Sedikit percakapan di antara kami, sebelum aku serahkan sebuah kalung yang berisi memori kecil tentang semua bukti kecurangan di perusahaan Rama Corporation dan beberapa video lama. Barangkali kalau nanti aku tertangkap, aku takkan bisa menyerahkan data itu lagi. Makanya kuserahkan saat itu saja.Setelah Cinta menerima kalung itu, aku segera memenjat pohon. Lompat dari pagar, dan menghilang di kegelapan malam menyusul Bara.***Kira-kira sebulan kemudian.“Aku dan Bara pergi dulu, Bos. Kami akan kembali saat pesta nanti malam.” Aku pamit pada Bos Zapa.“Jangan terlalu lama. Tak seru pesta kita jika kalian terlambat.”“Baik Bos.”Kami pergi dengan mobil hitam, menuju suatu gedung yang tak terpakai lagi, lalu menukar mobil dan pakaian. Selanjutnya kami datang ke kantor polisi. “Penyergapan?” kata kepala polisi khusus itu.“Ya, malam ini mereka adakan pesta. Ini kesempatan untuk menangkap mereka semua. Mereka lengah, pesta. Datanglah dengan kami, maka penjaga di depann tak akan curiga
“Ya,” jawab Pak Brengos singkat yang tetap menatap layar ponselnya ketika aku berada di depan meja kerjanya. Lelaki itu belum dikatakan tua. Dari penampakannya kutaksir usianya masih tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Tentang kenapa semua orang memanggilnya ‘Brengos’ mungkin wajahnya terlalu banyak bulu hingga agak menyeramkan.“Saya ingin meminta pabrik ini untuk lebih memperhatikan limbahnya. Saya membawa laporan bahwa pabrik Bapak ini membuang limbah ke sembarang tempat. Hingga bahan kimia-nya meracuni tanah di kebun duku dan durian kami, Pak.”“Ngomong sama manajer sana!”Astaga. Apa semua orang di pabrik ini segitu cueknya dengan orang lain. Sedari tadi aku selalu bertemu dengan orang yang tiada kepedulian terhadap tamu. Satpam yang meremehkan, staf yang tak menghargai, dan kepala pabrik yang sama tak pedulinya. Aku mengelus dada, menarik napas dalam. Sabat, Cinta.“Maaf, tapi Bapak kepala pabrik.”Tatapannya baru terarah kepadaku, membuatku agak menunduk agar tatapan kam
Orchard Road, Singapore. (Pov Brian)BOULEVARD itu dipenuhi orang berlalu lalang dengan urusan mereka masing-masing. Di kiri kanan, mudah ditemui kios barang mahal super branded–dari seluruh dunia. Mulai dari sepatu, jam tangan, tas, kacamata, semua bisa ratusan jut ajika diukur dengan mata uang Indonesia–rupiah. Sementara langit malam tampak malu-malu menunjukkan beberapa titik bintang.“Kau mau apa, Mel, pilihlah.”Mel menggeleng. Tak biasanya ia menolak jika aku menawarkan barang mewah. Padahal ia yang selalu meminta, merengek-rengek. Tatapan mata Melia seperti tiada berminat pada semua barang mewah dari awal hingga ujung boulevard. Kami berbalik dan kembali melihat-lihat, namun Melia tetap menggeleng saat kutawari, hanya menggamit tanganku erat.“Yang aku mau hanya bersama kau, Bang. Aku takut kita berpisah lagi.”“Kalau itu tiada yang tahu, Mel. Takdir Tuhan susah ditebak.”“Ayo pulang dan jemput Diko.”“Kau yakin, Mel?”Melia mengangguk. Usia kami terpaut cukup jauh. Ia baru mem
KICAU burung, suara angin dan gemuruh kendaraan bersatu padu pagi itu. Tiada awan sesapuan pun menggantung. Biru sepanjang panorama langit. Brian, akhirnya membongkar penyamarannya secara langsung. Ternyata benar dugaanku bahwa Brian adalah asisten Papa. Dulu, seorang pemuda tergeletak lemas hampir kehabisan darah. Aku masih kecil waktu itu, ikut Papa berkunjung ke rumah rekannya. Di sudut gang sempit itu ia tergeletak begitu saja tiada sesiapa pun peduli.Papa mengangkat tubuh itu, menaikkannya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Sejak saat itu, bak pahlawan di matanya, Brian selalu ikut Papa. Namun ketika aku mulai remaja, Brian bekerja sebagai agen rahasia di kepolisian. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, kecuali saat Zapa meminta dia dijadikan manajer di Rama Corporation sekitar setahun silam.“Bunda masih ingat Brian itu, Ram. Dia memang asisten Papamu.” Bunda menatap kejauhan, sebuah mobil hitam baru saja menderu. Sementara Diko menangis meronta-ronta saat dua orang tua
