PergiKutatap wajah Bang Faiz lekat-lekat. Aku berharap dia membelaku di depan keluarganya. Karena, apa yang dituduhkan Mama itu semua tidak benar."Bang, Abang mengenal aku kan? Abang percaya padaku kan?" ucapku lirih. Air mata semakin deras mengalir dikedua pipi ini. Namun, Bang Faiz tak bergeming. Dia diam membisu."Sudahlah Ratna! Jangan bersandiwara. Akui saja perbuatanmu. Kebusukan tak bisa terus ditutup-tutupi. Mungkin saja sekarang kau sedang hamil, ya? Ya, hasil perselingkuhanmu dengan lelaki itu," kata Mama sembari mencebikkan bibirnya.Deg!Ternyata Mama mengambil kesempatan dengan kondisiku. Tadi pagi dia yang memergoki aku sedang muntah-muntah di kamar mandi. Aku saja belum memeriksakan diri ini, apakah benar sedang hamil atau tidak."Astagfirullah, Mama!? Demi Allah, Ratna tak melakukan hal itu, Ma!" ucapku lirih."Buktinya, kau menyembunyikan kehamilanmu dari Faiz, bukan? Kenapa? Pasti kau takut karena itu bukanlah benih dari Faiz!" ucap Kak Intan menimpali.Ya Allah, a
Hamil"Assalammualaikum!" ucapku di depan pintu. Aku sudah sampai di rumah Bapak dan Ibu sekarang. "Waalaikumsalam!" sahut suara Ibu dari dalam rumah. Kucium punggung tangan Ibu dengan takzim ketika sudah berhadapan dengan Ibu di depan pintu."Bu!" Aku menghambur ke pelukan Ibu. Menangis terisak mengeluarkan perih di hati ini. "Kenapa, Nak? Apa yang terjadi? Kenapa malam begini baru sampai sini? Kamu sendirian? Faiz tak mengantarmu?" cerca Ibu dengan berbagai pertanyaan. Ibu pasti bingung melihat kedatanganku malam-malam begini. Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu. Tenggorokan ini terasa tercekat. Sesak di dada kian menjadi ketika wanita yang telah melahirkanku itu mendekap erat tubuh ini. Rasanya, aku ingin menumpahkan seluruh air mataku di pelukannya, agar sakit yang dirasa segera hilang. Ibu membimbingku masuk ke dalam rumah."Menangislah, Nak. Menangislah sepuasmu! Agar rasa sakit di hatimu berkurang," ucap Ibu lembut."Ada apa, Bu? Kenapa Ratna nangis?" Bapak yang baru ke
Mengambil Hasil Tes DNAIya, Mir. Mbak tunggu, ya!" Setelah m nucapkan salam, Mirna memutuskan panggilan telepon. Tak lama, ponselku kembali berbunyi. Sebuah kiriman video masuk ke aplikasi berwarna hijau itu. Aku dan Vera menonton video itu dengan serius sampai akhir. "Fix! Simpan video ini. Aku yakin ini akan berguna nanti!" ucap Vera bersemangat."Iya, itu juga yang aku pikirkan. Makanya aku meminta Mirna untuk terus memata-matai Chintya.dan merekam semua tindak-tanduknya yang mencurigakan. "Ya, sudah! Kita tunggu saja reaksi dari Faiz. Tapi, kalai ternyata dia tak juga mengambil tindakan. Kita yang bertindak! Kamu siap kan, Ratna?""Siap, dong. Apalagi ada kamu, sahabat terbaikku. Aku pasti kuat melewati semua ini.""Yup, betul. Kamu bisa mengandalkan aku. Kapan pun aku siap membantumu!" ucap Vera sembari tertawa. Dasar Vera. Kalau ada dia, sedihku selalu hilang. Dia memang sahabatku yang selalu ada untukku, baik suka maupun duka. ***Seminggu kemudian Aku sedang menonton te
