“May, kakak tetap tidak percaya kalau Tina yang menjebak kakak.”
“Semua bukti sudah mengarah padanya, Kak, yakini saja.”
“Tidak, tidak, dia terlalu penakut untuk terlibat dalam masalah besar seperti ini. Apalagi katamu ada oknum jaksa yang ikut membantunya.”
“Ya, itu memang benar tapi mulai sekarang semua masalah prostitusi online bukan lagi urusan kita. Jangan dipikirkan, aku muak dengan fitnah menyusahkan ini.”
Kakak beradik itu didampingi Ratmi sedang dalam perjalanan menuju mobil untuk kemudian kembali ke Ibu Kota. Untungnya Sharena sudah sempat pamitan pada teman-temannya di sel lapas perempuan. Mereka saling memberikan pelukan perpisahan dan berjanji akan mengatur temu jika sudah keluar dari sana. Ada perasaan sedih dan kehilangan, mengingat dia akan berpisah dari teman-teman baiknya di lapas membuat Sharena cukup berat keluar dari sana. Tapi tentu saja keinginan untuk bebas lebih kuat dari itu. Sharena akan bangkit dari keterpurukan ini dan membuktikan pada dunia bahwa tak semudah itu untuk menjatuhkannya.
“Saudari Sharena,” panggil seseorang dari belakang, Sharena berbalik dan matanya langsung berbinar lagi ketika dia melihat pria tampan di depan matanya.
Ratmi dan May saling bertukar pandang sementara Sharena sudah tenggelam dalam buai pesona. Dia hanya bisa senyum-senyum menanggapi sapaan pria itu.
“Mohon maaf mengganggu waktunya sebentar, bisa kita bicara?” tanya Saka—si pria yang baru saja membuat Sharena terpesona.
“Oh, iya boleh, Pak. Mau di mana?” sambut Sharena antusias, masalah pidananya sudah selesai sekarang saatnya menyelesaikan masalah hatinya.
Walau terbilang baru bertemu pria ini tapi setiap berpapasan dengan Saka, jantung Sharena selalu berulah. Terkadang bahagia dan terkadang lebih bahagia, jadi setiap melihat Saka suasana hati Sharena bisa juah lebih baik.
“Mohon maaf, Pak, tapi Sharena harus segera pergi karena kami akan langsung ke Jakarta sekarang,” tolak May sambil melihat jam tangannya.
“Dih, enggak! Siapa yang mau ke Jakarta sekarang? Enggak kok pak polisi, enggak jadi pergi sekarang. Aku punya banyak waktu buat ngobrol sama pak polisi, manajer dan kuasa hukumku akan menunggu di mobil. Yuk, kita mau bicara di mana?”
“Kakak tapi—“
“Shut! Bu Ratmi, tolong ajak May ke mobil sekarang, ya? Suruh dia istirahat sebentar sebelum menyetir jauh nanti. Aku tidak akan lama kok,” kata Sharena, “Yuk, Pak, ke mana kita?” lanjutnya fokus lagi pada Saka.
“Mari ikut saya,” ajak Saka membimbing jalan, dengan senang hati Sharena mengikutinya.
Beberapa menit kemudian, Saka dan Sharena sudah tiba di sebuah kafe rooftop yang ada di seberang pengadilan. Mereka memesan meja di sana, suasana senja yang menyegarkan di Kota Kembang membuat Sharena terpana dan untuk sesaat sibuk mengabadikan momen indah itu. Sudah lama dia tidak memegang ponsel jadi wajar kalau dirinya serindu itu pada ponselnya. Selain itu, Saka pun belum memulai percakapan karena dia juga tampak sedang sibuk dengan ponselnya. Sharena tersenyum melihatnya lalu iseng mengabadikan beberapa potret Saka, tepat di jepretan yang ketiga, Saka menatap ke arahnya. Sharena menurunkan ponselnya lalu tersenyum lima jari.
“Apa yang Anda foto?” tanya Saka to the point karena dirinya merasa sejak tadi Sharena mengarahkan mata kamera padanya.
“Pemandangan di sini, Pak, bagus banget. Adem-adem cantik gitu kayak aku, he he.”
Saka terdiam tak memberikan reaksi apa pun terhadap candaan Sharena, senyum lebar gadis itu lama-lama menciut dan ia pun bungkam. Selera humor Saka sungguh payah ternyata.
