Kalau kau diberikan pilihan, untuk melanjutkan hidup, dan memperbaiki semua yang terjadi – semampumu,
Atau,
Kembali ke masa lalu, ketika kau bisa mengulang semuanya dengan lebih baik, dan menghentikan kegilaan-kegilaan itu sebelum terjadi, apa yang akan menjadi pilihanmu?
Pertanyaan-pertanyaan yang kubaca di dalam buku-buku fiksi itu terngiang-ngiang saat malam datang. Meski aku hanya membaca selembar, itu pun tidak sengaja membacanya saat menemukan lembaran novel yang dibuang di tempat sampah, atau secarik kertas yang dijadikan bungkus makanan oleh pedangan asongan, tapi pertanyaan itu terus terngiang.
Pada dasarnya, manusia selalu mengarapkan sebuah pengandaian.
Andai itu tidak terjadi,
Andai aku bisa memperbaiki semuanya,
Andai aku memilih jalan yang lain,
Atau mungkin, andai aku tidak pernah hidup sejak awal.
Jika aku mendapatkan pertanyaan di atas, mungkin secara egois aku akan memilih opsi kedua
Jika ada yang mengatakan bahwa hidup itu mudah, maka orang itu tengah berbohong kepadamu.Semua selalu memiliki harga yang setimpal. Kau mungkin iri melihat keberhasilan salah satu kenalanmu, ia bisa sukses diusia mudanya, memiliki pekerjaan berpenghasilan besar, keluarga harmonis, dan bahagia, seakan tak memiliki celah sama sekali.Lalu kau akan berkata, betapa beruntungnya ia, tapi tidak pernah berbela sungkawa atas apa yang sudah ia lewati untuk sampai ke titik itu.Ingatan adalah hal yang rumit. Otak tidak akan mungkin mengingat semua yang terjadi dalam hidupmu. Otak tidak punya kapasitas penyimpanan. Kita akan lupa sebagian besar apa yang terjadi, termasuk kejadian yang mungkin sangat penting pada saatnya. Hal-hal yang tersimpan dari masa lalu hanyalah keping-keping kecil informasi-informasi yang kadang terlalu membahagiakan, atau terlalu menyedihkan, tapi sebagian besar, hanya menguap dan terlupakan.Pun, dengan kejadian pemerkosaan 7 tahun yang lal
Your secrets keep you sick.Your lies keep you alive, but you’ll never be happy. ***“Bu, tolong izinin Abrar ketemu Mia!”Sekarang ada keributan lain di rumah sakit. Seorang pasien yang baru saja mengalami kecelakaan kemarin, kini memohon di depan ruang perawatan adiknya. Pria itu memang tidak memiliki luka berarti, tidak seperti Syila yang harus kehilangan kakinya, tapi dokter tetap memintanya tinggal selama beberapa hari untuk dilakukan observasi.Aku sudah menyuruh Xei pergi untuk melihat keadaan Andra, karena hanya hal Andra yang saat ini memenuhi benakku, tapi aku terlalu takut untuk menemui sosok mungilnya. Meski mungkin Andra belum cukup mengerti, tapi bagaimana jika suatu hari nanti orang-orang akan membahas masalah ini di depan Andra yang sudah cukup dewasa untuk memahami jika ibunya adalah korban pemerk*saan beberapa pria mabuk. Bagaimana jika akhirnya penilaiannya kepadaku akan berubah
Aku sangat lelah.Lebih dari pada yang bisa kau bayangkan.Aku sangat lelah.“Ibu, bisa tinggalin kami dulu sebentar?”Setelah terdiam beberapa saat akhirnya ia kembali berbicara.“Kamu mau apa lagi, Abrar?! Kalau kamu mau ngomong, ngomong di depan Ibu!”Kedua mata pria itu menatap lekat ke dalam mataku, seakan mencoba menyelami kelamnya jiwaku.“Jangan macam-macam lagi, Abrar! Jangan buat Ibu lebih malu dari ini! Berhenti sekarang juga! Jangan buat kesalahan yang lain. Lepaskan mereka, atau Ibu sendiri yang akan tuntut kamu!”Wajah tua Ibu tampak sangat kecewa. “Ayah macam apa yang tega menyakiti anaknya sendiri, Abrar?” tanya Ibu getir. “Ibu pikir ibu sudah mendidik kamu dan Syila dengan cukup baik selama ini, tapi ternyata ibu sangat salah. Kamu menikahi Mia, walau tau dia korban pemerk*saan, itu tindakan yang benar. Tapi kamu menyimpan video pemerk*saan Mia, itu salah. K