Hasil Tes DNA"Iya, ini aku buka." Dengan tangan gemetar, dan hati berdebar tak menentu kubuka amplop yang membungkus hasil tes DNAku dengan Keysha. "Ya Allah!" Kukedipkan mata ini berulang kali, takut kalau mata ini salah membaca. Seketika tubuhku terasa lemas tak bertulang. Aku ambruk, jatuh ke lantai. Air mata yang memenuhi kedua kelopak mata ini, seketika jatuh dan luruh di pipi. "Kenapa, Rat?" Vera merampas kertas yang berada di tanganku. Lalu membaca hasilnya."Alhamdulillah, Rat! Anakmu ketemu, Rat!" teriak Vera sembari memeluk dan mengguncang-guncang bahu ini. Aku hanya bisa menangis. Menangis bahagia, anak yang selama ini aku rindukan ternyata ada di dekatku. Ya Allah, hamba sangat bersyukur, engkau telah mengembalikan anak hamba yang hilang. Aku tak dapat berkata apa-apa lagi. Rasanya aku ingin menjerit sekuat-kuatnya karena kebahagiaan ini. Ingin aku berlari ke rumah Bang Faiz, lalu mengambil Keysha dari sana. Tapi, itu tak mungkin. Bang Faiz pasti akan menghalangiku. A
Bertemu Pengacara***"Ya udah, masuk dulu, nanti kita ngobrol di dalam." Andi mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami duduk di sofa yang ada di ruang tamu. "Aku tinggal ke belakang sebentar, ya! Mau minta tolong Bik Minah buatin minum." Andi beranjak meninggalkan kami."Jangan repot-repot, Ndi! Keluarin aja semua!" seru Vera diikuti gelak tawa dari Andi.Aku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan ini. Tak ada foto Andi dengan istrinya yang terpampang di sana. Hanya ada foto-foto Andi seorang diri dan fotonya bersama kedua orang tuanya, yang berjejer rapi di atas lemari kecil di belakang sofa"Ver, si Andi belum nikah, ya?" tanyaku kepada Vera."Kenapa? Minat jadi istrinya?" Vera meledekku. "Apaan, sih?" Sekali lagi aku mencubit lengan Vera."Awww, lama-lama bisa lebam lengan ini, Ratna!" Vera kesakitan, lalu mengusap-usap lengannya. "Kenapa, Ver?" tanya Andi yang tiba-tiba saja sudah berdiri di samping kami."Gak apa-apa, cuma digigit nyamuk aja!" jawab Vera sekenanya. Aku m
Kabar BaikDua minggu kemudianAku sedang membuat pola-pola jilbab dan baju gamis di kamarku. Ya, aku sudah kembi ke rumah orang tuaku kemarin. Tiba-tiba, ponsel yang kuletakkan di atas meja berdering. Tak ada nama yang tertera di layar ponsel, hanya sebuah nomor baru. Siapa ya? Pikirku.Kutekan tombol berwarna hijau, lalu kudekatkan benda pipih itu ke telinga. "Halo, assalammualaikum," ucapku mengawali percakapan. "Hei, Ratna. Berani-beraninya kau melaporkan Chintya ke polisi, ya! Mau main-main dengan kami? Apa yang kau anggarkan sampai berani melakukan itu, hah? Lihat saja, kau tak akan berhasil memenjarakan Chintya," cerca Mama mertuaku. Bukannya menjawab salam dariku, malah marah-marah gak jelas. Aku mendapat informasi dari Andi, kalau hari ini Chintya dipanggil ke kantor polisi. Dia masih menjalani pemeriksaan di sana. Semoga status Chintya akan segera naik menjadi tersangka. "Kok marah-marah begitu, Ma? Mama ketakutan? Apa Mama juga terlibat dan bersekongkol dengan Chintya
Salah PahamPagi ini aku dan Vera kembali ke kota Kisaran. Kota dimana aku dan Bang Faiz pernah mengukir kenangan indah. Walau hati ini sudah mengikhlaskan kandasnya hubungan kami, namun, entah mengapa masih ada rasa yang mengganjal di hati. Rasa itu meninggalkan perih di sini.Kepergianku dari rumah itu bukan semata atas keinginanku. Aku masih merasa ada sesuatu yang menghimpit hati ini. Bang Faiz mengusirku dengan sebuah alasan yang dia sendiri belum tahu kebenarannya. Walaupun sebenarnya, sikap Bang Faiz sudah dapat dijadikan pegangan, kalau ternyata lelaki yang bergelar suamiku itu sudah tak dapat lagi dipertahankan, karena dia sendiri sudah tak percaya kepadaku. Namun, aku masih belum terima difitnah seperti itu."Rat! Ngelamun lagi? Masih mikirin Faiz lagi?" Pertanyaan Vera membuyarkan lamunanku."Nggak!" jawabku seraya mengedipkan mata ini agar butiran-butiran bening yang sedari tadi sudah menggantung di kedua kelopak mata ini, tak jatuh di depan Vera."Apaan! Tuh, matamu ber
