Kalau memang benar, mertuaku dalang di balik kekacauan ini. Hal apa yang Nining janjikan padanya, sehingga gadis itu mau-mau saja melakukan hal yang bahkan mengancam keselamatannya.
“Mana mungkin Nining mau mencelakai diri sendiri? Enggak mungkin, kamu bicara seperti ini, sengaja ‘kan? Cuma buat cari pembenaran.”
“Saya dengar dari mulut Nining sendiri. Dia yang bilang semuanya.”
“Enggak mungkin, dia enggak mungkin sekonyol itu!”
Juragan Asep sampai mengentakkan tongkatnya dengan cukup keras, rahangnya juga mengeras. Seiring dengan sorot matanya yang memerah.
“Tolong ambil kembali uang ini! Saya enggak butuh uang Anda!” ucap Ayah.
“Sombong sekali! Di polisi aja masih minta ganti rugi!”
“Orang-orang Anda merusak rumah saya, wajar saya minta ganti. Coba saja mereka datang baik-baik, bukan merusak dan teriak-teriak seperti orang-orang yang tidak beradab saja. Saya jug
“Kenapa Dek? Ngomong sama siapa malam-malam gini?”Pria itu baru saja bangun, tetapi ia bahkan menatapku dengan penuh curiga.“Apa sih Akang, ini yang nelepon Teh Nadia. Katanya ibu kesurupan?”“Hah, kok bisa?”“Jangankan aku, Teh Nadia aja heran. Ini Akang diminta nelepon, katanya barangkali bisa bantuin rukiah.”“Aduh, mana bisa Akang yang begitu, Yas.”Ia lantas menghubungi Teh Nadia kembali. Namun, tidak langsung diangkat.“Mungkin masih di jalan, katanya tadi lagi cari ustaz. Jam segini, susah juga Kang nyari yang mau direpotin.”Dari pada panik, pria itu malah terlihat seperti orang yang kebingungan. Entah, karena efek bangun tidur atau hal lain. Kang Dadan malah hanya menggaruk tengkuk sambil meringis ke arahku.“Ih, orang ibunya kesurupan, kok malah mesem-mesem begitu?”“Ya, aneh aja Yas. Seumur-umur enggak pernah ibu
“Kok bisa Nining keluar, Kang?”Kami tak mungkin salah lihat, jelas-jelas itu Nining dan Juragan Asep. Namun, kenapa mereka bisa berkeliaran dengan bebas.Perhatian kami mendadak teralihkan begitu melihat 1 orang dengan setelan kemeja mengikuti di belakang ayah dan anak itu.“Oh, pengacara, pantas saja, tapi mungkin hanya ditangguhkan. Kalaupun bebas. Nining juga akan jadi tahanan rumah atau tahanan kota. Kasusnya kompleks jadi enggak mungkin dia bebas tanpa syarat.”Jika Nining benar tahanan kota, itu artinya ia akan tinggal di tempat ini selama masa tahanannya. Ah, sangat menyebalkan.“Bagaimana kalau dia datang dan berulah?”“Enggak akan berani, ‘kan kalau kamu lapor, pasti dia enggak akan bisa dapat keringanan hukum lagi.”Kalau memang begitu, setidaknya aku merasa lebih tenang.“Seharusnya Akang tadi bawa hp, sekarang jadi enggak bisa hubungin pihak kepolisian. Ua
Usai membaca pesan yang dikirim Juragan Asep pada ibu, Kang Dadan hanya diam sambil meremas ponsel itu. Rahangnya mengeras, bahkan kini tatapannya menjadi begitu tajam ke arah hotel.“Kang….”“Enggak bisa dibiarin Dek, mereka semakin semena-mena! Ibu pasti ketakutan sekarang.”Siapa yang tidak takut diancam seperti itu. Ibu pasti berpikir untuk melarikan diri. Entah ke mana ia akan pergi.Aku yang masih termenung, seketika bangkit melihat Kang Dadan yang mengambil langkah lebar, menyeberangi jalah, lantas masuk ke hotel. Aku yang memanggilnya sejak tadi bahkan tak dihiraukan sama sekali. Pria itu malah semakin mempercepat jalannya.Aku sudah kuawalahan, mengikuti langkahnya yang lebar dan panjang.Sampai ia berhenti di meja resepsionis dengan keadaan yang masih emosi pria itu menanyakan keberadaan Juragan Asep.Ia jelas tahu, setiap hotel punya kebijakan tersendiri dalam melindungi privasi pelanggannya.
