Share

87. Pov Brian

Penulis: Ara Hakim
last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-07 21:56:01

Orchard Road, Singapore. (Pov Brian)

BOULEVARD itu dipenuhi orang berlalu lalang dengan urusan mereka masing-masing. Di kiri kanan, mudah ditemui kios barang mahal super branded–dari seluruh dunia. Mulai dari sepatu, jam tangan, tas, kacamata, semua bisa ratusan jut ajika diukur dengan mata uang Indonesia–rupiah. Sementara langit malam tampak malu-malu menunjukkan beberapa titik bintang.

“Kau mau apa, Mel, pilihlah.”

Mel menggeleng. Tak biasanya ia menolak jika aku menawarkan barang mewah. Padahal ia yang selalu meminta, merengek-rengek. Tatapan mata Melia seperti tiada berminat pada semua barang mewah dari awal hingga ujung boulevard. Kami berbalik dan kembali melihat-lihat, namun Melia tetap menggeleng saat kutawari, hanya menggamit tanganku erat.

“Yang aku mau hanya bersama kau, Bang. Aku takut kita berpisah lagi.”

“Kalau itu tiada yang tahu, Mel. Takdir Tuhan susah ditebak.”

“Ayo pulang dan jemput Diko.”

“Kau yakin, Mel?”

Melia mengangguk. Usia kami terpaut cukup jauh. Ia baru mem
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • AKU SANG ISTRI BOSS   88. Pov Rama

    KICAU burung, suara angin dan gemuruh kendaraan bersatu padu pagi itu. Tiada awan sesapuan pun menggantung. Biru sepanjang panorama langit. Brian, akhirnya membongkar penyamarannya secara langsung. Ternyata benar dugaanku bahwa Brian adalah asisten Papa. Dulu, seorang pemuda tergeletak lemas hampir kehabisan darah. Aku masih kecil waktu itu, ikut Papa berkunjung ke rumah rekannya. Di sudut gang sempit itu ia tergeletak begitu saja tiada sesiapa pun peduli.Papa mengangkat tubuh itu, menaikkannya ke mobil dan membawanya ke rumah sakit. Sejak saat itu, bak pahlawan di matanya, Brian selalu ikut Papa. Namun ketika aku mulai remaja, Brian bekerja sebagai agen rahasia di kepolisian. Aku tak pernah lagi bertemu dengannya, kecuali saat Zapa meminta dia dijadikan manajer di Rama Corporation sekitar setahun silam.“Bunda masih ingat Brian itu, Ram. Dia memang asisten Papamu.” Bunda menatap kejauhan, sebuah mobil hitam baru saja menderu. Sementara Diko menangis meronta-ronta saat dua orang tua

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-08
  • AKU SANG ISTRI BOSS   89. Telepon Mengejutkan

    DOKTER Meity adalah dokter spesialis kandungan terbaik di kota kami. Namanya dikenal banyak orang, selain karena memang bagus, juga karena ia selalu mengampanyekan makanan sehat. Begitu juga ia yang sering menyarankan para calon Ibu untuk melahirkan dengan persalinan Maryam.Seperti Aidhan yang belum lama ini melahirkan anak kembar, contohnya. Ia dibantu oleh Dokter Meity.“Nomor antrian tiga puluh tujuh silakan masuk ke ruang poli.” Seorang wanita berbaju serba putih memanggil. Ia lalu mencoret daftar nama pasien di tangannya. Aku dan Mas Rama memasuki ruangan itu. Dokter Meity telah menunggu dengan senyum tipis dan mengangguk, lalu menyilakan kami duduk. Hijab warna merah muda lembut yang membalutnya membuat ia tampak jauh lebih muda,Konsultasi program hamil dengannya menghabiskan waktu lima belas menit.“Jangan lupa untuk mengkonsumsi kurma mudanya. Hindari makanan berminyak, gula, pemanis buatan, natrium, dan zat additive ya?”“Baik, Dok.”Dokter Meity meresepkan vitamin kesubur

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-09
  • AKU SANG ISTRI BOSS   90. Kehangatan