“Mm-hm, jadi Pak polisi mau membicarakan apa sampai mengajak saya bertemu di sini? Berduaan lagi, Bapak mau meminta nomor ponsel saya? Boleh kok, mana ponsel Pak polisinya?” tangan Sharena menengadah dan Saka masih menatapnya datar.
“Saya mengajak kamu bicara bukan untuk itu.”
Bibir Sharena langsung mengerucut kecewa, “Yah, terus buat apa dong?”
“Sebenarnya saya sudah mengatur janji dengan teman saya untuk menemuimu tapi barusan saya mendapat kabar kalau dia tidak bisa datang.”
Sejak tiba di sana, Saka sibuk menghubungi Tristan tapi dasar laki-laki itu, selalu menghilang kalau sedang dibutuhkan. Saka gagal menghubunginya dan dia tidak tahu ke mana Tristan pergi sekarang. Bahkan Saka harus mengarang cerita kalau dia mendapat kabar Tristan tidak bisa datang padahal tidak ada kabar apa pun dari pria itu.
“Mm, masa, sih? Serius nih Pak polisi mengajak temannya ke sini? Apa mungkin itu Cuma alasan aja?”
“Sayangnya saya serius, saya mengajak kamu ke sini karena saya mau mengakui kalau saya—“
“Aku juga suka Pak polisi, kok, aku mau jadi pacar Bapak,” potong Sharena cepat sambil senyum-senyum ceria, benar-benar sudah melupakan bahwa beberapa menit lalu dia baru saja menjalani sidang dengan kasus berat.
“Maaf, Anda bicara apa, ya?”
“Pak polisi mau bilang kalau Bapak menyukaiku, kan?” spontanitas Sharena memang tidak ada bandingannya. Saka melongo meski dengan ekspresi yang terkontrol sehingga tetap tampak berwibawa.
“Maaf harus mengecewakan Anda tapi bukan itu tujuan saya ke sini.”
“Ah, masa sih? Aku enggak percaya, jujur deh Pak, beneran kan Pak polisi naksir aku? Aku memang sudah punya cowok yang ditaksir sih tapi kalau Pak polisi maju duluan, boleh, dehh. Lagian dia juga belum muncul Cuma baru lewat surat.”
“Nona Sharena sepertinya Anda salah paham, pertemuan kita sekarang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pengakuan perasaan atau apa pun yang Anda pikirkan. Saya menemui Anda karena saya ingin meminta maaf atas kelalaian tim saya dalam menginvestigasi kasus prostitusi online sehingga mengakibatkan salah tangkap. Untuk semua ketidaknyamanan Anda, saya ucapkan mohon maaf yang sebesar-besarnya.”
“Iya, aku maafin, sekarang jujur deh Pak, selain mau minta maaf Bapak juga mau bilang suka ke aku, kan? Kalau enggak suka mana mungkin Bapak selalu hadir di persidangan aku. Perhatian banget, sih, padahal belum kenal dekat. Ah, waktu di kantor polisi juga Bapak yang paling care sama aku. Nawarin aku makan, mengalihkan perhatianku dari pemberitaan di luar sana, terus diam-diam mantau aku. Saat itu aku menyadari semuanya tahu, Pak, cuma lagi berkabung aja jadi belum sempat merespons.”
Ucapan Sharena semakin melantur, Saka berpikir bahwa gadis itu mendapat tekanan berat saat di penjara jadi dia berusaha memakluminya.
“Saya sudah menyampaikan apa yang harus saya sampaikan. Terima kasih atas kemurahan hati Anda, kalau begitu saya permisi.”
Saka bangkit tanpa menyentuh makanan dan minumannya sama sekali, Sharena bergegas menyusulnya lalu memegang tangan Saka yang langsung ditarik sampai pegangan tangan sang artis terlepas kembali.
“Anda mau apa lagi? Saya rasa urusan kita sudah selesai,” ungkap Saka yang lama-lama agak risi dengan tingkah Sharena yang sok akrab.
“Boleh aku minta nomor kontak Pak polisi?”
“Tidak,” tolak Saka singkat lantas berlalu begitu saja.
“Eh, eh, id sosial medianya kalau gitu!” Sharena berdiri menghadang Saka yang hendak turun ke lantai satu untuk pergi dari sana.
