“Kamu udah kayak dokter beneran deh, Sayang,” kataku saat Tania menjelaskan dengan detail mengenai hasil pemeriksaannya.“Iya, Mas. Aku menghapal semua yang dikatakan dokter agar aku bisa kembali menceritakannya padamu.”Aku terkekeh. Lalu meraih tubuhnya, menenggelamkannya dalam dekapanku.“Kenapa nggak minta kuantar aja sih, Tan. Kan aku bisa dengar langsung dari dokter beneran bukan dari dokter gadunganku ini.”Ia tak menjawab, hanya mencubit kecil pingganggku ketika aku menyebutnya dokter gadungan. Lalu kemudian kami tertawa bersama. Ah, indahnya masa-masa ini. Walaupun sesekali aku melihat Tania terlihat lebih pucat dari biasanya, tapi kurasa itu adalah hal yang wajar, sebab ia tengah mengandung.***Berita yang kudapat berikutnya dari Roy adalah tenyata bayi Nasya yang terlahir sebelum waktunya tak dapat bertahan hidup. Menurut Roy, selain karena terlahir prematur, kondisi bayi Nasya juga memang kurang nutrisi mengingat selama hamil Nasya tak pernah mengurus dirinya sendiri, apa
Aku hanya mengintip dari balik pintu ruangan perawatan Nasya di rumah sakit jiwa ketika akhirnya aku mengabulkan keinginan Tania untuk menjenguknya. Ternyata bukan hanya Tania, tapi ibuku pun meminta ikut saat kukatakan jika kami akan ke Bandung menengok Nasya.Aku memilih untuk tidak ikut masuk, tak mau ada insiden yang tak kuinginkan lagi. Sementara Roy, yang juga ikut ke Bandung karena memang setiap weekend ia akan mengunjungi Nasya menemani ibu, Tania dan Khanza ke dalam ruangan Nasya.“Ayah, Tante Nasya sakit apa? Kenapa nggak cantik seperti dulu lagi?” tanya Khanza sesaat setelah keluar dari sana.“Ayah juga nggak tau, Sayang. Yang pasti Tante Nasya butuh doa dari Khanza agar ia cepat sembuh,” jawabku.“Tapi Tante Nasya tetap baik sama Khanza, Ayah. Dia tadi meluk Khanza katanya kangen. Khanza juga kangen Tante Nasya.”Aku melirik Tania, ia hanya mengangguk.“Ibu tak menyangka Nasya bisa jadi seperti ini, Nak. Ibu kasihan melihatnya.” Kali ini ibu yang menggumam.“Kita doakan sa
Malam ini, aku dan Tania menghadiri undangan makan malam dari Gibran. Dokter yang juga sahabatku yang seklaigus juga adalah kekasih dari Nilam. Gibran memang selalu seperti ini, merayakan ulang tahunnya di Jakarta meski ia sebenarnya bertugas di Bandung.Satu hal yang pernah membuatku tercengang saat Gibran pernah mengakui jika waktu itu ia memilih meninggalkan Jakarta dan bertugas di Bandung karena ia ingin menghindariku dan Tania. Ya, Gibran memang dengan terang-terangan mengakui jika ia dulu menyukai Tania, namun aku mendahuluinya satu langkah karena akulah yang lebih dulu melamar Tania. Terlebih seluruh keluargaku dan Tania sangat mendukung hubungan kami saat itu.Namun kini, Gibran pun sudah menemukan tambatan hatinya yang tak lain adalah adik kandung Tania. Sungguh kebetulan yang sangat aneh menurutku. Tak jarang saat sedang bersama Tania, aku masih sering melihat Gibran melirik sembunyi-sembunyi pada Tania. Aku lelaki, dan aku tau binar mata Gibran masih menunjukkan rasa kagumn
Gibran menatapku penuh tanya saat aku menariknya dengan kasar dari kerumunan tamu undangan dinnernya.“Apa-apaan lu!”“Ikut gue sebentar, Gib!”Tania sendiri sudah tak terlihat berada satu meja dengan dokter yang menemaninya mengobrol tadi.“Dia! Dia siapa?” tanyaku dengan gugup pada Gibran menunjuk ke arah pria yang masih berjubah dokter, yang tadi duduk berhadapan dengan Tania.“Ya teman gue lah, Ry. Lu enggak liat dia masih pakai jubah dokter.” Gibran terlihat kesal.“Maksud gue ... dia dokter apa?”“Dia dr. Bambang. Dokter senior, spesialis Onkologi.” Gibran menjelaskan singkat.“Tahan dia di sini, Gib. Jangan biarkan dia pulang sebelum gue kembali kemari. Gue mau antar Tania pulang dulu.”Gibran masih menatapku tak mengerti, namun aku mengacuhkannya lalu mencari Tania di antara kerumunan tamu. Hingga akhirnya aku kembali menemukan istriku itu sedang duduk bersama Nilam, wajahnya terlidat sendu, aku bisa menangkap sisa-sisa tangisan di sana namun ia segera tersenyum saat melihatku
Sekali lagi aku hanya mengangguk, semoga saja pria itu mengerti bagaimana syok nya aku saat ini sehingga tak sanggup lagi berkata-kata. Gibran mengantarkan dr. Bambang dan beberapa rekannya yang lain, sementara aku masih terduduk lemas.Kutengadahkan wajahku memandangi langit kelam yang berhias bintang malam. Air mataku terus menerus luruh meski aku sudah berusaha menahannya sekuat tenaga. Tania Nadira, istriku, ternyata menyimpan begitu banyak kesakitan yang tak ingin dibaginya denganku. Dia ingin melahirkan bayiku ke dunia ini tanpa kekurangan apapun, tapi justru mengorbankan tubuhnya sendiri demi memastikan bayi kami tumbuh dengan baik.Suara helaan napas di dekatku membuatku mengalihkan perhatianku dari memandang langit malam. Gibran terlihat sudah kembali duduk di hadapanku, entah kapan lelaki itu sudah kembali duduk di sana. Ia terlihat tak sesemringah tadi, yang sepanjang acara makan malam perayaan ulang tahunnya terus saja menyunggingkan senyum sambil menyapa para tetamunya.
