Gibran menatapku penuh tanya saat aku menariknya dengan kasar dari kerumunan tamu undangan dinnernya.“Apa-apaan lu!”“Ikut gue sebentar, Gib!”Tania sendiri sudah tak terlihat berada satu meja dengan dokter yang menemaninya mengobrol tadi.“Dia! Dia siapa?” tanyaku dengan gugup pada Gibran menunjuk ke arah pria yang masih berjubah dokter, yang tadi duduk berhadapan dengan Tania.“Ya teman gue lah, Ry. Lu enggak liat dia masih pakai jubah dokter.” Gibran terlihat kesal.“Maksud gue ... dia dokter apa?”“Dia dr. Bambang. Dokter senior, spesialis Onkologi.” Gibran menjelaskan singkat.“Tahan dia di sini, Gib. Jangan biarkan dia pulang sebelum gue kembali kemari. Gue mau antar Tania pulang dulu.”Gibran masih menatapku tak mengerti, namun aku mengacuhkannya lalu mencari Tania di antara kerumunan tamu. Hingga akhirnya aku kembali menemukan istriku itu sedang duduk bersama Nilam, wajahnya terlidat sendu, aku bisa menangkap sisa-sisa tangisan di sana namun ia segera tersenyum saat melihatku
Sekali lagi aku hanya mengangguk, semoga saja pria itu mengerti bagaimana syok nya aku saat ini sehingga tak sanggup lagi berkata-kata. Gibran mengantarkan dr. Bambang dan beberapa rekannya yang lain, sementara aku masih terduduk lemas.Kutengadahkan wajahku memandangi langit kelam yang berhias bintang malam. Air mataku terus menerus luruh meski aku sudah berusaha menahannya sekuat tenaga. Tania Nadira, istriku, ternyata menyimpan begitu banyak kesakitan yang tak ingin dibaginya denganku. Dia ingin melahirkan bayiku ke dunia ini tanpa kekurangan apapun, tapi justru mengorbankan tubuhnya sendiri demi memastikan bayi kami tumbuh dengan baik.Suara helaan napas di dekatku membuatku mengalihkan perhatianku dari memandang langit malam. Gibran terlihat sudah kembali duduk di hadapanku, entah kapan lelaki itu sudah kembali duduk di sana. Ia terlihat tak sesemringah tadi, yang sepanjang acara makan malam perayaan ulang tahunnya terus saja menyunggingkan senyum sambil menyapa para tetamunya.
Sejak mengetahui penyakit berbahaya yang tengah bersarang di dalam tubuh Tania, hari-hari seakan berjalan sangat lambat bagiku. Sementara tak ada yang berubah dari Tania, ia tetap seperti bisa. Tetap melayaniku meski aku selalu melarangnya untuk melakukan aktifitas fisik yang membuat ia kelelahan. Tania juga makin manja padaku, ia selalu melakukan hal-hal ajaib untuk menggodaku di ranjang di saat aku justru menghindari aktifitas suami istri agar aku tak menyakitinya atau pun bayinya.“Tidak ada yang berubah, Mas. Aku baik-baik saja. Mas Fahry tak perlu berlebihan. Kita jalani saja seperti biasanya." Begitu ucap Tania saat ia tengah menggodaku dengan cara-cara yang sepertinya memang sengaja di pelajarinya saat aku berusaha menghentikannya.“Tapi kamu nggak boleh kecapean, Sayang.”“Aku akan merasa tak nyaman jika Mas Fahry berubah. Perlakukan aku seperti biasa. Aku baik-baik saja.”Tidak. Tak ada yang baik-baik saja. Tania-ku sedang tak baik-baik saja meski ia mengatakan tak merasakan