“Saya tidak punya sosial media.”
“Bohong!”
“Serius, saya tidak punya. Bisa Anda minggir sekarang?”
“No! Aku tidak akan pergi sebelum Pak polisi memberiku nomor kontakmu!”
Mata Saka membeliak, ia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan sebaris nomor pada Sharena tanpa berniat membacakannya. Setelah Sharena selesai menyimpan nomor Saka, pria itu langsung menonaktifkan ponselnya.
“Nah, gitu dong, Pak. Eh, kok enggak aktif? Bapak ngasih nomor palsu, ya?” sewot Sharena merasa dibohongi. Saka langsung menunjukkan layar ponselnya yang gelap.
“Oh, mati toh. Oke deh, makasih ya, Pak. Jangan lupa nanti simpan nomorku setelah aku menghubungi Bapak.”
“Hm, boleh saya pulang sekarang?”
“Ya, tentu, hati-hati di jalan ya, Pak,” kata Sharena manis mempersilakan Saka menuruni tangga lebih dulu.
Gadis itu merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Ia berhasil bebas dari semua tuduhan pengadilan dan di akhir dia mendapat kontak laki-laki yang sudah menjadi incarannya sejak menginjakkan kaki di Kota Kembang. Sharena sibuk bereuforia sendiri, dia tak memperhatikan langkahnya sampai tersandung kakinya sendiri.
“Ahh!” jerit Sharena keras bertepatan dengan refleks Saka yang langsung menoleh ke belakang, akhirnya kedua orang itu bergulir dari tangga yang untungnya tidak begitu tinggi namun tetap menyisakan sakit yang lumayan.
Tubuh Sharena ada di atas tubuh Saka, wajah mereka berdekatan dan tanpa sadar bibir keduanya bertemu. Mata Saka melotot begitu pun dengan Sharena, gadis itu melepas tautan tak sengaja itu lebih dulu. Pipinya bersemu merah dan dia agak linglung sendiri. Saka mengalami hal yang sama, dia perlu beberapa detik untuk menarik diri dari pusaran ilusi yang hendak menenggelamkannya.
“Yah, kena, Pak. Mau lanjut?” tawar Sharena sambil tersenyum meski pipinya masih sangat bersemu.
[TERBUKTI TIDAK BERSALAH! SHARENA RIYANTI MENGHIRUP UDARA BEBAS][SHARENA RIYANTI DIJEBAK MANTAN ASISTEN KARENA DENDAM][KARIER HANCUR, INI TANGGAPAN SHARENA RIYANTI TENTANG KASUS PROSTITUSI ONLINE][TERBUKTI TIDAK BERSALAH, KARIER SHARENA RIYANTI TETAP SURAM]Sharena mendesah tak percaya membaca tajuk berita yang bertebaran di artikel online, ia tidak merasa mengeluarkan statement apa pun sejauh ini kenapa muncul tanggapan-tanggapan tak jelas? Media sekarang dinilai sangat mengerikan oleh Sharena, mudah sekali menyetir opini publik meski belum tahu kebenaran informasi yang disampaikan. Hanya sedikit media yang benar-benar mengilhami etika jurnalistik dengan baik, sisanya rela melakukan apa pun demi kontennya ramai dibicarakan orang. Empati dan simpatinya sudah hilang entah ke mana.“Bukannya minta maaf malah mengarang bebas, memangnya ini lomba bikin
Satu minggu kemudian...Saka melirik arlojinya beberapa kali, dia sudah ada di rumah sakit sejak satu setengah jam lalu tapi orang yang dia tunggu tak kunjung datang. Dia sempat mengkonfirmasi langsung pada Lidya dan dia mengatakan akan segera datang dalam 30 menit, tapi sampai detik ini wanita itu masih belum muncul. Saka sengaja izin pulang cepat untuk melakukan pemeriksaan ke dokter bersama istrinya guna program kehamilan nanti.Ia risau terjadi sesuatu pada istrinya di perjalanan oleh karena itu Saka tampak sangat gelisah. Pria itu tidak tahu harus menghubungi siapa untuk menanyakan keberadaan Lidya karena dia sama sekali tidak memiliki nomor kontak teman-teman Lidya. Saat pria itu baru keluar dari rumah sakit, ponselnya kemudian berdering, ada panggilan masuk dari Lidya. Saka mengela napas lega, setidaknya sang istri baik-baik saja.“Kamu di mana?” tanya Saka saat panggilan terhubung.“Sayang maaf aku hampir lupa menghubun
