“Di mana bayiku?” Itu yang pertama kali ditanyakan Tania saat ia bangun dari pengaruh obat bius.Aku berusaha memberikan senyum terindahku padanya, meski mataku terus saja meneteskan bening yang sungguh tak dapat lagi kutahan.“Terima kasih sudah bangun, Tania. Aku takut sekali tadi.”Seorang perawat yang sedang mengganti botol infus Tania melirik padaku sambil tersenyum.“Bu Tania tadi hanya dalam pengaruh obat bius, Pak,” ucap si perawat. Sepertinya ia merasa heran dengan kekhawatiranku yang mungkin menurutnya berlebihan.Aku mengangguk. Kurasa memang tak ada seorang pun yang mampu memahami apa yang ada di dalam hatiku saat ini.“Di mana bayiku?” Tania mengulang pertanyaannya.“Dia di inkubator, Sayang. Dia baik-baik saja, kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Dia hanya masih perlu berada di sana karena terlahir prematur.”“Mas sudah melihatnya?” Tania kembali menggumam, sedikit terbata-bata.Aku mengangguk.“Sudah. Terima kasih sudah melahirkannya ke dunia ini.” Kucium punggung tangan
Ternyata tak semua berjalan semulus yang kuharapkan. Dua bulan setelah pulang dari Singapura menjalani kemoterapi, Tania kembali drop. Dia yang telah kehilangan helai-helai rambut indahnya satu persatu sejak menjalani kemoterapi di Singapura masih harus terus berjuang. Berejejer-jejer buku mengenai leukemia di rak buku ternyata tak segampang yang tertera di sana. Semua berbeda, masing-masing penderita penyakit itu memiliki ciri khas dan daya tahan yang berbeda-beda.Semua teori yang selama ini kupelajari dan juga ku tanamkan pada diri Tania tak lagi bisa digunakan saat pagi ini, tiba-tiba saja Tania kembali pingsan. Membuatku kembali harus melihat bagiamana dr. Bambang yang berlari menyambut tubuh Tania yang tergeletak di brankar rumah sakit setelah diturunkan dari mobil ambulance. Sementara aku kini hanya bisa terduduk di koridor rumah sakit, memandang derap langkah para petugas medis yang mendorong brankar menjauh dariku untuk memperoleh penanganan.Ya Allah! Aku lelah! Aku lelah d
PoV NilamKini, dua bulan berlalu sejak kepergian Mbak Tania, yang membuat keluarga kami seolah kehilangan gairah. Hari-hari semenejak kepergian Mbak Tania, ayah dan ibuku masih selalu menagis, mengenang putri sulung mereka. Namun kehadiran Baby Ghazy di rumah kami sedikit banyak mampu mengobati rasa rindu yang begitu besar pada Mbak Tania.Kepergian Mbak Tania membuatku mau tidak mau harus lebih fokus mengurus Baby Ghazy, bayi yang dilahirkan Mbak Tania di tengah perjuangannya melawan penyakitnya. Sejak pulang dari rumah sakit setelah beberapa hampir dua bulan harus berada di dalam inkubator, baby Ghazy memang menjadi tanggung jawabku dan aku membawanya pulang ke rumah orang tuaku sebab aku telah berbagi tugas dengan Mas Fahry. Aku fokus mengurus Baby Ghazy dan Mas Fahry fokus mengurus Mbak tania.Aku bisa melihat bagaimana terpuruknya Mas Fahry ketika akhirnya Mbak Tania menyerah dan leukimia merenggut nyawanya. Ayah dan ibuku bahkan harus turun tangan menenangkan Mas Fahry ketika i
Mungkin karena sejak lahir ia memang tinggal bersamaku di rumah kami, maka Baby Ghazy selalu menganggap ayah kandungnya sendiri adalah orang asing, pun dengan Khanza dan ibu Mas Fahry. Hatiku selalu miris saat memandang kedua bocah yang ditinggalkan Mbak Tania. Khanza dan Ghazy terpaksa tinggal terpisah karena baby Ghazy berada dalam pengasuhanku. Sedangkan Khanza dalam pengasuhan Mas Fahry dan ibunya.Setiap bulan Mas Fahry juga mentransfer sejumlah uang ke rekeningku untuk keperluan putranya. Meski aku selalu protes padanya karena uang yang dikirimnya tiap bulan terlalu banyak untuk keperluan seorang bayi yang baru berusia enam bulan.“Urusan Baby Ghazy sudah menyita waktumu, Dek. Kamu bahkan tak sempat mencari pekerjaan dengan ijazahmu karena mengurusnya. Mas merasa bersalah, jadi jangan menolak jika Mas melebihkan jatah nafkah untuk Ghazy, itu semata-mata untuk menghargai pengorbananmu.”Itu alasan Mas Fahry jika aku mempertanyakannya.“Aku ikhlas mengurus Ghazy, Mas. Dia putra da
PoV Fahry“Fahry! Nilam! A-apa yang kalian lakukan?” Gibran berseru saat melihatku memeluk Nasya di samping mobilku di arean pemakaman Hasan Lukman.Buru-buru kulepas dekapanku pada Nilam sebelum Gibran menduga yang tidak-tidak.“Hei, Gib. Itu tadi gue lagi nenangin Nilam, dia baru saja ketemu Nasya. Lu jangan salah sangka bro!” Terus terang saja aku merasa tak nyaman ketika Gibran memergokiku memeluk kekasihnya.Gibran mengangguk, melirik Nilam sejenak kemudian menawarkan padaku dan Nilam untuk makan siang bersama sebelum balik ke Jakarta. Nilam sendiri hanya menunduk dan mengikutiku dan Gibran, bahkan dia juga tak terlibat pembicaraan apapun dengan Gibran. Mungkin dia masih sedih dan terpukul mendengar kecelakaan yang menimpa Hasan Lukman, mantan kekasihnya. Atau mungkin juga ia masih kesal dengan perlakuan Nasya tadi.Saat makan siang di salah satu restoran terkenal di Kota Bandung pun, Nilam tak banyak bicara. Ia bahkan lebih memilih duduk di sampingku dari pada di samping Gibran.
