Aku mematikan telefon begitu saja. Kesal. Bagaimana tidak, pertemuan tiga bulan sekali itu bagiku cukup lama. Terlebih kami belum dikaruniai buah hati.
Kenapa harus mengejar lembur? Apakah kekayaan Mas Agam selama ini masih kurang? Seolah-olah ia terlalu mati-matian mengejar sesuatu yang tidak dibawa mati.Mama mertua sepertinya mengetahui raut wajahku yang kesal. Beliau mendekat."Manda, tak sopan kamu berkata seperti itu kepada Agam. Buat bagaimanapun dia adalah suami kamu," ucap mama mertua dengan pelan."Kalau bukan aku yang mempertahankan harga diriku, lantas siapa lagi Ma. Aku bukan wanita murahan yang hanya bisa disenangkan oleh materi. Tidak seperti itu," elakku dengan tajam."Tapi selama ini kamu menikmatinya bukan? Kamu bahagia kan?" tanya mama mertua seolah olah aku sangat bahagia dengan harta anaknya.Aku menarik nafas panjang. Semata agar bisa menenangkan diri."Ma, kalau tentang materi, aku sudah kenyang sedari kecil. Ah aku fikir mama bisa lebih dewasa daripada ini. Aku pulang dulu Ma," ucapku dengan lembut. Dan masih sama, aku mencium pipi kanan dan kirinya meskipun Mama mertuaku masih diam mematung.Aku tidak suka dengan cara arogan dan berteriak-teriak. Ya aku lebih suka cara halus, tapi menohok.Sesampai rumah, apakah aku menangis? Tidak sama sekali."Nyonya, ada paket," ujar Mbok Siti sesaat aku baru sampai rumah.Alisku bertaut. Seingatku, aku tidak belanja lewat online. Aku terima. Dan ternyata nama Mas Agam yang tercantum di alamatnya."Mungkin hadiah dari Tuan, Nyonya," kata Mbok Siti"Dalam rangka apa Mbok? Saya tidak ulangtahun," elak ku"Ah Bos memberi hadiah kepada nyonya tidak melulu harus saat ulang tahun," sahut Mbok Siti.Ya aku akui meskipun kami jauh namun Mas Agam seringkali mengirimi aku kejutan kecil. Tetapi semua tak bisa mengalahkan sebuah kehadiran.Tanpa pikir panjang aku membuka paket itu. Toh itu tertulis atas nama suamiku. Jadi tak ada salahnya bukan?Dan lagi-lagi isinya pakaian bayi. Aku menghela nafas dengan kasar. Permainan apa dibalik ini semua?Aku segera keluar lagi, menghampiri Pak Bani. Namun aku Iba melihat laki laki paruh baya itu. Dia sedang batuk, tampak sesekali dia menggigil.Pak Bani juga kaget melihat aku yang sedang berdiri dekat."Nyonya? Mau keluar? Mari saya antar," tawarnya walau badanya terlihat lemas.Aku tak menyahut, melainkan mengambil beberapa lembar uang dari dalam dompet."Pak Bani pulang saja. Periksa ke dokter. Saya bisa mengemudi sendiri,""Tapi Nyonya. Saya dibayar untuk mengantar nyonya kemanapun," elaknya dengan pelan"Dengar saya Pak. Pak Bani memang sopir saya. Tetapi anda juga manusia. Dan sudah selayaknya saya memanusiakan manusia. Sudah tak apa. Saya tidak marah," jawabku. Ya begitulah aku diajarkan sedari kecil. Untuk tak pandang bulu kepada orang lain. Entah berada atau dalam garis kekurangan.Meskipun bertahun-tahun dimanjakan oleh materi, oleh pelayanan baik yang diberikan Mas Agam, yang selalu melarangku melakukan aktivitas berat, bahkan ia melarangku keras mengemudi mobil, tapi aku tetap lihai di jalanan. Hanya menikah dengan Mas Agam lah, aku mempunyai sopir. Sebelum menikah, orang tuaku mengajarkan aku untuk selalu mandiri, walau aku seorang perempuan.Ada yang aneh di rumah mertua. Ada sebuah mobil pick up dengan angkutan kerangka besi seperti sebuah tenda acara tertentu. Aku hanya menatap penuh telisik."Ma," panggilku.Mama Mertua yang tengah di dapur menoleh. Namun dia menatapku penuh haru."Manda sayang, tak perlu kamu minta ma'af. Mama sudah mema'afkan kamu, Nak." ucapnya tiba-tibaIdih ge-er benar.Aku menggeleng pelan."Bukan Ma," jawabku"Bukan bagaimana?""Manda kesini lagi bukan untuk meminta ma'af. Memangnya apa salah Manda?" tanyaku tanpa rasa berdosa.Mama mertua tampak salah tingkah."Baiklah. Yasudah