Saka kehabisan kata untuk menghadapi Sharena, berulang kali kata pengusiran dia berikan tapi gadis itu tak mau menggubrisnya. Akhirnya pria itu menyerah, dia tidak lagi peduli dengan kehadiran Sharena. Pria itu malah melanjutkan pekerjaannya hari ini padahal dia sudah izin pulang lebih cepat. Jika Saka melanjutkan rencananya untuk pulang maka kekesalannya terhadap Lidya akan kembali lagi. Dia butuh ketenangan, emosinya yang berlipat-lipat bisa meledak kapan saja jika tidak dialihkan pada pekerjaan.“Pak Saka biasa pulang jam berapa?”Saka tidak menjawab, Sharena mendengus kesal, dia mengerucutkan bibirnya sambil memperhatikan ruangan Saka yang sangat rapi. Nuansa ruangan itu didominasi warna cokelat tua, semua barang ditata dengan rapi dan pas. Perhatian Sharena fokus pada plakat nama Sakalangit Bastara yang terpampang jelas di hadapannya. Seketika Sharena jadi teringat pada mas Langitnya, orang paling perhatian yang selalu menghadiahi makanan lezat p
“Turun dari mobil saya,” titah Saka masih dengan suara rendah. “Aku lapar, Pak, makan dulu yuk baru pulang,” jawab Sharena santai saja sambil memasang seatbelt. Saka melajukan mobilnya untuk keluar dari area kantor polisi, dia khawatir ada orang lain yang melihatnya membawa perempuan lain dalam mobilnya. Apalagi status perempuan ini benar-benar dikenal banyak orang. “Pak Saka tahu enggak tempat makan yang nyaman terus privasinya terjaga? Kita ke sana aja Pak, aku enggak tahu banyak tentang daerah-daerah di sini. Walau aku asal Jawa Barat tapi karena lama tinggal di Jakarta jadi ya begini deh, pengetahuanku tentang daerah sendiri benar-benar payah. Eh, enggak payah-payah banget juga sih, kan aku bukan asli Bandung, ya. Rumahku di pedalaman Cianjur, jauh banget dari sini, ada tiga sampai empat jam perjalanan. Kalau pak Saka asli sini?” “Setelah makan Anda janji akan pergi?” Saka malah balik bertanya, Sharena mengiyakan saja darip
Sharena baru saja kecopetan, tasnya raib dirampas orang tak dikenal saat wanita itu sedang berjalan di trotoar untuk memesan taksi online. Sayangnya, Sharena belum sempat melakukan pemesanan dan sekarang dia sudah tidak tahu harus pulang dengan cara apa. Dia sudah berencana kembali ke rumah Saka, terserah jika bapak pria itu akan mengomelinya lagi yang pasti Sharena butuh bantuan sekarang. Jadwal syutingnya sudah lewat tiga jam, May pasti sedang sangat khawatir dan menghubunginya puluhan kali. Hari sudah semakin gelap, Sharena masih memutari jalan yang sama selama berjam-jam. “Lah, ini tempat yang tadi, kan? Aku sudah 4 kali bolak-balik ke sini. Fix, nyasar. Kenapa kamu bego banget sih, Sharen? Di kota besar juga masih sempet-sempetnya nyasar.” Kriukkk! Sharena memegangi perutnya yang keroncongan, sejak tadi siang dia belum makan apa pun karena sengaja ingin mengajak Saka makan bersama. “Haruskah aku minta makan sama penjual nasi gor
Sharena merapal doa saat memasuki rumah pribadi Saka dan istrinya yang begitu mewah. Tidak salah lagi, sekelas pangkat komandan mana mungkin hidup biasa-biasa saja bukan? Dari mobil dan penampilan Saka saja sudah tercium aroma manisnya uang yang banyak. Saat Sharena masuk di ruang tengah, rumah itu dalam kondisi gelap.Lampu berangsur menyala secara otomatis ketika Saka memasukinya. Mulut Sharena menganga takjub, semua sudut di rumah ini dilengkapi teknologi canggih yang mustahil Sharena miliki di kampung halamannya. Tadi saja saat Sharena masuk, pintu rumah itu terbuka sendiri. Oke, mungkin pemandangan itu sudah biasa Sharena temukan di hotel-hotel atau gedung-gedung modern lainnya di Ibu Kota, tapi untuk sekelas rumah, ini membuat cita-citanya menjadi sultan semakin meronta-ronta."Silakan duduk, saya mau ambil minuman dulu buat kamu," kata Saka dan Sharena hanya mengangguk patuh saja.Selama Saka tidak ada di sa
