“Turun dari mobil saya,” titah Saka masih dengan suara rendah.
“Aku lapar, Pak, makan dulu yuk baru pulang,” jawab Sharena santai saja sambil memasang seatbelt.
Saka melajukan mobilnya untuk keluar dari area kantor polisi, dia khawatir ada orang lain yang melihatnya membawa perempuan lain dalam mobilnya. Apalagi status perempuan ini benar-benar dikenal banyak orang.
“Pak Saka tahu enggak tempat makan yang nyaman terus privasinya terjaga? Kita ke sana aja Pak, aku enggak tahu banyak tentang daerah-daerah di sini. Walau aku asal Jawa Barat tapi karena lama tinggal di Jakarta jadi ya begini deh, pengetahuanku tentang daerah sendiri benar-benar payah. Eh, enggak payah-payah banget juga sih, kan aku bukan asli Bandung, ya. Rumahku di pedalaman Cianjur, jauh banget dari sini, ada tiga sampai empat jam perjalanan. Kalau pak Saka asli sini?”
“Setelah makan Anda janji akan pergi?”
Saka malah balik bertanya, Sharena mengiyakan saja darip
Sharena baru saja kecopetan, tasnya raib dirampas orang tak dikenal saat wanita itu sedang berjalan di trotoar untuk memesan taksi online. Sayangnya, Sharena belum sempat melakukan pemesanan dan sekarang dia sudah tidak tahu harus pulang dengan cara apa. Dia sudah berencana kembali ke rumah Saka, terserah jika bapak pria itu akan mengomelinya lagi yang pasti Sharena butuh bantuan sekarang. Jadwal syutingnya sudah lewat tiga jam, May pasti sedang sangat khawatir dan menghubunginya puluhan kali. Hari sudah semakin gelap, Sharena masih memutari jalan yang sama selama berjam-jam. “Lah, ini tempat yang tadi, kan? Aku sudah 4 kali bolak-balik ke sini. Fix, nyasar. Kenapa kamu bego banget sih, Sharen? Di kota besar juga masih sempet-sempetnya nyasar.” Kriukkk! Sharena memegangi perutnya yang keroncongan, sejak tadi siang dia belum makan apa pun karena sengaja ingin mengajak Saka makan bersama. “Haruskah aku minta makan sama penjual nasi gor
Sharena merapal doa saat memasuki rumah pribadi Saka dan istrinya yang begitu mewah. Tidak salah lagi, sekelas pangkat komandan mana mungkin hidup biasa-biasa saja bukan? Dari mobil dan penampilan Saka saja sudah tercium aroma manisnya uang yang banyak. Saat Sharena masuk di ruang tengah, rumah itu dalam kondisi gelap.Lampu berangsur menyala secara otomatis ketika Saka memasukinya. Mulut Sharena menganga takjub, semua sudut di rumah ini dilengkapi teknologi canggih yang mustahil Sharena miliki di kampung halamannya. Tadi saja saat Sharena masuk, pintu rumah itu terbuka sendiri. Oke, mungkin pemandangan itu sudah biasa Sharena temukan di hotel-hotel atau gedung-gedung modern lainnya di Ibu Kota, tapi untuk sekelas rumah, ini membuat cita-citanya menjadi sultan semakin meronta-ronta."Silakan duduk, saya mau ambil minuman dulu buat kamu," kata Saka dan Sharena hanya mengangguk patuh saja.Selama Saka tidak ada di sa
"Bercanda, Pak, serius deh cuma bercanda." Sharena menunjukkan tanda peace dan senyuman lima jari.Saka geleng-geleng setelah itu ia beranjak ke kamarnya yang ada di lantai dua. Tiba di kamarnya, pria itu memeriksa ponselnya terlebih dahulu. Lidya masih belum menghubunginya, sesibuk itukah pekerjaan Lidya sampai lupa mengabari suami? Ego tinggi seorang laki-laki menahan Saka untuk tidak menghubungi istrinya lebih dulu. Pria itu melempar ponselnya ke atas kasur dan berjalan menuju kamar mandi. Lima belas menit kemudian Saka sudah keluar dengan lebih segar. Ia berganti pakaian dan setelah siap pria itu turun bermaksud mengajak Sharena ke kamar tamu yang akan wanita itu huni malam ini.Sayangnya, orang yang Saka cari tidak ada di ruang tamu. Saka celingukan mencari sosok Sharena, terbesit dugaan mungkinkah Sharena pergi? Tapi pakaian yang tadi Saka belikan masih ada di sofa begitu pun dengan plastik obat-obatannya. Saka berjalan ke