Aku tidak tahu benar atau salah membiarkan ibu tinggal di sana. Namun, suami Teh Arum yang merupakan pemilik toko matrial bangunan, memang kerap kali memanfaatkan tenaga ibu yang berkunjung ke rumahnya.Parahnya di rumah, di mana dia seharusnya beristirahat usai lelah bekerja. Ibu masih juga direpotkan dengan anak-anak Teh Arum. Aku bahkan melihatnya sendiri. Sehingga ibu juga tidak betah lama-lama di tempat anaknya.Kami bukannya tidak mau menegur, tetapi apa yang dikatakan Teh Arum saat itu justru sangat menohok.“Kamu pikir siapa yang betah diomelin setiap jam. Ada aja yang dikomplen. Biarlah dia gantiin aku di toko. Aku juga capek,” keluh Teh Arum.Begitulah ia yang setiap kali diegur untuk memperlakukan ibu dengan baik, malah kami yang disalahkan. Ia merasa tindakannya juga benar, karena ibu terlalu cerewet. Sebenarnya aku juga tak menampik, jika ia keberatan. Faktanya anak-anak tak suka nasihat yang terkesan menggurui, kami buth teman ya
“Ibu boleh masuk, Neng?”Tanpa menunggu persetujuanku wanita yang matanya membengkak juga kelopaknya yang menghitam itu, melangkah masuk. Jejak kesedihan terlukis jelas di wajah murungnya.“Oh, iya. Boleh!”Saat itu pagar rumahku memang terbuka, karena tadi Mak Ipah tak menutupnya lagi saat keluar.Entah kenapa perasaanku jadi tak enak. Apa lagi saat Mak Ipah menyebutnya wanita ular. Diantara tetanggaku yang lain, Mak Ipahlah yang paling perhatian. Ia bahkan tak segan membelaku, jika Bu Irah mempermalukanku di warung atau di pengajian.Sampai hari ini juga hubungan mereka kurang harmonis, karena Mak Ipah kerap kali membantah apa yang dikatakan Bu Irah. Belakangan aku juga baru tahu kalau dulunya mereka bersahabat. Hanya saja mengingat sikap ibu mertuaku yang keras kepala dan tak mau disalahkan, lama-lama ia jengah juga.“Neng, kok melamun sih?”Suara Bu Odah seketika menarik kesadaranku ke
“Loh kok kamu di sana? Bukannya udah pulang dari tadi?”Kang Dadan malah kebingungan. Jelas-jelas aku baru pulang.“Akang ngapain pelukan sama dia? Mana berduaan enak-enak di belakang.”Saat itu perempuan yang menggunakan dress terusan selutut berwarna putih itu hanya menunduk. Rambut panjangnya yang tergerai dibiarkan menutupi wajahnya. Ia bahkan terlihat menyeramkan sekali.“Kamu siapa sih?” tanyaku.Kang Dadan yang mulai mendapatkan kendaraan sepenuhnya langsung mendorong wanita itu menjauh. Sayangnya yang membuatku tambah gemas adalah wanita itu malah mengencangkan pelukannya di pinggang suamiku.“Ih, lepas!”Kang Dadan bahkan harus menggunakan sedikit tenaga melepaskan wanita misterius yang terus menempel di tubuhnya. Pria itu sedikit bergidik, entah benar geli atau hanya pura-pura saja.Lagi pula laki-laki mana yang tidak menikmati saat dipeluk perempuan lain.