BerpisahAku harus cari Bik Surti. Aku harus tanya, siapa lelaki yang bersamanya kemarin. Ada hubungan apa dia dengan lelaki itu? Apa Bik Surti juga ikut dalam fitnah keji ini? Aku berbalik dan melangkah gontai menuju mobil yang sedang terparkir di seberang jalan. Kutatap nanar ke arah rumah Bang Faiz. Perih, hatiku sangat perih mengingat perlakuan Bang Faiz tadi. Dia menganggap, seolah-olah aku ini pelac*r murahan, hingga aku tak boleh membawa dan merawat anakku sendiri. "Kita kemana, Bu?" Pertanyaan Pak Kardi membuyarkan lamunanku. "Ke toko yang menjual alat-alat jahit, Pak. Jalan aja sambil saya arahkan," jawabku sembari menyapu sisa air mata yang membekas di pipi ini.Pak Kardi melajukan mobil ke arah yang sesuai dengan instruksi yang kuberikan. Tak lama kami tiba di depan toko yang dituju."Permisi, Pak. Apa Bik Surti masih bekerja di sini?" tanyaku pada salah seorang pekerja yang kebetulan sedang membersihkan mesin jahit di depan toko."Bik Surti? Kayaknya gak ada yang namanya
PamitEnam bulan kemudian. Entah kemana perginya Bang Faiz. Sudah enam bulan dia tak menjenguk Keysha dan Zidan. Dia hanya melakukan panggilan video dengan kedua anaknya itu. Pernah aku membawa Keysha dan Zidan ke rumahnya, karena mereka sangat rindu dan ingin bertemu dengan ayah mereka. Tepatnya sebulan yang lalu. Tapi, kata penghuninya, Bang Faiz dan keluarganya sudah pindah, dan tak tau dimana alamat mereka sekarang. Sampai sekarang Bang Faiz belum menghubungi lagi.Apa yang sebenarnya terjadi dengan keluarga Bang Faiz? Mengapa mereka menghilang tanpa kabar. Lalu, siapa yang melanjutkan usaha mereka? Apakah usaha itu juga sudah tak dijalankan oleh Bang Faiz lagi? "Mbak, Zidan demam! Suhu tubuhnya tinggi." seruan Mirna menyadarkanku dari lamunan. "Kok bisa? Barusan sebelum tidur, Zidan main mobil-mobilan, kan?" tanyaku sembari menyusul langkah Mirna menuju kamar Zidan."Gak tau, Mbak. Tadi waktu bangun Zidan nangis, dan ternyata badannya panas." ujar Mirna sedih."Ya, sudah! Kit
POV MamaSetelah keluar dari penjara. Aku berharap Faiz dan Chintya dapat bersatu layaknya satu keluarga yang utuh. Namun, kenyataan yang kuterima, Faiz menolak kehadiran Chintya. Padahal, dia sudah berpisah dengan Ratna untuk waktu yang cukup lama. Entah apa yang menyebabkan Faiz masih saja mengharapkan Ratna. Kalau dilihat dari penampilan, Chintya masih lebih menarik dari Ratna, secara dia selalu merawat penampilannya karena dia mempunyai banyak uang. Kecillah baginya kalau hanya sekedar perawatan kecantikan. Sedangkan Ratna, hanya gadis kampung yang kebetulan bernasib baik bisa menikah dengan Faiz. Berbagai cara sudah kulakukan untuk menyatukan Faiz dengan Chintya, tapi bukannya bersatu malah Faiz menjatuhkan talak pada Chintya tepat sehari setelah Chintya keluar dari penjara. Padahal, mereka sudah memiliki seorang anak. Selama Chintya di penjara, Faizlah yang merawat anak itu. Tapi, entah apa sebabnya, kini Faiz tak mau lagi merawat anak itu. Bahkan, Faiz mengusir Chintya dan