"Gue benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran istri lo, Ka. Maunya apa, sih?" ungkap Tristan dari seberang sana, dia sedang melakukan panggilan video untuk memastikan Saka masih hidup karena sejak tadi siang panggilannya terus diabaikan. Sekalian juga Tristan mau bertanya soal Sharena."Kerjalah, apa lagi," jawab Saka miris."Gue punya banyak kenalan wanita karier yang udah nikah tapi kelakuannya enggak gitu-gitu banget."Sebenarnya Saka tidak ingin menceritakan ihwal prahara rumah tangganya pada Tristan, hanya saja entah mengapa tanpa diberi tahu Tristan sudah tahu bahwa Saka sedang terkena masalah. Sehingga dia tidak berhenti memancing Saka untuk bercerita sampai akhirnya Saka tidak bisa menghindar lagi."Lo tahu sendiri Lidya karakternya kayak apa, dia workahlic akut.""Enggak usah belain dia, kesel gue dengernya. Anjir banget itu cewek, bikin lo nunggu sa
Saka memejam berat, dia segera memutus panggilan video dengan Tristan. Pria itu kembali menghubunginya tapi tidak digubris."Aku ganggu ya, Pak?" tanya Sharena hati-hati melihat ekspresi Saka seperti kesal."Kenapa kamu belum tidur?" Saka balik bertanya setelah menekan kekesalannya, tidak ada gunanya juga dia marah-marah tengah malam."Aku mau mengambil obat Pak, tadi ketinggalan di sini. Lukaku sudah dibersihkan jadi mau diobati sekarang."Saka mempersilakan Sharena untuk mengambil obat yang dimaksud, wanita itu tidak langsung kembali ke kamarnya dan malah duduk di sofa seberang Saka. Dia mengobati lukanya di sana sambil terus mengajukan pertanyaan demi pertanyaan pada Saka. Sepertinya bibir Sharena gatal jika tidak bicara."Pak Saka kenapa belum tidur?""Saya belum mengantuk.""Sudah jam 12 malam, Pak, besok pak Saka kerja,
May merampas ponsel dari genggaman Sharena ketika gadis itu mengetahui bahwa sang kakak kembali terhanyut dalam kegiatan bersosial media. Ekspresi Sharena masam lebih condong ke sedih ketika menatap ponsel itu. Tatapan Sharena seperti kosong memikirkan banyak hal."May, kembalikan ponselnya, kakak mau posting foto siapa tahu setelah ini kita dapat endorsment yang lebih banyak.""Kakak bukan lagi posting foto tapi lagi baca komentar sampah para netizen yang maha benar itu. Ngapain sih, Kak? Berulang kali aku bilang jangan coba-coba buka kolom komentar di saat seperti ini. Kita fokus saja dulu pada real life!" tegas May memasukkan ponsel kakaknya ke dalam tas lalu ia duduk di bibir ranjang kecil indekos yang mereka huni saat ini.Keuangan Sharena sedang guncang, sisa tabungannya terkuras gara-gara kasus prostitusi kemarin. Ditambah ia harus membayar beberapa denda yang diembankan padanya karena
"Gue tahu hal ini akan terjadi hanya tetap saja gue enggak menyangka lo bakal seberani itu, Ka. Bisa banget lo ya, di depan gue pura-pura nolak eh di belakang malah udah diajak nginep di rumah!" cerocos Tristan tanpa jeda.Sahabat Saka yang hobi rumpi itu masih mempersoalkan masalah kemarin, saat ia menangkap basah Sharena ada di rumah Saka. Sepulang kerja, Tristan mengajak kawannya itu ke suatu tempat yang nyaman dijadikan tempat nongkrong. Berhubung Lidya masih di Bali dan Saka pun sedang malas pulang ke rumah dengan cepat jadi dia menyetujui ajakan Tristan."Lo kemarin malam ngapain aja sama dia, hah?"Saka meneguk minumannya dan mengalihkan pandangan keluar. Pemandangan di sana dihiasi oleh benderang lampu-lampu yang berkilauan. Bandung sama ramainya dengan Jakarta saat malam tiba."Gue cuma nyuruh dia menginap karena enggak tega membiarkan dia tidur di masjid sendirian."
