Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 20.***Seperti biasa, aku tetap menangani sendiri untuk adonan kue-ku. Tetapi Ayah dan Asni juga membantu.Setelah selesai, aku bersiap untuk pergi keluar. Hari ini Eza mengajak bertemu, tapi tentunya tidak sendirian. Dia membawa Sari dan anak dari bos tempatnya bekerja.Eza bilang, dia baru diterima di sebuah perusahaan besar. Sebenarnya Eza sudah memiliki penghasilan dari banyaknya ternak sapi yang ia punya.Namun, Eza merasa jenuh, akhirnya memutuskan untuk bekerja. Sedangkan para sapinya sudah ada yang mengurus sedari dulu."Yah, Lita izin bertemu teman di luar ya," ucapku sembari mencium punggung tangan Ayah."Iya, Nak. Hati-hati di jalan."Tak pernah ketinggalan kalimat peringatan itu dari ucapan Ayah terhebatku ini..Aku melaju dengan mobilku. Sampai di tempat yang dijanjikan, aku pun turun perlahan.Nia?Keningku berkerut melihat Nia ada di sana. Langkahku menjadi berat, tapi Eza sudah melihatku."Mbak Lita," sapa Sari dengan ramah
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 21.***Aku lembur lagi malam ini. Tetapi tentunya ketiga pegawaiku juga ikut lembur."Mbak, kita harus buat seperti apa kue yang harganya 5 juta ini?" tanya Tuti bingung."Buat tujuh tingkat. Setiap hiasannya harus hati-hati! Kerjakan dengan maksimal. Wanita itu sangat cerewet, jadi kita harus membungkamnya dengan kepuasan," jelasku.Mengangguk semua yang medengar ucapanku.Nona Moli itu meminta riasan kue memakai warna hijau. Harus hijau yang mencolok.Aku memadukannya dengan warna putih. Karena Moli tak mau ditambah warna lain.Hampir memakan waktu 3 jam mengerjakan kue pesanan Moli. Kini malam semakin larut, akhirnya ketiga pegawaiku yang muda-muda dan cantik ini pun pulang..Ke-esokan harinya.Mas Arfin dan calon istrinya itu datang. Moli tampak puas dengan hasil tangan kami. "Wah, cantik sekali. Kalian memang luar biasa," pujinya.Tersenyum aku menoleh ke arah Asni, Tuti, dan Siti."Terima kasih, Nona Moli. Kepuasan pelanggan adalah ta
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 22.***POV Arifin.Hari itu setelah Lita menyombongkan keberhasilannya, aku merasa terhina. Aku bertekat akan memikat wanita kaya, yang jauh lebih kaya darinya dan Nia.Ketampananku ini tentunya jadi modal utama.Di suatu jalan, aku melihat mobil mewah berhenti. Tampak pula seorang wanita sedang kebingungan.Aku menghampiri. Ternyata wanita itu adalah seorang janda kaya. Walau usianya 14 tahun lebih tua dariku.Sebisa mungkin aku mencoba menarik simpatinya, dan berhasil. Wanita mana yang mampu menolak pesonaku?Lita super cuek pada masanya itu, pun jatuh hati padaku. Apa lagi hanya seorang janda tua.Moli, aku memanggilnya dengan sebutan Nona Moli. Itu adalah permintaannya.Sehari mengenal, dia langsung klepek-klepek minta dinikahi.Aku dan Nona Moli akhirnya mengatur acara secepat mungkin. Nona Moli punya segalanya, apa pun bisa dikerjakan dengan cepat.Keluarga Nona Moli tak ada yang berani membantahnya, karena harya harta yang dipunya se
