Andre pun begitu haru menyaksikan kebahagiaan Raline, walau hanya sesaat.Saat hendak beranjak meninggalkan rumah mewah itu, tiba-tiba suara teriakan pria yang memanggil nama Hamid dengan keras membuat langkah Hamid terhenti."Tunggu, Hamid!" panggil Lexy.Hamid pun
Marissa tetap dengan keputusannya. Ia menekan suaminya untuk memilih antara ia dan Lexy ataukah memilih mempertahankan Hamid dan Raline. Cara jitu Marissa seperti berhasil. Ia tahu bagaimana karakter Hamid yang diurusnya sejak kecil."Mami, Papi, dengarkan aku," cegah Hamid saat kedua orang tuanya bertengkar hebat. Lexy pun hanya diam mengamati."Kalian nggak perlu bertengkar, aku yang akan mengalah. Aku dan Raline akan segera meninggalkan semua ini. Termasuk rumah ini. Aku akan memulai hidup baru bersama Raline," ucap Hamid tegas."Tidak, Hamid!" sergah Tuan Amran."Maaf, Pi. Kali ini aku nggak bisa menuruti keinginan Papi. Aku akan tetap pergi. Semua demi kebaikan kita semua," jawab Hamid lugas."Baguslah," sahut Marissa tersenyum sinis.Hamid tetap dengan keputusannya walau Tuan Amran terus mendesaknya dengan berbagai cara. Hamid tidak ingin ia dan Raline menjadi penyebab kehancuran rumah tangga o
Raline akhirnya kembali ke rumahnya. Wanita yang dinyatakan tim dokter sudah mengalami cacat permanen dengan semangat dari sang suami yang begitu mencintainya pun memasuki rumah megahnya.Walau matanya kini tak dapat melihat bagaimana Hamid menata dengan rapih rumah itu demi menyambut kepulangannya, Raline dapat merasakan wangi harum bunga Rose kesukaannya."Mas, kamu taruh bunga Rose ya di ruangan ini?" tanya Raline dengan wajah tersenyum di atas kursi rodanya."Iya, Sayang. Ini kan bunga kesukaan kamu," jawab Hamid mengenggam tangan Raline. Hamid pun berlutut dihadapan istrinya itu.Nyonya Marissa dan Tuan Amran yang ikut mengantar kepulangan Raline pun akhirnya duduk di sofa berwarna keemasan itu menatap anak dan menantunya yang memasuki kamar utama.mi"Sayang, kamu istirahat dulu ya. Aku temani Mami sama Papi dulu. Nggak enak kalau ditinggal," pamit Hamid. Raline pun memutuskan beristirahat di ranjang empuk i
Hamid akhirnya bisa tersenyum bahagia ketika sang dokter menyatakan kesembuhan Raline. Raline kini sudah sadar. Namun, kebahagiaan Hamid hanya sesaat. Seketika wajahnya kembali sendu saat mendengar pernyataan dokter yang lainnya."Maaf, tapi kami juga punya kabar buruk untuk anda," ucap dokter Tanaka."Ada apa, Dok?" sahut Hamid."Istri anda memang sudah dinyatakan sadar dari komanya tapi ada hal lain. Raline mengalami kelumpuhan dan matanya buta," ucap sang dokter dengan berat hati.Hamid yang syok tak bisa berkata apapun. Kakinya seperti tak bisa berpijak lagi. Nyonya Marissa pun membantu putra angkatnya itu duduk di sebuah kursi. Marissa pun mempertanyakan kemungkinan Raline kembali normal."Apa dia bisa kembali normal?" tanya Marissa."Kemungkinan Raline sembuh seperti sediakala sangat tipis," terang dokter Tanaka."Ada apa ini?" celetuk Tuan Amran yang baru saja datang karena men
Hamid sedikit bernapas lega pada akhirnya Austin dinyatakan sudah membaik dan diijinkan dibawa pulang. Namun, karena kondisi Raline yang belum mengalami perubahan, ia memilih Austin tinggal bersamanya menemani Raline di kamar VVIP."Hamid, apa sebaiknya Austin di rumah papi aja? Kasian kan dia harus di rumah sakit," ujar Pak Amran menawari Hamid agar Austin berada dalam perawatannya."Pi, maksudnya apa sih?" celetuk Marissa ketus. Hamid pun menyadari ketidaksukaan ibu angkatnya itu."Ya nggak apa-apa kan? Bisa untuk teman Mami," ledek Amran tertawa."Nggak usahlah, Pi. Biar Austin sama Hamid di sini. Kasihan dia, takutnya cari Raline," ujar Hamid menengahi.Setelah kedua orang tua Hamid itu pulang, Hamid pun kembali ke kamar Raline dan membujuk Austin yang menangis karena Mamanya yang hanya diam tidak bereaksi ketika diajak bermain.****Hari ini Andre mulai memainkan per