"Bercanda, Pak, serius deh cuma bercanda." Sharena menunjukkan tanda peace dan senyuman lima jari.Saka geleng-geleng setelah itu ia beranjak ke kamarnya yang ada di lantai dua. Tiba di kamarnya, pria itu memeriksa ponselnya terlebih dahulu. Lidya masih belum menghubunginya, sesibuk itukah pekerjaan Lidya sampai lupa mengabari suami? Ego tinggi seorang laki-laki menahan Saka untuk tidak menghubungi istrinya lebih dulu. Pria itu melempar ponselnya ke atas kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Lima belas menit kemudian Saka sudah keluar dengan lebih segar. Ia berganti pakaian dan setelah siap pria itu turun bermaksud mengajak Sharena ke kamar tamu yang akan wanita itu huni malam ini.Sayangnya, orang yang Saka cari tidak ada di ruang tamu. Saka celingukan mencari sosok Sharena, terbesit dugaan mungkinkah Sharena pergi? Tapi pakaian yang tadi Saka belikan masih ada di sofa begitu pun dengan plastik obat-obatannya. Saka berjalan ke
"Gue benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istri lo, Ka. Maunya apa, sih?" ungkap Tristan dari seberang sana, dia sedang melakukan panggilan video untuk memastikan Saka masih hidup karena sejak tadi siang panggilannya terus diabaikan. Sekalian juga Tristan mau bertanya soal Sharena."Kerjalah, apa lagi," jawab Saka miris."Gue punya banyak kenalan wanita karier yang udah nikah tapi kelakuannya enggak gitu-gitu banget."Sebenarnya Saka tidak ingin menceritakan ihwal prahara rumah tangganya pada Tristan, hanya saja entah mengapa tanpa diberi tahu Tristan sudah tahu bahwa Saka sedang terkena masalah. Sehingga dia tidak berhenti memancing Saka untuk bercerita sampai akhirnya Saka tidak bisa menghindar lagi."Lo tahu sendiri Lidya karakternya kayak apa, dia workahlic akut.""Enggak usah belain dia, kesel gue dengernya. Anjir banget itu cewek, bikin lo nunggu sa
Kurang lebih empat hari sudah Saka berada di desa Sukasari, ia dan tim menjalankan tugas dengan sangat baik sampai semua korban berhasil dievakuasi. Desa Sukasari dan sekitarnya berduka sangat dalam. Para korban sudah dimakamkan secara masal dan bala bantuan terus berdatangan setiap harinya. Mereka yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal masih memerlukan uluran tangan saudara-saudaranya. Dengan berakhirnya proses pencarian korban, bisa dikatakan berakhir pula tugas Sakalangit di sana. Menurut kabar yang beredar, Saka akan kembali ke kota dua hari lagi. Malah sebagian anggota timnya sudah kembali lebih dulu atas perintah pria itu. Sharena ketar-ketir mendengar itu, dia belum sempat mengobrol banyak lagi dengan pria pujaannya setelah siang itu. Setiap Sharena mau menemui Saka pasti selalu ada gangguan. Pria itu sibuk luar biasa, kondisinya juga genting jadi sangat tidak etis jika gadis itu menyita waktu Saka terlalu banyak. Sore ini, Sharena sedang sibuk menggalau di kamarnya,
Sharena menatap Saka dari jauh, bersembunyi di balik pohon mangga sambil memeluk rantang berisi makanan yang sengaja dia masak untuk Saka. Usai membantu para relawan memasak makan siang untuk para korban di dapur umum, Sharena sengaja memasak menu tambahan yang spesial dia buat hanya untuk Saka. Semangat itu begitu menggebu sebelumnya, namun kini, ketika Sharena hanya tinggal memberikan hasil karyanya tiba-tiba dia dera keraguan yang begitu besar. Dia masih belum lupa tentang fakta bahwa Saka sudah memiliki istri. Walaupun sedang berada jauh dari Lidya, tetap saja pria itu milik Lidya. Tidakkah tindakan dan perhatian Sharena ini hanya akan membuat Saka tidak nyaman nantinya? “Aduh, kasih jangan ya? Kalau dikasih sama pak Saka nanti dia berpikir macam-macam lagi tentang niatku tapi kalau enggak dikasih kan mubazir.” “Dor!” “Astagfirullah!” kaget Sharena refleks memukul orang yang mengejutkannya. Di tengah kebimbangan yang melanda hati Sharena tiba-tiba dia dikejutkan oleh kemuncula
