Arka tak percaya. Tentu saja dia mengenali siapa istrinya. Dia kembali meraih tangan Kania, -demikian nama wanita itu. Dia ingin membawanya pulang."Ikut aku, Lisa. Kita bisa pulang dan ...""Nggak! Lepasin!"Dua orang petugas medis yang kebetulan berada di sekitar pun segera mendekati sumber keributan."Dia orang gila! Seret dia keluar!"Keduanya menarik tangan Arka. Tak peduli, Arka segera melawan dua pria itu dengan tendang tinjunya. Dia sudah begitu ingin mengajak Lisa pulang."Lepasin gue!"Beberapa orang lagi datang dan berusaha mengendalikan kegilaan Arka. Rizwar melihat dari kejauhan.Benar, itu Lisa, Rizwar melihatnya. Tapi benarkah dia istri Arka? Tatapannya sangat dingin meski di depan matanya, Arka dipukul hanya untuk mengendalikan emosi."Arrghhh ..."Arka meringkuk kesakitan. Dia jatuh terpuruk ke tanah. Orang-orang itu masih memukulinya."Lisa ..."Tak ingin semakin terluka, Rizwar harus segera menolong temannya."Arka!"Rizwar segera mendekat dan mencoba melerai. Tampa
Rizwar dan Arka kembali pulang ke rumah Keluarga Wijaya. Arka tak menanggapi, tubuhnya terasa nyeri. Dirinya masuk ke kamar, hanya membiarkan Rizwar yang menjawab pertanyaan kedua orangtuanya terkait Lisa."Bagaimana, Riz?" tanya Papa Frans, mengajak Rizwar duduk di sofa."Kami udah nemuin di mana Lisa, tapi ...""Tapi kenapa?" "Dia nggak mengenali Arka. Maksudku, dia bilang namanya Kania, tapi Arka yakin wanita itu Lisa.""Kania?" sambung Mama Wendi."Ya, Kania. Aku yakin Arka nggak mungkin salah. Tapi kalau dia memang Lisa, kenapa dia bersikap dingin sama Arka? Dan Kania itu ..."Rizwar pun meminta izin untuk masuk ke kamar saat mendengar suara berisik dari sana. Pria itu mematung, menatap kamar sudah berantakan dengan barang-barang yang dihancurkan Arka sebab frustrasi.Rizwar mendekati. Semua yang terjadi di rumah sakit itu tentu saja tak bisa dimengerti Arka."Kenapa Lisa melakukan ini, Riz? Gue bahkan belum bilang kalau gue mau Lisa kembali," sahut Arka."Lalu, Kania itu ...""
Pagi kembali menyapa. Papa Frans masuk ke kamar, melihat putranya masih menggulung diri di balik selimut. Beliau merasa kasihan untuk kegundahan putranya itu."Pasti semalam dia larut sekali tidurnya."Papa Frans duduk di tepi ranjang dan menyentuh bahu Arka. "Bangun, hei!"Arka membuka mata, menyadari sang ayah duduk di sisi kasurnya."Bangun, mandi, sarapan! Mulai berubah, Arka. Biar yang kemarin berlalu. Kamu harus lebih baik lagi untuk bisa membuat keluargamu utuh lagi."Arka terkejut. Benar. Dia segera duduk di kasur dan menyingkap selimut. "Iya. Aku harus ke rumah sakit itu lagi, Pa. Aku akan temui Lisa dan bicara sama dia."Papa Frans tersenyum, lantas keluar dari kamar. Hendak beranjak, ponsel Arka berdering. Panggilan dari Rizwar."Kenapa, Bro?" sambut Arka, segera."Gue kemarin nelepon Yuga, katanya dia mau ketemu Lo.""Kapan?""Terserah Lo aja. Tapi dia maunya ketemu di Raztan Hospital.""Ooh.""Ka, hari ini Lo harus terapi lagi. Lo harus sembuh. Karena IED lo itu, hubungan