    SUASANA mall Jambi City Square tak terlalu ramai sore itu. Barangkali karena memang bukan akhir pekan. Tak banyak orang lalu lalang. Suara musik dari pelantang di sudut café terdengar menggema, membuat kami yang sedang makan bersama harus mengeraskan suara jika hendak berbicara.Ketika aku sedang menikmati kehangatan kebersamaan dengan keluarga, ponselku tiba-tiba berdering. Nomor tak dikenal memanggil. Tak enak dengan keluargaku, aku permisi untuk mengangkat telepon, beranjak agak jauh dari mereka.Di sudut café dekat jendela kaca, sambil melihat kendaraan lalu-lalang di bawah sana, kuangkat telepon itu.“Halo?” angkatku ramah. Orang yang menelepon itu diam beberapa detik.“Heh, wanita si*alan!” hardiknya dari ujung telepon, tanpa basa-basi, tanpa pembukaan ini-itu. “Pemisi? Apa anda salah sambung?” tanyaku masih dengan nada bicara yang sama, berusaha sesopan mungkin agar aku tidak menyinggungnya yang sepertinya sedang naik pitam.“Jangan pura-pura deh kamu! Aku nggak salah sambung

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-11
  • AKU SANG ISTRI BOSS   91. Tuduhan

    "Benar kamu gak perlu ditemani Dennis?" Mas Rama membukakan pintu mobil untukku, menyilakanku turun bak ratu seperti biasa. Pak Kosim yang berjaga di depan gerbang PT. Fibra mengernyit, lalu mengucek matanya beberapa kali."Nanti Dennis jemput aku aja ya, Mas." Aku mencium tangan Mas Rama. Lalu seperti biasa, Mas Rama mengecup keningku."Kapan selesainya?" "Seminggu lagi, kok.""Lama.""Sebentar.""Ruang kerjaku sepi gak ada kamu.""Yang penting hatimu gak sepi.""Mulai pintar gombal.""Siapa yang sering duluan, coba.""Kali ini aku gak gombal.""Udah, ah. Ntar telat."Aku berjalan memasuki gerbang pabrik. Mas Rama gegas masuk ke mobil dan berlalu. Sebelum aku melangkah lebih jauh, Pak Kosim sudah menghadangku. Dua tangannya berada di pinggang sambil menperhatikanku. Matanya menyapu dari bawah ke atas."Itu siapa tadi?" tanyanya."Suami saya, Pak. Kenapa?""Kok ganteng?""Ya siapa dulu istrinya." Aku menjawab dengan candaan."Masih gantengan saya juga." Pak Kosim mengusap rambutnya d

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-13
  • AKU SANG ISTRI BOSS   92. Keadaan Genting

    SEORANG lelaki berdiri berkecak pinggang. “Apa-apaan ini?” tegurnya, membuatku seketika terkesiap. Petugas catering itu tetap sibuk menurunkan nasi kotak.“Eh, ini Pak, nasi kotak untuk makan bareng semua karyawan kantor.” Aku menjawab seadanya, tak mungkin kusebut kalau semua ini hanya akalku untuk memberi pelajaran pada Ruki.“Siapa yang izinin kamu buat acara beginian?” ketus Pak Brengos.“Pak Zadit, Pak.” Pak Brengos hanya manggut-manggut sambil meletakkan tangan di dagunya. Bibirnya mencebik. “Lain kali jangan sembarangan kamu! Seenaknya aja.”“Oh ya, Bapak mau nasi kotaknya? Ini, untuk Bapak dua ya.” Aku mengambil dua kotak nasi dan kuulurkan pada Pak Brengos. Seketika wajah lelaki itu berbinar. Keningnya yang mengernyit dan mengkerut pun berubah normal.“Nah, gitu dong. Saya harus dapat double biar adil. Kalau begitu saya bawa ke ruangan dulu. Sering-sering ya buat acara gini.” Pak Brengos berlalu tanpa mengucapkan terima kasih. Kubalas dengan anggukan dan senyum tipis saja.

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-15
  • AKU SANG ISTRI BOSS   93. Kejutan Ratusan Lampion