Sangat disayangkan kenapa Kang Dadan tak tegas pada Nining. Padahal, tenaganya jauh berkali-kali lipat dari Mak Ipah.Malam itu, meskipun tidur satu ranjang aku memilih untuk memunggunginya. Nyatanya dia juga masih menyimpan perasaan pada istri keduanya. Entah cinta atau sekedar kasihan. Hanya dia yang tahu.~Pagi harinya, aku terbangun sendirian. Kang Dadan sudah tak berbaring di sampingku. Padahal, ini baru saja azan subuh.Aku mencoba untuk tak peduli, memilih membersihkan diri dan menunaikan kewajiban kurasa itu lebih baik, dari pada menuruti nafsuku yang ingin selalu marah padanya. Lebih baik juga memang kita tak saling bertemu dulu, setidaknya bisa sedikit meredam kemarahanku padanya.~Obat paling mujarab di saat seperti ini, hanya mendekatkan diri pada Sang Pemilik Kehidupan. Hanya ia yang tahu takdir setiap makhluknya. Semakin hari, aku dibuat sadar, jika kehidupan tak selalu berjalan semau kita. Enggak ada yang abadi di duni
[Kamu ya, kebiasaan! Sekarang enggak tahu ibu ke mana.]Panggilan pun berakhir.[Ibu enggak tahu di mana Dan, di Nadia juga enggak ada.][Biarin aja, ibu juga bawa uang yang enggak sedikit. Dia juga enggak akan kelaparan di jalan.][Dan, Teteh ngerti kamu kecewa banget, tapi apa bener kamu enggak peduli sama ibu?][Enggak ada anak yang enggak peduli, aku juga perlu waktu buat nerima semuanya. Aku malu kesel, tapi juga enggak bisa berbuat apa-apa, karena dia orang yang melahirkan dan merawatku sejak kecil.][Ya sudah, kalian istirahat saja di sini. Sidangnya besok ‘kan? Kalau mau nginep aja di sini. Mbak juga lama kayaknya enggak kumpul keluarga.][Aku sih terserah Yasmin.][Boleh, kalau memang Mbak enggak keberatan.]Dari pada aku harus tinggal di sana sampai besok, lebih baik di sini. Setidaknya bisa menghindar dari Si Nining.~Esok hari, usai salat subuh kami memutuskan untuk pulang. Kami harus men
Sementara ibu melangkah menuju ke ruang tamu. Aku dan Kang Dadan memilih ke halaman belakang berkumpul bersama keluarga yang lain yang saat itu juga terlihat sangat ingin tahu apa yang terjadi. Aku sengaja tidak menjelaskan, aku pikir tidak baik juga menceritakan masalah seperti ini pada orang-orang yang tidak punya kepentingan.“Harusnya kalian juga temui, Nining! Kalian kan sudah makan emasnya. Terutama kamu Nad, kamu harus akuin keserakahanmu itu jika memang kamu bener mau berubah menjadi lebih baik,” ucap Teh Dewi.Kedua adik perempuannya itu lantas saling menatap. Sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menyusul ibu ke ruang tamu.“Dan, Yas maaf kelakuan mereka bikin kalian jadi susah.”Saat itu Teh Dewi bukan hanya menatap kami bergantian, ia juga memegang kedua tangan kami sambil menyatukannya menjadi satu genggaman.“Teteh juga pasti banyak salah sama kalian, teteh harap apa pun yang terjadi kalian jangan pern
Sepanjang jalan menuju rumah Juragan Asep banyak sekali tetangga yang mengajak kami bersalaman. Memang masih momen lebaran, jadi kami masih saling bermaafan. Namun, sepertinya orang-orang desa terlalu berlebihan. Permintaan maaf mereka seperti benar-benar dari hati, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Mungkin memang sebenarnya mereka juga merasa bersalah, karena ikut bersekongkol dengan Juragan Asep perihal pernikahan suamiku. Kebetulan sekali saat kami hampir sampai ke rumah Nining. Di jalan kami malah bertemu dengan Bu Odah. “Loh, kalian kapan datang?” tanyanya. “Sudah 3 hari yang lalu,” jawab Kang Dadan. Aku pikir Bu Odah akan marah atau mungkin bertindak anarkis. Ternyata dia dengan ramah menyapa kami. Wanita yang usianya sekutar 60 tahunan itu tampak lebih segar dan bugar dibandingkan pertemuan kami setahun lalu. “Yasmin, sehat?” “Alhamdulillah. Ibu dan Nining bagaimana kabarnya?” “Kami semua sudah lebih baik se