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 23.***POV Lita.Aku terpaku dengan pertanyaan Eza.Kenapa ia menanyakan tentang kecemburuanku?Apa mungkin Eza merasa, kalau sikapku menunjukkan suka padanya?Ah, Eza ...."Apa hakku untuk cemburu?" Bergetar suaraku saat ini."Iya, juga. Saya yang berharap berlebihan," ucap Eza diiringi dengan hembusan nafas kasar."Maksudmu?" tanyaku. Aku benar-benar sedang tak ingin menebak sendiri."Bukan apa-apa, Lit. Ya sudah, kita pulang yuk!"Aku mengangguk sambil berdiri. Kini aku dan Eza masuk ke dalam mobil masing-masing, dan berlalu.Di perjalanan pulang, aku masih memikirkan maksud dari pertanyaan Eza tadi.Tetapi dia tak menjawabnya. Lelaki soleh itu sungguh membuat resah hatiku..Hari berganti ....Sore ini tiba-tiba Mas Arifin datang ke toko. Tetapi ia hanya seorang diri, tak membawa Nona Moli."Ada yang bisa dibantu?" tanyaku datar."Santai saja dong, Lit. Mas ke sini cuma mau mengunjungi Salman, dan memberikan ini ...."Dua kantong plas
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 24.***Merah wajahku ketika menatap Ayah tengah tersenyum sambil memainkan matanya."Ayah," lirihku sambil menunduk malu.Langkah Ayah semakin mendekat ke arah kami. Bahkan Eza pun tampak gugup dan salah tingkah."Nak Eza, jika ucapanmu tadi hanyalah candaan semata, mohon jangan diulangi lagi. Takutnya putri saya benar-benar menaruh harapan. Namun, jika ucapanmu itu adalah benar, maka saya akan merestui," ujar Ayah dengan lembut.Bergetar tubuhku, tak kusangka Ayah akan mengatakan hal itu. "Maafkan saya, Om. Tidak sopan rasanya saya mengatakan hal penting ini di luaran rumah, dan tanpa adanya Om. Tadi saya hanya ingin mencoba mencari tahu tentang jawaban Lita. Akan tetapi saya serius. Saya akan datang ke sini bersama orang tua saya," papar Eza.Bergeming aku mendengarnya.Mimpikah aku?Seorang Eza benar-benar ingin meminangku?Ya, Allah ... Terima kasih."Aku menunggu kedatanganmu, Za."Berlari aku ke dalam setelah mengucapkan itu. Masuk ak
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 25.***Waktu yang berjalan begitu cepat, membawa aku di dalam ruangan persidangan.Laporan Mas Arifin sangat berkembang dengan pesat. Aku hadir bersama Eza dan juga Ayah. Sedangkan Salman aku tinggal dengan ketiga pegawaiku.Hakim mulai melakukan mediasi kepada kedua belah pihak dari kami.Kemudian, Mas Arifin dipersilakan membaca tuntutan hak asuhnya terhadap Salman.Kalimat demi kalimat terlontar, diiringi dengan pengacara ternama yang ia bayar. Serta dukungan dari Nona Moli.Namun, aku tentunya tak mau kalah. Aku adalah seorang ibu. Siapa yang lebih berhak daripadaku?"Sebelumnya saya ucapkan terima kasih. Saya menentang keras semua permohonan hak asuh putra saya di alihkan pada penggugat. Karena saya selama ini merawat dan menghidupi Salman dengan baik serta berkecukupan. Saya adalah seorang Ibu, apakah ada yang lebih baik dari seorang Ibu dalam mengurus Anak? Apakah penggugat berprilaku baik? Apakah penggugat pernah menafkahi putranya
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 26.***Selesai makan malam, kami bertiga ingin segera pulang. Namun, lagi-lagi Mas Arifin dan Nona Moli menghentikan langkahku."Lit, tunggu!" ucap Mas Arifin."Apa lagi?" ketusku.Nona Moli tampak menatapku dari atas hingga ke bawah. Kemudian beralih menatap Mas Arifin.Entah apa maksudnya, aku tak mengerti."Biarkan Salman ikut kami malam ini. Mas Arifin sangat merindukannya," sambung Nona Moli.Menggeleng aku dengan cepat, bahkan Salman langsung menggenggam tanganku."Salman tidak mau. Nenek galak!" hardik putraku.Aku menahan tawa ketika sebutan Nenek dilontarkan Salman."Lancang, kamu! Bisa-bisanya memanggilku Nenek!" bentak Nona Moli.Salman semakin ketakutan padanya. Kini Salman memeluk pinggangku."Jangan berteriak pada Anakku! Dengan sikapmu yang begini, apakah mungkin bisa menyayangi Salman? Tentunya tidak, kau hanya tergila-gila pada kepuasan nafsumu yang kau dapatkan dari pria ini!"Geram sudah aku. Tak bisa aku menahan emosiku. U
