KICAU burung, suara angin dan gemuruh kendaraan bersatu padu pagi itu. Tiada awan sesapuan pun menggantung. Biru sepanjang panorama langit. Brian, akhirnya membongkar penyamarannya secara langsung. Ternyata benar dugaanku bahwa Brian adalah asisten Papa. Dulu, seorang pemuda tergeletak lemas hampir kehabisan darah. Aku masih kecil waktu itu, ikut Papa berkunjung ke rumah rekannya. Di sudut gang sempit itu ia tergeletak begitu saja tiada sesiapa pun peduli.Papa mengangkat tubuh itu, menaikkannya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Sejak saat itu, bak pahlawan di matanya, Brian selalu ikut Papa. Namun ketika aku mulai remaja, Brian bekerja sebagai agen rahasia di kepolisian. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, kecuali saat Zapa meminta dia dijadikan manajer di Rama Corporation sekitar setahun silam.“Bunda masih ingat Brian itu, Ram. Dia memang asisten Papamu.” Bunda menatap kejauhan, sebuah mobil hitam baru saja menderu. Sementara Diko menangis meronta-ronta saat dua orang tua
DOKTER Meity adalah dokter spesialis kandungan terbaik di kota kami. Namanya dikenal banyak orang, selain karena memang bagus, juga karena ia selalu mengampanyekan makanan sehat. Begitu juga ia yang sering menyarankan para calon Ibu untuk melahirkan dengan persalinan Maryam.Seperti Aidhan yang belum lama ini melahirkan anak kembar, contohnya. Ia dibantu oleh Dokter Meity.“Nomor antrian tiga puluh tujuh silakan masuk ke ruang poli.” Seorang wanita berbaju serba putih memanggil. Ia lalu mencoret daftar nama pasien di tangannya. Aku dan Mas Rama memasuki ruangan itu. Dokter Meity telah menunggu dengan senyum tipis dan mengangguk, lalu menyilakan kami duduk. Hijab warna merah muda lembut yang membalutnya membuat ia tampak jauh lebih muda,Konsultasi program hamil dengannya menghabiskan waktu lima belas menit.“Jangan lupa untuk mengkonsumsi kurma mudanya. Hindari makanan berminyak, gula, pemanis buatan, natrium, dan zat additive ya?”“Baik, Dok.”Dokter Meity meresepkan vitamin kesubur
SUASANA mall Jambi City Square tak terlalu ramai sore itu. Barangkali karena memang bukan akhir pekan. Tak banyak orang lalu lalang. Suara musik dari pelantang di sudut café terdengar menggema, membuat kami yang sedang makan bersama harus mengeraskan suara jika hendak berbicara.Ketika aku sedang menikmati kehangatan kebersamaan dengan keluarga, ponselku tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal memanggil. Tak enak dengan keluargaku, aku permisi untuk mengangkat telepon, beranjak agak jauh dari mereka.Di sudut café dekat jendela kaca, sambil melihat kendaraan lalu-lalang di bawah sana, kuangkat telepon itu.“Halo?” angkatku ramah. Orang yang menelepon itu diam beberapa detik.“Heh, wanita si*alan!” hardiknya dari ujung telepon, tanpa basa-basi, tanpa pembukaan ini-itu. “Pemisi? Apa anda salah sambung?” tanyaku masih dengan nada bicara yang sama, berusaha sesopan mungkin agar aku tidak menyinggungnya yang sepertinya sedang naik pitam.“Jangan pura-pura deh kamu! Aku nggak salah sambung
"Benar kamu gak perlu ditemani Dennis?" Mas Rama membukakan pintu mobil untukku, menyilakanku turun bak ratu seperti biasa. Pak Kosim yang berjaga di depan gerbang PT. Fibra mengernyit, lalu mengucek matanya beberapa kali."Nanti Dennis jemput aku aja ya, Mas." Aku mencium tangan Mas Rama. Lalu seperti biasa, Mas Rama mengecup keningku."Kapan selesainya?" "Seminggu lagi, kok.""Lama.""Sebentar.""Ruang kerjaku sepi gak ada kamu.""Yang penting hatimu gak sepi.""Mulai pintar gombal.""Siapa yang sering duluan, coba.""Kali ini aku gak gombal.""Udah, ah. Ntar telat."Aku berjalan memasuki gerbang pabrik. Mas Rama gegas masuk ke mobil dan berlalu. Sebelum aku melangkah lebih jauh, Pak Kosim sudah menghadangku. Dua tangannya berada di pinggang sambil menperhatikanku. Matanya menyapu dari bawah ke atas."Itu siapa tadi?" tanyanya."Suami saya, Pak. Kenapa?""Kok ganteng?""Ya siapa dulu istrinya." Aku menjawab dengan candaan."Masih gantengan saya juga." Pak Kosim mengusap rambutnya d
SEORANG lelaki berdiri berkecak pinggang. “Apa-apaan ini?” tegurnya, membuatku seketika terkesiap. Petugas catering itu tetap sibuk menurunkan nasi kotak.“Eh, ini Pak, nasi kotak untuk makan bareng semua karyawan kantor.” Aku menjawab seadanya, tak mungkin kusebut kalau semua ini hanya akalku untuk memberi pelajaran pada Ruki.“Siapa yang izinin kamu buat acara beginian?” ketus Pak Brengos.“Pak Zadit, Pak.” Pak Brengos hanya manggut-manggut sambil meletakkan tangan di dagunya. Bibirnya mencebik. “Lain kali jangan sembarangan kamu! Seenaknya aja.”“Oh ya, Bapak mau nasi kotaknya? Ini, untuk Bapak dua ya.” Aku mengambil dua kotak nasi dan kuulurkan pada Pak Brengos. Seketika wajah lelaki itu berbinar. Keningnya yang mengernyit dan mengkerut pun berubah normal.“Nah, gitu dong. Saya harus dapat double biar adil. Kalau begitu saya bawa ke ruangan dulu. Sering-sering ya buat acara gini.” Pak Brengos berlalu tanpa mengucapkan terima kasih. Kubalas dengan anggukan dan senyum tipis saja.