DOKTER Meity adalah dokter spesialis kandungan terbaik di kota kami. Namanya dikenal banyak orang, selain karena memang bagus, juga karena ia selalu mengampanyekan makanan sehat. Begitu juga ia yang sering menyarankan para calon Ibu untuk melahirkan dengan persalinan Maryam.Seperti Aidhan yang belum lama ini melahirkan anak kembar, contohnya. Ia dibantu oleh Dokter Meity.“Nomor antrian tiga puluh tujuh silakan masuk ke ruang poli.” Seorang wanita berbaju serba putih memanggil. Ia lalu mencoret daftar nama pasien di tangannya. Aku dan Mas Rama memasuki ruangan itu. Dokter Meity telah menunggu dengan senyum tipis dan mengangguk, lalu menyilakan kami duduk. Hijab warna merah muda lembut yang membalutnya membuat ia tampak jauh lebih muda,Konsultasi program hamil dengannya menghabiskan waktu lima belas menit.“Jangan lupa untuk mengkonsumsi kurma mudanya. Hindari makanan berminyak, gula, pemanis buatan, natrium, dan zat additive ya?”“Baik, Dok.”Dokter Meity meresepkan vitamin kesubur
SUASANA mall Jambi City Square tak terlalu ramai sore itu. Barangkali karena memang bukan akhir pekan. Tak banyak orang lalu lalang. Suara musik dari pelantang di sudut café terdengar menggema, membuat kami yang sedang makan bersama harus mengeraskan suara jika hendak berbicara.Ketika aku sedang menikmati kehangatan kebersamaan dengan keluarga, ponselku tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal memanggil. Tak enak dengan keluargaku, aku permisi untuk mengangkat telepon, beranjak agak jauh dari mereka.Di sudut café dekat jendela kaca, sambil melihat kendaraan lalu-lalang di bawah sana, kuangkat telepon itu.“Halo?” angkatku ramah. Orang yang menelepon itu diam beberapa detik.“Heh, wanita si*alan!” hardiknya dari ujung telepon, tanpa basa-basi, tanpa pembukaan ini-itu. “Pemisi? Apa anda salah sambung?” tanyaku masih dengan nada bicara yang sama, berusaha sesopan mungkin agar aku tidak menyinggungnya yang sepertinya sedang naik pitam.“Jangan pura-pura deh kamu! Aku nggak salah sambung
"Benar kamu gak perlu ditemani Dennis?" Mas Rama membukakan pintu mobil untukku, menyilakanku turun bak ratu seperti biasa. Pak Kosim yang berjaga di depan gerbang PT. Fibra mengernyit, lalu mengucek matanya beberapa kali."Nanti Dennis jemput aku aja ya, Mas." Aku mencium tangan Mas Rama. Lalu seperti biasa, Mas Rama mengecup keningku."Kapan selesainya?" "Seminggu lagi, kok.""Lama.""Sebentar.""Ruang kerjaku sepi gak ada kamu.""Yang penting hatimu gak sepi.""Mulai pintar gombal.""Siapa yang sering duluan, coba.""Kali ini aku gak gombal.""Udah, ah. Ntar telat."Aku berjalan memasuki gerbang pabrik. Mas Rama gegas masuk ke mobil dan berlalu. Sebelum aku melangkah lebih jauh, Pak Kosim sudah menghadangku. Dua tangannya berada di pinggang sambil menperhatikanku. Matanya menyapu dari bawah ke atas."Itu siapa tadi?" tanyanya."Suami saya, Pak. Kenapa?""Kok ganteng?""Ya siapa dulu istrinya." Aku menjawab dengan candaan."Masih gantengan saya juga." Pak Kosim mengusap rambutnya d
SEORANG lelaki berdiri berkecak pinggang. “Apa-apaan ini?” tegurnya, membuatku seketika terkesiap. Petugas catering itu tetap sibuk menurunkan nasi kotak.“Eh, ini Pak, nasi kotak untuk makan bareng semua karyawan kantor.” Aku menjawab seadanya, tak mungkin kusebut kalau semua ini hanya akalku untuk memberi pelajaran pada Ruki.“Siapa yang izinin kamu buat acara beginian?” ketus Pak Brengos.“Pak Zadit, Pak.” Pak Brengos hanya manggut-manggut sambil meletakkan tangan di dagunya. Bibirnya mencebik. “Lain kali jangan sembarangan kamu! Seenaknya aja.”“Oh ya, Bapak mau nasi kotaknya? Ini, untuk Bapak dua ya.” Aku mengambil dua kotak nasi dan kuulurkan pada Pak Brengos. Seketika wajah lelaki itu berbinar. Keningnya yang mengernyit dan mengkerut pun berubah normal.“Nah, gitu dong. Saya harus dapat double biar adil. Kalau begitu saya bawa ke ruangan dulu. Sering-sering ya buat acara gini.” Pak Brengos berlalu tanpa mengucapkan terima kasih. Kubalas dengan anggukan dan senyum tipis saja.