Judul: Undangan pernikahan suamiku.Part: 27.***Hari ini aku dan suamiku pergi ke kantor polisi. Pak Agus serta kepala sekolah Salman juga turut hadir. Kami membuat laporan, dan langsung ditindak lanjuti.Semua bukti juga sudah aku berikan. Kini aku hanya tinggal menunggu hasil penyelidikan.Kami pulang setelah selesai. .Di rumah, Ayah langsung bertanya. "Bagaimana, Nak?""Polisi akan menyelidiki, Yah.""Baguslah kalau begitu."Tiba-tiba ponsel suamiku berdering, entah panggilan dari siapa.Saat panggilan dijawabnya, terdengar seperti bicara pada Nia. Tak lama panggilan itu ditutupnya, setelah berkata oke."Ummi, semua urusan sudah selesai kan? Abi harus ke kantor. Kalau ada sesuatu kabari saja Abi," ujarnya sambil berdiri.Aku mengangguk pelan. Biarkan saja Eza pergi. Aku akan mencaritahu tentang sikap Nia saat di kantor.Jika terbukti Nia masih mencoba mencari perhatian pada suamiku, maka aku akan meminta Eza segera keluar dari perusahan itu..Seperginya Eza, aku pun bersiap-
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 17.***POV Dinda.Aku terdiam mendapati pertanyaan sensitif dari Mas Ridwan. Ada rasa mau bercampur bahagia. Ingin aku teriak menyatakan aku mencintainya. Namun, bibir ini sungguh kaku."Jawab, Din!" perintah Mas Ridwan.Aku tersenyum dan mengangguk dengan malu-malu.Mas Ridwan mengangkat daguku dengan tulunjuk tangannya. "Benarkah?""Benar, Mas." Pelan aku menjawab pertanyaan itu.Mas Ridwan sontak memelukku. Sungguh aku terpaku dan tak menyangka dengan hal ini. Debaran di dadaku memburu. Air mataku menetes karena bahagia. Apa aku sedang bermimpi?"Dinda, saya berjanji akan menjadi suami yang baik untukmu," lirihnya di telingaku.Aku membalas pelukan itu. Lalu hubungan suami istri yang selama ini belum terlaksana, akhirnya terpenuhi sekarang.Aku dan Mas Ridwan memadu cinta dengan begitu indahnya.--Hari berikutnya, aku keluar membeli sesuatu. Tak disangka aku bertemu lagi dengan Mas Andi."Dinda, tolong dengarkan aku dulu! Kembalilah pad
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 16.***POV Ridwan.Hari ini aku akan menjemput si kembar. Saat aku sedang bersiap-siap, Dinda pun menghampiri."Mas aku boleh ikut?" tanya-nya.Aku bergeming. Jujur aku lebih nyaman pergi sendirian. "Mas," lirih Dinda lagi."Iya, Din. Boleh kok," sahutku.Dinda tersenyum. Sebenarnya hatiku terasa teduh saat melihat senyum wanita yang sekarang sah menjadi istriku itu. Namun, aku sendiri masih bingung. Cintaku pada Mawar membuat aku enggan memikirkan wanita lain, walaupun itu istriku sendiri saat ini..Di perjalanan suasana membisu. Aku tak mengajak Dinda bicara, pun sebaliknya.Jarak yang ditempuh cukup memakan waktu. Aku menyalakan musik agar tak begitu kaku.Sesekali aku menoleh ke arah Dinda. Ia tampak cuek dengan tatapan lurus ke depan. Tak seperti biasanya.Aku jadi resah. Apa benar Dinda tak bahagia?Kemarin, saat mantan suaminya datang dan bicara di depan halaman rumah, aku mengintai dari balik jendela.Aku mendengar semuanya. Saat itu