Aku tak menanggapi, sementara Roy masih terus mendesis lirih. Kulihat tangan wanita tadi semakin intens menjamah tubuh Roy.“Terus lu blingsatan gini nggak merasa bersalah sama Nasya?”“Gue laki-laki, Ry. Nasya nggak bisa ngasih gue yang seperti ini, jadi gue terpaksa. Akhhh!” Ia tak mampu meneruskan kalimatnya.“Hey! Lu sewa kamar sana, brengs*k!” seruku.“Haha, iya ... iya. Sepertinya harus begitu. Oiya, Nasya titip salam padamu. Dia sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah dan menjalani rawat jalan. Meski sesekali ia masih histeris dan kehilangan kesadarannya.”“Jangan laporkan apapun lagi tentangnya padaku!”Aku langsung keluar dari ballroom dan berniat meninggalkan pesta yang masih berlangsung panas setelah rangkaian acara penyerahan jabatan. Iseng kuraih ponselku dari dalam saku. Ya Tuhan! Banyak sekali panggilan tak terjawab dari nomor Tania, Nilam dan Gibran, juga beberapa pesan yang menumpuk belum terbaca. Otakku berpikir cepat, pasti ada sesuatu yang terja
“Di mana bayiku?” Itu yang pertama kali ditanyakan Tania saat ia bangun dari pengaruh obat bius.Aku berusaha memberikan senyum terindahku padanya, meski mataku terus saja meneteskan bening yang sungguh tak dapat lagi kutahan.“Terima kasih sudah bangun, Tania. Aku takut sekali tadi.”Seorang perawat yang sedang mengganti botol infus Tania melirik padaku sambil tersenyum.“Bu Tania tadi hanya dalam pengaruh obat bius, Pak,” ucap si perawat. Sepertinya ia merasa heran dengan kekhawatiranku yang mungkin menurutnya berlebihan.Aku mengangguk. Kurasa memang tak ada seorang pun yang mampu memahami apa yang ada di dalam hatiku saat ini.“Di mana bayiku?” Tania mengulang pertanyaannya.“Dia di inkubator, Sayang. Dia baik-baik saja, kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Dia hanya masih perlu berada di sana karena terlahir prematur.”“Mas sudah melihatnya?” Tania kembali menggumam, sedikit terbata-bata.Aku mengangguk.“Sudah. Terima kasih sudah melahirkannya ke dunia ini.” Kucium punggung tangan
Ternyata tak semua berjalan semulus yang kuharapkan. Dua bulan setelah pulang dari Singapura menjalani kemoterapi, Tania kembali drop. Dia yang telah kehilangan helai-helai rambut indahnya satu persatu sejak menjalani kemoterapi di Singapura masih harus terus berjuang. Berejejer-jejer buku mengenai leukemia di rak buku ternyata tak segampang yang tertera di sana. Semua berbeda, masing-masing penderita penyakit itu memiliki ciri khas dan daya tahan yang berbeda-beda.Semua teori yang selama ini kupelajari dan juga ku tanamkan pada diri Tania tak lagi bisa digunakan saat pagi ini, tiba-tiba saja Tania kembali pingsan. Membuatku kembali harus melihat bagiamana dr. Bambang yang berlari menyambut tubuh Tania yang tergeletak di brankar rumah sakit setelah diturunkan dari mobil ambulance. Sementara aku kini hanya bisa terduduk di koridor rumah sakit, memandang derap langkah para petugas medis yang mendorong brankar menjauh dariku untuk memperoleh penanganan.Ya Allah! Aku lelah! Aku lelah d
PoV NilamKini, dua bulan berlalu sejak kepergian Mbak Tania, yang membuat keluarga kami seolah kehilangan gairah. Hari-hari semenejak kepergian Mbak Tania, ayah dan ibuku masih selalu menagis, mengenang putri sulung mereka. Namun kehadiran Baby Ghazy di rumah kami sedikit banyak mampu mengobati rasa rindu yang begitu besar pada Mbak Tania.Kepergian Mbak Tania membuatku mau tidak mau harus lebih fokus mengurus Baby Ghazy, bayi yang dilahirkan Mbak Tania di tengah perjuangannya melawan penyakitnya. Sejak pulang dari rumah sakit setelah beberapa hampir dua bulan harus berada di dalam inkubator, baby Ghazy memang menjadi tanggung jawabku dan aku membawanya pulang ke rumah orang tuaku sebab aku telah berbagi tugas dengan Mas Fahry. Aku fokus mengurus Baby Ghazy dan Mas Fahry fokus mengurus Mbak tania.Aku bisa melihat bagaimana terpuruknya Mas Fahry ketika akhirnya Mbak Tania menyerah dan leukimia merenggut nyawanya. Ayah dan ibuku bahkan harus turun tangan menenangkan Mas Fahry ketika i