Waktu selalu butuh beberapa saat untuk memutar balikkan hidupmu.“Aku minta maaf, Mi.”Di antara jutaan rasa sakit yang kumiliki, pengkhianatan orang terdekat adalah hal yang paling membekas. Itu membuatmu menjadi takut mempercayai orang lain, membuatmu selalu waspada kepada kebaikan yang datang. Seakan pasti ada tujuan di balik semua kebaikan-kebaikan itu, seakan semuanya palsu.Pernah sekali ku berpikir akhirnya takdir memberikan hal yang indah melalui persahabatanku dengan Lina. Sampai aku menyadari bahwa semua senyumannya hanya kamuflase belaka.Kini, ketika takdir kembali membuat kami duduk berhadapan di kafe seberang kantorku, ia menunjukkan air mata yang tak pernah kulihat sebelumnya.Alunan lagu terdengar samar dari speaker yang terpasang di langit-langit kafe. Aroma kopi membaur sempurna dengan aroma lezat roti yang baru saja dikeluarkan dari dalam oven. Seorang gadis kasir tersenyum riang sambil memasukkan roti itu ke da
Maaf,Aku egois. Aku minta maaf. Aku minta maaf. Kututup pesan terakhir yang ia kirimkan ke ponselku. Pesan itu sangat berbeda dengan pesan-pesan yang ia kirimkan sebelumnya. Padahal dulu ia selalu mencoba menahanku pergi, ia selalu berusaha mengumbar kata untuk tetap mempertahankan pernikahan kami, menghujaniku dengan janji-janji jika kelak ia akan berubah, tapi tak pernah ditepati. Sampai aku tak lagi bisa mengerti, jika ia mencintai kami sebesar itu, cinta seperti apa yang ia miliki?Namun, pesan terakhir yang ia kirimkan setelah pertengkaran kami tak lagi berisi sanggahannya, atau upayanya untuk mempertahankan, hanya sebuah permintaan maaf, dan… sebuah kekosongan.Seakan ia sudah tau, tidak peduli sekeras apa usahanya untuk mempertahankan, pada akhirnya, kami berdiri di sebuah persimpangan yang berbeda.“Mama, kenapa kita ke rumah sakit? Siapa yang sakit?”Pertanyaan da
24 Tahun Kemudian“Eh, udah dengar belum gosipnya?”“Soal Dokter An lagi?”“Ya, siapa lagi?”Aku melirik sekilas kepada dua perawat yang tengah berbincang di balik meja resepsionis sambil terus mengisi formulir di hadapanku.“Pakai BPJS atau umum, Bu?” tanya perawat muda yang melayaniku. Pertanyaannya secara otomatis membuat lamunanku buyar seketika.“Umum,” jawabku singkat.Perawat berusia 20 tahunan itu tersenyum dan mengangguk, lalu mengetik sesuatu di komputernya.Setelah megisi seluruh folmulir, aku kembali menyerahkannya kepada si perawat.“Baik, Bu, silakan tunggu sebentar ya, nanti akan dipanggil kembali.”“Tapi suster, antriannya masih lama nggak yah?” tanyaku, sambil melirik bocah kecil yang sekarang bersidekap di belakang punggungku.Gadis berseragam merah muda itu memeriksa data di komputernya. &ldq
“Kamu nggak harus antar Mama dan Willia, An. Mama bisa naik taksi juga,” kataku, saat kami duduk di mobilnya. Willia yang tadi mendapat perawat pembersihan karang gigi dari Dokter Kinan, sekarang tengah terlelap di kursi belakang.Andra tersenyum lembut. “Kan jarang-jarang Mama ke tempat kerja Andra. Pokoknya kalau Mama ada apa-apa, Mama telepon Andra, biar Andra jemput.”“Kamu kan sibuk, pasienmu paling banyak.”Andra membelokkan mobilnya ke jalan raya. “Yah, Andra bisa curi-curi waktu sedikit, apa sih yang nggak bisa buat Mama,” ujarnya santai.Aku tersenyum, meski mungkin ia mengatakannya dengan asal, tapi kata-kata itu terdengar sangat hangat bagi seorang ibu.“Oya, tadi Mama dengar gosip soal rumah sakit baru dan tawaran Dokter Heru.”Kedua mata putraku membulat kaget. Mungkin sama sekali tidak menyangka aku bisa mengetahui hal itu.“Kenapa kamu nggak pernah cerita
“Om! Om Andraaa!!! Lama banget sih?!” Buk. Buk. Buk. Willia menggebrak pintu kamar mandi berkali-kali. “Ommmm udah beluuumm??!” teriaknya, mengintip dari celah kecil sudut pintu. “Wooy!” Andra yang menyadari sosok mungil itu tengah mengintip langsung melempar sikat gigi dari dalam kamar mandi, membuat Willia tertawa keras. Tak lama, keduanya berlarian menuruni tangga sambil berteriak kencang. “Maaaa ada monster!!!” teriak Willia riang, sambil terus berusaha mengelak dari amukan Andra. “Andra, Willia, jangan lari-lari di tangga,” tegur Miranda. Hampir saja mereka berdua menyenggol baki berisi piringan keik pisang kesukaan Syila, adik iparnya. Willia melompat ke sofa, tempat ibunya tengah duduk bersandar sambil mengusap perut yang membuncit. “Mamaaa!” “Duh, hati-hati, Will,” keluh Syila. Ia menahan tangannya di udara, khawatir putri sulungnya akan melompat tanpa pikir panjang. Meski ia adalah gadis