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 15.***Selesai berlatih berenang, aku dan Mas Ridwan masuk kembali ke kamar.Suasana menjadi canggung. Dadaku masih saja berdebar hebat. Sedangkan Mas Ridwan tampak buru-buru ke dalam kamar mandi..Malam harinya, kami sekasur dan saling menatap. "Din, seharusnya semalam kita tak melakukannya, tapi saya sungguh tak mengingat kejadian itu," ucap Mas Ridwan."Mau diapakan, Mas. Nasi sudah jadi bubur," sahutku dengan memasang wajah serius.Mas Ridwan memalingkan wajahnya dan membelakangiku. Entah apa yang ia rasakan, tapi aku cukup senang.Ibu mertua memang paling mengerti. Rasanya aku tak mau pulang ke rumah.--Hari berganti, kini tiba waktunya kami pulang.Sepanjang perjalanan Mas Ridwan hanya diam. Mungkin ia menyesali kejadian yang sebenarnya tak pernah terjadi itu.Hatiku sedikit kecewa. Nanti aku akan menceritakan semuanya dengan jujur.Saat ini, sepertinya suamiku belum siap menjalani rumah tangga normal bersamaku.Tak apa. Aku masih lag
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 14.***Pagi harinya, aku masih enggan menyapa Mas Ridwan. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal sejak ia mengatakan kalimatnya semalam.Sebagai seorang istri, aku merasa Mas Ridwan sama sekali tak menginginkan aku. Lalu, kenapa ikatan pernikahan ia coba ikrarkan?"Din," lirihnya.Aku hanya menoleh sekilas, kemudian aku melanjutkan sarapan."Din, kamu marah?" tanya-nya pula.Aku menggeleng."Din, tolong bicaralah!""Aku tidak marah, dan apa hakku untuk marah?""Hem, baiklah. Saya minta maaf. Saya tidak bermaksud menyinggung perasaanmu, Din. Saya cuma ....""Cukup, Mas. Tidak perlu dibahas!" Suasana pagi ini jadi tegang. Mas Ridwan tampak gelisah. Sedangkan aku sengaja bersikap sedikit tegas. Jika, Mas Ridwan memang tak bisa menerima aku, pun tak masalah. Namun, aku juga tidak akan kembali pada Mas Andi.Hidup sendirian bukanlah suatu perkara besar, tapi pernikahan ini juga bukan mainan. Selagi aku mampu mempertahankan, maka akan tetap aku pertah
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 13.***POV Dinda.Setelah sah menjadi istri dari Mas Ridwan. Aku tetap merasa ada jarak antara kami.Dan benar, malam ini ia mengutarakan ungkapannya yang ternyata belum siap menjalani hubungan layaknya suami istri.Aku sebisa mungkin mencoba tersenyum dan berlapang dada. Bibirku berkata memahami, tapi hatiku terasa sembilu.Jika, cinta itu tak ada untukku kenapa harus menikahiku?Aku bisa menjagakan putri-putrinya. Kalau sudah begini, aku bagai tak dianggap.Suara dengkuran Mas Ridwan terdengar begitu keras. Ia tidur di atas sofa. Sementara aku memeluk lututku sendiri di atas kasur empuk yang dulu miliknya bersama Mbak Mawar.Entah sejak kapan rasa cintaku hadir, yang jelas saat ini hatiku sakit menerima penolakannya.Mas Ridwan sosok yang sempurna. Bahkan untuk berkata hal menyakitkan itu saja ia menggunakan kalimat lembut hingga membuat aku tak berkutik.Malam ini hujan pun turun menemani kesedihanku. Pintu jendela kamar terbuka dan tertutup
Judul: Kepergianku, Penyesalanmu.Part: 12.***POV Ridwan.Weekend ini aku berniat membahagiakan Anak-anak. Kami melepas rasa bosan dengan berenang.Kedua putri kecilku sudah siap menggunakan baju pengaman agar tetap terapung.Kami bermain air sembari bercanda riang. Namun, tiba-tiba saja terdengar bunyi dentuman.Sepertinya ada yang melompat ke kolam renang. Dasar menyebalkan. Anak-anakku sampai kaget."Tolong!"Suara teriakan itu sepertinya tidak asing di telingaku. Di kolam yang sama, terlihat seseorang sedang berusaha menyelamatkan dirinya sendiri.Mataku membesar saat mengetahui Dinda yang tenggelam. Ternyata dia tidak bisa berenang.Dengan gerakan cepat, aku langsung menuju ke arahnya. Telapak tangan Dinda berhasil aku genggam, kemudian dengan terpaksa aku menyentuh bagian pinggang agar ia dapat aku naikan ke permukaan."Tolong bantu angkat ke atas," pintaku pada penjaga kolam.Dinda akhirnya berhasil selamat. Namun, ia pingsan. Sementara Cika dan Tika sudah menangis karena ke