“Euleuh ... euleuh ... bah Jana sama siapa itu? Meuni kasep pisan!” puji Esih terpesona melihat ketampanan dua orang pemuda yang tampak asing di matanya.Esih yakin dua pemuda itu bukan orang kampung sana, bahkan dia juga meyakini tidak ada orang seperti itu di desa Sukasari ini. Dua pemuda itu dan abah Jana baru selesai melaksanakan sembahyang salat Isya. Mereka masih di selasar masjid, tampak sedang asyik mengobrol.“Enggak bisa dibiarkan, mesti laporan sama Sharena ini.”Gegas wanita bertubuh agak berisi itu melesat pergi—menjauhi area masjid demi menyusul Sharena di rumahnya.“Lain kali kalau pak Saka dan yang lainnya mau menggunakan kamar mandi di masjid ini langsung datang saja, ya. Sekalian bisa sambil salat berjamaah sama warga sini,” tutur Jana, sebagai tuan rumah untuk para tamunya, dia memperlakukan Saka dan yang lain dengan sangat baik.“Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi sepertinya cukup untuk malam ini saja, kalau bala bantuan tambahan sudah datang kemungkinan kami akan
"Ya Allah, parah banget longsornya, Bah," kata Sharena sedang mendampingi abahnya melihat bencana alam yang menimpa salah satu kampung yang sebenarnya cukup dekat dengan kampung Sharena. Wilayahnya masih berada di kawasan desa yang sama, cuma terpisah oleh satu sungai saja. Hujan lebat yang semalam mengguyur tempat itu membawa bencana dahsyat. Puluhan rumah warga yang dekat dengan lereng gunung tertimbun. Kabarnya sampai menimbulkan korban jiwa, beberapa sudah ditemukan sedangkan sisanya masih proses evakuasi. "Iya, astagfitullah, rumah Uwa kamu juga habis tertimbun, Ren. Sekarang dia sudah ada di pengungsian, kita temui dia dulu baru nanti Abah mau gabung sama warga dalam mengevakuasi korban." Sharena mengangguk paham, mereka lanjut berjalan menyusuri jalanan basah dan lengket. Maklum akses menuju kampung seberang masih cukup sulit. Setelah melewati jembatan kayu yang membentang di atas sungai perbatasan, mereka harus berjalan sekitar 300 meter jauhnya. Kendaraan bermotor tidak mem
Dua tahun kemudian ... Waktu berjalan sangat cepat. Membawa setiap insan pada halaman kehidupan yang sama sekali berbeda dari masa yang telah ditinggalkan. Setiap hal berotasi, mengalami perubahan dengan atau tanpa disadari. Di antara banyaknya perubahan, ada satu hal yang tetap dipertahankan oleh Sakalangit Bastara. Kesendirian yang dipeluk masih tetap sama sejak kata talak terucap dan pengadilan meresmikan perpisahannya dengan Lidya. Ini bukan perkara sudah atau belum melupakan masa lalu. Bukan juga tentang ada atau tidaknya hati baru yang berusaha menyentuh kehidupan Saka. Pria itu hanya sedang menikmati masa-masa pemulihan yang sungguh menyembuhkan semua kepiluan hatinya. Dia sadar bahwa luka yang dulu tertoreh hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu, Saka sangat fokus pada dirinya sendiri dan keluarga. Menyelesaikan semua tanggung jawab dengan penuh sambil berusaha membahagiakan kedua orang tuanya. Meskipun sudah tampak baik-baik saja, nya