“Nilam nggak akan nikah sama Mas Gibran, Mas. Kami ... kami sudah putus.”“Hahh?” Aku terkejut mendengarnya. “Sejak kapan?””Sebulan setelah pulang dari Bandung waktu itu.”“Kok Mas nggak tau? Gibran juga nggak ada cerita, padahal biasanya dia selalu cerita apapun padaku.”Nilam menghela napas.“Itu karena selama ini Nilam sebenarnya tak pernah ada di hatinya. Dia dekatin Nilam hanya karena mencari sosok Mbak Tanja dalam diri Nilam. Padahal Nilam dan Mbak Tania dua pribadi yang sangat berbeda.”“Aduh, kok sayang, Dek. Padahal kalian cocok loh, mana udah ... udah ....”“Udah apa?”“Udah cium-ciuman lagi.” Aku ingat ketika mereka berdua berciuman panas di dalam mobilku waktu itu.“Ck! Jangan diingatkan, Mas.”“Makanya kamu harusnya mencontoh kakakamu, Dek. Bagaimana dia menjaga dirinya dan pergaulannya. Tania sangat menjaga dirinya. Kurasa selama hidupnya, hanya Mas Fahran dan aku yang pernah menyentuhnya.”“Jadi Mas Fahry mau bilang Nilam murahan!”Nilam terlihat gusar, lalu meraih str
Beberapa hari setelah kejadian aku kepergok mertuaku ketiduran di kamar Nilam sambil memeluk Baby Ghazy dan Nilam, ibu dan ayah mertuaku serta ibuku dan beberapa kerabat dekatku memanggilku dan Nilam. Ya, kami berdua disidang atas kejadian itu.“Jika Nak Fahry menginginkan Nilam, ayah dan ibu tak melarang,” ucap ayah mertuaku.Padahal aku sudah berkali-kali menjelaskan jika malam itu benar-benar kejadian yang tak disengaja, namun sayang semua keluargaku sudah memandang curiga padaku.“Ibu kurang setuju kamu dengan Nilam, Nak. Tapi ibu juga tak bisa mengabaikan apa yang sudah terjadi dan juga omongan orang-orang sekitar mengenai kalian berdua. Kamu dan Nilam kerap pergi bersama dengan anak-anakmu. Semua itu menimbulkan omongan miring, Nak.” Itu yang dikatakan ibuku padaku sebelum berangkat ke rumah mertuaku untuk disidang tadi.Aku melirik Nilam, terus terang aku sungguh merasa iba bahwa gadis itu telah masuk ke dalam kehidupanku yang kacau saat ini. Namun apalah daya, aku tak mungkin
“Gue rasa apa yang diharapkan keluarga kalian itu wajar, Ry. Lu harus tanggung jawab pada hidup Nilam setelah dia menyerahkan semua waktu dan pikirannya untuk jaga dan besarin anak lu. Anak lu bahkan lebih dekat ama Nilam dibanding lu yang ayah kandungnya, kan?”“Sulit, Gib. Gue hanya menganggap Nilam sebagai adik gue. Bagaimana mungkin gue menikahinya dan tidur seranjang dengan adik gue sendiri.”“Lah, bukannya kemarin udah tidur seranjang dan melukin dia?”“Ck! Sudah kubilang itu kejadian tak disengaja. Gue dan Nilam sama-sama kelelahan sementara Baby Ghazy rewel dan membuatku akhirnya ketiduran di kamar Nilam.”“Tapi kok pakai meluk?”“Entahlah! Mungkin waktu itu gue lagi mimpiin Tania.” Hatiku kembali basah oleh air mata, memikirkan Tania tak pernah membuat hatiku baik-baik saja. Selalu ada rasa rindu yang bergaung di sana, merindukan sosok wanita sempurna itu. Ah, aku merindukan semua tentangmu, Tania.‘Lihatlah aku sekarang, Tania. Lihatlah bagaimana hancurnya hidupku tanpamu. B