Pembelaan Dari Bang FaizBang Faiz berhasil menangkap tubuh Zidan, tetapi dia terpeleset oleh tumpahan air tersebut. Bang Faiz terjatuh bersama Zidan. Kepalanya membentur sudut meja. Kepala Bang Faiz berdarah, dan sepertinya dia tidak sadarkan diri. Semua orang di ruangan menjerit. Lalu berlari menghampiri Bang Faiz dan Zidan. Darah di kepala Bang Faiz mengalir cukup deras. "Bawa ke rumah sakit saja, Rat!" ucap Vera panik."Iya, kamu benar Ver. Ayo, kita angkat Faiz ke mobil," seru Andi kepada beberapa orang laki-laki yang siap membantu Andi.Bang Faiz diangkat ke mobil, lalu dibawa ke rumah sakit. Gegas aku meminta kepada pembawa acara untuk menutup acara. Tak lupa aku mengucapkan permohonan maaf atas kejadian barusan. "Kita susul ke rumah sakit, ya, Ver!" ujarku kepada Vera setelah tamu-tamu pulang semuanya."Iya, kita harus segera berangkat, Rat. Anak-anak di rumah saja. Biar Mirna yang jaga."Aku dan Vera segera melaju dengan mobil yang dikendalikan oleh Vera. Di tengah perjala
Musibah Di Acara Ulang TahunKring!Ponselku berdering. Segera kuraih benda pipih yang tergeletak di atas meja rias itu, lalu mengangkat dan menempelkannya di telinga."Halo, Ver, kangen tau! Gitu ya, mentang-mentang pengantin baru, susah dihubungi," cercaku kesal. Semenjak menikah Vera sudah jarang mengunjungiku di sini. Bahkan di telepon pun susahnya minta ampun."Bukan gitu. Maafkan diriku, Sayang! Masih sibuk kemarin ngurus pindah rumah. Aku kan istri yang baik, jadi harus ikut kemana pun suamiku pergi, ya, kan?" "Iya, lah, yang pengantin baru. Paham kok, paham! Hahaha!""Jadikan besok acaranya? Aku baru baca chat darimu tadi kemarin pagi. Maaf, ya! Tapi besok, aku usahain untuk datang. Janji deh!""Gitu dong. Janji, ya! Keysha nungguin loh. Kangen Tante Vera katanya. Kami tunggu loh, ya!" "Iya, iya. Salam sama Keysha ya, besok Tante Vera datang. Assalammualaikum." Panggilan telepon dengan Vera berakhir. Empat tahun sudah berlalu. Keysha dan Zidan sudah semakin besar. Keysha se
Perceraian"Ma—maafkan, Abang, Rat. Abang tak ingin melanjutkan gugatan itu. Abang menunggu persetujuanmu. Abang mohon, berilah kesempatan kepada Abang untuk menebus semua kesalahan Abang kepadamu. Izinkan Abang merawat anak-anak kita bersamamu. Abang menyesal, Rat. Sungguh, Abang sangat tersiksa dengan semua ini. Abang ingin kita seperti dulu lagi."Aku diam dan mencoba mencerna kata demi kata yang telah diucapkan oleh Bang Faiz. Apa katanya tadi? Dia ingin kembali? Dia ingin aku menerimanya lagi? Dia minta kesempatan itu? Sudah hilangkah rasa malunya?"Maaf, Bang. Aku rasa, aku sudah cukup memberimu kesempatan dulu. Aku sudah memohon kepada Abang agar mencari tau dulu tentang kebenarannya. Tapi apa? Abang tak mau percaya kata-kataku. Abang tak memperdulikan permohonanku. Abang tetap kekeh d ngan tuduhan Abang," ujarku sedih. Aku masih ingat setiap jengkal kejadian itu. Luka karenanya masih menganga lebar dan terasa peri."Abang tau, Rat. Abang sudah menyadari kesalahan itu. Abang be
Keysha Sakit."Mungkin sebaiknya, Faiz tidur di sini untuk malam ini. Aku khawatir, nanti Keysha terbangun dan mencari papanya lagi," ujar Vera memberi saran. Bang Faiz menatap ke arahku meminta persetujuan.Aku sebenarnya ragu memberi izin kepada Bang Faiz untuk menginap di sini. Tapi, kasihan juga d ngan Keysha. Kalau dia terbangun tengah malam dan mencari papanya, bagaimana? "Kalau Bang Faiz mau, aku tidak keberatan. Kasihan Keysha, mungkin dia rindu pada papanya," jawabku setuju. Biarlah Bang Faiz menginap di sini untuk malam ini. Toh, di rumah ini aku tidak sendiri. Ada Mbak Mirna dan Vera. "Makasih ya, Rat," sahut Bang Faiz."Iya, Bang. Kami ada di luar, kalau Keysha bangun panggil aku ya!" pesanku kepada Bang Faiz. Aku dan Vera beranjak meninggalkan kamar Keysha. Lalu tidur di sofa ruang tamu yang tak jauh dari kamar itu.Sebenarnya aku ingin sekali tidur di samping Keysha, menemaninya sembari merawatnya. Namun ada rasa tak nyaman di hati ini kalau bersama-sama dengan Bang