Sejak mengetahui penyakit berbahaya yang tengah bersarang di dalam tubuh Tania, hari-hari seakan berjalan sangat lambat bagiku. Sementara tak ada yang berubah dari Tania, ia tetap seperti bisa. Tetap melayaniku meski aku selalu melarangnya untuk melakukan aktifitas fisik yang membuat ia kelelahan. Tania juga makin manja padaku, ia selalu melakukan hal-hal ajaib untuk menggodaku di ranjang di saat aku justru menghindari aktifitas suami istri agar aku tak menyakitinya atau pun bayinya.“Tidak ada yang berubah, Mas. Aku baik-baik saja. Mas Fahry tak perlu berlebihan. Kita jalani saja seperti biasanya." Begitu ucap Tania saat ia tengah menggodaku dengan cara-cara yang sepertinya memang sengaja di pelajarinya saat aku berusaha menghentikannya.“Tapi kamu nggak boleh kecapean, Sayang.”“Aku akan merasa tak nyaman jika Mas Fahry berubah. Perlakukan aku seperti biasa. Aku baik-baik saja.”Tidak. Tak ada yang baik-baik saja. Tania-ku sedang tak baik-baik saja meski ia mengatakan tak merasakan
Aku tak menanggapi, sementara Roy masih terus mendesis lirih. Kulihat tangan wanita tadi semakin intens menjamah tubuh Roy.“Terus lu blingsatan gini nggak merasa bersalah sama Nasya?”“Gue laki-laki, Ry. Nasya nggak bisa ngasih gue yang seperti ini, jadi gue terpaksa. Akhhh!” Ia tak mampu meneruskan kalimatnya.“Hey! Lu sewa kamar sana, brengs*k!” seruku.“Haha, iya ... iya. Sepertinya harus begitu. Oiya, Nasya titip salam padamu. Dia sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang ke rumah dan menjalani rawat jalan. Meski sesekali ia masih histeris dan kehilangan kesadarannya.”“Jangan laporkan apapun lagi tentangnya padaku!”Aku langsung keluar dari ballroom dan berniat meninggalkan pesta yang masih berlangsung panas setelah rangkaian acara penyerahan jabatan. Iseng kuraih ponselku dari dalam saku. Ya Tuhan! Banyak sekali panggilan tak terjawab dari nomor Tania, Nilam dan Gibran, juga beberapa pesan yang menumpuk belum terbaca. Otakku berpikir cepat, pasti ada sesuatu yang terja
“Di mana bayiku?” Itu yang pertama kali ditanyakan Tania saat ia bangun dari pengaruh obat bius.Aku berusaha memberikan senyum terindahku padanya, meski mataku terus saja meneteskan bening yang sungguh tak dapat lagi kutahan.“Terima kasih sudah bangun, Tania. Aku takut sekali tadi.”Seorang perawat yang sedang mengganti botol infus Tania melirik padaku sambil tersenyum.“Bu Tania tadi hanya dalam pengaruh obat bius, Pak,” ucap si perawat. Sepertinya ia merasa heran dengan kekhawatiranku yang mungkin menurutnya berlebihan.Aku mengangguk. Kurasa memang tak ada seorang pun yang mampu memahami apa yang ada di dalam hatiku saat ini.“Di mana bayiku?” Tania mengulang pertanyaannya.“Dia di inkubator, Sayang. Dia baik-baik saja, kamu tak perlu mengkhawatirkannya. Dia hanya masih perlu berada di sana karena terlahir prematur.”“Mas sudah melihatnya?” Tania kembali menggumam, sedikit terbata-bata.Aku mengangguk.“Sudah. Terima kasih sudah melahirkannya ke dunia ini.” Kucium punggung tangan