kalau begitu, kamu mau perlu apa sayang? Katakanlah? Kamu mau beli perhiasan baru atau berlian? Hemm atau kamu mau beli hunian baru? Agam adalah anak mama. Dan kamu juga menjadi anak mama. Apapun itu akan Mama kabulkan," katanya lagi.Aku lelah. Semua disangkut pautkan dengan materi."Ma, bisa tidak pertanyaan Mama diganti? Aku bosan loh Ma. Coba sekali-kali ditanya. Aku bahagia atau tidak? Andai ada, aku hanya minta bahagia. Itu saja," sahutkuMama mertua terdiam."Mbok ya belajar bersyukur Nda. Diluar sana banyak yang ingin menjadi seperti kamu," tegurnya tiba-tiba."Ya itu yang namanya hidup sawang sinawang. Yang hidup enak belum tentu enak. Pun sebaliknya. Menikah dengan Mas Agam memang menjanjikan kemewahan tapi hidup tak selalu tentang itu, Ma. Karena sepi memang meng
"Kamu aneh sekali sih Nda sekarang. Pantas saja Agam lebih memilih lembur daripada pulang menemui kamu," serang Mama mertua.Aku hanya menghela nafas pelan."Bagaimana aku tidak aneh Ma. Kalau mama juga bersikap aneh," jawabku."Maksutmu bagaimana?" tanya Mama mertua yang nada suaranya sudah naik satu oktaf."Itu lihat di depan ada tenda yang datang. Mau ada acara apa sih? Hingga Manda tak boleh datang?" tanyaku sedikit menodong.Mama mertua salah tingkah. Ia menurunkan wajahnya yang terkesan menantang itu."Tak mungkin kan mama gabut, lalu mengundang tukang tenda dengan percuma. Mama memang kaya raya. Tapi untuk ukuran crazy rich mungkin memang belum ya," kataku, aku tak perduli bagaimana reaksi beliau. Aku tidak suka berbasa-basi. Atau bermain lembut. Diam diam membalasnya. Tidak. Aku langsung to the point dengan apa yang aku katakan."Ehm itu, Bi Ijah yang punya acara. Mana mungkin mama. Kalau ada acara pastinya kamu selalu mama libatkan dong," elaknya."Wuidih baik benar Ma. Sampa
Setelah Mas Agam mematikan saluran telefon, apakah aku menelfon balik? Oh tentu saja, jawabanya Tidak.Justru yang aku cari adalah nomor telepon Mama mertua.Nomor yang anda tuju sedang berada di panggilan lain...Ah mudah sekali di tebak. Si keong tentu langsung mengadu ke emaknya.Dan tidak berselang lama Mas Agam kembali menelfon aku."Hallo Sayang, bagaimana? Duh ma'af sekali ya tadi sinyalnya susah. Jangan marah-marah dong, sudah aku beri nafkah tiga digit. Belum tentu dengan orang lain kamu bisa merasakanya loh," ucapnya tanpa merasa bersalah.Aku menarik nafas panjang."Mas, bisa atau tidak kadar kesongonganmu itu di turunkan? Toh kalau aku mati, juga dikubur dengan tanah. Tidak dikubur dengan uang nafkahmu," sengitku dengan kesal."Iya iya. Jadi bagaimana Nda?""Kebetulan sekali ya Mas sewaktu sambungan telefon darimu mati. Kok telefon mama Melisa juga sibuk. Semoga baik baik saja ya," serangku lagi."Nda, sudahlah kamu jangan yang aneh aneh. Mama orang sibuk. Wajarlah kalau
Saat aku kembali ke dalam mobil, justru aku melihat Ilham telungkup seperti posisi tertidur."Oh jadi kamu tidak mau masuk karena mau tidur?" tanyaku sembari masuk mobil.Dia kaget."Eh sudah selesai Nyonya? Alhamdulillah. Saya tidak tidur Nyonya," elaknya."Lalu kenapa? Seperti orang takut saja. Jangan jangan kamu masuk dalam Daftar Pencarian Orang? Ih serem," komentarku.Ilham menggeleng dengan cepat."Bukan Nyonya. Saya pria baik baik. Hanya saja di depan Hotel itu menjadi tongkrongan teman teman saya. Nanti kalau mereka mengetahui saya, takutnya justru mereka mengajak ngopi. Saya bekerja Nyonya," jawab Ilham dengan sopan."Oh begitu. Kirain.""Nyonya kok cepat sekali. Numpang ke toilet ya? Wah bahaya ya kalau jadi orang kaya, ke toilet saja harus ke hotel," tanya Ilham dengan kekeh kecilnya."Enak saja kamu bilang. Saya ada perlu disini. Besok antar saya kesini lagi," perintahku."Kenapa tidak menginap sekalian saja Nyonya?" Aku sejenak terdiam."Oh iya. Benar juga apa katamu.""