Rumah Baru"Wow! Rumahnya besar juga, ya, Mbak. Taman bunganya masih tertata dengan rapi," ujar Mirna. Kami sedang berada di depan sebuah rumah yang baru kubeli dua hari lalu."Ya, Mir. Mudah-mudahan kita betah di rumah ini, ya!" sahutku dengan senyum penuh bahagia. Akhirnya aku bisa membeli rumah dengan hasil keringatku sendiri."Kelihatannya rumah ini sangat nyaman, Mbak," ucap Mirna lagi."Mudah-mudahan begitu. Ini semua untuk Keysha dan calon adiknya nanti," ujarku sembari mengusap perutku yang sudah mulai membuncit.Aku memutuskan untuk membeli sebuah rumah yang letaknya tak begitu jauh dengan ruko konveksi. Kondisiku yang sudah tak memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, bolak-balik dari rumah Bapak ke sini, mendorongku untuk membeli rumah ini.Ya, perutku sudah semakin membesar. Rasanya sudah semakin berat untuk ke sana kemari. "Kita masuk, yuk!" ajak Mirna sembari menggendong Keysha. Aku mengikuti langkah kaki Mirna dari belakang. Kubuka pintu rumah ini dengan mengucap
Chintya POV"Apa? Bang Faiz menikahi gadis kampung itu?" ujarku ketika Kak Intan mengabarkan lewat panggilan telepon, kalau Bang Faiz akan menikahi Ratna, gadis kampung itu. "Iya, Chin! Kami gak bisa melarangnya lagi. Faiz mengancam akan pergi dari rumah kalau kami menghalanginya," sahut Kak Intan. Hatiku serasa hancur. Semua angan dan mimpiku untuk menikah dengan Bang Faiz kandas sudah. Bang Faiz lebih memilih Ratna. Gadis kampung yang sok lugu itu. Padahal, kalau secara fisik, aku lebih dari Ratna. Aku juga berasal dari keluarga kaya, dan tentunya sepadan dengan keluarga Bang Faiz. Susah payah aku menuruti semua kata-kata Tante Mayang dan Kak Intan. Semua sudah kulakukan. Namun apa? Bang Faiz tetap menikahi dia."Pokoknya, aku tak terima, Bang Faiz harus jadi milikku!" Aku berkata sendiri sembari mengepalkan tangan ini lalu memukulkannya ke meja rias di depanku.*Diawal pernikahan Bang Faiz dengan Ratna, tante Mayang seperti menghilang. Aku tak mendapat kabar apa-apa. Mungkin T
Ratna POVKabar baik baru saja kuterima dari Bik Surti. Lukman, adik Bik Surti sudah bersedia menemui Bang Faiz dan menceritakan kejadian sebenarnya kepada Bang Faiz. Aku tak tau bagaimana pendapat Bang Faiz. Entah dia percaya atau tidak, yang penting kebenaran itu telah disampaikan kepadanya. Dan aku sebagai pemilik nama yang dituduhkan telah berbuat tidak senonoh ternyata hanyalah korban dari sebuah fitnah keji yang telah disusun oleh Mama mertuaku sendiri bersama maduku, istri ke dua suamiku. Untung saja Lukman itu mata duitan. Tidak seperti Bik Surti yang menolak materi dan rela kehilangan pekerjaan karena rasa perikemanusiaannya. Lukman ternyata sangat mudah berkhianat. Dengan tawaran satu kali lipat dari bayaran yang diberikan Chintya kepadanya, dia berpaling dan mengkhianati Chintya. Dia mau jujur atas perbuatannya kepada Bang Faiz. *Hari ini aku dapat bernafas dengan lega. Perempuan itu yang telah merebut Bang Faiz dariku dan menorehkan luka yang begitu dalam di hati in