Mungkin karena sejak lahir ia memang tinggal bersamaku di rumah kami, maka Baby Ghazy selalu menganggap ayah kandungnya sendiri adalah orang asing, pun dengan Khanza dan ibu Mas Fahry. Hatiku selalu miris saat memandang kedua bocah yang ditinggalkan Mbak Tania. Khanza dan Ghazy terpaksa tinggal terpisah karena baby Ghazy berada dalam pengasuhanku. Sedangkan Khanza dalam pengasuhan Mas Fahry dan ibunya.Setiap bulan Mas Fahry juga mentransfer sejumlah uang ke rekeningku untuk keperluan putranya. Meski aku selalu protes padanya karena uang yang dikirimnya tiap bulan terlalu banyak untuk keperluan seorang bayi yang baru berusia enam bulan.“Urusan Baby Ghazy sudah menyita waktumu, Dek. Kamu bahkan tak sempat mencari pekerjaan dengan ijazahmu karena mengurusnya. Mas merasa bersalah, jadi jangan menolak jika Mas melebihkan jatah nafkah untuk Ghazy, itu semata-mata untuk menghargai pengorbananmu.”Itu alasan Mas Fahry jika aku mempertanyakannya.“Aku ikhlas mengurus Ghazy, Mas. Dia putra da
Mas Fahry semakin jahil, sesekali ia menggenggam tanganku dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya memegang setir. Sesekali pula ia bersenandung lalu kemudian mengedipkan matanya padaku, lengkap dengan senyum manisnya. Dalam hati aku mengucap terima kasih pada Mbak Tania, tanpa amanah darinya, tanpa harta paling berharga yang ditinggalkannya ini, mungkin seumur hidup aku tak akan pernah merasakan kebahagiaan seperti ini.Sesungguhnya Allah sebaik-baiknya penulis skenario. Jika saja aku tak menikah dengan Mas Fahry, mungkin aku akan menjadi wanita paling nelangsa karena tak bisa memiliki anak. Namun lihatlah apa yang kumiliki sekarang? Suami yang penyayang, anak-anak yang sehat dan ceria yang tak lain adalah keponakanku sendiri. Maka tak ada jarak apa pun yang menghalangi kasih sayangku pada Khanza dan Ghazy, anak-anak Mbak Tania. Aku menengok sekilas ke belakang, tersenyum pada Ghazy yang menggumamkan panggilannya saat aku tersenyum padanya.“Mama,” sapa bocah itu tersenyum. A
Sejak vonis tak bisa hamil dari dr. Sovia padaku, aku merasa Mas Fahry setiap hari semakin perhatian. Hal-hal sekecil apapun dilakukannya untukku. Kadang di saat aku masih sibuk menyiapkan sarapan pagi, ternyata ia berinisiatif memandikan Ghazy, atau hanya sekedar merapikan kamar jika Baby Ghazy masih tertidur. Tak jarang pula ia menelepon di siang hari dan mengatakan agar aku tak usah terlalu sibuk di dapur, dan sesaat kemudian ia menyuruh kurir mengantar berbagai menu makanan ke rumah kami. Kalimat-kalimat ajaibnya juga hampir setiap hari terdengar olehku.“Jangan terlalu capek, Dek.”“Kamu baik-baik saja kan, Dek?”“Mama Ghazy mau makan apa hari ini?”“Kalau bawa mobil hati-hati ya, Dek. Kalau capek mending pesan transportasi online.”“Mas pesan ART dari yayasan ya, untuk bantu-bantu kerjaan rumah.”Dan masih banyak lagi kalimat-kalimatnya yang lain yang membuatku seolah menjadi ratu di rumah ini. terkadang aku hanya tersenyum melihat tingkahnya. Sesekali aku memprotes jika merasa