Arka hampir limbung. Semua kenyataan itu mengguncangnya bertubi. Kesalahannya sangat besar. Pantaskah dia dimaafkan?"Lo masih butuh belati lagi untuk bisa bikin Lo terbunuh hidup-hidup, Arkana?!"Yuga meraih sebuah amplop dari saku dalam jasnya. Selembar laporan medis terakhir sebagai senjata untuk mengakhiri keangkuhan Arka selama ini."Lo bilang dia anak gue, kan? Silakan baca ini!"Arka menghapus air matanya lebih dulu untuk melihat jelas deretan tulisan di kertas laporan. Itu adalah tes DNA seorang bayi yang lahir prematur di usia 7 bulan lebih. Tes DNA bayi itu dan Yuga sebagai sampel uji.Hasil akhir dari rentetan analisis itu adalah : [PROBABILITAS AYAH : 0% Dugaan bahwa ayah bukanlah biologis anak yang diuji. Berdasarkan hasil pengujian yang diperoleh dari analisis daftar lokus DNA, probabilitas ayah adalah 0%]Bibirnya terkatup rapat. Apakah ini nyata?"Itu hasil tes DNA gue dan anaknya Lisa. Sama sekali nggak cocok. Masih sanggup hidup Lo sekarang, Br*ngsek?" pekik Yuga.Y
Tangisnya meledak. Dia terisak sesunggukan. Berulang kali pun menghapus air matanya, tapi rasa sakit di dadanya tak kunjung hilang. Sesak. Juga memukul dadanya untuk mengusir rasa sakit yang mencengkram perasaannya. Nihil. Hatinya terus memanggil pria itu. Lagi dan lagi."Arka ..."Meski berusaha menahan diri, identitas Lisa masih dimilikinya. Karena hati seorang Lisa adalah milik Arkana. Dirinya hanya seorang istri yang disakiti dan dihina sampai jatuh tersungkur, lalu bangkit dari bayang kematian menjadi seorang ibu yang berusaha tegar demi kehidupan putranya."Arka ..."Lisa menunduk sesaat, memainkan cincin pernikahan yang masih tersemat di jarinya. "Apa yang Mama lakukan ini benar, Nak? Kita bisa hidup tanpa papa kamu, 'kan?"Kekecewaan mengakar kuat di hati. Meski sakit harus berpisah, Lisa memiliki alasan penting kenapa harus berusaha keras menjauhi pria itu meski masih sangat mencintai.*Beberapa hari yang lalu ...Yuga mendorong kursi roda Lisa menuju lorong sudut di mana b
Yuga merasa bersalah. Lisa menangis sesunggukan. Sejak tadi dia bertahan karena tak ingin membuat Yuga khawatir. "Kamu benar, Lisa. Harusnya dia nggak semudah itu dimaafkan. Harusnya dia tau gimana rasanya penderitaan dan penghinaan yang kamu kasih ke dia."Lisa belum menanggapi, hanya menatap Yuga yang saat ini dimilikinya, berada di pihaknya untuk menjalani hidup baru sebagai seorang ibu."Tapi gimana kalau nanti dia nyari kamu, Lis? Kamu nggak bisa sembunyi terus-terusan. Mau sampai kapan? Bahkan meskipun Arka nggak sadar sama kelakuannya, dia tetap akan cari kamu untuk menceraikan kamu."Lama Lisa berpikir. Dia memutar pelan cincin di jari manisnya."Jauhkan aku dari Arka. Jauhkan seorang Lisa dari dia. Hapus nama Lisa dari hidupnya.""Apa maksud kamu?" tanya Yuga, bingung."Setelah ini aku akan menjauh dan memulai hidup baru. Beri aku identitas baru jika tanpa sengaja Arka mencariku. Nggak masalah, dia juga nggak mau aku di sampingnya, kan?"Yuga menatap keteguhan di mata wanita
Lisa kembali dari ingatan itu. Dia menunda untuk melepas cincinnya. Rasa sakit akan penghinaan dan perbuatan Arka itu tak mudah dia hapus meskipun cintanya begitu besar.'Apa aku harus kasih hubungan kita kesempatan lagi? Tapi ... kamu udah keterlaluan, Arka. Kita menikah udah sepuluh tahun, gimana bisa kamu nyakitin aku separah ini? Aku tau kamu egois dan pemarah, tapi kali ini kamu udah kelewat batas. Maaf, tapi hatiku masih sakit. Aku butuh waktu. Sekarang yang kupikirkan cuma Ariel, putra kita.' *Papa Frans dan Mama Wendi terlihat murung di kursi luar kamar rawat Arka. Tak lama, Rizwar mendekati duduk mereka dan memberikan beberapa berkas pada kedua orangtuanya. Berkas itu berisi laporan pemeriksaan Lisa yang menjadi sebab petaka ini."Tolong dibaca, Om, Tan!"Mereka menyita beberapa menit untuk membacanya. Keduanya terkejut, hati mereka teriris dan merasa sakit untuk rumah tangga Arka dan Lisa yang berantakan saat ini."Lisa ..."Mama Wendi terkejut. Matanya berkaca-kaca saat