Masih seperti biasa. Mas Agam terlihat salah tingkah dalam kondisi panik. Sementara Mama Mertua hanya diam mematung, antara percaya dan tidak percaya dengan kedatanganku.Aku tertawa kecil."Amanda, bagaimana bisa? Aduh kenapa? Aduh jangan marah," tanyanya dengan panik.Orang melihatnya terlihat lucu. Tapi aku merasa jijik.Aku benci dengan pembohong."Tenang Mas. Aku datang kesini dengan baik-baik. Harusnya disambut baik juga dong. Aku adalah tamu," ucapku dengan santai.Wajah Mas Agam memerah. Keringatnya mulai bercucuran. Kebiasaan lama. Itulah yang terjadi jika dia dalam keadaan panik.Aku juga melihat Kanaya-adik iparku tampak wara wiri melihat suasana acara. Aku menatapnya. Seolah menantang tatapan matanya. Dan setelah sadar, aku tau dia merasa aneh. Dan keanehan itu adalah aku. Ya aku bisa hadir di acara ini."Naya, biasa saja tatapanmu itu," tegurku setengah berteriak. Tapi jangan salah, aku masih memberikan senyum kepada Naya. Bagaimana tidak, selama ini hubunganku dan Nay
Mas Agam memegang pipinya yang mulai memerah. Tampak sesekali ia meringis kesakitan."Sakit Mas? Lebih sakit mana dengan perasaanku saat ini? Tapi kamu salah. Jika beranggapan aku akan menangis. Tidak. Aku tidak akan menangisi laki-laki penuh drama sepertimu. Buang-buang waktu," jawabku dengan tajam."Mas Agam," teriak seorang wanita yang ku dengar suaranya menuju ke arah kami. Dia berlari sedikit tergopoh.Aku kira Kanaya yang datang. Tetapi ternyata bukan, wanita yang ada di foto layar depan yang datang.Aku menelisiknya dari atas sampai bawah. Memastikan diri bahwa memang dialah wanita simpanan Mas Agam dibelakang ku.Wanita dengan kulit sawo matang, berbadan berisi, ah lebih tepatnya berbadan cukup gendut untuk porsi wanita. Seperti sedikit berbeda dengan foto yang terpampang. Ah aku lupa, zaman sekarang mudah sekali mengedit sebuah wajah.Dan aku hampir saja tak percaya.Wanita itu bergantian menatapku. Aku tak takut sama sekali. Justru aku tantang sorot mata tajam itu."Maafkan
Aku bisa merasakan tubuh Erna yang sedikit bergetar. Dia justru melengos. Tak menoleh ke arahku yang tengah menatapnya dengan tajam."Kamu salah memilih lawan, sayang," bisiku lirih di telinganya. Baru setelah itu ia hanya diam. Tak menantangku seperti tadi.Aku kembali berhadapan dengan keluarga besar Mas Agam."Jadi bagaimana Mas? Di talak sekarang? Atau langsung diurus perceraian kita?" tanyaku tanpa sedikitpun menunjukan raut sedihku.Mas Agam masih saja bergeming."Ayolah jawab. Apa menunggu di breafing dulu sama Mama biar mau menjawab? Ah tidak perlu diperjelas lagi kan, kamu laki laki loh Mas," tanyaku lagi setengah mendesak."Permisi Tuan. Acara sudah bisa dimulai," ucapnya, yang ku yakin dia adalah seorang panitiaNamun mereka justru melihat ke arahku."Kenapa? Kalian menyuruhku pergi? Aku juga berhak loh. Aku punya akses untuk masuk kesini," kataku sembari menyodorkan tanganku yang memakai gelang akses masuk kembali di hadapan mereka."Dasar wanita tidak tau malu," cerca Mam
