AWAN semakin pekat di atas sana hingga cahaya bulan tak tembus dan bintang-bintang pun semakin hilang. Semilir angin lembut berhembus hingga dinginnya membelai kulit."Kenapa tadi nggak teriak, Lov?” tanya Mas Rama ketika kami sudah berada di teras belakang rumah. Mas Rama menyesalkan mengapa saat bertemu Brian tadi aku tak memberi tahu sama sekali.Bukan apa-apa, entah mengapa aku memiliki firasat seperti ada yang ingin disampaikan oleh pria paruh baya itu. Naluriku berkata, Brian takkan menyakitiku. Karena itulah aku tiba-tiba berani mendekati pohon itu, pohon mangga di sebelah sana.“Aku juga nggak tahu, Mas. Apa yang merasukiku sehingga bisa berani mendekati Brian. Namun aku merasakan sesuatu yang berbeda, Mas. Brian seperti ingin memberi tahu akan suatu hal, entah apa itu. Dan buktinya, dia nggak ngapa-ngapain aku, ‘kan?” Aku mengangkat bahu.“Maksud kamu gimana, Lov?”“Aku seperti bisa merasakan kalau Bryan ingin menyampaikan sesuatu dan pesan itu ada di kalung yang dia berikan.
Klek. Pintu dibuka. Seorang lelaki mengenakan stelan jas dan kemeja putih memasuki ruangan itu. Di tangannya adalah setumpuk map yang terdiri dari banyak dokumen.“Ini laporan tentang penyelidikan Robert dan Brian, serta beberapa nama yang Bapak minta.” Lelaki itu adalah Dennis, ia letakkan map itu di atas meja direktur.“Terima kasih. Akan saya periksa segera. Silakan duduk dulu,” titah Mas Rama pada Dennis yang kemudian duduk di kursi di depan meja direktur itu.“Kerja bagus, Dennis. Alamat Brian di sini cukup jelas. Robert pun sudah terdeteksi. Saya masih penasaran dengan gudang itu, ya, yang waktu itu dilihat Cinta.” Mas Rama memuji pekerjaan Dennis, kemudian tatap Mas Rama mengarah padaku. “Lov, bawa kalung yang diberi Brian?”“Bawa, Mas.”“Berikan ke Dennis. Dia yang akan periksa. Mungkin ada memori super-micro yang ada di dalam.”Aku lekas mengambil kalung dari Brian yang kusimpan di tas Hermes-ku. Segera setelah itu kuletakkan di meja Mas Rama. Dennis meraih kalung itu dan mel
LANGIT kota Jambi biru membentang. Tak segumpal pun awan putih menyelimuti. Terik agak menyengat kulit jika berlama-lama membiarkannya tersentuh ultraviolet. Hari itu Kota Jambi tetap sibuk seperti biasanya, kendaraan lalu lalang tak terbilang jumlahnya.Setelah Mas Rama menyatakan untuk mengikuti tender besar dari perusahaan asal Malaysia, Langit Putra Inc., semua karyawan bergerak dan berfokus pada satu tujuan. Aku pun harus terlibat mengerjakan beberapa survey dan menghitung cost yang akan keluar dari salah satu divisi. Kami tak mau membuang waktu dan tenaga sia-sia, karena kemungkinan yang kami hadapi adalah perusahaan besar – Rama Corporation.“Maaf, Pak Rito,” cakapku dalam rapat pada direktur marketing, “kalau saya bisa memberi pendapat, sebaiknya kita menggunakan teknik marketing berbasis komunitas. Kerangka utamanya adalah pemberdayaan. Zaman sekarang sudah berubah, kita tidak bisa menembak target market secara langsung karena terlalu banyak yang membidik. Kita harus cari jal
Kami duduk di sebuah kursi depan kantor Aurora Corps dinaungi pohon beringin tua. Cahaya terik tembus beberapa titik menerobos rimbunan daun. Angin membelai lembut. Marini di sampingku masih saja tegang karena mungkin merasa tak percaya diri denganku yang berstatus istri direktur.“Santai aja, Bu. Dulu saya juga pembantu kok di rumah Pak Rama.” Aku mencoba membuat suasana manjadi cair. “Ibu kenapa makan di toilet, ‘kan ada dapur umum dan itu gratis untuk karyawan?”Marini diam sebentar. “Itu ‘kan untuk karyawan sini, Bu Cinta.” Akhinya ia mau berbicara. “Sementara saya ini hanya pekerja kontrak dari perusahaan kebersihan yang disewa oleh Aurora Corps. Jadi, saya tidak terdaftar sebagai karyawan sini.” Wajah Marini sendu.“Begitu juga dengan petugas kebersihan lain, Bu?”Marini mengangguk.“Beginilah kami, Bu Cinta. Dibilang bukan karyawan, tapi bekerja di sini. Dibilang karyawan pun tapi nggak dapat fasilitas yang sama dengan karyawan lain. Asuransi nggak dapat, tunjangan kerja nggak