Ratusan lampion masih terbang mengawang di atas sana.“Kamu suka, Lov?” tanya Mas Rama. Stelan jas hitamnya membuatnya tampak seperti bintang film Hollywood.“Nggak.” Aku menjawab ketus. “Lho, kenapa?” Mas Rama menyuap makanannya.“Soalnya gara-gara kamu acaraku hancur berantakan.”“Oh, soal di pabrik itu? Emang ada apa sih?”“Aku dituduh maling, Mas.” Suaraku merengek manja. “Ini semua karena seorang karyawan bernama Ruki itu lho.”“Dituduh maling gimana?”“Tampaknya Ruki gak seneng sama aku, Mas. Terus dia pura-pura kehilangan gelang emas gitu. Tapi dari gaya bahasanya jelas dia nyudutin aku. Ya aku mau buktiiin di depan umum kalau bukan aku yang nyuri. Tapi Dennis malah merusak rencana.”Mas Rama terkekeh. “Jadi hanya gara-gara itu?”“Hah, hanya katamu, Mas?”“Iya, emangnya salah? Hal kecil aja itu, Lov.”“Kecil?”“Hmm. Kecil.”“Mungkin bagimu itu hal kecil, tapi bagiku itu penting, Mas.” Aku menghentikan suapanku, meletakkan sendok ke piring hingga terdengar suara berdenting.“Gi
Dennis terpaksa kupanggil malam itu juga. Kepalanya padahal masih dibalut perban. Tangannya dipasang penyanggah karena ada keretakan. Tapi mau apa lagi, Mas Rama terlanjur bersikap dingin padaku. Seakan ia tak percaya pada ceritaku dan lebih mempercayai berita yang tersebar itu.“Mas, ketemu Dennis dulu.”“Malam gini kamu bangunin aku hanya untuk ketemu Dennis?”“Mas, setidaknya kamu dengar penjelasan dia. Dia saksi bahwa aku gak ngapa-ngapain. Lagian, kamu harus tengokin dia yang babak belur sampai tangannya retak.”“Iya, mana dia?”“Di ruang tamu.”***“Ram? Kenapa lagi ini?” Bunda Syandi sudah berada di ruangan itu. Tara dan Rendra juga sudah duduk di sofa. Setya berdiri tak jauh dari Sofa. Dennis tersandar lemah.“Ini yang Rama juga ingin tahu, Bun.”“Berita ini, Ram?”“Itu hoax, Bun.” Aku cepat menyahut, takut kalau Bunda terbawa-bawa salah paham.“Kenapa bisa sampai buka hijab gini sih, Nak?” tanya Bunda lembut.“Mereka yang buka jilbabku secara paksa, Bun.”“Lelaki ini?” tunjuk
“Rama, kenapa kamu bertindak seperti ini, Nak?” Malam ini kami dipanggil Bunda. Suasana sudah seperti sidang kasus kriminal saja. Bunda berlaku sebagai hakim, Mas Rama tersangka dan aku saksinya.“Rama emosi, Bun.”Untung Bunda mengunci kamarnya rapat-rapat, hingga seluruh ART dan penjaga tak ada yang mendengar.“Kamu itu pria 29 tahun, Ram. Beda dengan Cinta yang masih 21 tahun. Kalau Cinta yang emosi masih wajar, kamu sebagai lelaki lah yang harus meluruskan. Ini malah kamu yang emosi. Di mana peran kamu sebagai lelaki?”“Zadit sudah keterlaluan, Bun.”Bunda menggeleng.“Terus, Dennis yang tangannya masih sakit begitu juga kamu suruh ngehajar para preman itu?”Mas Rama yang kini menggeleng. “Gak, Bun. Dennis hanya nunjukin orang-orangnya. Setya sama Anzu yang ngehajar.”Bunda berdecak kecewa. “Harusnya kamu cukup lapor polisi.”“Bun, lelaki mana yang gak emosi lihat istrinya hampir dilecehkan, Bun.”“Rama, Rama. Dua puluh sembilan tahun Bunda didik kamu, masih saja kamu menangani m