“Loh, terus ibu mau tinggal sama siapa? Mau sama aku?”Teh Dewi mulai angkat suara.“Enggak, ibu juga enggak mau menyusahkan kamu. Kehidupan kau aja ngepas buat sehari-hari. Biarin ibu di sini sendiri. Mereka biar cari rumah sendiri.”Sontak saja Teh Nadia dan Teh Arum langsung menghambur dan berlutut di hadapan ibunya.“Bu, maafin Nadia. Aku tahu yang aku lakukan ini salah banget, tapi Nadia juga enggak tahu mau tinggal di mana lagi kalau bukan di sini, hiks.”“Tolong maafin Arum juga Bu, kami bener-bener enggak tahu harus tinggal di mana, hiks. Kami bahkan belum punya pekerjaan. Kami enggak tahu mau mulai kehidupan seperti apa?”“Waktu kalian mengusir ibu dari rumah, pernah enggak kalian mikirin ibu mau tinggal di mana dan bagaimana? Padahal, enggak setiap hari juga Ibu berkunjung ke rumah kalian.”Sekarang tangisan keduanya malah semakin menjadi.“Ibu selalu m
“Benar kata Mas Aris, kalau sampai ibu masih gak sadar. Itu keterlaluan banget. Kalau sekarang ibu enggak mau ketemu, mungkin aja dia cuma perlu waktu buat nerima semuanya.”“Akang antar kamu pulang dulu, ya? Lagian hasilnya baru keluar besok.”“Memangnya ibu mau dirawat?”“Ia, biar enggak bolak balik. Sekalian mau cek kesehatan yangl ain. Dokternya baru ada besok pagi. Sekarang udah tengah malam gini. Kamu mau istirahat di mana coba. Mana enggak boleh masuk juga, ‘kan ada bayi,” ucap Kang Dadan.~Saat itu memang kurasa tak ada pilihan lain. Apa lagi memikirkan anak-anak yang juga butuh tempat yang layak.Kami bahkan tak diperkenankan masuk, karena membawa bayi.~“Ayo Akang antar! Percaya sama Akang, ibu enggak benci kamu kok. Dia cuma butuh waktu aja. Kita tunggu di rumah aja, ya?”Sebelum pulang Kang Dadan mala mengajakku untuk mampir di warung bakso f
Aku masih berusaha untuk meminta tolong pada orang-orang di sana, termasuk para pedagang yang berada di sekitar lampu merah.“Aduh Neng, mana bawa-bawa bayi. Jangan nekat! Sudah tunggu aja di sini.”“Enggak bisa dong Mas, nanti kalau suami saya dipukuli bagaimana?”“Enggak, asal enggak cari masalah. Mereka enggak anarkis kok.”“Tapi, tadi katanya mereka suka mukul orang.”“Enggaklah, dasar aja orangnya enggak mau nolongin. Sudah tunggu saja di sini! Sebentar lagi juga keluar!”Saat itu ibu-ibu yang kebetulan lewat pun sampai menahan kutetap tinggal. Ia menarik lenganku, begitu erat.“Kalau ada.apa-apa, memangnya Neng enggak kasihan sama anak-anak?”Benar juga. Adanya mereka membuat gerakanku jadi terbatas.Sekarang aku hanya bisa pasrah sambil harap-harap cemas, menanti mereka yang tak kunjung keluar dari markas itu.“Memangnya ada urusa