Pagi ini aku bangun dengan wajah pucat, tapi masih tetap menjalankan tugasku menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil kami, dan menyiapkan semua perlengkapan kerja Mas Fahry.“Kamu pucat sekali, Nak.” Ibu menegurku saat aku sedang sibuk di dapur.“Iya, Bu,” jawabku singkat.“Nilam sakit, Nak?”“Nggak, Bu. Biasa, penyakit bulanan.”“Nilam lagi haid?”“Iya, Bu.”Ibu dan bahkan Mas Fahry memang sudah hapal dengan kebiasaanku. Setiap bulan, saat sedang haid, aku akan selalu terlihat pucat dan tak bersemangat. Ini memang sudah menjadi penyakitku sejak masih gadis dulu. Masa-masa haid selalu membuatku tersiksa, sakit perut dan pucat serta lemas.“Sebaiknya Nak Nilam sesekali memeriksakan diri ke dokter.”“Ah, nggak perlu, Bu. Nilam udah terbiasa. Nanti juga sembuh sendiri.”“Tak ada salahnya mencoba, Nak. Ibu hanya khawatir, soalnya Nilam kalau sedang haid selalu seperti ini.”“Nilam nggak apa-apa, Bu.”Aku masih berusaha meyakinkan ibu, sementara Mas Fahry dan Khanza tak berkomentar apa-apa
Kini hampir enam bulan sudah usia pernikahanku dan Mas Fahry. Setelah ia mendengar pengakuan perasaanku waktu itu di depan pusara Mbak Tania, aku tau pria itu juga semakin berusaha untuk mencintaiku, meski aku tau jauh di dalam hatinya masih nama Mbak Tania lah yang bertahta. Aku pun tak menuntut banyak. Bagiku, cukuplah dengan dia tak memiliki wanita lain dan selalu memperhatikan kebutuhanku dan anak-anak, itu semua sudah cukup.Dan ternyata Mas Fahry memenuhi semuanya. Ia bahkan membelikan sebuah mobil untukku, yang sehari-harinya kugunakan untuk mengantar jemput Khanza yang kini sudah mulai bersekolah di jenjang PAUD. Jatah uang bulanan pun selalu tepat waktu dan tak pernah berkurang. Bahkan saat aku memprotes padanya karena merasa ia terlalu banyak memberikan nafkah bulanan, Mas Fahry hanya beralasan jika itu semua tak seberapa jika dibanding dengan pengabdianku padanya, terutama menjaga anak-anak dan juga merawat ibu yang kini mulai sakit-sakitan.Mas Fahry juga sering mengajakk
“Kenapa-kenapa gimana maksud Mas?”“Ngomong sendiri tadi, panjang lebar lagi.”“Hah? Mas Fahry dengar?”Ia kembali mengacak rambutku, lalu menghela napas dalam-dalam.“Mas dengar semuanya, Dek. Makanya lain kali kalau bicara di depan pusara gini dalam hati saja. Bukan kayak tadi seolah-olah sedang berhadapan langsung dengan Tania.”“Ehm ... Mas Fahry dengar apa?” Aku penasaran.“Dengar ungkapan perasaan dari seorang gadis yang kini tiba-tiba saja sudah dewasa.”Aku salah tingkah. Bagaimana ini? Dia mendengar aku mengakui perasaanku padanya di hadapan pusara istrinya. Pipiku mendadak terasa panas. Mas Fahry meraih tanganku, menyatukan jemarinya dengan jemariku. Kini kami berdua berdiri bergenggaman tangan di depan pusara Mbak Tania.“Kamu lihat, Tania ... adik kecilmu ini udah dewasa sekarang. Dia sudah bisa jadi mama yang baik bagi Ghazy. Juga sudah bisa ... jadi istri yang memuaskan suami.” Kalimat terakirnya setengah berbisik. Aku mencubit pinggangnya.“Ayo pulang.”“Nilam bawa moto
Pagi ini aku terbangun dengan mata seperti berpasir dan juga bengkak. Semalaman tadi aku memang tak bisa memejamkan mata dan baru tertidur beberapa jam sebelum azan Subuh berkumandang. Kejadian semalam membuat rasa kantukku menguap entah ke mana, selain karena rasa tak nyaman pada pusat tubuhku akibat hubungan semalam, gumaman Mas Fahry setelahnya juga sangat mengganggu pikiranku. Bagaimana mungkin aku menyerahkan mahkotaku pada lelaki yang menggumankan nama lain setelahnya, meskipun itu adalah nama kakakku sendiri. Ada rasa nyeri di ulu hatiku. Apakah aku telah salah melakukan ini?Mas Fahry tersenyum simpul saat berpapasan denganku saat ia baru saja pulang dari mesjid untuk menunaikan salah subuh. Kulihat ia memperhatikan wajahku sesaat. Aku segera menunduk, menyembunyikan mataku yang terasa panas dan bengkak akibat.“Nggak perlu malu-malu gitu, Dek. Nanti juga terbiasa,” ucapnya padaku, sambil mencolek daguku yang masih menunduk.Bukan, Mas. Aku bukan sedang malu, toh apa yang kita