Ramen aneka toping telah tersaji di atas meja, sang pelayan undur diri setelah memastikan tiga porsi ramen yang dipesan tamunya lengkap. Kafe yang menjual makanan khas Jepang ini menjadi pilihan May untuk mengajak Saka berbincang. Mereka memesan ruangan khusus dan tertutup demi menjaga privasi. Acara makan berlangsung dengan damai. Setelah semuanya sama-sama santai dan momennya tepat, May mulai membuka pembicaraan. Public speaking May sebagai seorang manajer tidak perlu diragukan. Penjelasan ihwal tujuannya mengajak Saka berunding sangat singkat, padat, dan mudah dimengerti.Sepanjang May bercerita, perasaan sesal muncul di hati Saka. Dia menganggap dirinya sebagai penyebab utama hal buruk yang dialami Sharena walaupun faktanya Saka tidak tahu apa-apa. Sementara Sharena, dia hanya membisu dan fokus pada makanannya yang belum habis. Hati kecil gadis itu ingin melarikan diri dari situasi ini. Niatnya yang ingin menghilang secara diam-diam dari kehidupan Saka gagal total karena May."Ja
Pada ruang temaram yang berselimut sepi, Saka menatap senyum manis yang sebenarnya terlihat sarat akan lirih. Pria itu baru selesai menonton konferensi pers Sharena yang ditayangkan beberapa stasiun televisi serentak. Begitu selesai, televisi itu lantas dimatikan. Saka beranjak dari ranjangnya, ia berjalan menuju balkon kamarnya. Saat ini Saka memutuskan untuk kembali tinggal di kediaman orang tuanya. Dia berniat menjual rumah yang dulu dia huni bersama mantan istrinya—Lidya.Walaupun rumah itu sudah Saka miliki sebelum dia berumah tangga dengan Lidya namun pria itu sudah berniat memasukkan aset itu dalam pembagian harta gono-gini nanti. Selain itu, Saka juga ingin meninggalkan berbagai hal yang sekiranya akan membuatnya ingat pada kenangannya bersama Lidya. Kecewa yang semula hanya bermuara pada keegoisan Lidya kini bertambah setelah Saka tahu bahwa perempuan itu juga ternyata tega meneror Sharena.Lidya tidak berani menyerang Sharena secara terang-terangan kare
“Sharena, bagaimana tanggapan kamu setelah semua kebenaran terkuak? Apa kamu berencana untuk memenjarakan Fiona lebih lama?” ujar salah seorang wartawan.Sejak Sharena memasuki ruangan konferensi pers, bidikan kamera dan riuh pertanyaan wartawan menyambutnya dengan hangat. Sharena yang biasanya sangat ceria dan antusias jika tampil di depan publik, kini terlihat lebih tenang dan berwibawa. Dia tidak memiliki tujuan lain selain untuk meluruskan keadaan dan menyampaikan pengunduran dirinya. Biarlah orang mau menilainya menjadi dingin atau apa. Sharena tidak lagi peduli.“Jujur aku kaget dan tidak menyangka dia tega melakukan hal itu padaku hanya karena iri. Aku tidak mau ikut campur urusan sanksi apa yang akan diberikan padanya. Kupasrahkan semuanya pada pihak yang berwenang dan aku akan bersikap kooperatif jika sewaktu-waktu mereka membutuhkan bantuanku,” jawab Sharena diplomatis.“Apa yang mau kamu sampaikan pada para haters
Saka telah mendaftarkan surat perceraiannya ke pengadilan, kini ia hanya tinggal menunggu proses sidang berlangsung. Sebelum benar-benar disidangkan, dua hari lalu sempat ada pemanggilan kepada Saka dan Lidya untuk mengadakan mediasi. Saka memenuhi pemanggilan itu sedangkan Lidya mangkir. Seolah tak peduli dan memang niat berpisah sudah kuat dari perempuan itu. Saka pun sebenarnya sudah malas bertemu dengan Lidya, namun ia hanya berusaha untuk tetap bijaksana. Meskipun sekali lagi, kebijaksanaan Saka selalu disia-siakan. Kini mereka hanya tinggal menunggu persidangan pertama yang rencananya sudah dijadwalkan minggu depan.“Saka, Saka, Saka,” panggil Tristan saat sang teman berjalan cepat di lorong kantor polisi hendak menuju ruang pribadinya.Tristan berlari menyamakan langkah dengan Saka karena pria itu tak kunjung menggubris panggilannya.“Ah elah lu Ka, gue panggil juga malah nyelonong aja.”“Jaga panggilan kamu, kita di k