POV AUTHOR"Alah, mimpi kamu. Kamu memang bisa menemukan laki laki yang kaya, tapi laki laki seperti Agam itu ibaratkan satu banding seribu," jawab Mama mertua.Manda terkekeh kecil."Memangnya seistimewa apa sih anaknya Ma? Kurangnya banyak kok. Anak kesayangan Mama itu juga tidak sempurna. Duh. Yang mengenal betul seorang laki-laki itu bukan ibunya. Tapi istrinya. Mama dengar? ISTRINYA," jawabnya lagi tak gentar dan penuh penekanan."Ayolah Mas. Talak aku. Biar aku juga segera bisa pulang. Tapi tenang saja aku akan pulang ke rumah orang tuaku. Tidak ke rumah yang katanya dulu kamu bangun untuk aku. Ambilah lagi rumahmu itu. Aku tidak butuh," tambah Manda."Mas Agam tidak akan menceraikan Mbak Manda. Karena talak itu tidak akan keluar dari mulut Mas Agam, Mbak. Aku yang harusnya tau diri dan mengalah. Aku yang harus pergi. Dan aku yang harus menyudahi semuanya," sela Aisyah."Aisyah, diamlah. Kamu tidak tau apa-apa. Wanita inilah yang egois. Kamu hanya menurut saja ke kita, apa salah
Agam melongo. Apakah nasibnya akan seperti sang Mama? Terbaring di rumah sakit seperti ini?Bagaikan sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Ditinggal istri dan sekarang harus kehilangan satu satunya sumber penghasilan.Belum usai, seorang dokter keluar dari ruang rawat mamanya. Masih dengan wajah sedih bercampur bingung, ia menghadap sang dokter."Keluarganya Bu Melani?"Agam mengangguk"Iya. Saya anaknya," jawab Agam"Ibu anda terserang stroke. Dan mungkin harus selalu didampingi ya Pak. Karena tubuhnya sulit untuk digerakan.""Dok, tapi mama saya sebelumnya tidak punya penyakit darah tinggi. Mana mungkin mama saya terkena stroke tiba tiba?" tanya Naya masih tak percaya. Ia tak bisa membayangkan mamanya yang semula bisa beraktivitas tiba tiba harus berubah tak bisa untuk apa apa"Penyakit stroke bisa menyerang siapa dan dengan latar belakang apapun Mbak. Lagipula umur ibu anda sudah tidak muda lagi. Mungkin sebelumnya ada berita yang mengagetkan. Bisa jadi itu memacu tekanan darah beliau
Neni menoleh kanan kiri dengan suara tersebut "Aku disini Mbak," ucap suara itu.Berapa terkejutnya Neni saat mengetahui Naya ada dibelakangnya. Lidah Neni saat itu terasa kelu."Kenapa Mbak? Biasa saja wajahnya. Tidak usah kaget," lanjut Naya dengan senyum mengejeknya."Nay, kenapa kamu ada disini?"Lagi lagi Naya tersenyum penuh remeh"Memangnya kenapa Mbak? Ini tempat umum. Bukan milik Mbak Neni. Jadi wajar aku ada disini," lawan Naya."Untuk apa kamu di ATM? Kamu pasti sengaja ngikutin aku ya?""Tak perlu aku jelaskan bukan apa fungsi ATM. Lagipula bukan hanya Mbak Neni kok yang punya uang. Aku juga punya. Uang halal malahan. Percuma kan uangnya banyak, bisa beli barang branded ternyata uang dari simpanan. Upps." kata Naya lagi Ng dengan sengaja menyindir Neni."Memangnya kenapa? Itu juga karena kesalahan Abang kamu. Tidak bisa mencukupi kebutuhan istrinya." sengit Neni tak mau kalah.Naya menggeleng walau tak percaya. Ternyata ada iblis di balik polos dan cantiknya wajah seorang
Tak ada perlawanan dari Bu Melisa, kecuali menurut untuk turun dari panggung."Ini yang mau Mama cela? Lihatlah bahkan lebih dari Mas Agam," kata NayaBu Melisa hanya melengos. Ya mau bagaimana memang Yoga lebih mapan adanya.Sementara Neni tak perduli. Mau suaminya kalah dengan suami Manda sekalipun, ia tak perduli. Toh ia sudah ada yang baru.Baru saja hendak menyuapkan satu suapan ke mulutnya, Bu Melisa mendapatkan telepon dari salah satu anak buahnya bahwa salah satunya rumah makan mereka yang ada di pusat, yang paling terbesar kebakaran.Bu Melisa tentu shock bukan main. Satu sendok di tanganya gagal masuk ke mulut. Bahkan sekedar untuk memberi tau anak anaknya pun lidahnya terasa kelu.Bu Melisa hanya mampu menepuk bahu Naya yang ada di sampingnya"Ada apa Ma?"Bu Melisa masih diam. Sulit sekali untuk berucap. Karena merasa aneh, Bata mengambil alih handphone mamanya. Dan ia mendengar sendiri bahwa rumah makan mereka sedang kebakaran.Tak banyak tingkah, Naya segera mungkin memb