Arka tertegun. Ini pertama kalinya Rizwar semarah itu padanya. Matanya itu kesal, segera melepas cengkramannya dan menatap sinis."Riz ...""Kenapa Lo nggak ngerti juga? Kalau Lo lepasin dia gitu aja, dia akan berpikir kalau Lo memang nggak pernah menginginkan dia. Tolong ngerti. Tolong bawa Lisa kembali lagi.""Gue sakit, Riz. Dan karena penyakit gue, Lisa jadi menderita. Dia bisa lebih bahagia di luar sana.""Lo pikir semudah itu? Lo nggak tau rasanya kehilangan orang yang paling Lo cintai. Seenaknya Lo bilang gini, Ka?! Lo itu nggak pernah berjuang untuk Lisa! Apa Lo ingat hal besar apa yang pernah Lo korbankan buat dia?! Nothing! Selama ini cuma dia yang ngertiin Lo, selalu ngalah buat Lo!"Arka bungkam, merasa hatinya tertusuk karena semua yang dikatakan Rizwar itu benarlah adanya."Penyakit yang Lo derita bukan jadi pembenaran untuk semua kelakuan Lo kemarin! Lo tetap salah dan karena itu Lo harus minta maaf!"Rizwar kembali menatap serius Arka. Temannya itu sama sekali belum me
Rizwar terkejut saat mendengar cibiran salah seorang rekan di bridal itu. Di sana, dia melihat Lisa tertunduk dan menangis, sementara Arka sudah marah seperti orang kesetanan. Dirinya pun ikut menggeram. Segera dia berlari dan memberikan tinju tepat di wajah Arka hingga temannya itu terjerembab jatuh ke lantai.“Apaan, sih, lo?” kecam Arka.“Puas, lo, rumah tangga lo jadi tontonan gini, hah?!”Rizwar menyeret Arka dan Lisa untuk pergi dari tempat itu, masuk ke ballroom hotel untuk menghindari perhatian orang-orang. Rizwar menyidik keduanya. Sepasang suami istri itu duduk berhadapan. Lisa menangis kecewa, sementara Arka sudah sangat meledak.“Lisa! Lo ini nggak kapok, ya! Belajar dari pengalaman, kek! Ini suami lo otaknya cetek! Sama dia harus transparan, nggak boleh tuh ada rahasia-rahasiaan. Kalau gini, kan, dia jadi salah paham. Nuduh lo selingkuh lagi, kan?” pekik Rizwar.Lisa hanya menunduk, terus menyapu air matanya. “Aku cuma mau ngasih kejutan.”“Dan lo …” Rizwar menggantung uc
Arka tak bisa lagi menahan amarahnya. Seharian di rumah sakit, akhirnya dia pulang lebih cepat untuk bicara dengan Lisa. Ditunggunya wanita itu pulang, sampai jam delapan lebih. Lisa pun jarang mengangkat panggilan darinya.Krik! Lisa membuka pintu dan mendapati suaminya itu duduk di sofa dengan tatapan tajam dan bersidekap. Wanita itu mengurai senyum tipis sambil memegang pundaknya yang terasa sakit.“Sayang, udah pulang?”“Kamu abis dari mana? Jalan sama cowok? Aku liat kamu tadi dianterin lagi sama dia.”Lisa bungkam. Senyumnya tadi memudar mendengar tudingan tajam Arka. Dia meletakkan dulu tasnya, lalu melepas blazer yang melilit tubuhnya hari ini.“Tadi juga kamu makan siang sama dia, kan? Kalau kamu punya waktu makan siang sama dia, kenapa nggak ke rumah sakit dan ngajak aku lunch juga?” bentak Arka.Protes keras Arka ditanggapi sinis oleh Lisa. Teringat dia bahwa minggu lalu, Arka selalu menolak makan siang dengannya beberapa kali meski Lisa sudah menunggu Arka berjam-jam di ru