"Mundur kalian semua! Bagi siapa saja yang menghalangi rencana gue, maka gue enggak akan segan buat nusuk kalian pakai pisau ini!""Hhh, idiot kayak lo emang enggak tahu malu, ya. Sudah menipu orang dan sekarang lo malah bikin kerusuhan kayak gini. Menjijikkan tahu enggak?!" ujar seorang gadis yang di lengan kirinya sudah mengalir darah segar."Lo yang mulai duluan, lo yang nyerang gue, dasar cewek bangsat!""Gue enggak bakal menyerang kalau lo enggak macem-macem sama kakak gue. Di mana otak lo hah? Siapa elo sampai berani menghina dan melecehkan kakak gue kayak gitu.""Ha ha ha, lucu banget lihat lo ngomong kayak orang bener. Jangan sok suci deh, semua orang juga sudah tahu kalau kakak lo tuh lont-"Bugh!Tubuh pria itu terjerembap ke depan setelah Saka menendang punggungnya dari belakang. Semua orang memekik kaget sedangkan May hanya menatap bengis pria mes
Kurang lebih empat hari sudah Saka berada di desa Sukasari, ia dan tim menjalankan tugas dengan sangat baik sampai semua korban berhasil dievakuasi. Desa Sukasari dan sekitarnya berduka sangat dalam. Para korban sudah dimakamkan secara masal dan bala bantuan terus berdatangan setiap harinya. Mereka yang kehilangan sanak saudara dan tempat tinggal masih memerlukan uluran tangan saudara-saudaranya. Dengan berakhirnya proses pencarian korban, bisa dikatakan berakhir pula tugas Sakalangit di sana. Menurut kabar yang beredar, Saka akan kembali ke kota dua hari lagi. Malah sebagian anggota timnya sudah kembali lebih dulu atas perintah pria itu. Sharena ketar-ketir mendengar itu, dia belum sempat mengobrol banyak lagi dengan pria pujaannya setelah siang itu. Setiap Sharena mau menemui Saka pasti selalu ada gangguan. Pria itu sibuk luar biasa, kondisinya juga genting jadi sangat tidak etis jika gadis itu menyita waktu Saka terlalu banyak. Sore ini, Sharena sedang sibuk menggalau di kamarnya,
Sharena menatap Saka dari jauh, bersembunyi di balik pohon mangga sambil memeluk rantang berisi makanan yang sengaja dia masak untuk Saka. Usai membantu para relawan memasak makan siang untuk para korban di dapur umum, Sharena sengaja memasak menu tambahan yang spesial dia buat hanya untuk Saka. Semangat itu begitu menggebu sebelumnya, namun kini, ketika Sharena hanya tinggal memberikan hasil karyanya tiba-tiba dia dera keraguan yang begitu besar. Dia masih belum lupa tentang fakta bahwa Saka sudah memiliki istri. Walaupun sedang berada jauh dari Lidya, tetap saja pria itu milik Lidya. Tidakkah tindakan dan perhatian Sharena ini hanya akan membuat Saka tidak nyaman nantinya? “Aduh, kasih jangan ya? Kalau dikasih sama pak Saka nanti dia berpikir macam-macam lagi tentang niatku tapi kalau enggak dikasih kan mubazir.” “Dor!” “Astagfirullah!” kaget Sharena refleks memukul orang yang mengejutkannya. Di tengah kebimbangan yang melanda hati Sharena tiba-tiba dia dikejutkan oleh kemuncula