RUANGAN meeting hotel bintang empat itu telah dipersiapkan oleh pihak Langit Putra Inc. untuk keperluan presentasi pemenangan tender. Proyek distribusi dan instalasi jasa telepon seluler dan internet itu cukup besar dan menggiurkan untuk diikuti banyak perusahaan, tak terkecuali perusahaan besar laiknya Rama Corporation, Epafix Company, PT. Trojan, dan lainnya. Kami, Aurora Corporation yang baru tumbuh beberapa tahun harus siap menghadapi mereka yang sudah meraksasa.“Untuk sistem marketing, kita akan menggunakan pendekatan berbasis media sosial. Menggunakan selebgram lokal dan iklan berbayar di Facebook atau Instagram. Untuk merancang tema dan kontennya kita akan menyewa desainer grafis yang sudah andal dan berpengalaman.” Seseorang dari perusahaan bernama Epafix Company mempresentasikan proposal dari pihak mereka.Setelah selesai, pihak dari Langit Putra Inc. memberi beberapa pertanyaan dan terjadi sesi tanya jawab yang kadang agak sengit.Zapa sebagai presenter perwakilan dari Rama
Sementara di meja sebelah, Pak De Andre dan Zapa tiba-tiba menghampiri Tuan Abdul Razzak. Ia terlihat seperti berbincang padanya beberapa saat. Lalu mereka bertiga beranjak ke meja yang berbeda.“Pssst,” Tara memberi kode padaku untuk melihat Pak De Andre dan Zapa serta Tuan Abdul Razzak di meja agak ujung sana. “Dengerin mereka ngomong apa?” bisik Tara.“Caranya?”“Ini alat perekam kecil. Bungkus pakai tisu, terus lempar sedekat mungkin ke mereka, tapi jangan sampai terlalu dekat nanti ketahuan.” Tara mengeluarkan sebuah alat yang berbentuk agak bulat kecil sebesar kelereng. Ia kemudian membungkusnya dengan tisu.Tara menjatuhkan alat yang sudah terbungkus tisu itu, lalu ia sepak hingga menggelinding dan berhenti tepat di bawah meja mereka bertiga.“Berhasil, tinggal koneksikan ke ponselku. Nanti di ponsel akan merekam otomatis dan mengubahnya jadi tulisan. Jadi kita tinggal baca. Canggih, ‘kan?” ujar Tara.“Canggih, Ra.”Setelah sekitar satu menit lamanya ponsel Tara mulai menangkap
MAS RAMA akhirnya menunjukkan sebuah kalung yang berisi bukti kecurangan banyak termasuk Pak De Andre. Tentu saja ekspresi wajah Pak De dapat ditebak: terbelalak. Namun hanya beberapa detik. “Apa?” tanyanya dengan suara terkejut.“Ini semua bukti pencucian uang dan proyek kotor, Pak De.”“Memangnya siapa yang percaya? Hahaha.” Pak De Andre ternyata hanya berpura-pura terkejut. Beberapa detik kemudian espresinya berubah kembali meremahkan. “Coba saja laporkan semua itu ke polisi, Rama!” jeritnya memenuhi ruangan itu.“Bukan hanya polisi, Pak De, tapi juga ke media.” “Media?”“Ya.”“Rama, Rama. Semua media bisa dibungkam asal ada uang, Ram. Dengan besarnya Rama Corporation sekarang tentu saja mereka bisa diatur sekehendak hati. Paham, Ram? Hahaha.”“Licik! Aku pasti akan memasukkanmu ke penjara, Andromeda!”“Kita buktikan siapa yang paling kuat, Ram.” Pak De Andre beranjak meninggalkan ruangan itu, berjalan dengan meletakkan tangan di saku celana. Sementara kami hanya memandangi merek
“Saya memang suka menggoda mahasiswa, Pak. Itu bagian buruk dari sifat saya, namun khusus untuk Bu Lovarena Cinta, saya benar-benar diminta, eh, lebih tepatnya dipaksa oleh Pak Zapa. Ternyata memang ia dendam kepada anda, Pak Rama.” Solomon diam lagi, membiatkan Mas Rama memberikan tanggapannya.Mas Rama hanya mendesah panjang. “Baiklah, terima kasih atas penjelasannya. Namun kalau anda ingin dalam perlindungan saya, anda harus melakukan ini.”“Apa itu, Pak?”“Begini ….”***Hari berlalu begitu cepat hingga sudah tiga hari lamanya setelah kami memenangkan tender dari Langit Putra Inc. Aku harus menemani Mas Rama lembur beberapa hari terkahir sebab menyiapkan proyek besar dari perusahaan asal Malaysia itu. Tuan Abdul Razzak beberapa kali berkunjung ke kantor kami untuk memeriksa perjanjian kontrak yang baru ditandatangani hari ini. Tok tok. Aku mengetuk pintu sebelum masuk ke ruangan Mas Rama. Klek. Saat kubuka pintu itu Mas Rama masih sibuk dengan laptonya, bahkan tanpa menoleh keara
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y