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 11.***POV Dinda.Seminggu setelah Mbak Mawar tiada. Aku semakin besar memberikan perhatian untuk si kembar. Namun, aku tak lagi tinggal serumah dengan mereka. Karena aku segan.Sehabis isya aku pulang ke kontrakan yang letaknya bersebelahan dengan rumah Almarhumah Mbak Mawar. Seperti malam ini, aku berpamitan pada Mas Ridwan."Saya ingin bicara sesuatu, Din. Bisakah kamu menunda sebentar lagi kepulanganmu?" tanya-nya.Aku mengangguk sembari duduk kembali ke sofa."Ingin bicara soal apa, Mas?" "Sebenarnya ini sangat berat. Saya sendiri tak mampu mengatakannya. Namun, amanah ini tetap harus saya sampaikan," ujar Mas Ridwan.Aku sedikit gugup menunggu kalimat apa yang akan diucapkan Mas Ridwan."Din, Almarhumah istri saya menginginkan kamu untuk terus menemani Anak-anak," lanjutnya.Aku mengukir senyum tulus. Sejujurnya aku sangat menyayangi Tika dan Cika. Menjaganya menurutku tugas yang paling membahagiakan."Aku berjanji, Mas. Mbak Mawar pun
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 10.***POV Ridwan.Istriku mawar menyusul aku ke kamar. Ia menjelaskan perkataannya yang tadi sempat aku dengar."Mas, tolong jangan marah. Aku hanya berani bicara seperti itu pada Dinda saja. Karena aku sangat mempercayainya.""Tetap saja aku tidak suka. Masalah kesepian ataupun kesedihan diriku tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain, sayang. Kamu juga tahu, aku sangat mengupayakan kesembuhanmu," paparku.Istriku bergeming. Air matanya mengalir deras. Detik berikutnya aku memeluk penuh cinta.Tubuh indah itu kini mulai lemah. Namun, sedikitpun rasa cintaku tak pernah sirna.Ia adalah cinta pertama dalam hidupku, dan akan menjadi cinta terakhir..Hari berganti, keadaan Mawar semakin memburuk. Aku dan yang lain mengantarkan ke rumah sakit. Namun, kondisinya terus saja melemah. Hingga aku meminta Dinda membawa Anak-anak keluar. Tak tega jika Tika dan Cika melihat kesakitan Mamanya."Mas, sepertinya aku tidak akan bisa mendampingimu lebih l
Judul: Kepergianku, penyesalanmu.Part: 9.***Hari berganti. Harusnya saat ini adalah menjadi momen terindahku. Namun, pernikahan telah aku batalkan, walau undangan pada kerabat dekat sudah disebarkan.Mas Andi juga masih berusaha membujukku agar mau kembali rujuk. Akan tetapi hatiku sudah bulat menolaknya.Lelaki seperti Mas Andi tidak akan pernah berubah. Ia hanya bisa lembut ketika merasa sepi dan sendiri. Namun, disaat ada pilihan lain, maka dia pun akan mulai bertingkah."Din, aku mohon kali ini saja! Ayolah berikan aku kesempatan itu," ujarnya melalui panggilan suara."Tidak, Mas. Keputusanku tidak bisa lagi diganggu gugat," sahutku dengan intonasi suara menekan.Deheman keras terdengar bagai orang yang putus asa. Detik berikutnya aku langsung memutuskan panggilan telepon dengannya.Cukup sudah hatiku dipermainkan. Aku tak mau lagi ada kesakitan yang tercipta oleh lelaki yang sama..Seperti biasa, aku mengurus Tika dan Cika. Setelah selesai, aku pun segera memberikan obat ruti