Begitu saja? Lisa hanya merasa lelah. Arka pun merasa janggal dengan sikap Lisa. Istrinya ini tidur memunggunginya, tak seperti sebelumnya yang selalu beringsut ke dada Arka hanya untuk menjadikan lengan suaminya itu sebagai bantal tidurnya.“Kenapa kamu tidur mantatin aku, sih?” seru Arka.“Siapa yang mantatin kamu? Muka kamu, kan, di atas, pan-tatku di bawah. Bukan mantatin namanya.”“Iya, maksudku, munggungin aku,” gerutu Arka sambil menarik bahu Lisa.Lisa menggoyangkan bahunya, menolak Arka untuk mengganggu. “Sayang, aku ngantuk, nih.”“Ngantuk … banget, ya? Malam ini nggak mau main apa … gitu. Kuda-kudaan, kek. Udah lama, kan?” rayu Arka sambil mengusap-usap paha istrinya.Lisa sama sekali tak tergoda. Dia benar-benar lelah seharian. Disampirkannya tangan suaminya itu, malas meladeni sikap manjanya yang minta dilayani urusan ranjang. Lisa menoleh ke belakang, tersenyum sungkan.“Sayang, please … besok-besok aja, ya. Aku capek banget. Beneran.”Lisa sedikit beranjak dan mencium s
Arka duduk bersila di atas kasur, lalu menggendong Ariel untuk duduk di pangkuannya. Si kecil itu sedang lagi aktif-aktifnya untuk memainkan bola-bola dengan warna berbeda. Indera penglihatannya mulai bekerja. Begitu senang saat memainkan bola-bola di tangan ayahnya itu. “Adek juga udah nggak nyusu mama lagi. Nggak apa-apa, tuh? Nggak nangis? Kalau papa, nangis tuh.”Ariel tertawa, lalu menoleh pada ayahnya yang sejak tadi mengomel tak jelas. Tentu dia tak memahaminya. Tapi mendengar nada manja sang ayah, gelak kecilnya terdengar menggemaskan.“Bukan, maksudnya, nangis karena nggak meluk mama.”Ah! Apa yang dia pikirkan? Wajahnya merah sendiri, padahal si bocah itu juga tak paham apa yang dibicarakan. Dia baru ingat, bahkan sudah dua minggu lebih mereka tidak melakukan hubungan intim. Sibuk dan lelah. Lebih memilih berbaring dan bercumbu dalam lautan mimpi.“Mama mana, ya? Kok, belum pulang?”Tak lama, suara mobil terdengar memasuki pelataran rumah. Arka beranjak dari kasur, lalu men
Lisa cemberut, dengan tangan bersidekap. Selalu seperti ini setiap Arka pulang. Dia bahkan lebih senang memeluk guling ketimbang istri cantiknya ini.‘Sialan! Aku udah setengah telanj ang gini pun dia nggak ada minat buat megang-megang.’Sengaja dia menjatuhkan dress begitu saja untuk menggoda suaminya ini. Setidaknya mereka perlu amunisi untuk hubungan pernikahan yang belakangan ini terasa hambar. Lisa segera berbalik ke sisi cermin. Menatap tubuhnya dari ujung kepala sampai ke ujung kaki lewat pantulan cermin. Dicubitnya sebentar lengan, lalu kedua sisi perutnya yang agak melar.‘Masa' udah nggak selera lagi, sih? Padahal nggak gendut-gendut amat. Masa iya, dia nggak pengen lagi?’Malas menggalau ria, Lisa pun pergi mandi karena badannya sedikit terpercik hujan di luar sana. Menghabiskan waktu lima belas menit, lalu dia keluar dari toilet. Hujan deras seakan mendukung Arka untuk pulas tertidur, padahal dia berkata hanya rebahan saja. Suara dengkurnya saja terdengar kuat.Lisa menyur
“Masih lama?”Arka melepaskan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya setelah masuk ke ruang prakteknya. Lisa beranjak dari sisi sofa dengan wajah sumringah. Dia telah bersiap dengan tampilan cantik dan rapi. Dress merah muda itu melilit tubuhnya yang belum terlalu singset setelah melahirkan Ariel. Menunggu satu jam lebih, akhirnya Arka menyelesaikan operasinya siang itu di Raztan Hospital tersebut.“Ya udah, sekarang kamu beres-beres dulu, trus kita makan di restoran China itu,” ujar Lisa, manja.Arka tersenyum tipis. Membuka jas putih itu, lalu disampirkannya di atas meja. Dipeluknya sesaat istrinya itu, mencium rambutnya yang sangat wangi untuk memanjakan hidungnya.“Aku masih ada jadwal operasi lagi jam 1 nanti, Sayang.”Lisa tertegun, hanya menempelkan kepalanya di dada bidang Arka.“Nggak mungkin kita cuma makan siang, trus aku balik ke rumah sakit, kan? Ini juga udah hampir setengah satu. Kalau besok aja, gimana?”Arka meminta dengan nada lembut, memohon kesediaan Lisa un