"Neni bekerja Nay. Dia itu model beberapa baju temannya," bela Agam.Naya hanya melengos. Ia menghela nafas dengan kasar"Gaji dari model baju bisa untuk membeli baju branded seperti itu ya Mas? Mbak Neni bukan artis dengan bayaran fantastis. Artis saja mungkin berfikir berkali kali untuk membeli barang semewah itu. Coba Mas Agam lebih perhatikan Mbak Neni. Lebih tepatnya selidiki. Percaya boleh. Tapi dibodohi jangan mau mas. Jangan hanya menerima begitu saja." kata Naya lagi.Agam hanya mengangguk. Ya Naya memang baru tau hanya pakaian yang diberikan kepada Mama. Belum pakaian yang kemarin. Yang bahkan sempat dibelikan untuk dia.Sepulang dari rumah Mama, Agam mengutarakan rasa penasarannya juga karena aduan dari Naya tersebut."Neni, boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Agam dengan pelan"Langsung tanya saja kenapa sih Mas.""Gaji kamu berapa jadi model Nen?"Neni yang ada di sebelah Agam langsungenoleh tajam menatap sang suami."Kenapa Mas Agam tanya seperti itu? Tumben. Aneh. Dan pe
"Tumben sekali. Apa kamu tidak mengajakku untuk turut serta Nen?" tanya Agam sembari menikmati makanan."Duh, bagaimana ya Mas. Teman temanku tidak ada yang membawa suami. Jadi aku tidak enak kalau membawa suami sendiri. Ka.u dirumah saja ya. Ehm sebagai gantinya nanti aku belikan oleh oleh yang mahal tentunya dari hasilku menjadi model baju. Bagaimana?" tawar Neni.Agam mengangguk."Bolehlah."Neni tentu tersenyum penuh kemenangan.'Dasar kere. Disogok pakai barang mahal langsung nurut begitu saja,' gumam Neni."Oh iya Nen. Aku sudah bercerai dengan Aisyah," ucap Agam tiba tiba."Oh iya? Baguslah kalau begitu." jawab Neni dengan santai."Kok responmu biasa saja Nen? Bukankah ini yang kamu harapkan dari dulu?"Neni sedikit salah tingkah."Bukan begitu Mas. Tapi aku sadar, aku sudah bersuami. Itu artinya aku juga harus lebih dewasa dari sebelumnya. Lalu mau Mas Agam aku harus bagaimana? Jingkrak jingkrak begitu? Yang ada ditertawakan ayam mas," elak Neni. Padahal dalam hati juga Neni b
Tentu Manda kebingungan dengan Naya yang ada dihadapannya tersebut."Nay, tenang dulu. Ada apa?"Naya mengusap air matanya."Romi, Mbak."Mendengar itu, Manda yang justru gemetar."Iya benar. Harusnya dari awal aku harus hati hati. Menyelediki di setiap sisinya. Di hari pertunangan, justru dia baru mengaku bahwa menikahiku untuk dijadikan istri ke tiganya. Aku malu Mbak. Malu sekali kepada Mbak Manda,"Manda masih mengggenggam tangan Naya."Tidak perlu malu Nay. Aku juga tidak akan mengolokku. Pak Romi adalah tetanggaku. Jadi aku tau,"Mendengar itu justru tangis Naya semakin pecah."Nay, sudah. Itu artinya Tuhan sudah menyelamatkanmu dari hal yang salah. Kamu tidak perlu malu. Tidak perlu menyesal. Tapi kamu harus bersyukur," pesan Manda.Naya hanya mengangguk kecil."Aku juga minta maaf ya Mbak. Atas topengku. Atas kemunafikan ku. Terutama keluargaku."Manda mengambil nafas panjang. Sejenak netranya terpejam."Iya." jawab Manda singkat."Berat ya Mbak? Iya dan aku sudah merasakanya.