Aku bisa mengerti sesakit apa Kang Dadan mendengar kabar ini, ia sampai tak bisa berhenti menyalahkan diri.“Belum terlambat buat cari keberadaan ibu, Kang. Kita bisa cari sekarang juga kalau Akang mau. Mumpung kita di sini, kalau udah di Bali. Pasti ‘kan repot harus minta cuti dan sebagainya. Hayu, Akang mau sekarang? Aku temani!”Akhirnya setelah sekian lama ia terus menunduk sambil merenungi kesalahannya, pria itu menatapku.“Kamu bahkan lebih peduli sama ibu dari pada anak-anaknya.”“Setelah aku merasakan hamil dan melahirkan, aku jadi tahu Kang jadi ibu itu enggak mudah. Apa lagi merawat anak-anak. Aku cuma belajar menempatkan diri, kalau aku di posisi ibu bagaimana? Pasti aku juga akan melakukan hal yang sama. Siapa yang enggak akan merasa bersalah, melihat cucunya kritis dan hampir meninggal, karena kesalahan kita sendiri.”“Iya, tapi semua itu bohong.”“Ibu mana mengerti mas
“Mafin aku Yas, kami bener-bener khilaf saat itu. Begitu melihat lemari ibu yang penuh dengan emas Batangan dan perhiasan. Kami jadi kalap dan malah menginginkan semuanya.”“Jangan-jangan ibu bukan kabur dari rumah, tapi Teteh yang usir dia.”“Soal itu, hm sebenarnya untuk masalah anakku yang di klinik jugahanya akal-akalan kami. Awalnya Anita memang mengalami konstipasi, tapi keadaannya tidak terlalu serius. Jadi, cukup diberikan obat saja juga sudah baikkan.”“Kalau memang begitu, kenapa Teteh malah melebih-lebihkan seolah-olah yang ibu lakukan itu sampai mengancam nyawa Anita?”Anita adalah anak kedua dari Teh Nadia, usianya belum menginjak 6 bulan. Jadi, ia tak seharusnya mendapatkan makanan selain ASI. Aku pikir memang benar, jika anak itu dalam keadan yang kritis. Ternyata hanya akal-akalan saja.Memang benar ya, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya. Sikapnya persisi seperti Bu Irah. Sek
“Kenapa sih dia?” tanya Teh Dewi dengan gaya culasnya.Namun, saat itu malah disenggol oleh Mas Aris.“Samperin sana! Adik kamu itu! Tanyain kenapa dia pulang sendiri? Mana malam-malam, ke mana suaminya?”Benar juga, tak biasanya Teh Nadia pulang kampung sendirian. Selain katanya tak biasa naik angkutan umum yang panas dan berdesakkan dengan pemudik lainnya.Ah, aku jadi ingat bagaimana angkuhnya saudara iparku itu.“Tunggu Teh, jangan ke dalam dulu! Aku mau ngomong sesuatu. Mumpung semua sudah kumpul di sini!”Teh Nadia yang saat itu hendak masuk pun mendadak kembali.Aku bisa melihat kegugupan di wajah Teh Arum, sesekali ia melirik ke arahku lantas ke arah suaminya. Yang saat itu bahkan sama tegangnya. Aku bahkan bis melihat ia seperti mengancam istrinya itu dengan tatapan tajamnya.“Sayang ada apa sih, kok Teh Arum dari tadi lihat kamu.”“Dengerin aja, nanti juga t
“Teteh sebenernya kenapa? Yas bingung, kalau cuma mau minta maaf sudah jauh-jauh hari aku suda maafin kok. Tapi, ini perhiasan siapa? Kenapa dikasih ke aku?”Ada rahasia apa sebenarnya. Aku sangat bingung sekarang. Apa lagi tangisan Teh Arum juga semakin memilukan.“Kita cerita di kamarku saja yuk, biar enak. Kan ada anak-anak juga takut pada ke dapur.”Aku hanya takut, jika mereka mengetahui kesedihan bundanya. Itu tidak akan baik bagi mental mereka.Akhirnya aku hanya bisa memaksa wanita itu untuk pindah dari dapur.Di kamar, aku dibuat semakin bingung ketika Teh Arum tak mau menghentikan isakkannya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya demi meredakan sesaknya, yang kuyakini ia past sudah menahan luka ini sekian lama.Lantas hari ini selayaknya bom yang siap meledak kapan saja. Kali ini mungkin waktunya.“Teteh, aku tahu pasti sakit banget denger kayak gini, tapi udah coba omongin belum sama Kang Ajunnya