Papa Frans tak tahan dan langsung mengetuk kepala Arka. Si tampan itu sampai mengaduh sambil mengusap kepalanya."Papa, ih!" ujar Mama Wendi."Ini anak ngomongnya bar-bar banget. Heran aku!" dumel Papa Frans."Apa, sih, Pa? Tega bener nyiksa aku gini," keluh Arka."Ya kamu itu mulutnya nggak bisa dijaga di depan orangtua, mah. Perlu disekolahin lagi?" canda Papa Frans."Nggak, Pa. Makasih. Udah kenyang aku. Ini mulut blangsak udah bawaan orok, Pa.""Dokter begini modelnya, apaan? Dulu kamu masuknya nyogok, ya?" Papa Frans masih asik berdebat dengan Arka.Dua pria ini memang sangat mirip kerasnya. Mama Wendi dan yang lain hanya tepuk jidat karena mereka tak henti melempar argumen.Tawa keluarga itu menghiasi setengah jam kebersamaan. Setelah itu, Arka dipapah Rizwar untuk naik ke lantai dua kamarnya. Betapa gugupnya dia menyadari pintu kamarnya terbuka. Sempat mengintip, istrinya itu masih duduk di depan meja rias."Riz, takut banget gue masuk, mah. Tengsin, lah! Udah bikin surat pami
Setelahnya, Rizwar masuk ditemani Grace. Arka sangat bersyukur mereka selalu menemaninya."Lisa tadi langsung pulang waktu tau kamu udah sadar. Jangan salah paham! Dia cuma belum siap ketemu kamu. Tadi dia juga bawa Ariel. Tapi pasti nanti Ariel nggak nyaman, bahaya juga karena di rumah sakit, 'kan? Jadi langsung dibawa pulang aja," papar Grace, menjelaskan semua seolah paham apa yang ingin diketahui Arka saat ini."Setelah ini pulang dan jangan keras kepala lagi. Satu pelajaran buat lo. Kalau ada masalah, jangan disimpan sendiri karena bisa bikin salah paham segede ini," tutur Rizwar, menambahkan."Hm! Istri itu separuh nyawa suaminya. Jangan rahasiakan apa pun, karena seorang istri akan merasa bahagia jika dianggap penting sama suaminya," pesan sang ibu.Tak lama, dr. Farhan masuk bersama dr. Hanif. Dua dokter itu juga sigap memantau kesehatannya selama ini."Pelan-pelan aja. Untuk saat ini, operasi pengangkatan tumornya sukses. Tapi masih tetap harus medical check up rutin untuk me
Pernikahan sudah dijalani sepuluh tahun. Selama ini, semarah apa pun Arka, sikap lembut Lisa yang berusaha menenangkan Arka membuat pria itu selalu memperbaiki diri dan menarik kembali amarahnya. Pertengkaran diredam karena Arka melihat cinta di mata Lisa. Akan tetapi beberapa bulan ini, kemarahan Lisa membuat Arka berada dalam tekanan.Ternyata cinta Arka saja tak cukup untuk melunakkannya. Tak peduli seberapa keras pria itu berupaya, bersujud, bahkan menangis sekalipun, Lisa tak goyah. Suaminya itu menahan sesak akibat kemarahan tak berujung Lisa."Maafin aku, Ka ...."Papa Frans menoleh saat mendengar isak tangis Lisa. Dia bangkit untuk mendekati menantunya itu, mengajaknya duduk di kursi tunggu. "Kamu sebaiknya pulang dulu, makan dan istirahat. Kamu belum ada pulang. Itu pasti stock ASI buat Ariel udah habis. Kasian dia," pinta beliau."Arka pasti bangun, kan, Pa?"Lisa sangat takut terjadi hal buruk hingga dia terus meyakinkan diri akankah Arka bangun dengan cepat. Papa Frans b