“Euleuh ... euleuh ... bah Jana sama siapa itu? Meuni kasep pisan!” puji Esih terpesona melihat ketampanan dua orang pemuda yang tampak asing di matanya.Esih yakin dua pemuda itu bukan orang kampung sana, bahkan dia juga meyakini tidak ada orang seperti itu di desa Sukasari ini. Dua pemuda itu dan abah Jana baru selesai melaksanakan sembahyang salat Isya. Mereka masih di selasar masjid, tampak sedang asyik mengobrol.“Enggak bisa dibiarkan, mesti laporan sama Sharena ini.”Gegas wanita bertubuh agak berisi itu melesat pergi—menjauhi area masjid demi menyusul Sharena di rumahnya.“Lain kali kalau pak Saka dan yang lainnya mau menggunakan kamar mandi di masjid ini langsung datang saja, ya. Sekalian bisa sambil salat berjamaah sama warga sini,” tutur Jana, sebagai tuan rumah untuk para tamunya, dia memperlakukan Saka dan yang lain dengan sangat baik.“Terima kasih sebelumnya, Pak. Tapi sepertinya cukup untuk malam ini saja, kalau bala bantuan tambahan sudah datang kemungkinan kami akan
"Ya Allah, parah banget longsornya, Bah," kata Sharena sedang mendampingi abahnya melihat bencana alam yang menimpa salah satu kampung yang sebenarnya cukup dekat dengan kampung Sharena. Wilayahnya masih berada di kawasan desa yang sama, cuma terpisah oleh satu sungai saja. Hujan lebat yang semalam mengguyur tempat itu membawa bencana dahsyat. Puluhan rumah warga yang dekat dengan lereng gunung tertimbun. Kabarnya sampai menimbulkan korban jiwa, beberapa sudah ditemukan sedangkan sisanya masih proses evakuasi. "Iya, astagfitullah, rumah Uwa kamu juga habis tertimbun, Ren. Sekarang dia sudah ada di pengungsian, kita temui dia dulu baru nanti Abah mau gabung sama warga dalam mengevakuasi korban." Sharena mengangguk paham, mereka lanjut berjalan menyusuri jalanan basah dan lengket. Maklum akses menuju kampung seberang masih cukup sulit. Setelah melewati jembatan kayu yang membentang di atas sungai perbatasan, mereka harus berjalan sekitar 300 meter jauhnya. Kendaraan bermotor tidak mem
Dua tahun kemudian ... Waktu berjalan sangat cepat. Membawa setiap insan pada halaman kehidupan yang sama sekali berbeda dari masa yang telah ditinggalkan. Setiap hal berotasi, mengalami perubahan dengan atau tanpa disadari. Di antara banyaknya perubahan, ada satu hal yang tetap dipertahankan oleh Sakalangit Bastara. Kesendirian yang dipeluk masih tetap sama sejak kata talak terucap dan pengadilan meresmikan perpisahannya dengan Lidya. Ini bukan perkara sudah atau belum melupakan masa lalu. Bukan juga tentang ada atau tidaknya hati baru yang berusaha menyentuh kehidupan Saka. Pria itu hanya sedang menikmati masa-masa pemulihan yang sungguh menyembuhkan semua kepiluan hatinya. Dia sadar bahwa luka yang dulu tertoreh hanya bisa disembuhkan oleh dirinya sendiri, bukan orang lain. Oleh karena itu, Saka sangat fokus pada dirinya sendiri dan keluarga. Menyelesaikan semua tanggung jawab dengan penuh sambil berusaha membahagiakan kedua orang tuanya. Meskipun sudah tampak baik-baik saja, nya
Ramen aneka toping telah tersaji di atas meja, sang pelayan undur diri setelah memastikan tiga porsi ramen yang dipesan tamunya lengkap. Kafe yang menjual makanan khas Jepang ini menjadi pilihan May untuk mengajak Saka berbincang. Mereka memesan ruangan khusus dan tertutup demi menjaga privasi. Acara makan berlangsung dengan damai. Setelah semuanya sama-sama santai dan momennya tepat, May mulai membuka pembicaraan. Public speaking May sebagai seorang manajer tidak perlu diragukan. Penjelasan ihwal tujuannya mengajak Saka berunding sangat singkat, padat, dan mudah dimengerti.Sepanjang May bercerita, perasaan sesal muncul di hati Saka. Dia menganggap dirinya sebagai penyebab utama hal buruk yang dialami Sharena walaupun faktanya Saka tidak tahu apa-apa. Sementara Sharena, dia hanya membisu dan fokus pada makanannya yang belum habis. Hati kecil gadis itu ingin melarikan diri dari situasi ini. Niatnya yang ingin menghilang secara diam-diam dari kehidupan Saka gagal total karena May."Ja