"Darimana saja kamu Neni. Di telfon lebih dari sepuluh kali tapi tidak kamu angkat?" gerutu Agam saat sang istri baru pulang.Neni sudah lelah. Ia hanya meletakan sebuah kantong plastik di meja."Nih makan. Ini resto milik artis yang baru buka itu Mas. Rame banget," jawab Neni, mimik wajahnya terlihat senang.Agam masih lurus menatap Neni. Tangannya dilipat di dada."Aku tanya apa, jawabmu apa?" sengit Agam.Neni yang biasanya akan membentak balik saat dibentak Agam hanya tersenyum. Karena apalagi kalau tidak karena hatinya sedang senang saat ini."Mas, aku sudah bilang, aku dari rumah Mama. Kamu sudah lupa? Atau pura pura lupa?" tanya balik Neni dengan tenang.Namun sepertinya jawaban Neni tersebut tidak member rasa puas untuk Agam."Lalu kenapa kamu justru pergi ke restoran artis itu?"Neni sedikit salah tingkah."Tidak. Ini tadi saudaraku yang membelikan. Makanlah mas. Kamu sedari tadi belum makan bukan? Pasti keluargamu sibuk karena huru hara ditipu calon suami," kata Neni.Tak me
Plakk..Tangan Bu Melisa mendarat dengan sempurna di pipi Romi. Sempat ada pembelaan dari Naya. Meskipun air mata telah membanjiri pipi."Kamu kira, kamu itu siapa? Hah? Enak sekali menjadikan anak saya sebagai istri ketiga? Tidak. Saya tidak akan memberi restu. Saya tidak gila dengan harta kamu," jawab Bu Melisa dengan berapi api.Seorang wanita tampak maju mendekati Romi. Ia memeriksa sang suami. Apakah baik baik saja atau tidak. Sepertinya ia adalah salah satu istri Romi juga.Melihat itu tentu hati Naya menjadi sakit bukan main.Romi tetap tenang menghadapi kemarahan keluarga Naya."Yakin tidak gila harta? Buktinya apartemen anda dibeli dengan uang siapa?" tanya Romi dengan pelan namun penuh dengan tatapan sinis.Agam yang ada di belakang Mamanya pun tidak terima. Seolah Romi mempermainkan keluarganya saat itu."Ambil saja apartemen itu. Kami tidak butuh," sengit Agam dengan geram.Para tamu saling berbisik. Pak Anton yang melihatnya dari kejauhan hanya tersenyum simpul. Karena i
Aisyah melihat lembaran uang dari Manda di tanganya itu. Tawaran Papa Manda tempo hari juga terngiang ngiang di kepalanya. Bisa saja ia pergi saat ini juga. Tapi bukankah itu namanya adalah seorang pengecut?Dan dengan uang ditanganya itu, bisa saja ia membayar kontrakan. Bahkan mungkin sisa, walau tak seberapa. Namun untuk bulan depan? Bagaimana jika Agam masih tetap saja tidak memberi nafkah? Ia tak tau harus bagaimana bukan? Ia pun tentu sungkan bahkan malu jika harus meminta tolong Manda kembali.Entah mengapa, sisa uang yang tidak seberapa itu, Aisyah berfikir untuk menjual jajan atau es saja di depan rumah kontrakannya. Lagipula banyak sekali anak kecil di kawasan kontrakan ini. Barangkali bisa untuk membantu ekonominya tanpa selalu bergantung kepada Agam.*"Aku pakai baju yang mana untuk lamaran Naya esok hari Mas?" tanya Neni yang kebingungan di depan lemari."Lihatlah baju baju kamu itu sudah banyak sekali. Kenapa masih saja bingung Nen?""Tapi ini semua sudah pernah aku pa