    Ratusan lampion masih terbang mengawang di atas sana.“Kamu suka, Lov?” tanya Mas Rama. Stelan jas hitamnya membuatnya tampak seperti bintang film Hollywood.“Nggak.” Aku menjawab ketus. “Lho, kenapa?” Mas Rama menyuap makanannya.“Soalnya gara-gara kamu acaraku hancur berantakan.”“Oh, soal di pabrik itu? Emang ada apa sih?”“Aku dituduh maling, Mas.” Suaraku merengek manja. “Ini semua karena seorang karyawan bernama Ruki itu lho.”“Dituduh maling gimana?”“Tampaknya Ruki gak seneng sama aku, Mas. Terus dia pura-pura kehilangan gelang emas gitu. Tapi dari gaya bahasanya jelas dia nyudutin aku. Ya aku mau buktiiin di depan umum kalau bukan aku yang nyuri. Tapi Dennis malah merusak rencana.”Mas Rama terkekeh. “Jadi hanya gara-gara itu?”“Hah, hanya katamu, Mas?”“Iya, emangnya salah? Hal kecil aja itu, Lov.”“Kecil?”“Hmm. Kecil.”“Mungkin bagimu itu hal kecil, tapi bagiku itu penting, Mas.” Aku menghentikan suapanku, meletakkan sendok ke piring hingga terdengar suara berdenting.“Gi

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-16
  • AKU SANG ISTRI BOSS   94. Amarah Rama

    Dennis terpaksa kupanggil malam itu juga. Kepalanya padahal masih dibalut perban. Tangannya dipasang penyanggah karena ada keretakan. Tapi mau apa lagi, Mas Rama terlanjur bersikap dingin padaku. Seakan ia tak percaya pada ceritaku dan lebih mempercayai berita yang tersebar itu.“Mas, ketemu Dennis dulu.”“Malam gini kamu bangunin aku hanya untuk ketemu Dennis?”“Mas, setidaknya kamu dengar penjelasan dia. Dia saksi bahwa aku gak ngapa-ngapain. Lagian, kamu harus tengokin dia yang babak belur sampai tangannya retak.”“Iya, mana dia?”“Di ruang tamu.”***“Ram? Kenapa lagi ini?” Bunda Syandi sudah berada di ruangan itu. Tara dan Rendra juga sudah duduk di sofa. Setya berdiri tak jauh dari Sofa. Dennis tersandar lemah.“Ini yang Rama juga ingin tahu, Bun.”“Berita ini, Ram?”“Itu hoax, Bun.” Aku cepat menyahut, takut kalau Bunda terbawa-bawa salah paham.“Kenapa bisa sampai buka hijab gini sih, Nak?” tanya Bunda lembut.“Mereka yang buka jilbabku secara paksa, Bun.”“Lelaki ini?” tunjuk

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-17
  • AKU SANG ISTRI BOSS   95. Berita-Berita Gempar!

    “Rama, kenapa kamu bertindak seperti ini, Nak?” Malam ini kami dipanggil Bunda. Suasana sudah seperti sidang kasus kriminal saja. Bunda berlaku sebagai hakim, Mas Rama tersangka dan aku saksinya.“Rama emosi, Bun.”Untung Bunda mengunci kamarnya rapat-rapat, hingga seluruh ART dan penjaga tak ada yang mendengar.“Kamu itu pria 29 tahun, Ram. Beda dengan Cinta yang masih 21 tahun. Kalau Cinta yang emosi masih wajar, kamu sebagai lelaki lah yang harus meluruskan. Ini malah kamu yang emosi. Di mana peran kamu sebagai lelaki?”“Zadit sudah keterlaluan, Bun.”Bunda menggeleng.“Terus, Dennis yang tangannya masih sakit begitu juga kamu suruh ngehajar para preman itu?”Mas Rama yang kini menggeleng. “Gak, Bun. Dennis hanya nunjukin orang-orangnya. Setya sama Anzu yang ngehajar.”Bunda berdecak kecewa. “Harusnya kamu cukup lapor polisi.”“Bun, lelaki mana yang gak emosi lihat istrinya hampir dilecehkan, Bun.”“Rama, Rama. Dua puluh sembilan tahun Bunda didik kamu, masih saja kamu menangani m

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-18

Bab terbaru

  • AKU SANG ISTRI BOSS   108. Mencari Reno

    PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-

  • AKU SANG ISTRI BOSS   107. Kebakaran

    “TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny

  • AKU SANG ISTRI BOSS   106. Ancaman Para Debt Collector

    “PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah

  • AKU SANG ISTRI BOSS   105. Mendadak Tegang

    SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   104. Aku Mau Mandiri

    “Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di

  • AKU SANG ISTRI BOSS   103. Para Penagih Utang

    BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”

  • AKU SANG ISTRI BOSS   Kakek Yang Dibela

    RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami

  • AKU SANG ISTRI BOSS   101. Tanpa Dendam

    KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang

  • AKU SANG ISTRI BOSS   100. Misteri Koper

    RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y

DMCA.com Protection Status