“Udah?” tanyanya.“Iya.” Aku terkekeh.“Awas kamu, ya. Nanti malam Mas hukum.”“Kalau gitu sebelum Mas pulang mending Nilam balik ke rumah ayah aja, dari pada dihukum.”“Ehhh, jangan dong! Hukumannya hukuman enak kok.” Ia menggerakkan alisnya naik turun.Aku bergidik saat memahami maksud dari kalimatnya tadi.“Udah ah. Katanya banyak kerjaan.”“Kamu sih aneh-aneh aja sampai video call segala. Oiya, anak-anak mana, Dek?”“Nih, lagi main puzzle.” Kuarahkan kamera ponselku pada Khanza dan Ghazy yang tengah bermain.Masa Fahry pun menyapa anak-anak satu persatu sebelum memutuskan sambungan telepon.***Aku memilih duduk di sofa sambil membaca novel sambil menunggu Mas Fahry pulang. Ghazy sendiri sudah tertidur pulas setelah menghabiskan dua botol susu formula tadi. Jika biasanya aku dengan acuh tidur di samping Ghazy dan tak menunggu jika Mas Fahry pulang malam, tapi entah kenapa hari ini aku begitu menantikan kepulangannya. Kejadian semalam dimana ia melakukan sentuhan fisik yang memabuk
Aku sedang merapikan beberapa barang-barang Mbak Tania dari lemari saat ibu memanggilku. Ya, aku baru berani merapikan beberapa barang Mbak Tania setelah kemarin Mas Fahry melepas pigura foto mereka di dinding kamar. Kurasa mungkin benar apa kata Mas Fahry kemarin, meski dia belum bisa melupakan Mbak Tania, dan aku pun masih merasa risih dengan statusku saat ini, tapi hidup kami akan terus berjalan. Aku sudah menjadi istri sah Mas Fahry, anak-anak pun akan semakin bertumbuh besar dalam pengasuhanku. Kurasa pelan-pelan aku juga harus menata hidup dan menata hati. Bukankah ini juga amanah dari Mbak Tania padaku untuk mengawasi anak-anaknya setelah kepergiannya? Meskipun Mbak Tania tak pernah memintaku untuk menggantikan perannya sebagai istri Mas Fahry, namun ternyata sekarang takdir telah membawaku ke sini, ke kamar ini, menggantikan peran Mbak Tania menjaga anak-anaknya dan sekaligus menjadi istri dari Mas Fahry.“Iya, ada apa, Bu?” tanyaku saat ibu memanggilku dari depan pintu kamar.
“Lepas, Mas. Aku mau mandiin Ghazy!”“Jawab dulu, Dek. Mas boleh ketemu Nasya hari ini?”“Mas mau ajak Khanza?”“Nggak lah, Dek. Mas nggak mungkin kabulkan permintaan Khanza tadi. Ini benar-benar urusan kerjaan, bukan urusan pribadi.”“Terserah kamu, Mas! Lepaskan, aku mau mandiin Ghazy.” Kali ini aku sendiri yang melepas tangannya dari pinggangku.Mas Fahry menghela napas kasar, kemudian memperhatikan saat aku mulai membuka pakaian Baby Ghazy satu persatu untuk kumandikan.“Ngapain senyum-senyum?” tanyaku dengan kening mengeryit ketika melihat Mas Fahry tersenyum.“Mas sedang bayangin kalau Mas yang dibukain pakaiannya seperti itu sama kamu.” Ia terkekeh.Dasar nggak ada akhlak! Batinku. Seenaknya saja lelaki ini mengucapkan guyonan tanpa berpikir apa akibatnya. Tak taukah dia kalimatnya barusan berhasil membuat wajahku panas, kurasa saat ini wajahku sudah seperti kepiting rebus. Dan masih dengan tak punya perasaan lelaki itu justru membuatku semakin merona.“Kapan bisa praktekin sep