Pada ruang temaram yang berselimut sepi, Saka menatap senyum manis yang sebenarnya terlihat sarat akan lirih. Pria itu baru selesai menonton konferensi pers Sharena yang ditayangkan beberapa stasiun televisi serentak. Begitu selesai, televisi itu lantas dimatikan. Saka beranjak dari ranjangnya, ia berjalan menuju balkon kamarnya. Saat ini Saka memutuskan untuk kembali tinggal di kediaman orang tuanya. Dia berniat menjual rumah yang dulu dia huni bersama mantan istrinya—Lidya.Walaupun rumah itu sudah Saka miliki sebelum dia berumah tangga dengan Lidya namun pria itu sudah berniat memasukkan aset itu dalam pembagian harta gono-gini nanti. Selain itu, Saka juga ingin meninggalkan berbagai hal yang sekiranya akan membuatnya ingat pada kenangannya bersama Lidya. Kecewa yang semula hanya bermuara pada keegoisan Lidya kini bertambah setelah Saka tahu bahwa perempuan itu juga ternyata tega meneror Sharena.Lidya tidak berani menyerang Sharena secara terang-terangan kare
“Sharena, bagaimana tanggapan kamu setelah semua kebenaran terkuak? Apa kamu berencana untuk memenjarakan Fiona lebih lama?” ujar salah seorang wartawan.Sejak Sharena memasuki ruangan konferensi pers, bidikan kamera dan riuh pertanyaan wartawan menyambutnya dengan hangat. Sharena yang biasanya sangat ceria dan antusias jika tampil di depan publik, kini terlihat lebih tenang dan berwibawa. Dia tidak memiliki tujuan lain selain untuk meluruskan keadaan dan menyampaikan pengunduran dirinya. Biarlah orang mau menilainya menjadi dingin atau apa. Sharena tidak lagi peduli.“Jujur aku kaget dan tidak menyangka dia tega melakukan hal itu padaku hanya karena iri. Aku tidak mau ikut campur urusan sanksi apa yang akan diberikan padanya. Kupasrahkan semuanya pada pihak yang berwenang dan aku akan bersikap kooperatif jika sewaktu-waktu mereka membutuhkan bantuanku,” jawab Sharena diplomatis.“Apa yang mau kamu sampaikan pada para haters
Saka telah mendaftarkan surat perceraiannya ke pengadilan, kini ia hanya tinggal menunggu proses sidang berlangsung. Sebelum benar-benar disidangkan, dua hari lalu sempat ada pemanggilan kepada Saka dan Lidya untuk mengadakan mediasi. Saka memenuhi pemanggilan itu sedangkan Lidya mangkir. Seolah tak peduli dan memang niat berpisah sudah kuat dari perempuan itu. Saka pun sebenarnya sudah malas bertemu dengan Lidya, namun ia hanya berusaha untuk tetap bijaksana. Meskipun sekali lagi, kebijaksanaan Saka selalu disia-siakan. Kini mereka hanya tinggal menunggu persidangan pertama yang rencananya sudah dijadwalkan minggu depan.“Saka, Saka, Saka,” panggil Tristan saat sang teman berjalan cepat di lorong kantor polisi hendak menuju ruang pribadinya.Tristan berlari menyamakan langkah dengan Saka karena pria itu tak kunjung menggubris panggilannya.“Ah elah lu Ka, gue panggil juga malah nyelonong aja.”“Jaga panggilan kamu, kita di k